Saturday, December 16, 2006

Pesan Untuk Calon Rektor


Oleh Ferry Fathurokhman

Tahap pertama pesta demokrasi baru saja usai dilaksanakan di Untirta Kamis (14/12) kemarin. Sesuai ketentuan, enam calon rektor dari sebelas yang ada telah terjaring. Enam calon rektor terjaring itu merupakan cerminan keinginan dari suara mahasiswa, dosen dan para staf pegawai Untirta. Tentu ada senang dan sedih bahkan mungkin kecewa didalamnya. Tapi itulah demokrasi. Ia mempunyai cacat bawaan, tak bisa membuat semua orang senang, paling hanya bisa legowo. Pada setiap pelaksanaan pesta demokrasi, hal yang paling harus diingat adalah konsep dasar dari demokrasi itu sendiri. Konsep yang paling terkenal dan dianggap terbaik hingga saat ini adalah rumusan demokrasi dari Presiden Amerika ke-16, Abraham Lincoln. Dalam pidatonya pada peresmian Pemakaman Gettysburg, Abe—panggilan umum Abraham Lincoln—pernah berkata bahwa demokrasi adalah ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Sayangnya Amerika sekarang telah salah dan gagal memaknai demokrasi yang telah disampaikan Abe, jadi Amerika bukanlah negara yang baik untuk dicontoh dalam hal demokrasi.
Dalam demokrasi, kemenangan sangat bergantung pada mayoritas. Jika mayoritas rakyatnya baik maka hasilnyapun akan baik, tapi jika mayoritas rakyatnya tidak baik, maka hasilnyapun tak akan baik. Inilah cacat bawaan itu, kelemahan dasar dari demokrasi. Tapi tak apa, sebab saya percaya sivitas akademika Untirta mayoritas baik sehingga nanti hasilnyapun akan baik.

Pada Kamis (14/12) kemarin, calon rektor yang terjaring secara berturut –turut berdasarkan jumlah perolehan suara adalah Rahman Abdullah, Hafidi ZA, Ahmad Hufad, Sugiyanto, Aris Suhadi dan Asnawi Syarbini. Sengaja tak saya cantumkan gelar macam Prof, Dr dan H (Profesor, Doktor dan Haji) untuk menghindari terminologi ikan paus dan teri dari Prof Yoyo Mulyana, M.Ed yang ditulis kawan Firman Venayaksa di harian ini beberapa waktu lalu. Sehingga yang teri tak perlu berkecil hati dan yang paus tak perlu bersombong ria nantinya. Gelar “Haji” juga tak saya tulis. Sebab seperti Taufik Ismail pernah tulis bahwa gelar H hanya ada di Indonesia, ini aneh, dan jika gelar H dicantumkan didepan nama orang yang telah melaksanakan ibadah haji, maka seharusnya orang yang telah mengucapkan syahadat, melakukan shalat, zakat dan puasa juga berhak dan seharusnya mencantumkan gelar SSZP (syahadat, shalat, zakat, puasa) didepan namanya. Karena syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji adalah sama-sama ibadah yang ada dalam Rukun Islam. Semoga keenam calon rektor Untirta tersebut termasuk orang yang konsisten dan menjalankan SSZP yang kita tak bisa mengetahuinya karena gelar tersebut tak pernah dicantumkan meskipun telah dilakukan. Kriteria pelaksanaan SSZP ini penting, sebab calon rektor Untirta harus memiliki spiritual quotient (SQ) yang baik untuk memimpin Untirta. SQ para calon rektor juga masih dan tetap dibutuhkan mengingat perjuangan mereka menuju Untirta-1 belum selesai. Mereka masih harus bertarung di tahap selanjutnya, di tingkat senat universitas. Sebanyak 33 anggota Senat Untirta akan memilih ke enam calon rektor dan menyaringnya menjadi 3 calon rektor untuk selanjutnya diserahkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas untuk disaring lagi menjadi 1 rektor terpilih nantinya. Maka kepada anggota senat universitas, pilihlah sesuai hati nurani anda, saudara-saudara senat adalah wakil kami, kami serahkan selanjutnya proses demokrasi di Untirta pada saudara, berikan yang terbaik, pilihan saudara-saudara di senat sangat menentukan perubahan Untirta kedepan.

Pesan untuk calon rektor.
Untuk enam calon rektor Untirta yang telah terjaring pada tahap pertama saya ucapkan selamat. Entah siapa diantara bapak-bapak para calon rektor nanti akan terpilih menjadi rektor yang akan memimpin kami semua sivitas akademika Untirta. Ingat bahwa jabatan adalah amanah. Ada sedikit kisah dari Khalifah Harun Al Rasyid untuk anda, untuk saya, untuk kita semua. Saat pergi menunaikan ibadah haji, Harun Al Rasyid mengajukan pertanyaan retorik pada ajudannya ”Tahukah kamu apa perbedaan aku dengan mereka para jemaah haji. Mereka hanya akan dimintai pertanggungjawaban atas diri mereka sendiri, sedangkan aku akan dimintai pertanggungjawaban diriku atas mereka semua.” Begitupun dengan anda nantinya. Anda akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh sivitas akademika Untirta, bagaimana anda memimpin? Apa yang telah Untirta lakukan untuk Banten, untuk Indonesia? adakah yang dizholimi di masa kepemimpinan anda nantinya? Adakah janji yang telah diumbar tak dipenuhi? Adakah ini, adakah itu dan adakah-adakah lainnya nanti harus anda pertanggungjawabkan nantinya.

Bapak calon rektor yang saya hormati, tugas bapak nanti berat, sangat berat. Ada PR (pekerjaan rumah) menumpuk menunggu di meja rektor. Peningkatan kualitas dosen, kualitas staf pegawai, kualitas mahasiswa, kualitas infrastruktur, kompetitor yang kompeten, posisi Untirta sebagai benteng moral Banten dan banyak lagi. Maka siapkan energi, bersiaplah untuk melayani, bukan dilayani, karena seperti kata Rasulullah SAW, hakikat dari pemimpin adalah pelayan. Pesan Nabi ini juga sebenarnya telah diimplementasikan, dibreakdown dalam materi pra jabatan bagi setiap calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Indonesia termasuk Untirta. Materi tersebut adalah Pelayanan Prima (Excellent Services), tapi entah kenapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia (entah di Untirta), lebih cenderung ingin dilayani daripada melayani. Saya tak begitu tahu, tapi jika karakter ingin dilayani juga tumbuh di Untirta maka ini juga akan menjadi PR bapak yang lain. Tidak perlu pencitraan diri yang berlebihan, wibawa dan penghargaan akan datang dengan sendirinya jika bapak melayani dengan hati dan ikhlas.
Jangan persulit keadaan, buang paradigma yang kerap menghinggapi dan hampir menjadi budaya para PNS ”kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah.” Paradigma negatif ini bukan tuduhan, bualan dan citra yang lahir begitu saja. Istilah tadi merupakan hasil riset yang dengan legowo telah diakui dan dipaparkan dalam modul-modul pelatihan para CPNS dan PNS yang dikeluarkan LAN (Lembaga Administrasi Negara). Jadi begitulah pak, PR bapak memang banyak maka siapkan energi yang banyak pula. Dan jika terpilih menjadi Rektor Untirta nanti, mari bersama membangun Untirta, Untirta untuk semua dan yakinlah dengan rektor baru Untirta maju.


*) Staf pengajar FH Untirta dan anggota Mazhab Pakupatan.
(Dimuat di Radar Banten 18 Desember 2006)

Wednesday, October 04, 2006

Baqi Graveyard


Ini adalah areal pemakaman umum Baqi di Madinah, Arab Saudi. Sebagian besar kawasan Madinah adalah gunung batu dan cadas. Hanya daerah Baqi ini yang tekstur tanahnya cocok untuk areal pekuburan. Baqi sendiri berarti sebidang tanah lembut tanpa tanah dan kerikil. Letaknya bersebelahan dengan Masjid Nabawi (Haram El Syarif). Jaraknya kira-kira 30 meter sebelah timur dari Masjid Nabawi.

Di Baqi ini terbaring Aisyah ra, istri Nabi Muhammad SAW. Juga istri beliau yang lain seperti Ummu Salamah, Juariyah, Zainab, Sofiah, Hafsah putrinya Umar bin Khattab dan Mariyah Kibtiyah. Kecuali Siti Khadijah di pekuburan Ma'la Mekah dan Maimunah di Zam'mum. Semua putra putri Nabi pun dikuburkan disini, Siti Fatimah, Qasim, Abdullah, Ibrahim, Ruqaiyah, Zainab dan Umu Kalsum. Sahabat Usman bin Affan, Abbas bin Abdullah (paman nabi), Hasan bin Ali (cucu nabi) dan ibu susuan nabi Halimatus Sa'diyah juga dikuburkan di Baqi.

Saya mengambil foto ini memakai kamera poket film Olympus tanpa dibidik, diluar sepengetahuan askar (petugas keamanan.pen). Sebab sebetulnya mengambil gambar di areal Baqi tak diizinkan. Tapi sayang jika tak mengambil gambar. Maka Olympus kecil milik adik saya itupun bersembunyi di balik jaket biru beludru pemberian Bank Jabar.

1373 tahun yang lalu. 633 Masehi, Nabi berziarah bersama seorang sahabat. Nabi memandang Baqi, mendoakan penghuninya, juga mendoakan agar orang-orang yang dikubur di Baqi diampuni semua dosanya (Ini sebabnya sebagian besar orang menginginkan meninggal di Madinah dan dikuburkan di Baqi). Kemudian kekasih Allah itu berkata pada sahabatnya bahwa beliau ditawari dua hal : kunci dunia beserta isinya atau bertemu dengan Allah. Maka sahabat tadi segera berkata dan meminta "Yaa Rasul pilihlah dunia dan isinya," katanya lirih. Namun rasul tersenyum dan memilih untuk bertemu dengan Allah. Maka tahulah sahabat, bahwa waktunya bersama rasul di dunia ini akan berakhir. Subhanallah...kami rindu padamu ya rasul.

Saya tertegun. Berdiri dan mulai mengitari Baqi yang cukup luas. Ada selasar selebar 2,5 meter yang disediakan untuk para pedestrian. Di Baqi banyak sekali merpati. Beberapa peziarah menaburkan biji gandum yang dibeli di depan pintu pekuburan.

Langkah kaki kembali terhenti karena terhalang Toyota pickup semodel Datsun pickup tua. Ada selang air karet. Rupanya ada yang petugas yang sedang menggali lubang pekuburan. Ada yang meninggal. Kepala saya menyembul, melongok lubang yang menganga di tanah. Kosong, belum ada apa-apa. Rapat sekali pikir saya. Jarak dari satu kuburan ke kuburan hanya beberapa sentimeter, bahkan relatif tak berjarak. Kuburan di sini hanya ditandai dengan dua buah batu. Kadang hanya berupa gundukan tanah atau malah rata sama sekali, hanya ada batu sebagai penanda.

Sebelum pulang keluar gerbang Baqi saya membaca ulang papan dengan poin-poin pengumuman besar yang terdiri dari berbagai bahasa. Bahasa Indonesia salah satunya. Isi intinya mengingatkan bahwa kita tak boleh meminta-minta pada kuburan. meminta hanya pada Allah. Bahkan hadist Nabipun tertera "Sesengguhnya (dulu aku telah melarang kalian untuk berziarah kubur (maka sekarang) berziarahlah, karena ia akan mengingatkanmu akan akhirat." Jadi tujuan ziarah hanya satu, mengingat akhirat. Saya menoleh ke belakang, seorang muzawir, guide resmi berpakaian khas arab mengingatkan seorang pengujung untuk tidak boleh meminta pada kuburan sebab bisa terpeleset syirik dan ia mengajarkan do'a ziarah dari nabi yang intinya memberikan salam keselamatan dan kesejahteraan dan Insya Allah kita akan menyusul kalian semua. "Halas (sudah), hanya itu do'a ziarah," katanya.

Foto papan informasi ini adalah foto yang diambil di depan pemakaman Uhud. Tempat Hamzah bin Abdul Muthalib, paman nabi, dikuburkan. Hamzah meninggal dalam peperangan Uhud, ditombak oleh Wasyi, seorang budak suruhan Hindun binti utbah, istri dari Abu Sufyan. Daun telinga Hamzah dipotong Hindun dijadikan gelang kaki, jantung dan hatinya diambil dan dikunyah. Namun saat futuh (kemenangan) Mekah, nabi memaafkan Hindun yang telah masuk Islam. Hampir di semua tempat ziarah dibangun papan besar berisi informasi tata cara ziarah. Ini adalah upaya Pemerintah Saudi Arabia agar tidak ada syirik dalam ziarah.

Selamat tinggal Baqi, Aisyah binti Abu Bakar ra, Kosim bin Muhammad SAW, Fatimah binti Muhammad SAW, Usman bin Affan Insya Allah saya menyusul kalian, mudah-mudahan Allah memberikan husnul khotimah. Amin.

Kampung yang tak Perlu Ustad


Kampung yang tak Perlu Ustad

Kampung kami sederhana saja. Sama dengan kampung – kampung lainnya di Pulau Jawa pada umumnya . Ada balai desa dengan alun – alun dan pohon beringin di tengahnya. Ada klinik desa, rumah dinas bidan dan juga bidan desa yang selalu jadi rebutan jejaka kampung kami. Bidan desa biasanya belum menikah dan hanya bermukim selama satu tahun, untuk kemudian diganti oleh bidan lainnya. Kata Pak Lurah, bidan desa kami adalah selalu bidan praktek yang menyempurnakan pendidikan bidannya untuk mendapatkan gelar bidan seutuhnya. Saya juga tak terlalu mengerti maksudnya tapi begitulah kurang lebihnya kata lurah kami.
Selain itu kekhasan kampung di Jawa adalah adanya surau diantara balai desa, alun-alun dan beringin. Dan justru surau inilah yang membuat masalah kampung kami jadi ruwet. Sebenarnya bukan suraunya yang bikin ruwet, tapi mungkin kami yang tak bisa mengurai masalah dan tak bisa dewasa menyikapi permasalahan.

Kampung kami memiliki dua ustad. Sebenarnya bagus. Semakin banyak ustad semakin bagus. Tapi masalahnya kedua ustad kami tak pernah akur. Dan keduanya punya pendukungnya masing – masing. Ini yang membuat kami, orang biasa pada umumnya merasa tak nyaman dan serba salah.

Ustad Burhan menguasai daerah barat kampung ini. Sedangkan daerah timur kampung ini dikuasai Ustad Mahmud. Celakanya ya itu tadi kami hanya punya satu surau. Itupun belum selesai dibangun, karena anggaran dana yang meleset dari hitungan kertas semula. Presiden negara kami menaikkan harga bahan bakar minyak, maka bahan material untuk surau kamipun ikut naik. Tak jelas kenapa, tapi kata tukang toko bangunan ya harus begitu, harus naik semuanya, sebab ongkos angkut bahan bangunan juga naik katanya. Untungnya surau kami sudah dapat dipake sholat bahkan sholat jumat, untuk air wudu Abah Zaini yang rumahnya berada di samping surau bersedia mengalirkannya untuk para jemaah.

Kondisi surau kami menyedihkan. Lantainya baru dikeramik sebagian, kusen dan jendelanya belum ada, masih bolong. Dindingnya baru disemen kasar, gentengnya belum ada, rencananya surau kami dibuat bertingkat, tapi kami baru sanggup satu lantai. Sementara rumah dikanan kiri surau walaupun tak mewah semuanya berdiri utuh, bahkan ada satu dua rumah besar mewah bertingkat dengan pagar yang kokoh milik para pembesar di kampung kami.

Kehidupan kampung kami bisa nyaman sebenarnya jika saja kami rukun. Rukun, itulah masalahnya. Karena kampung kami memiliki dua ustad tadi, dan ustad kami tak pernah rukun. Saya juga tak tahu pasti apa penyebab permusuhan keduanya. Kata orang – orang kampung sih bermula dari kehadiran Ustad Mahmud di kampung kami, awalnya keduanya akur, bahkan Ustad Burhan sebagai sesepuh di kampung ini menyambut dan mengenalkannya pada warga di setiap kesempatan pengajian, khotbah, dan acara riungan lainnya. Namun lama kelamaan Ustad Mahmud mulai dikenal dan disegani warga, banyak yang meminta nasihatnya, bahkan kepopuleran Ustad Burhan mulai kalah oleh Ustad Mahmud. Hingga akhirnya keduanya mulai renggang tak akur, bahkan saling merendahkan dan melecehkan di setiap kesempatan, termasuk dalam khotbah jumat di surau kami yang belum rampung itu.

Yang bingung akhirnya ya kami ini. Sebagian ada yang jadi pendukung setia ustad Burhan, sebagian lainnya ikut ustad Mahmud dan sebagian lainnya lagi memilih diam tak mendukung siapa-siapa.

Pernah suatu kali ustad Burhan khotbah bahwa ulama – ulama muda itu harus diwaspadai sebab bisa jadi karena pengalamannya yang kurang, dapat memberikan pemahaman yang salah pada umat. Padahal Ustad Mahmud juga ada waktu itu, ikut mendengar khotbah.
“Jadi omongannya harus di filter, harus kita seleksi mana yang benar mana yang tidak, betul apa betul,” katanya berapi-api.
Para tetua dan pendukung Ustad Burhan manggut-manggut. Para pendukung Ustad Mahmud tersentak dari kantuknya dan memandang sinis pada mimbar. Ustad Mahmud sendiri walaupun berusaha tenang, kupingnya memerah panas. Yang berusaha netral seperti saya dan yang lainnya hanya memandang bergantian melihat raut muka kedua pendukung.
Ustad Mahmudpun sama saja, tiap saya main ke rumahnya, omongannya selalu melecehkan. “Seharusnya ustad-ustad tua itu mengalah, bacaan sholatnya saja banyak yang salah dan tak jelas, ini bukan masalah tua muda tapi masalah benar salah,” katanya.

Pernah keluarga Ustad Mahmud mengadakan peringatan tahun baru Muharram di surau kami, ada lomba adzan dan mengaji dalam kegiatannya. Ustad Mahmud mengadakan peringatan ini karena inisiatifnya. Sebab katanya tidak ada yang mulai memperingatinya di kampung kami, jadi ia memelopori untuk mengadakannya. Saya ditunjuk jadi pembawa acara. Karena acaranya bagus dan untuk ibadah saya menyetujuinya. Malam setelah acara itu, saat saya mampir ke rumah Ustad Burhan saya didamprat habis – habisan. “ Ente ngapain bantu – bantu, lha wong itu acara keluarga dia kenapa nggak diadakan dirumahnya saja, kenapa harus di surau, waktu kerja bakti surau saja dia tak pernah datang kok, sekarang dia pake surau. Walaupun acaranya untuk ibadah tapi kalau caranya tidak baik ya salah juga,” sungutnya, panjang lebar tanpa bisa kuhentikan.

Begitulah semakin hari kampung kami semakin panas. Kampung kami jadi tak sejuk, hawanya curiga dan tak nyaman. Semua saling menyalahkan, bahkan silsilah keluarganya ditelusuri sampai jadi omongan yang tak enak. Semua celah yang ada pada kedua ustad itu dikorek hingga tetek bengeknya.

Hingga pada suatu hari. Pada suatu malam yang tak baik. Ketika semuanya tak bisa lagi menahan emosi, ketika suasana semakin panas. Malam itu menjadi malam celaka bagi kampung kami, malam jahanam. Malam itu malam jumat, malam yang seharusnya baik seperti malam-malam jumat di kampung-kampung pada umumnya.

Dua ustad kami mengadakan yasinan di tempat yang berbeda di rumahnya masing-masing. Entah setan mana yang merasuki kami setelah yasinan selesai, seperti biasa warga mulai ngobrol ngalor ngidul sambil menyulut rokok kreteknya masing-masing. Tiba-tiba saja obrolan kami mengarah pada pertikaian ustad kami.

“Iya tad, Mahmud sudah tak bisa dibiarkan, ia melecehkan ustad, ia tak menghormati yang tua, padahal dia kan cuma pendatang, masa kemarin dia bilang ustad sebaiknya dirumah saja tidak usah ngurus surau karena sudah tua,” sungut kang Udin yang memang terkenal asal jeplak.
“Iya benar din, bagaimana jika kita datangi dia malam ini, kita tanya apa maunya?”
“Jangan, langsung kita gebuk saja, kita sudah tau maksudnya ingin mengacau kampung.”
“Sudah, sabar, tak perlulah anarkis, kita tunggu saja, biar dia berbuat semaunya,” ustad Burhan coba menengahi.
“Ah, ustad ini terlalu sabar, kalau saya, sudah saya bakar rumahnya dari dulu.”
“Betul. Sudah, kita samperi rumahnya rame- rame malam ini”
“Betul,”
“Betul.”
“ Iya bakar saja,” sahut lainnya. Suasana menjadi tidak terkontrol, panas, gerah.
“Ok. ok. Toyib. Begini saja, kita temui dia malam ini tapi tidak untuk membakar atau nggebuk, hanya menanyakan maksudnya, bagaimana?” ustad Burhan coba menengahi kembali.
“Ya bolehlah,” sungut kang Udin.
“Baik,nggak papa.”
“Ya sudah, gitu juga bagus,” yang lain menimpali.

Setan seribu setan, mungkin karena berangkat rombongan dan suasana yang panas tak pernah ada ucapan salam saat tiba di rumah ustad Mahmud yang juga sedang yasinan dan juga membicarakan ustad Burhan. Tak ada ketok pintu. Tak ada assalamualaikum.

Woi Mahmud keluar kau, apa maksudnya mengacau kampung kami,” seorang massa ustad Burhan curi start bicara.
Ustad Mahmud dan massanya yang sedang di dalam rumah kaget dan langsung keluar.
Belum sempat bicara, sebuah peci hitam melayang ke mukanya.
“Anjing, ustad gadungan,” seorang dari kerumunan ustad Burhan bicara.
Kerumunan ustad Mahmud berang dan langsung menyerang, merasa ustadnya dilecehkan.
Perkelahian masalpun terjadi, benar-benar terjadi tanpa terkendali. Bahkan dua orang ustad pun tak dapat mengendalikannya. Celakanya keduanyapun berkelahi setelah sebuah sarung entah dari mana melayang menyambar muka ustad Burhan.
Begitulah malam itu menjadi malam terjahanam di kampung kami. Saya sendiri jadi malu menjadi bagian dari kampung ini.

Esok harinya kampung kami sepi sesepi-sepinya, seperti kampung mati.
Seminggu kemudian rumah ustad Burhan dan ustad Mahmud kosong. Tak ada yang tahu ke mana mereka ada yang bilang ke Sumatera di Lampung sana, ada juga yang mengabarkan ke Medan. Mungkin mereka merasa terlalu berat dan tak sanggup menyandang nama ustad dipundaknya, mungkin juga yang lainnya, saya tak tahu.

Setahun kemudian ada keluarga muda menempati rumah ustadz Mahmud. Seorang lelaki muda dengan istri dan dua anak kecil manisnya. Kabarnya lulusan Al Azhar Kairo Mesir. Tapi ia hanya bertahan satu minggu. Sebab Kang Udin dan beberapa warga menemuinya.
“Anda ustad kan?” kata kang Udin.
“Ah bukan, saya hanya orang biasa.”
“Anda ustad, tak usah bohong, saya tahu anda ustad.”
“emmh, begini ustad, sebaiknya anda pindah dari kampung ini,”
“Tapi ada apa, kenapa, kenapa saya harus pindah,” lelaki muda itu heran.
“Sudah pergi saja, tak usah tahu, dan satu lagi, kampung kami tak butuh ustad,” ancam kang Uding yang berlalu begitu saja dengan para pemuda kampung kami. Mata mereka merah, dan seorang diantara mereka menggenggam erat botol minuman.
***
“Kita pindah mi,” lelaki muda itu berkata pada istrinya.
“Tapi kenapa bi.”
“Abi tak tahu, tapi sebaiknya kita pergi, ada sesuatu yang aneh di kampung ini, tapi sungguh abi tak tahu mi, semoga kampung ini dirahmatiNya, barangkali perlu beberapa ustad untuk membantu kampung ini,”

Begitulah kampung kami. Kampung yang tak perlu ustad. Sungguh, kami tak perlu ustad. Kenapa saya bisa tahu banyak? Karena sayalah yang menggenggam erat botol
minuman.

Didedikasikan untuk Dedi Wahyudin S.T.P. semoga dapat membawa perubahan bagi kampung-kampung lainnya, dimanapun dia berada.
Juga untuk para ustadz yang dituntut semakin bijak dan arif mengahadapi tantangan.

Cerita ini adalah fiktif. Jika ada kesamaan tokoh, tempat dan yang lainnya maka hanyalah suatu kebetulan.
FF. 220305, Padepokan Himsac.