Monday, July 21, 2008

Sidang Ricuh dalam Kesaksian Haji Hasan Sochib

Maaf saya terburu-buru memposting cerita ini. Saya harus ke Semarang sore ini, sementara banyak yang belum diurus : tiket bis belum dipesan, transfer uang ke UNDIP, surat untuk PSK (Pusat Studi Kepolisian) UNDIPpun belum belum diprint dan ditanda tangan, ambil servisan komputer, printer, tv dan DVD.


Tapi kejadian kemarin belum saya posting. Begini ceritanya, Hasan Sochib bersaksi di persidangan kasus jalan akses PIR Senin (21/7) kemarin. Setelah hakim selesai bertanya, mulailah porsi jaksa bertanya. Jaksa bertanya-tanya seperti biasa mencoba mengontruksi hukumnya sendiri. Sementara Hasan Sochib di awal sidang membawa bukti terbaru : 2 lembar kertas pengajuan pembayaran jalan akses PIR ke Propinsi Banten dari Bupati Taufik Nuriman dan DPRD Kabupaten Serang. Jaksa nanya berputar-putar tanpa mengonversi bahasa ke bahasa yang sederhana yang mudah dimengertinya. Hasan Sochib menjawab bahwa awalnya ada perjanjian berupa surat partisipasi dari Bupati Bunyamin dan minta kepastian dananya. Diyakinkan dananya akan dibantu oleh Pemprop Banten dalam bentuk BlockGrant nanti.

Jaksa bertanya soal bestek, SPK dll (sebenarnya persoalan SPK telah terbantahkan dalam persidangan2 sebelumnya dengan adanya pasal 19 PP 105 dan UU no 17 pasal 28). Hasan Sochib mulai kesal dan balik bertanya pada jaksa Edi Dikdaya. "Menurut bapak eksekutif dan legislatif itu diperlakukan tidak dalam negara Republik Indonesia ini (maksudnya penyelenggara negara adalah eksekutif dan legislatif), itu 2 surat yang jelas bapak nggak akui?"

Edi tak menjawab pertanyaan tersebut dan menanyakan hal lainnya. Hasan Sochib tersinggung, bolak-balik minta dijawab pertanyaannya. Jaksa memberi sinyal pada hakim untuk menengahi. Ketua Majelis Hakim Maenong menengahi. Satu dua pengawal Hasan Sochib berdiri. Hakim mempersilahkan penasehat hukum bertanya. Efran bertanya "Saat proyek itu akan dilakukan..."

"Jangan bicara proyek lagi, ini belum selesai!" Hasan Sochib memutar kursi lagi ke arah jaksa.

Menunjuk-nunjuk jaksa dan sumpah serapah keluar.

"Ini nggak bener penegak hukum, jawab dulu pertanyaan saya, nyari-nyari kesalahan, yang bener mau disalahin, yang salah dibenerin, ini penghianat negara ini, mana, ada wartawan tidak, saya minta dicatat ini ada pengkhianat negara."

Saya menepuk lutut Haji Aep di belakang, Ia terlihat menatap jaksa, "Ka Haji, tenangin bapak," pinta saya. Ia menatap jaksa. Saya menepuk paha pemuda plontos disebelah saya "Siapa yang bisa nenangin bapak,"

"Nggak ada kalau udah begini," wajahnya gusar.

Beberapa 'pengawal' pribadi ke depan membawa tisu dan air mineral.

Sidang dihentikan setelah jaksa dan penasehat menyatakan cukup ketika Hakim menawarkan pertanyaan. Haji Hasan keluar ruangan. Sidang dinyatakan ditutup dan dilanjutkan pekan depan. Jaksa Edi Dikdaya dan Sukoco menghampiri meja penasehat hukum. Seorang lelaki sekretaris pribadi Haji Hasan meyakinkan jaksa tidak apa-apa

"Bapak maen ke Rau juga dijamin nggak ada apa-apa, sudah ditenangkan tadi."

"Tadinya saya mau minta maaf usai sidang, tapi bapaknya langsung keluar," kata Sukoco.
Jaksa M Hidayat menyulut rokok di luar sidang, menyembunyikan ketegangan.
Saya kehilangan momen Hasan Sochib menunjuk jaksa, gak responsif, insting jurnalistiknya mulai tak terasah, kelamaan jadi orang umum. Hmmm.. ayo Fer diasah lagi.

No comments: