Saturday, December 24, 2011

Hari Ibu (Sang Penghuni Langit)

Tulisan ini bukan milik saya, Pak Acep Purqon menuliskannya di hari ibu, di 22 Desember 2011. Selamat menikmati dan meneladaninya (Sekiranya Bunda kita sudah tiada, mendoakan dan menyambung silaturahim dengan saudara2 dan sahabat ibunda semasa hidup menjadi pengganti kita untuk berbakti kepadanya)

Dia bernama Uwais Al-Qarni.
Nama ini mungkin tidak sepopuler Umar bin Khatab ataupun Ali bin Abi Thalib bahkan mungkin sangat asing kedengarannya. Tapi Nabi berkata kepada kedua sahabatnya itu andaikan bertemu dia mintalah didoakan oleh dia. doanya sangat didengar oleh Allah swt.

apa gerangan yang membuat uwais begitu istimewa? padahal uwais tidak pernah bertemu muka dengan nabi (tapi untuk dalam hal ini ada punya keistimewaan dibanding shahabat dekat nabi tsb).

cerita ini barangkali sedikit banyak bisa menjelaskan alasan tsb.
uwais tinggal di Yaman. dia sangat menyayangi ibunya, dan selalu menjaga ibunya. ibunya sudah tua renta, tidak bisa melihat, sakit-sakitan dsb yang membuat uwais tidak bisa jauh-jauh dari ibunya. Padahal dia ingin bertemu nabi akhir zaman yang dikasihi Pencipta semesta alam (kapan lagi coba, kesempatan teramat langka). sampai suatu ketika minta izin sama ibunya menemui nabi. ibunya mengizinkan dengan satu syarat jika sudah sampai madinah segera pulang lagi. luar biasa girang uwais untuk bertemu nabi yg selama ini cuman mendengar saja dari orang yang baru pulang dari madinah.

jarak Yaman-Madinah berjarak 400km pun dilaluinya, tanpa pesawat terbang ataupun mobil. lewat perjuangan berat akhirnya bisa menemukan rumah nabi. rupanya nabi tidak sedang dirumah. ingin rasanya uwais menunggu nabi apalagi telah menempuh perjalanan jauh. tapi uwais ingat pesan ibunya untuk segera pulang jika sudah sampai madinah. demi memenuhi pesan ibunya itu dia segera bergegas pulang menempuh kembali rute 400 km madinah-yaman lagi.

ketika nabi sampai dirumah kemudian isterinya mengabarkan bahwa tadi ada tamu bernama uwais, maka nabi langsung bersabda.......

begitulah sampai nabi wafat tidak pernah uwais bertemu nabi, dan tidak pernah kedua sahabat itu menemukan uwais dalam rombongan dari yaman.

sampai suatu ketika...
uwais datang ke madinah itupun setelah ibunya wafat.
umar dan ali menemukannya dalam salah satu rombongan yaman. setelah bertemu umar dan ali menyampaikan ucapan nabi dan sesuai pesannya untuk memintakan doa dari uwais.
setelah mendoakan umar dan ali, uwais perpesan untuk semoga hari ini saja saya dikenal orang, selanjutnya tidak ingin dikenal orang lain.

sebagai bentuk penghormatan saya pada uwais al-qarni yang tidak ingin dikenal namanya maka sengaja saya beri judul Sang Penghuni langit.
dia memang tidak dikenal di bumi, tapi begitu terkenal di langit.
dia orang miskin dan pernah menderita berbagai penyakit. bahkan ketika dihadiahi baju dia pernah menolak dengan halus. jika saya mengenakan baju tsb saya khawatir orang bergunjing bahwa mungkin uwais dapat baju tersebut hasil dari mencuri atau menipu/merayu orang (khawatir membuat orang menjadi dosa karena berbuat suuzhon terhadap dirinya).

selamat hari ibu...
semoga kita bisa mengikuti jejak sang penghuni langit. yang tidak pernah bertemu tapi begitu terkenal di langit.

kalau boleh iri sama orang, mungkin saya paling iri dengan sosok orang ini. sosok, wajah, track record-nya tidak dikenal penghuni bumi, tapi begitu terkenal dan disebut-sebut oleh penghuni langit. dan semuanya sungguh karena amalan satu hal tadi. Terima kasih ibu.

‎"Takkan Kubiarkan Sayapmu Terhempas"

Tulisan ini milik Pak Acep Purqon. Selamat menikmati.

(Belajar dari merpati from diary menempa jiwa menyemai cinta)

by Acep Purqon


Boleh dibilang guru pertama yang menyadarkanku akan arti cinta adalah
merpati.

Banyak pelajaran berharga yang kuperoleh selama berinteraksi dengan binatang.
sambil kucoba ingat momen indah dengan kilas balik ke negeri pandanwangi.
Masa kecilku lebih banyak kuhabiskan bersama binatang dan tumbuhan. Aku
pelihara puluhan merpati, ratusan ayam (puyuh, petelor, kampung, kalkun),
domba, kelinci, berbagai jenis ikan, burung hantu, kutilang, kucing,
bebek, kakaktua dsb lengkap dengan berbagai jenis tumbuhan percobaanku
untuk membuat mereka nyaman hidup. Tentu tak ketinggalan elang yang sering
nemplok di bahu,tangan, atau sepedaku sekedar lambang kegagahanku masa
kecil. Semuanya dibiarkan lepas tanpa kandang. Karena prinsip pertamaku
semuanya harus jinak, dan kubenci orang yang membuat burung di sangkar.

Pelajaran cinta pertama justru kuterima dari sepasang merpati. Sebutlah si
Dasar untuk yang jantan dan si Ucu untuk yang betina.
Suatu hari si Ucu betina ini hilang, sehingga si Dasar jantan murung sekali.
Kunamai Dasar karena dia unggulanku untuk lomba kecepatan terbang dengan
teknik terbang rendahnya, sementara si Ucu karena lucu dengan badannya
yang supermungil.

Kukerahkan semua analisisku terutama keterkaitan hilangnya si Ucu dengan
perjodohannya. harus kuakui perjodohan mereka termasuk sumber olokan dalam
perlombaan karena bagai langit dan bumi. Si Dasar adalah pejantan
unggulan, dia mewakili kegagahan dan keperkasaan dengan bentuk badan besar
menjulang sangat mencolok dibanding 50-an merpatiku yang lain. sementara
si Ucu berjenis kotok jenis yang paling tidak disukai pemelihara merpati
karena berbadan kecil, harga murah, kampungan, sukar diurus, gampang
kabur, gampang nyasar ikut rombongan lain , mata gelap, dsb. Sehingga
perjodohannya diperkirakan akan melahirkan keturunan yang tidak unggul.
Sempat kusesali perjodohannya, namun si Dasar sepertinya menerima apa
adanya dan dia bangga sekali dengan si Ucu. si Ucu yang sering dilecehkan
di komunitas merpati malah mendapat posisi terhormat dan terangkat
wibawanya dengan jadi betinanya si Dasar.

mungkinkah si Ucu kabur karena merpati kotok gampang "kebandang"/ ketarik
ikut rombongan merpati lain? Ataukah dia mulai merasa minder? Dimanakah
dia sekarang? Rentetan pertanyaan seolah sedang menari-nari di otakku.

Seharian sampai keesokan lusanya si Ucu tak kunjung datang. Dan si Dasar
pun mematung murung nyaris tak bergairah hidup.
Baiklah, saya harus membuat keputusan penting untuk kelanjutan hidupnya.
Saya jodohkan dengan betina baru yang lebih unggul segalanya dari si Ucu.

Menjodohkan merpati adalah perkerjaan sangat gampang. Cukup diperlukan 3-7
hari dengan menyatukannya di sebuah rumah yang ditentukan dan diisolasi
sebagai rumah tetapnya, lalu tiap pagi dimandikan dan dijemur bersama
tentunya makan bersama pula. Udah deh, seminggu kemudian menjadi
perkawinan sempurna.

Namun, pengalaman tersebut sirna oleh sikap si Dasar yang nyaris tak
bergeming disatukan dengan betina baru yang serba unggul ini. Tak ada
tanda-tanda perubahan ke arah suka kepada betina baru ini meski sudah
sampai hari ke tiga. Yang ada adalah ekspresi diam atau tiba-tiba bergerak
gelisah seperti ingin pergi ke suatu tempat.

Ok deh saya nyerah, hari berikutnya saya lepaskan si Dasar dan saya ikuti
kemanapun dia mau. Beberapa hari ini tugasku hanya ingin berdua menemani
si Dasar, mungkin dia butuh teman curhat atau nyari seseorang yang bisa
memecahkan problemnya. Pada hari ke-8, kuamati lebih seksama gerakan tiap
jamnya, dan ternyata dia selalu menuju satu tempat dan murung disitu
seolah ingin menunjukkan sesuatu kepadaku dengan rasa pasrah. Mungkin dia
pasrah melihat tuannya yang dungu yang tak mampu membaca pikiran dan
keinginannya. Penasaran dengan apa yang ada, maka aku coba bongkar apapun
yang ada disitu, dan .... astagfirullah. .
rupanya ada seekor merpati lemas dalam keadaan setengah terkubur dengan
mata tertutup. Mataku terbelalak, rupanya si Ucu, betinanya si dasar.
astagfirullah 8 hari tanpa makan dan minum mungkin manusia sudah mati.

Saya segera memastikannya, dan alhamdulillah dia masih hidup, sambil saya
perhatikan dengan lirikan sudut pandang mataku nampak ekspresi kegembiraan
luar biasa dari si Dasar.
Si Dasar segera naik ke pundakku, begitu kebiasaaanya kalau lagi gembira
atau sekedar minta makanan dengan manjanya. Dia yang selalu mimpin merpati
yang lain untuk tidak takut makan langsung di tanganku.
Mungkin rasa cinta yang besar membuat si Ucu coba bertahan hidup di lorong
tsb, mungkin juga si Dasar mencoba menyemangati dan memberikannya harapan.
Kuamati seperti bekas muntahan makanan disekitarnya. (merpati biasanya
suka saling ngasih makan bahkan saat mereka bercumbu, tentunya berbeda
saat ngasih makan anak-anaknya) .

Subhanallah, dengan segenap kemampuannya, dengan segala keterbatasannya si
Dasar mencoba tidak menyerah untuk membantu betinanya yang terperangkap
dan terkubur di sela-sela tanah. Kisah dramatis macam apa yang hendak
Allah pertontonkan padaku? Si Dasar yang otaknya saja ngak nyampe sebesar
ujung kuku kelingkingku, rupanya punya rasa cinta yang jauh melebihi
ukuran badannya. Lama aku termenung.

Manusia yang suka menganggap jelek instink binatang mungkin mengambil
jalan pintas dengan menerima betina baru yang super segalanya dan
membiarkan si Ucu sekarat karena toh lagipula mustahil bisa menolongnya,
tak mungkin bisa menggeser barang yang menghimpitnya. Namun tidak demikian
dengan pikiran si Dasar. Dengan sedikit mikir dia percaya manusia bisa
diperbantukan.

Menakjubkan, 8 hari nyaris terkubur tanpa makan. Dalam keadaan sekarat
mereka mencoba saling menghidupkan semangat. Rasa cinta yang tulus
nampaknya menjadi sumber energi terbesar untuk tetap mencoba bertahan
hidup.

saya tahu si Dasar tidak bisa bilang langsung terima kasihnya dengan
ucapan. Namun dari ekspresi gerak tubuhnya nampak sekali ingin bilang kata
itu andai dia bisa. Dia bolak-balik antara naik pundak, memanjat kepalaku
dan lalu mengitari si Ucu isterinya dan tak ingin jauh-jauh dari posisi si
Ucu. Seolah memastikan dan ingin berteriak kepadaku dan seluruh komunitas
merpati, "isteriku masih hidup...isteriku masih hidup.."

Setelah saya treatment 3 hari untuk recovery tubuh si Ucu dengan treatment
kehangatan dan isolasi. Nampak hari-hari berikutnya adalah hari-hari
kebahagiaan buat pasangan si Dasar-Ucu.
perlahan tapi pasti tubuh si Ucu mulai bisa bergerak dan sudah mulai
belajar mengepak-ngepakan sayapnya. Belajar terbang dari nol lagi. Dengan
gerakan memutarnya si Dasar mengitari si Ucu seolah memberi semangat, ayo
isteriku, kamu pasti bisa. Meski dia juga siap menerima nasib barangkali
sayap isteriku memang sudah patah.
Sebagaimana pertama langit kuarungi bersamamu. ku ingin jejak terakhir
lukisan di langit juga bersamamu.

Hari-hari berikutnya si Ucu tambah bugar dan secara dramatis si Ucu sudah
bisa mengepakkan kedua sayapnya, dan mulai terbanglah mereka berdua
keangkasa tinggi dengan pluit nyaringnya bagai saat pertama mereka berdua
terbang.

Mungkin benar ungkapan merpati tidak pernah ingkar janji.
bahkan setelah saya jodohkan beberapa hari dengan betina lain si Dasar
lebih memilih mencari lokasi pasangannya dengan berjuang sekuat tenaga
atau meminta bantuan tenaga manusia demi menyelamatkan pasangannya dengan
menunggunya dengan penyelamatan yang sangat dramatis.

Saya yakin, banyak berinteraksi dengan binatang akan membangkitkan nilai
kemanusiaan yang hakiki. Kadang tidak mudah berkomunikasi dengan bahasa
mereka. Namun cinta adalah bahasa yang universal. Saya cukup bersedih
melihat anak sekarang kurang berinteraksi dengan binatang dan alam.
Bagaimana mungkin mengapresiasi cinta pada pohon beton. padahal ilmu dari
dunia binatang sangat berlimpah.

Hari itu Allah mengajariku makna cinta dari merpati dan saat si Dasar dan
si Ucu hinggap di kedua pundakku setelah terbang dari langit seolah si
Dasar berbisik lirih ke telingaku dan terucap janji manis "meski dengan
segala keterbatasan kemampuanku, takkan kubiarkan sayapmu terhempas... "

Tuesday, December 20, 2011

Jogja dan Pluralisme

Semua berawal dari tulisan Arif Budiman dan Nofrizaldi yang dimuat dalam situs www.lenteratimur.com tentang perlawanan masyarakat Yogyakarta terhadap terhadap wacana Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang beberapa waktu lalu sempat memanas. Ada sesuatu yang menarik tentang Yogyakarta. Nama awal Yogyakarta adalah Ngayogyakarta Hadiningrat, sebuah nama kesultanan yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) pada tahun 1755. Yogyakarta belakangan secara tak resmi juga umum disebut sebagai Jogja dan disatukan dengan tagline wisata yang menyertainya “Jogja, Never Ending Asia”. Saya mengikuti saran tulisan Arif Budiman untuk menyusuri jalan-jalan di Jogja dan menemukan banyak spanduk dan baliho yang pada intinya menginginkan ketetapan keistimewaan Jogja berlandaskan sejarah keistimewaannya. Spanduk dan baliho tersebut seolah menjadi pesan pengingat bagaimana sejarah Jogja menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sama halnya dengan Aceh, Jogja merupakan daerah dan kerajaan tersendiri yang telah berdaulat sebelum Indonesia merdeka hingga akhirnya menyatakan mendukung dan rela bergabung dengan Indonesia. Spanduk dan baliho ini merupakan simbol kecintaan mereka terhadap pemimpin dan daerahnya. Saya ingin mengetahui Jogja lebih dalam lagi, Jogja dalam pandangan warga asli dan pendatang yang bermukim di Jogja.

Rasa ingin tahu tersebut membawa saya berkenalan dengan penarik becak yang biasa mangkal di Stasiun Tugu Jogja. Wahyu namanya. Namun ia lebih dikenal sebagai Wahyu gondrong, ini karena rambutnya yang gondrong sepunggung. Menjelang malam, Wahyu biasa mangkal di dekat pusat angkringan kopi joss, bersebelahan dengan stasiun tugu Jogja. Kopi joss adalah minuman wisata khas jogja, kopi hitam yang ditambahkan bara arang. Suara joss dari bara saat dimasukan dalam kopi panas itulah yang nampaknya dijadikan nama minuman ini. Kabarnya kopi ini efektif untuk mencegah masuk angin. Saya selalu menyempatkan mampir ke tempat ini setiap kali singgah ke Jogja.

Wahyu orang Jogja asli. Gurat wajahnya mengabarkan usia empatpuluh tahun. Wahyu nampak senang dan bangga sebagai warga asli Jogja. Anak tertuanya kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Jogja diakuinya sebagai kota teraman. Satu hal yang menarik adalah bahwa Ia sangat menghormati sultannya, Sultan Hamengkubuwono X.

“Sultan itu mas, kalau ada kerusuhan tau-tau datang, entah datangnya dari mana, dengan kedatangan sultan masalahnya jadi beres, kadang-kadang kita tidak tahu kalau ada sultan di sekitar kita,” paparnya pada suatu malam. Barangkali terdengar mistis, namun itulah cara sederhana Wahyu dalam menyampaikan apa yang ia rasakan. Peran Sultan sangat terasa di Jogja.

Cerita ini mengingatkan saya pada Bung Karno yang pernah ‘menyamar’ menjadi warga biasa di Pasar Senen di malam hari atau Umar Bin Khattab yang biasa berkeliling malam melihat keadaan warganya. Saya membatin apakah sultan juga sering melihat warganya dengan membaur tanpa diketahui. Mengontrol ritme ketenteraman di Jogja.

Aman dan ramahnya Jogja ternyata bukan bualan warga asli Jogja. Carol Noreen Lolly, pengajar native Bahasa Inggris dari Maine Amerika pada Pusat Pelatihan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya UGM ini punya pengalaman lain tentang Indonesia dan Jogja. Carol seorang backpacker, maka ia memutuskan untuk ke Indonesia melalui jalan darat dan laut. Menyeberang dari Singapura dan berlabuh di sebuah pulau di Indonesia. Pengalaman buruk segera dialaminya. Seorang lelaki menguntitnya kemana pun ia pergi. Menginap di hotel melati yang kotor ditambah pemilik hotel yang mabuk berat. “Bad scenario,” kenangya.
Ia kaget melihat Indonesia dan hampir akan meninggalkan Indonesia hingga ia mengenal dan ‘tersangkut’ di Jogja.
“Saya sampai di Jogja dan mulai menyukainya, maka saya membeli sepeda motor dan tinggal disini. Sekarang kemana-mana saya memakai sepeda, motor sudah saya jual, saya suka Jogja,” katanya.

Jogja punya pemimpin yang dicintai rakyatnya dan ini telah berlangsung lama dan bergenerasi. Dalam catatan sejarah, di awal pendirian UGM, Sultan Hamengkubuwono IX meminjamkan ruangan keraton untuk ruang kuliah. Hingga saat ini, peran sultan tetap dirasakan manfaatnya oleh warga Jogja. Menurut Wahyu, Jogja adalah versi mininya Indonesia, semua suku ada di sini. Maka jangan heran jika kita dapat menemukan jenis makanan beragam di Jogja mulai dari Mie Aceh, bubur jagung Manado hingga papeda yang berbahan dasar sagu dari Timur Indonesia.

Sebagaimana umum terjadi, keragaman suku selalu memiliki potensi konflik. Namun sultan punya cara tersendiri menanganinya. Rudi Yusuf, Dosen Bahasa Jepang di Makasar yang pernah kuliah di Jogja menjelaskan peran sultan dalam menyelesaikan masalah. Pernah satu ketika di tahun 2007, terjadi pertikaian antar dua suku. Awalnya mereka bertemu di angkringan, saling pandang hingga terjadi perkelahian. Pertikaian meluas hingga saling serang antar asrama suku tersebut. Empat buah motor dibakar. Kerusuhan lebih besar siap terjadi, bala bantuan siap berdatangan menggunakan banyak bis. Sultan turun tangan. Perwakilan kedua suku dipertemukan, sultan ada di sana, dengan satu kalimat sederhana, persoalannya menjadi selesai.

“Jangan membuat kerusuhan di Jogja, kalau masih bertikai, kalian tak diizinkan belajar di Jogja, silahkan meninggalkan Jogja,” kenang Rudi menirukan sultan.

Kedua suku tersebut berdamai, empat buah motor yang dibakar diganti oleh pihak yang membakar. Ini menarik, sebab misalnya, di saat konsep restorative justice—­peradilan yang bersifat memulihkan para pihak—dikaji dan dikembangkan kriminolog John Braithwaite di Australia, di Jogja restorative justice sudah dilakukan.

“Sultan orangnya lembut tapi tegas,” lanjut Rudi. Rudi mengaku banyak belajar berinteraksi di Jogja.
“Di daerah saya, menatap mata itu merupakan hal yang harus dihindari karena dapat dianggap menantang, tapi di Jogja ternyata orang biasa menatap mata, saling sapa dan tersenyum, Jogja telah mengubah cara pandang saya,” kenang Rudi.

Rudi tidak berlebihan, suatu saat jika mampir ke Jogja, singgahlah di suatu tempat dan anda akan merasakan keramahan Jogja di tengah keberagaman.

Friday, December 16, 2011

Kisah Saljuku yang Pertama

Ini tulisan refreshing, ini tulisan yang easy reading saja, tentang salju pertama dalam hidupku. Melatih kembali otak dan jari-jari yang mulai kaku menari di atas keyboard.
Alhamduillah per 14 Oktober 2011 aku diberikan kesempatan olehNya mengunjungi sisi lain bumi ini, Kanazawa. Kanazawa adalah ibu kota Prefektur (Provinsi) Ishikawa, salah satu prefektur di Jepang. Kota yang ramah dan dikenal dengan kekayaan budayanya. Aku tiba menjelang winter (musim salju), jadi bisa melihat tahapan turunnya salju. Hari ke hari temperatur di Kanazawa semakin turun, dari 16 derajat celcius ke 11, 6, 4,1.
Suatu hari entah di suhu berapa gerimis turun di kampus. Menakjubkan, tetesan air berubah menjadi es-es kecil yang berpelantingan saat menyentuh aspal yang dingin, mengingatkanku akan Bandung dua puluh tahun lalu.
Ira Taskirawati, rekan dosen dari Universitas Hasanudin mendebatku, “Itu bukan hujan salju itu hujan es, belum salju kang Ferry anu kasep sa Wakunami! Wakunami adalah nama daerah tempat apato (apartemen) kami berada. Menjelang malam menuju apato, kumpulan kecil es nampak memenuhi jas hujan yang kusimpan di keranjang depan sepeda. Kucicipi segenggam kecil kumpulan es tadi. Segar. Kurasa aku mulai menyukai kota ini.
Hari-hari berikutnya hujan es mulai sering, jika sedang naik sepeda menuju kampus, rasanya seperti dilempari kerikil2 kecil yang dingin, seru, apalagi jika sudah kena telinga, peureus (bahasa sunda, yang susah dicari padanan katanya, apa ya, peureus tuh rasa seperti habis disintreuk/disentil).
Kami berpikir ini mungkin cara pemilik bumi ini mendesain temperatur secara bertahap, salju tidak ujug2/tiba-tiba datang sehingga tubuh kita bisa beradaptasi dengan suhu menuju 0 derajat hingga minus secara bertahap. Apalagi orang Indonesia seperti kami, perlu adaptasi menghadapi salju, tapi menurut Acep Purqon—dosen ITB-Kanazawa University yang sudah kami anggap kakak sendiri, meski Ianya belum tentu mau menganggap kami adik -- orang Indonesia adalah orang yang paling mudah beradaptasi di Jepang dibanding orang dari negara lain. Kemampuan adaptasi itu memang saya lihat sendiri, Insafitri, rekan dosen dari Universitas Trunojoyo leluasa masuk dapur orang-orang Jepang karena keluwesan dan kemampuan memasak masakan Indonesia, salah satu sensei (dosen) pernah minta diajari masak masakan Indonesia. Insafitri mengklaim mereka menyukai masakannya , tapi memang sejauh saya mencicipi masakannya, memang selalu enak. Di Jepang cuma ada 2 rasa: enak dan enak banget (ini menurut Astrit ‘Acit’ atau siapa saya lupa, teman-teman Double Degree ITB-Kanazawa Univ, dan memang ternyata demikian, hanya ada 2 rasa).
Balik lagi ke salju, setelah beberapa kali hujan es kecil, meski sebentar, salju akhirnya turun di malam hari setelah kami latihan tari Lulo (Sulawesi Tenggara) untuk pertemuan dengan perhimpunan persahabatan Jepang Indonesia (komunitas orang Jepang penyuka Indonesia). Seperti anak kecil bermain hujan semua gembira menyambut salju, ada yang menjulurkan lidah menyambut salju, ada yang mengumpulkan di sarung tangan dan mencicipinya. Sepanjang jalan pulang dari tempat latihan diselingi dengan sesi foto-foto. Tapi sejak saat itu salju tak pernah turun lagi selama seminggu.
Kami sudah mulai terbiasa dengan dingin. Hingga akhirnya butiran lembut putih itu datang lagi kemarin (16/12/2011). Aku di depan laptop di ruanganku di lantai 3. Yahoo Messenger berkedip. Gemala Anjani, rekan dosen pakar nutrisi dari Undip.
“Pulang kapan kang?”
“Masih lama, mau ke perpus perpanjang buku”
“Pulangnya jalan aja sih, hujan salju loh”

Segera kuhampiri jendela dan menyibakan tirai, subhanallah, putih menyelimuti pepohonan, jalan dan genting bangunan di bawah! Salju!

Urusan buku selesai. Janjian dengan Ema, di gedung Natural Science and Technology. Simbiosis mutualisme sebenarnya. Ia perlu teman jalan, saya perlu kamera Iphonenya dan berbaur dengan keajaiban alam ini. Kami bersepakat tentang dua hal. Pertama, suasananya sangat sempurna, malam, jalan, hujan salju, sangat indah. Kedua, Ema dan saya mengurangi kesempurnaannya . Aku menginginkan yang berjalan di sampingku adalah Dewi Wahyuni, ibu dari anak-anaku, tapi yang ada malah Ema . Ema menginginkan seseorang lain (yang belum jelas ) berjalan di sampingnya. Kami mengukir masing-masing nama itu di salju. Aku dan istriku, nampak romantis. Ema dan ***, nampak norak . Siapapun suami Ema kelak, orang Jepangkah, Indonesiakah, aku akan ikut merasa senang. Kami semua disini sudah seperti saudara, sudah biasa saling menghibur dan menghina.

Display di pinggir jalan menunjukan 0 derajat celsius! Dalam dunia hitung-hitungan yang kuingat di SMA, 0 derajat celsius adalah titik beku sementara 100 derajat celcius adalah titik didih.

Aku menyukai salju sebagaimana ia menyukaiku. Kadang ia kumakan dengan dua cara: lembut dan keras. Jika menginginkan salju lembut sapu saja dengan telapak tanganmu, langsung makan. Rasanya sama dengan seperti menyapu butiran salju di freezer kulkas kita. Sejak kecil aku suka makan kerokan butiran es di freezer. Kebiasaan itu diikuti dan disukai Aisyah, putri keduaku yang berumur 2 tahun, Ia suka makan es dari freezer, ekspresinya saat makan butiran es lembut sangat lucu. Kalau istilah Jawanya ngangeni. Cara kedua makan salju adalah dengan dipadatkan dalam genggaman tangan. Ini bisa seperti kue, aku menyebutnya kue salju. Bunyi krek saat kue salju digigit mirip dengan kue lebaran putri salju. Kue salju ini mirip es geprok yang dijual di SD-SD jaman dulu. Gusrukan/parutan es batu yang dipadatkan dengan cetakan batok kelapa kecil segenggaman tangan lalu dilumuri sirup merah, kuning atau oranye (udah lama gak pakai kata oranye  karena mulai digantikan dengan orange (orenj.pen)). Jenis es geprok ini juga ternyata ada di India juga sebagai jajanan jalanan. Kalau anda pernah nonton Tare Zameen Par (Every Child is Special/little star in the earth) yang disutradarai Aamir Khan, anda akan menemukannya dalam babak saat Ihsan membolos sekolah dan melihat semua aktifitas hiruk pikuk manusia dan keindahan alam. Ini film bagus, inspiratif, highly recommended.

Di apato aku dan Irfan Prasetia (dosen Univ Lambung Mangkurat), teman apatoku, girang bukan main, seperti anak kecil melihat mainan seru, melemparku dengan bola salju, agak kurang ajar memang, tapi sebagai 'kakak' (untuk tidak menyebut yang lebih tua:) aku harus bersabar menemaninya bermain. Tiduran di atas salju dan memandang salju yang turun dari langit adalah keasyikan tersendiri. Indah sekali, sayang begitu menengok yang di sebelah bukan Dewi Wahyuni, tapi Irfan Prasetia :) Piss Pak Irfan.

Di musim salju, mobil2 berjalan lebih pelan karena resiko tergelincir. Bannya pun khusus ban yang didesain menghadapi salju, lebih banyak guratannya. Dalam kondisi ekstrim ban dilapisi rantai.
Jepang punya 4 musim: Winter, Sring, Summer, Autumn (Kalau di-Indonesiakan bebas menjadi musim salju, semi, panas dan gugur). Rudy Yusuf rekan dosen sastra dan antropolog Univ Hasanudin menyarankan berfoto di satu tempat yang sama di 4 musim yang berbeda agar bisa terlihat perbedaannya. Aku, Rudy Yusuf, Herlambang Saputra (Poltek Univ Sriwijaya), dan Irfan telah memilih tempat dan berfoto di salah satu bangku taman kampus dengan latar autumn, saat daun-daun mulai memerah dan berguguran. Idenya seperti dalam cover album Guns N Roses yang sedang duduk dan menulis lirik lagu, agak norak memang.
Aku berencana bermain ski di winter ini. Rido Lesmana, sobat SMA yang tinggal di Jepang dan mencintai negeri ini (berikut orangnya  (Ia kemudian menikah dengan Asami dan tinggal di Chicibu, Prefektur Saitama)), menanyakan arena ski di Kanazawa. Ada satu di Kigoyama, tempatnya bagus, Jika ada kesempatan mungkin kami bisa bertemu.
Tulisan ini harus disudahi, aku ingin mencoba sepatu bootku di salju. Hmmm.. beruntunglah menjadi orang Indonesia, karena kita diberikan kemudahan beradaptasi. Semua makanan bisa kita makan disini kecuali yang diharamkan untuk dimakan. Miss Komatsu teman ruanganku belakangan bersyukur saat melihatku makan kerupuk Jepang dan berbagi dengannya. Dari awal ia sebenarnya ingin menawarkan makanan Jepang padaku tapi khawatir karena ada larangan yang ia tidak terlalu hapal. Lalu kukatakan aku pemakan segala, semacam omnivora, kecuali babi, sake, wine, bir, ayam dan hewan yang tidak disembelih dengan cara Islam, untuk segala jenis flora dan fauna di laut aku bisa makan semuanya . Ada pepatah asing bagus yang mirip dengan “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yakni “when you in Rome, do as Romans do,” (thanks to Miss Dolok (rekan Udayana) yang telah berhasil menggali pepatah ini dari Carol (Native dari Maine, U.S)). Jadi semua makanan Jepang bisa kumakan sejauh tidak diharamkan .
Kali ini benar-benar akan disudahi. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan, jadikan kami mahluk yang bersyukur, seperti salju yang menuruti perintah untuk turun ke bumi. Selamat datang salju, yokoso yuki!
***
*Judul tulisan ini terinspirasi dari lagu Vina Panduwinata tentang surat cinta dengan sedikit perubahan, judul awalnya bukan ini, sudah saya edit karena terlalu panjang. Judul awalnya “Kisah saljuku yang pertama, membuat hatiku meronta, seperti melodi yang indah, butir-butir saljunya”

Sunday, October 23, 2011

Kansai Airport



14 Oktober 2011 pukul 8.45 saya bersama 15 teman lainnya sampai di Kansai Airport (dari Bandara Soekarno Hatta pukul 20.00 malam, transit di Ngurahrai untuk terbang lagi pukul 00.45 14 oktober 2011). Kansai tak begitu ramai. Turun dari pesawat kami menuju kereta bandara tanpa awak dan tak bersuara (halus). Beberapa teman menyempatkan ke toilet sebelum naik kereta. Kereta berpintu otomatis tersebut mengantarkan kami menuju ruang utama bandara. Ada 2 form keiimigrasian yang harus kami isi untuk diserahkan di dua pos bandara. Form tersebut dibagikan di dalam pesawat menjelang landing (jangan khawatir jika hilang, sebab di bandara masih ada persediaan form yg bisa diambil) Pos pertama pemeriksaan paspor dan form 1 diberikan, telunjuk kiri kanan dan mata kita dipindai di pos ini. Berikutnya kemudian kami mengambil barang bagasi, lalu melewati pos 2, form berikutnya kita serahkan di sini. Keluar pemeriksaan keimigrasian polisi Jepang menghampiri dengan ramah dan meminta menunjukan paspor (semacam inspeksi mendadak, beberapa data dalam paspor dicatat). Komandan polisinya ternyata fasih berbahasa Indonesia karena pernah berada di mabes polri untuk beberapa waktu dalam rangka menerangkan sistem kepolisian di Jepang. Kansai Airport tidak begitu ramai, bahkan jika dibandingkan dengan Soekarno Hatta masih kalah luas. Mungkin di Bandara Narita Tokyo lebih luas dan ramai. Ada vending machine, mesin swalayan penyedia minuman ringan kalengan dan botol plastik. Pada umumnya harganya sekitar 100 hingga 150 yen (kurang lebih 10 hingga 15 ribu rupiah). Uang pecahan yang bisa digunakan di mesin ini adalah koin 10,50,100 dan 500 yen (uang pecahan yen sisanya adalah 1 dan 5 yen). Mesin ini juga menerima pecahan kertas 1000 yen (pecahan kertas terdiri dari 1000, 5000 dan 10.000, kecuali jika ada di atas 10.000, tapi saya belum pernah lihat selama di Jepang). Konon kabarnya Kansai Airport awalnya adalah laut yang kemudian diurug menjadi Bandara. Abdul Hamid, teman yang sudah ke Jepang dua kali pernah menulis tentang ini. Herlambang Saputra, rekan saya dari Palembang mengafirmasi informasi tersebut, bahkan ia memiliki film youtube pembangunan Bandara Kansai. Ini perjalanan terburuk saya sebagai traveler. Biasanya jika saya akan ke suatu tempat yang baru, pasti saya selalu well-prepared, menyiapkan barang bawaan dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang tempat tersebut. Kompas penunjuk kiblat yang biasa disiapkan bahkan luput dari perhatian dan terlewatkan. Kali ini sama sekali blas, waktu yang mepet dan persoalan administrasi dokumen beasiswa dan lain-lain membuat saya tak memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan ini itu, beruntung istriku, Dewi, membantu packing semua barang (baju, makanan dll) dalam 2 tas. Ia sebenarnya akan membawa 1 tas lagi, tapi khawatir lebih dari 30 kilo dalam bagasi dan kena charge jadi banyak bahan kebutuhan yang saya tinggalkan. Ternyata total kopor saya yang masuk bagasi hanya 13 kilogram  masih banyak jatah tersisa. Di Ujung utara Bandara Kansai Nishida Asako sudah menunggu. Asako adalah staf dari International Student Affairs Division Kanazawa 7 yang menjemput kami dengan bis. Harga charter bisnya 7000 yen/orang (sekitar 700 ribu lebih). Beberapa kopor kami dikirim melalui jasa pengiriman barang yang ada di Bandara karena kapasitas ruang barang bis yang terbatas. Saya membayar 1890 yen untuk jasa kirim kopor saya, sementara ransel dan satu tas lain berisi mie instan dan saos sachet ikut dengan saya ke Bis. Sebelum naik bis saya menyempatkan ke toilet. Bersih dan serba otomatis berbasis sensor. Kran wastafel akan mengalir saat kita menyodorkan tangan, begitupun dengan busa sabunnya. Pengering tangannya agak berbeda dengan kebanyakan di Indonesia, dibuatnya selaras dengan sifat air, mengalir ke tempat rendah, jadi jari tangan kita menghadap ke bawah dan perlahan kita tarik ke atas, angin dari mesin akan menjatuhkan air ke bawah sering tangan yang kita tarik ke atas.
Jarak dari Kansai Airport ke Kanazawa ternyata cukup jauh, 5 jam perjalanan bis. Kanazawa sebenarnya memiliki Airport, tetapi hanya untuk penerbangan domestik di Jepang. Bersambung...

Kansai Air port.
14 Oktober 2011 pukul 8.45 saya bersama 15 teman lainnya sampai di Kansai Airport (dari Bandara Soekarno Hatta pukul 20.00 malam, transit di Ngurahrai untuk terbang lagi pukul 00.45 14 oktober 2011). Kansai tak begitu ramai. Turun dari pesawat kami menuju kereta bandara tanpa awak dan tak bersuara (halus). Beberapa teman menyempatkan ke toilet sebelum naik kereta. Kereta berpintu otomatis tersebut mengantarkan kami menuju ruang utama bandara. Ada 2 form keiimigrasian yang harus kami isi untuk diserahkan di dua pos bandara. Form tersebut dibagikan di dalam pesawat menjelang landing (jangan khawatir jika hilang, sebab di bandara masih ada persediaan form yg bisa diambil) Pos pertama pemeriksaan paspor dan form 1 diberikan, telunjuk kiri kanan dan mata kita dipindai di pos ini. Berikutnya kemudian kami mengambil barang bagasi, lalu melewati pos 2, form berikutnya kita serahkan di sini. Keluar pemeriksaan keimigrasian polisi Jepang menghampiri dengan ramah dan meminta menunjukan paspor (semacam inspeksi mendadak, beberapa data dalam paspor dicatat). Komandan polisinya ternyata fasih berbahasa Indonesia karena pernah berada di mabes polri untuk beberapa waktu dalam rangka menerangkan sistem kepolisian di Jepang. Kansai Airport tidak begitu ramai, bahkan jika dibandingkan dengan Soekarno Hatta masih kalah luas. Mungkin di Bandara Narita Tokyo lebih luas dan ramai. Ada vending machine, mesin swalayan penyedia minuman ringan kalengan dan botol plastik. Pada umumnya harganya sekitar 100 hingga 150 yen (kurang lebih 10 hingga 15 ribu rupiah). Uang pecahan yang bisa digunakan di mesin ini adalah koin 10,50,100 dan 500 yen (uang pecahan yen sisanya adalah 1 dan 5 yen). Mesin ini juga menerima pecahan kertas 1000 yen (pecahan kertas terdiri dari 1000, 5000 dan 10.000, kecuali jika ada di atas 10.000, tapi saya belum pernah lihat selama di Jepang). Konon kabarnya Kansai Airport awalnya adalah laut yang kemudian diurug menjadi Bandara. Abdul Hamid, teman yang sudah ke Jepang dua kali pernah menulis tentang ini. Herlambang Saputra, rekan saya dari Palembang mengafirmasi informasi tersebut, bahkan ia memiliki film youtube pembangunan Bandara Kansai. Ini perjalanan terburuk saya sebagai traveler. Biasanya jika saya akan ke suatu tempat yang baru, pasti saya selalu well-prepared, menyiapkan barang bawaan dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang tempat tersebut. Kompas penunjuk kiblat yang biasa disiapkan bahkan luput dari perhatian dan terlewatkan. Kali ini sama sekali blas, waktu yang mepet dan persoalan administrasi dokumen beasiswa dan lain-lain membuat saya tak memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan ini itu, beruntung istriku, Dewi, membantu packing semua barang (baju, makanan dll) dalam 2 tas. Ia sebenarnya akan membawa 1 tas lagi, tapi khawatir lebih dari 30 kilo dalam bagasi dan kena charge jadi banyak bahan kebutuhan yang saya tinggalkan. Ternyata total kopor saya yang masuk bagasi hanya 13 kilogram  masih banyak jatah tersisa. Di Ujung utara Bandara Kansai Nishida Asako sudah menunggu. Asako adalah staf dari International Student Affairs Division Kanazawa 7 yang menjemput kami dengan bis. Harga charter bisnya 7000 yen/orang (sekitar 700 ribu lebih). Beberapa kopor kami dikirim melalui jasa pengiriman barang yang ada di Bandara karena kapasitas ruang barang bis yang terbatas. Saya membayar 1890 yen untuk jasa kirim kopor saya, sementara ransel dan satu tas lain berisi mie instan dan saos sachet ikut dengan saya ke Bis. Sebelum naik bis saya menyempatkan ke toilet. Bersih dan serba otomatis berbasis sensor. Kran wastafel akan mengalir saat kita menyodorkan tangan, begitupun dengan busa sabunnya. Pengering tangannya agak berbeda dengan kebanyakan di Indonesia, dibuatnya selaras dengan sifat air, mengalir ke tempat rendah, jadi jari tangan kita menghadap ke bawah dan perlahan kita tarik ke atas, angin dari mesin akan menjatuhkan air ke bawah sering tangan yang kita tarik ke atas.
Jarak dari Kansai Airport ke Kanazawa ternyata cukup jauh, 5 jam perjalanan bis. Kanazawa sebenarnya memiliki Airport, tetapi hanya untuk penerbangan domestik di Jepang. Bersambung...

Sunday, May 29, 2011

Trafficking di Sekitar Kita

Bu Ana, guru listening class kami di Pusat Pelatihan Bahasa UGM menawarkan sebuah film untuk diputar di kelas listening. Judul filmnya Taken. Saya sebenarnya sudah pernah nonton film ini namun tidak utuh, hanya mulai dari pertengahan film. Seperti tipikal film hollywood pada umumnya, film ini juga sempat menyisipkan terma hisbullah/hezbolah, dan sejenisnya. Genre film ini action. Full action. Filmnya menceritakan tentang seorang Ayah yang berusaha menyelamatkan Kim, puterinya yang berusia 17 tahun dari trafficking, perdagangan perempuan. Awalnya Kim berlibur ke Paris, di sana ia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang terlibat sindikat perdagangan perempuan. Kim diculik dan diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual. Filmnya bagus, full body contact. Mengharukan, mengaduk emosi. Nah, saya tidak akan menceritakan tentang filmnya, tetapi sebuah peristiwa yang mirip dengan kisah tersebut. Sebuah perdagangan perempuan yang terjadi di sini, di Indonesia. Tepatnya di Provinsi Lampung.
***
Penghujung September 2003, rapat proyeksi untuk rubrik sorotan tabloid pers mahasiswa Teknokra Unila saat itu tak berlangsung alot seperti biasanya. Pasalnya salah satu ide yang diangkat mengalahkan ide lainnya dengan mudah, trafficking di Lampung. Informasi awal mengabarkan Lampung merupakan daerah transit trafficking (belakangan juga menjadi daerah sumber) sebelum sampai di daerah tujuan. Daerah tujuan beragam, tapi umumnya berlabuh di Batam atau Bangka, di dekat pertambangan Timah. Ada beragam tujuan trafficking tapi yang mencuat saat itu adalah trafficking dengan tujuan eksploitasi seksual, dijadikan pekerja seks di kafe-kafe pertambangan dll. Umumnya calon korban diiming-imingi pekerjaan di suatu tempat, hingga kemudian korban tersebut di dan terjebak di bisnis prostitusi.

Tulisan rubrik sorotan ditetapkan, Trafficking di Lampung. Titik-titik kejadian telah diketahui. Saya dan Eka sebagai penulisnya segera membentuk tim reportase. Disebar pada berbagai daerah titik kejadian. Eka Tiara Candrananda adalah pengusung ide tulisan. Mahasiswi sosiologi yang juga bekerja di Damar, NGO yang concern pada advokasi perempuan. Ia satu angkatan dengan saya di Teknokra. Orangnya rame, sedikit cerewet, susah menyeberang jalan dan takut gelap.

Saya dan Eka meluncur ke Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Tanjung Bintang adalah daerah industri yang berada jauh di pinggir kota. Berbagai pabrik ada di sana: Coca Cola, pengalengan kepiting. Perkebunan karet milik PTPN juga ada di sana. Kami mendapat informasi ada dua korban trafficking di sana Yantri dan Bunga. Oktober 2003 kami meluncur ke rumah Yantri setelah nyasar beberapa kali. Ayahnya petani kampung pada umumnya. Kami didampingi Ayah dan Yanto anak lelakinya. Keduanya menceritakan tentang hilangnya Yantri.

Sudah satu minggu Yantri tak pulang ke rumahnya di Desa Pal Putih Simpang. Ayahnya mulai resah dan mencari tahu kemana perginya. Ia sempat mencari ke daerah Desa Pening (sebuah desa di daerah utara Tanjung Bintang) karena mendengar ada orang di daerah Pening yang suka mencari orang untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Yantri ternyata bukan satu-satunya gadis yang menghilang, Linda, warga Desa Sindang Sari juga menghilang. Pal Putih Simpang bersebelahan dengan Desa Sindang Sari.
Yanto, kakak Yantri bersama paman Linda, mencoba mencari keduanya. Seorang tetangga mengatakan Yantri terlihat bersama Purwansih, perempuan tetangga kampung usia 40-an. Yantri tak pernah pamit, tetapi Yantri pernah mengatakan akan bekerja di sebuah restoran di Serang Banten melalui jasa Purwansih. Yono curiga dan berfirasat buruk karena Purwansih dikenal sering mencari orang untuk bekerja di tempat pelacuran. Yanto pernah menderngar Purwansih mengirimkan Neni anak Pak Kardi yang juga warga Sindang Sari Lampung Selatan ke Prabumulih. Yanto mendesak Purwansih yang awalnya mengelak hingga akhirnya mengaku bahwa Yantri dan Linda sekarang berada di Prabumulih Sumatera Selatan.

Awalnya pada September 2003 Yantri dijanjikan pekerjaan di pabrik sepatu dan restoran di daerah Serang Banten oleh Purwansih. Yantri mengajak Linda, teman dan tetangga desanya. Masih sekitar awal September 2003 pukul 09.00, keduanya telah berada di rumah Purwansih dan berangkat dengan kereta menuju Prabumulih Sumatera Selatan bukan daerah Jawa seperti yang dijanjikan sebelumnya (Adanya unsur penipuan ini kemudian dibantah Purwansih, menurutnya Yantri dan Linda telah diberitahu sebelumnya bahwa pekerjaannya adalah menjadi PSK di Prabumulih dan korban tak berkeberatan). Di Prabumulih tiba sekitar pukul 19.00, dan langsung menuju Jalan Simpang Penimur tempat Kafe Nadya (pengelola kafe) berada, setelah korban dipertemukan dengan Nadya, Purwansihpun kembali ke Tanjung Bintang, Ia mendapat imbalan Rp 500 ribu dari Nadya. Menurut Purwansih Rp 250 ribu untuk ongkosnya pulang, Rp 250 ribu lainnya atas jasanya mendapatkan korban untuk Nadya. Di Prabumulih Yantri dan Linda bekerja di sebuah kafe yang memiliki beberapa kamar untuk praktek prostitusi milik Nadya. Berbeda dengan Kim dalam film Taken yang diselamatkan Ayahnya dari hidung belang, Yantri dan Bunga terjebak dan terpaksa ‘melayani’ tamu-tamu kafe.

Segera setelah tahu Mawar berada di Prabumulih, Yanto, paman Linda dan Purwansih menuju Prabumulih untuk menjemput korban. Tragis, Yanto bertemu Yantri dan Linda di sana namun keduanya tak dapat dibawa pulang karena harus ditebus seharga Rp 2,5 juta. Yanto tak dapat berbuat apa-apa, kafe itu dijaga lelaki cepak berbadan tegap yang selalu mendampingi Nadya. Nadya mengenalkan lelaki tesebut sebagai ‘anggota’. Ini bukan film Taken, Yanto tak dapat bertarung melawan semua orang di situ seorang diri. Dengan hampa, ketiganya kembali ke Tanjung Bintang, karena kesal, paman Linda memukul Purwansih di depan rumah Linda di Pal Putih Simpang, Tanjung Bintang Lampung Selatan dan warga yang memang sudah berkerumun ikut ‘menghakimi’ Purwansih. Purwansih selamat setelah Effendi seorang hansip, melaporkan kejadian pada Syafe’i, kepala desa Purwodadi Tanjung Bintang Lampung Salatan. Syafe’i bersama hansip dan keluarga korban akhirnya membawa Purwansih untuk diserahkan ke Kepolisian Sektor Tanjung Bintang Lampung Selatan. Ayah Yantri dan Ayah Linda akhirnya meminta bantuan dan memberikan sejumlah uang pada Kepolisian Sektor Tanjung Bintang agar dapat membawa kembali korban dari Prabumulih. Ayah Yantri mengaku telah habis Rp 1,2 juta untuk penebusan Yantri. Akhirnya Purwansih mendekam di sel tahanan Polsek Tanjung Bintang. Meski terorganisir, melacak dan menemukan pelaku trafficking bukanlah perkara sulit. Kesulitan justru ada dalam persoalan internal. Minimnya anggaran penanganan perkara adalah salah satunya. Dalam praktek, terkadang korban harus terpaksa ikut membiayai pengusutan perkara.

Saya dan Eka meluncur menuju Polsek Tanjung Bintang. Kami diterima Kapolsek Tanjung Bintang dengan baik. Ia mempersilahkan kami menemui Purwansih di tahanan Polsek Tanjung Bintang. Purwansih dan menceritakan semua kejadiannya dan mengaku kapok menjadi makelar pencari calon PSK. Ia tidak menyangka akan berakhir seperti ini, dipukuli, dijerat Pasal 506 KUHP (mucikari) dan mendekam di tahanan. Saya tak bisa membayangkan ada manusia yang tega menjual manusia untuk dijadikan pelacur. Apa yang ada di pikirannya?

Tulisan untuk rubrik sorotan tak pernah jadi. Liputan kami hentikan. Miskalkulasi dana membuat kami tak bisa terbit satu edisi. Tanggal 26 dan 27 April 2005 saya kembali mewawancarai pihak korban dan meminta Ayah Yantri dan Ibu Linda untuk menjadi responden dalam skripsi saya. Saya sempat bertemu Yantri saat mewawancarai Ayahnya. Yantri saat itu (2005) berumur 19 tahun dan hanya bersekolah hingga tahap sekolah menengah pertama (SMP). Kini Yantri bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan rumput laut di Tanjung Bintang. Sementara Linda bekerja di Jakarta. Saya menghargai keluarga Yantri untuk tak menemuinya. Meminta Yantri menceritakan kembali kisah pahit sebagai korban eksploitasi seksual sama saja seperti memperkosanya kembali.

Trafficking, perdagangan perempuan dan anak ada, dan masih ada di luar sana hingga saat ini. Tujuan trafficking tidak hanya untuk eksploitasi seksual, tapi juga penjualan organ tubuh, dan pengantin pesanan. There are always good guys and bad guys out there. Jangan berdoa agar hidup semakin mudah, berdoalah agar kita semakin tangguh menjalani hidup ini.

*beberapa nama dalam tulisan ini sengaja disamarkan.

Wednesday, May 18, 2011

Syifa, Aisyah, Kemarilah. Kakekmu, Aman Sukarso, Mengalami Apa yang dalam Ilmu Hukum Pidana disebut Sebagai Rechterlijke Dwaling, Kesesatan Hakim.

Bismillahirohmanirrohiim. Syifa, Aisyah, mari sini, kuceritakan tentang sebuah kasus hukum yang menimpa kakekmu. Sebuah sejarah dalam keluarga kita. Sebuah tragedi sekaligus kekonyolan dalam Hukum di Indonesia. Hari itu hari Jumat, tepatnya 7 Januari 2011 saat kulihat kakek kalian, Aman Sukarso (kalian menyebutnya Babah) tampak lelah dan tak bersemangat. Tak pernah aku melihatnya semuram itu. Saat makan siang kutanyakan kenapa, apakah ada persoalan di KONI tempatnya bekerja atau ada persoalan lain? Ia benar-benar tak bersemangat bahkan sekadar untuk bercerita. Ia malah menanyakan rencanaku ke Baduy dalam rangka verifikasi hasil penelitian tesis sebelum dikonversi menjadi sebuah buku. Sabtu keesokan hari memang aku berencana ke Baduy, namun diundur ke Ahad 9 Januari 2011 karena belum ada kepastian dari seorang kawan di Baduy.
***
Malam menjelang kepergianku ke Baduy, kakekmu memanggilku untuk bicara berdua. Di ruang makan ia bicara dengan perlahan.
“Nampaknya ujian buat Apa (panggilan akrab kakekmu), buat kita belum berakhir. Jumat pagi ada orang dari Pengadilan Negeri Serang mengantar kutipan putusan kasasi dari Mahkamah Agung.”
“Apa udah senang, karena putusan kasasi Pak Rivai bebas, tapi pas ngeliat suratnya, masya Allah!”
Syifa, Aisyah, firasatku langsung tak nyaman. Pak Rivai yang disebut diatas adalaj Pjs Bupati Serang yang didakwa dengan pasal yang sama atas perkara yang sama, namun berkasnya dipisah.

Kakekmu lalu menceritakan bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung telah menyatakan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi. Hukuman yang dijatuhkan 5 tahun penjara dan denda 200 juta subsider 6 bulan pidana kurungan! Aku kaget bukan main. Tak bisa berkata-kata. Otakku berputar cepat mengarah pada Majelis Hakim Mahkamah Agung. Siapa Majelis Hakimnya? Ada apa? Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka musyawarahkan sehingga putusannya bisa seperti itu? Bagaimana putusannya bisa seperti itu? Aku benar-benar ingin tahu dan membayangkan apa yang terjadi pada hari diambilnya keputusan tersebut.

Sebabnya sederhana, aku mengetahui benar duduk perkaranya, menanyakan pada banyak orang yang terkait dengan persoalan tersebut tentang apa yang terjadi dan bagaimana itu terjadi? Aku bertanya pada Bu Mamah, bendahara yang mengeluarkan uang, Pak Toto Suharto kepala BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah), orang-orang di Dinas PU Serang: Pak Hidayat; Pak Suherman, bahkan aku menemui Haji Aep dan Suminta Sekjen Pendekar Banten yang dekat dengan pihak rekanan PT Sinar Ciomas Raya Contractor. Hasilnya sangat jelas dan gamblang, kesemuanya konsisten dan tidak ada kontradiksi. Hingga pada hari persidangan di tingkat pertama pengadilan negeri Serang semua kebenaran mulai terkuak, kebenaran yang nampaknya tidak dimunculkan oleh penyidik dan penuntut umum. Bahkan semua saksi ahli dari pihak jaksa penuntut umum berbalik meringankan dan memperjelas posisi kakekmu, termasuk saksi ahli dari BPKP Anggiat Tupal Pakpahan. Akan kuceritakan lebih detail bagaimana itu terjadi.

Kasus ini sebenarnya sederhana dan terang, namun dibuat rumit dan gelap karena ada dua berkas penting yang tidak dimunculkan oleh pihak penyidik dan penuntut: Rencana Definitif dan Surat Perintah Membayar Nihil (SPM Nihil). Di persidangan tingkat pertama PN Serang semuanya menjadi jelas. Kakekmu kemudian divonis bebas pada 13 November 2008, empat hari setelah nenekmu yang bersahaja, Aan Mulianah, meninggal dunia. Pada suatu sore, di sisi nisan di akhir do’a, kubisikan pada nenekmu, “Apa bebas mah”.

Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Aku berusaha bersabar saat membaca memori kasasi dari JPU. Seperti sebuah mainan puzzle, beberapa bagiannya yang telah jelas kembali tak dimunculkannya.

***
Semuanya berawal saat kakekmu mulai ditahan pihak Kejaksaan Tinggi Banten (Kalian bisa membaca kisahnya dalam tulisan berjudul The Call dalam blog ini untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk kronologis peristiwa). Penahanan kakekmu sendiri sebenarnya mengandung kecacatan hukum formal (lihat dalam tulisan Konfirmasi ke Kejati dalam blog ini, sebuah surat yang kukirimkan pada Kajati Banten). Sejak kakekmu ditahan aku mendalami kasus ini, menemui banyak orang, saksi-saksi dalam peristiwa tersebut, bertanya, mencatat, mengumpulkan dan membaca surat-surat. Dari penelusuran tersebut diketahuilah cerita lengkapnya:

Awalnya Pemkab Serang mendapatkan kawat (surat) dari pemerintah pusat (setneg) tahun 2004 yang memberitahukan Presiden Megawati akan datang ke Serang dalam rangka meresmikan Rau Trade Center (RTC). Adalah Kadin Banten yang mengundang kedatangan presiden untuk peresmian tersebut (Kesaksian mantan Bupati Serang Alm. Bunyamin di persidangan). Atas kawat tersebut Pemkab Serang kemudian mengundang DPRD Serang, DPRD Banten dan Pihak Propinsi Banten. Pada dasarnya membahas persoalan infrastruktur akses jalan ke RTC yang perlu perbaikan dan Pemkab Serang yang tak memiliki anggaran untuk memperbaikinya.

Dari pertemuan tersebut kemudian Pemprov Banten memberikan solusi bahwa dana perbaikan pekerjaan jalan menuju RTC akan dibantu didanai oleh Pemprov Banten. Terjadilah korespondensi surat antara Pemkab Serang dan Pemprov Banten, aku membacanya satu persatu. Salah satu surat dari Pemprov Banten sebagai balasan atas surat Pemkab Serang yang meminta bantuan pembiayaan adalah bahwa Pemprov Banten menegaskan bahwa wilayah akses jalan Pasar Induk Rau (PIR)/RTC adalah wilayah kerja/tanggungjawab Pemkab Serang, namun karena Pemkab Serang tidak memiliki dana maka Pemprov Banten akan membantu pendanaannya.

Dalam surat tersebut juga disebutkan karena tahun anggaran 2004 sudah berjalan, maka bantuan akan diberikan pada perubahan APBD 2004 atau pada tahun anggaran 2005. Pertemuan tersebut juga menghasilkan solusi bahwa Hasan Sochib, pemilik PT SCRC diminta Pemkab Serang mengerjakan pekerjaan jalan akses PIR terlebih dahulu. Permintaan tersebut dituangkan dalam surat partisipasi yang ditandatangani oleh Bunyamin. Dalam persidangan saat Hasan Sohib menjadi saksi, terbuka bahwa awalnya PT SCRC tidak mau mengerjakan akses jalan PIR kecuali ada jaminan bahwa pekerjaan yang dilakukan akan dibayar nantinya. Pemkab Serang saat itu tidak memiliki dana untuk memperbaiki jalan Rau karena belum dianggarkan.

PT SCRC kemudian mengerjakan akses jalan PIR dan melakukan penagihan setelah selesai mengerjakan. Aku membaca surat-surat penagihan tersebut, tidak hanya satu ada beberapa. Jumlah yang ditagihkan Rp.12 Milyar lebih. Atas tagihan ini, kakekmu menulis surat pada Bawasda dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk memeriksa pekerjaan tersebut. Bawasda mengalami kesulitan dalam pemeriksaan formal, karena pekerjaan tersebut dilaksanakan dalam keadaan tidak normal dimana Pemkab Serang tak memiliki anggaran sehingga Bawasda tidak dapat melakukan pemeriksaan. Sementara Dinas PU melakukan pemeriksaan materiel, pemeriksaan fisik.

Secara umum ada dua temuan berdasarkan pemeriksaan Dinas PU: (1) ada pekerjaan yang dilakukan meliputi jalan dan drainase; (2) nilai pekerjaan yang diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan. Hasil pemeriksaan PU menemukan bahwa nilai pekerjaan tersebut sebesar Rp. 9.862.857.000,-, bukan Rp. 12 Milyar lebih sebagaimana ditagihkan pihak PT SCRC. Nilai hasil pemeriksaan tersebut meliputi pekerjaan jalan Rp. 8.488.601.000,- dan pekerjaan drainase Rp.1.374.256.000,-. Maka Pemkab Serang hanya mengakui nilai berdasarkan pemeriksaan PU yang kemudian dikonfirmasikan pada PT SCRC.

Aku mengunjungi Pak Hidayat dari Dinas PU menanyakan perihal pemeriksaan ini. Ia menceritakan cara yang dilakukan PU dalam melakukan pemeriksaan pekerjaan yang telah dilakukan dengan cara mendrill/mengebor jalan mengambil sampel dan mengujinya di laboratorium PU, dari hasil lab tersebut akan diketahui jenis bahan, ketebalan, lapisan dan lain-lain.

Syifa, Aisyah, meskipun nilai pekerjaan telah diketahui, dan surat penagihan telah beberapa kali dilayangkan pada Pemkab Serang, namun Pemkab Serang belum bisa membayarnya karena belum ada dananya. Sementara dananya sebagaimana dibicarakan sebelumnya bersumber dari bantuan Pemprov Banten.

Pemprov Banten kemudian memiliki kebijakan pemberian Block Grant sebesar Rp 15 Milyar untuk setiap kabupaten/kota di Banten. Dalam surat Gubernur Banten disebutkan Pedoman umum penggunaan Block Grant adalah Rp. 5 Milyar untuk pendidikan dan Rp. 10 Milyar untuk infrastuktur, kesehatan dll. Aku membaca salah satu klausul surat tersebut. Salah satunya adalah pihak kota/kabupaten harus mengajukan surat permohonan terlebih dahulu kepada gubernur. Atas dasar surat itu kemudian Pemkab Serang menyerahkan pada masing-masing dinas terkait untuk mengajukan rencana definitif (RD) untuk diajukan sesuai dengan ketentuan surat gubernur tersebut. Dinas PU mengajukan RD sebesar Rp.8,5 Milyar. Salah satu itemnya adalah pembayaran Akses jalan PIR sebesar Rp. 5 Milyar.

Dalam persidangan juga dalam tahap penyidikan, pihak penyidik dan penuntut mengatakan bahwa pembayaran pada PT SCRC menyalahi ketentuan karena tidak disebutkan dalam surat gubernur tentang pembayaran akses jalan PIR. Mereka tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu?) bahwa ada klausul yang mengharuskan pengajuan permohonan dana kepada gubernur. Permohonan tersebut tentunya disertai dengan rencana penggunaan dana yang pengalokasiannya masih bersifat umum. Dan RD tersebut bukanlah hal yang tertutup, misalnya, kita bisa melihat alokasi apa saja yang diajukan Dinas Pendidikan atas Rp. 5 Milyar yang diberikan Pemprov, demikian halnya dengan Dinas Kesehatan dan Dinas PU. Dinas PU mengalokasikan Rp. 5 Milyar untuk pembayaran akses jalan PIR dan Rp. 3,5 Milyar atas beberapa item jalan lainnya. RD ini adalah salah satu dokumen yang tidak dimunculkan pihak penyidik dan penuntut umum.

PT. SCRC kemudian kembali menagih Pemkab Serang melalui Tb. Lulu Kaking. Tanggal 19 Mei 2005, Pemkab Serang menerima pemasukan ke Kas Daerah Pemkab Serang sebesar Rp.15 Milyar sebagai realisasi bantuan dari Pemprov Banten yang didalamnya termasuk Rp.5 Milyar untuk pembayaran akses jalan PIR sesuai pengajuan RD. Meski demikian, karena tahun anggaran 2005 sedang berjalan maka Rp. 15 Milyar tersebut akan dimasukan dalam APBD perubahan 2005. Sehingga tidak bisa langsung dikeluarkan, meskipun telah masuk kas Daerah Pemkab Serang. Namun demikian kakekmu mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pembayaran tahap I sebesar Rp. 1 Milyar pada tanggal 20 Mei 2005 dengan meminjam dahulu pada mata anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan. Persoalan ini dibahas bersama di Pemkab Serang, mencari mata anggaran yang bisa digunakan untuk dipinjam terlebih dahulu. Beberapa mata anggaran tidak dapat digunakan karena telah dianggarkan dengan spesifik misalnya perbaikan jalan Anyer. Sehingga mata anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan dipandang dapat dipinjam terlebih dahulu Rp. 1 Milyar, dari kurang lebih Rp. 5 Milyar yang ada sehingga kegiatan pemeliharaan jalan dan jembatan lainnya masih tetap dapat berlangsung. Pembayaran tahap II berikutnya dibayarkan sejumlah Rp.4 Milyar ke PT SCRC. Lalu berikutnya Pemkab Serang membayar lagi dengan SPM (Surat Perintah Membayar) NIHIL Rp. 1 Milyar. SPM Nihil ini adalah pengembalian dana Rp. 1 Milyar yang dipinjam dari mata anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan sehingga anggarannya kembali terisi. Jangka waktu pengembalian tersebut kurang lebih 1 bulan.

Jadi ada tiga SPM: Rp. 1 Milyar (pinjam); Rp. 4 Milyar; dan Rp. 1 Milyar (pengembalian/ SPM Nihil). Jadi total yang dibayar ke PT SCRC adalah Rp. 5 Milyar bukan Rp. 6 Milyar. Syifa, Aisyah kesemua kegiatan tersebut di atas melalui proses, mekanisme dan pembahasan bersama, detailnya dapat kalian lihat lebih lanjut dalam kronologis (dalam blog) atau memori PK di ruang baca (aku berencana menunggah memori PKnya ke dalam blog).

Dalam APBD perubahan 2005 kemudian, bantuan dari gubernur sebesar Rp 5 Milyar tersebut telah disahkan melalui Perda Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Perubahan APBD 2005. SPM Nihil dan Perubahan APBD tersebut yang juga menjadi kunci dan tidak dimunculkan pihak penuntut umum. Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul, dimana letak kerugian negara?

Sekarang, akan kuceritakan sebuah pertanyaan yang terlintas dibenakku. Peristiwa yang tidak diketahui umum. Kenapa harus dibayar tahap I Rp. 1 Milyar dengan meminjam pada mata anggaran pemeliharaan dan jembatan? Kenapa tidak menunggu hingga ditetapkan dalam APBD Perubahan 2005? Sebagaimana kuceritakan sebelumnya, aku menemui banyak orang untuk menelusuri persoalan ini. Seorang yang terlibat dalam proses pembahasan pembayaran tersebut menceritakan “Fer, sekiranya hari itu tidak dibayar, mungkin akan ada darah keluar, Ayahmu berusaha menyelamatkan orang,” paparnya.

Hari itu ada golok, emosi dan kejengkelan. Pemkab Serang dihadapkan pada situasi yang rumit. Adalah benar Pemkab memiliki utang daerah, pekerjaan telah dicek, nilai pekerjaan telah diketahui, ketersediaan dana sudah diketahui ada sejak bantuan masuk ke Kas Daerah Pemkab Serang 19 Mei 2005, namun belum bisa dikeluarkan. Aku mengonfirmasi persoalan golok ini pada kakekmu. Dalam pandangannya situasi itu muncul karena kejengkelan atas utang Pemkab Serang yang belum juga dibayar, sementara penagihan telah berkali-kali dilakukan, hal yang dapat dipahami. Maka kakekmu memutuskan untuk meminjam terlebih dahulu dengan pertimbangan ada dokumen yang mendasari pekerjaan tersebut, pekerjaan tersebut tidak fiktif, tidak ada mark up dan ketersediaan dananya telah ada.

Jika benar situasi saat itu begitu mencekam sebagaimana diceritakan maka sebenarnya dalam teori Hukum Pidana situasi tersebut dikategorikan sebagai daya paksa relatif atau vis compulsiva. Suatu situasi dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. Situasi ini menjadi alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Jadi jika seseorang melakukan tindak pidana dengan situasi diatas, maka tindak pidana tersebut ada dalam kategori alasan pemaaf dan menjadi alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond). Bayangkan, itu adalah contoh ekstrim, sementara dalam perspektifku, yang dilakukan Pemkab Serang bukanlah tindak pidana, tapi persoalan administratif. Kalau tindak pidana saja terdapat alasan pemaaf bagaimana halnya dengan kebijakan administratif? Apalagi kemudian dalam perubahan APBD 2005 bantuan gubernur untuk akses lajan PIR senilai Rp.5 Milyar telah diakui dan disahkan, maka pertanyaan besar kembali muncul, dimana letak kerugian negara? Bahkan yang ada Pemkab Serang masih memiliki kekurangan pembayaran sebesar Rp. 4.862.857.000,- dan dalam putusan kasasi Pak Rivai kekurangan pembayaran ini diakui oleh Mahkamah Agung.



Catatan di Persidangan

Aku menghadiri persidangan dan mencatat setiap pemeriksaan di persidangan. Hari demi hari keadaan semakin jelas. Ada banyak saksi yang saat ditanya majelis hakim tentang apakah ada kerugian negara menjawab tidak ada kerugian negara dalam persoalan ini, sebut saja RA Syahbandar (mantan kepala Bawasda), Toto Suharto (Kepala BPKD) dan banyak lagi.

Saksi ahli dari sebuah universitas di Bandung kemudian dihadirkan pihak penuntut. Dewi Kania Sugiharti ahli HAN mengatakan persoalan ini menjadi sah jika sudah dituangkan dalam Perda, dan saat ditunjukan Perda Nomor 13 Tahun 2005 tentang Perubahan APBD 2005 dimana bantuan gubernur untuk akses jalan PIR dicantumkan dalam APBD perubahan 2005 tersebut, ia mengatakan sah. Sangat jelas.

Lalu saat Soma Wijaya (ahli Pidana) diceritakan kondisi yang dihadapi Pemkab Serang saat itu bukan pengadaan barang dan jasa, karena Pemkab Serang tak memiliki dana untuk membangun jalan saat itu, sehingga yang dihadapi Pemkab Serang adalah penagihan yang barangnya telah ada. Saat ditegaskan apakah Keppres 80 tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa bisa diberlakukan pada kondisi tersebut. Dengan tegas ia mengatakan tidak. Pernyataan itu penting karena penuntut umum selalu memaksakan menggunakan Keppres 80 Tahun 2003. Kakekmu itu birokrat yang meniti karirnya dari bawah yang berhati-hati dalam bekerja, ia selalu mencari dasar hukum dalam bekerja. Situasi saat itu adalah situasi sebagaimana digambarkan dalam Pasal 19 ayat 2 PP No 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah bunyi pasal tersebut sbb:

“Pemerintah Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lain melalui kerjasama dengan pihak lain dengan prinsip saling menguntungkan”

Penjelasannya berbunyi sbb:
“Apabila Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan fasilitas pelayanan publik tidak memiliki dana ataupun dana yang ada tidak mencukupi, maka daerah dapat mencari alternatif- alternatif sumber pembiayaan jangka panjang melalui kerjasama dengan pihak lain termasuk masyarakat.”

Itulah kondisi Pemkab Serang saat itu, tidak memiliki dana. Sangat tidak relevan jika dalam kasus ini dipaksakan diterapkan Keppres 80 Tahun 2003.

Saksi yang menjadi kunci kasus ini kemudian dihadirkan jaksa, Anggiat Tupal Pakpahan dari BPKP. Karena BPKP lah yang menyatakan ada kerugian negara Rp. 5 Milyar. Setelah semua saksi dihadirkan, semua dibuat bingung (kecuali JPU, mungkin?) dengan keterangan Anggiat dan LHAI BPKP yang ia buat yang menyatakan kerugian negara. Hingga sebuah pertanyaan menguak persoalannya. Aku masih ingat, pertanyaan itu muncul dari Hakim Yohanes yang mengaitkan dengan pemeriksaan saksi dari Dinas PU Serang
“Saksi dari PU Serang menyatakan mereka memeriksa dan ternyata pekerjaannya ada lalu dicek di lab, sehingga nilainya diketahui, bagaimana menjelaskan ini?”
Akupun masih ingat jawaban saksi yang lulusan negeri Kanguru tersebut.
“Kalau orang yang mengerti tentang laporan keuangan, di akhir laporan kami cantumkan bahwa pemeriksaan yang kami lakukan tidak meliputi pemeriksaan fisik. Jadi hanya merupakan compliant test artinya hanya tes formal. Pemeriksaan keuangan selalu terdiri dari dua hal Compliant Tes/Formal Test dan Subtantive Test/Materiel test. Kedudukan subtantive test itu berada di atas compliant test, maaf saya sebutkan istilah asingnya subtantive over form. Kami tidak melakukan subtantive tes karena itu bukan bidang kami. Kami selalu bekerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kompetensinya, misalnya untuk jalan kami mintakan ke Bina Marga Jakarta. Untuk kasus ini juga kami mintakan tetapi mereka tidak melakukan pemeriksaan karena ada persoalan prosedur.”

“Lalu apa berarti PU Serang tidak kompeten dalam memeriksa, bagaimana jika seandainya pemeriksaan PU Serang ini telah diketahui sebelumnya oleh saudara?”

“Saya tidak mengatakan PU Serang tidak kompeten. Karena bapak bertanya seandainya, maka saya jawab juga seandainya, jika seandainya hasil pemeriksaan itu telah ada dan diketahui maka perhitungan/laporannya juga bisa berubah.”

Syifa, Aisyah, hari itu, semua menjadi jelas. Untuk lebih memperjelas, kakekmu meminta saksi lain dari Dinas PU yang turun ke lapangan memeriksa pekerjaan tersebut. Ia menyerahkan pada Dinas PU untuk menunjuk orang yang dapat menjelaskan persoalannya. Dinas PU menunjuk Ir Ishak Musa sebagai saksi. Dan keterangannya sinkron dengan Anggiat Tupal Pakpahan. Menurutnya saat ia dan tim Dinas PU Serang melakukan pemeriksaan, ada sebuah mobil yang orang di dalamnya memperhatikan dan menanyakan, mobil itu ternyata dari Jakarta, Bina Marga yang memutuskan tidak melakukan pemeriksaan.

Sempat terjadi ketegangan antara JPU Hidayat dan saksi Ishak Musa.
“Jadi saudara tetap melakukan pemeriksaan walaupun tidak ada SPK, tidak berdasarkan Keppres 80 dll?”
“Saya menjalankan perintah atasan untuk memeriksa pekerjaan akses jalan PIR”
“Saudara berani (tetap memeriksa)?”
“Berani.”
“Berani?”
“Sejauh itu merupakan perintah dan dalam lingkup tugas saya”
“Apakah saudara tahu jika hasil pemeriksaan itu akan dijadikan dasar pembayaran?”
“Saya hanya memeriksa pekerjaannya, sesuai dengan tupoksi saya, hasil pemeriksaan itu akan dijadikan apa bukan dalam lingkup tupoksi saya.”

Dialog di atas menjelaskan persepsi jaksa atas kasus ini. Jadi ia pikir hasil pemeriksaan tersebut sebagai pembenaran untuk dasar pembayaran. Syifa, Aisyah, aku tidak menanyakan persoalan ini pada seorang dari dinas PU saja. Aku menanyakannya pada banyak orang. Aku melakukan cross check, double check, triple check. Dan kesemuanya sama. Jadi jika pekerjaannya benar ada, apakah harus dikatakan tidak ada? Ada perbedaan yang tegas antara pembenaran dan kebenaran.

Saat ditanya hakim, Ishak Musa menjelaskan dengan lebih detail cara pemeriksaannya, meliputi pengukuran panjang dan lebar dan konsistensi lebar dari 5 akses jalan PIR sehingga dapat diketahui jumlah total panjang kilometer dan lebar jalan yang dikerjakan. Lalu diambil sampel, dibor di beberapa bagian, hasil perhitungannya menunjukan konsistensi ketebalan ATB dll. Kualitas pekerjaannya bagus sesuai standar di beberapa tempat bahkan di atas standar. Jalan tersebut hingga kini masih bagus dan layak digunakan.

Syifa, Aisyah begitulah. Ishak Musa mengakhiri agenda pemeriksaan saksi. Agenda selanjutnya adalah pemeriksaan terdakwa. Kulihat jaksa tak menanya detail karena kakekmu mengetahui detailnya, dan jaksa akan semakin tersudutkan, sebab semua saksi dalam pemeriksaan di persidangan malah meringankan kakekmu. Di pembuktian di persidangan kita perlihatkan apa yang tidak dimunculkan pihak penyidik dan penuntut: Rencana Definitif; SPM Nihil; dan Perda tentang APBD Perubahan 2005. Ketiga dokumen tersebut menjadi kunci bahwa ini kasus yang jelas namun dibuat tidak jelas. Kakekmu kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Serang tanggal 13 November 2008.

Tentang Saksi Ahli

Pada tingkat penyidikan di Polda Banten, tiga kolegaku diminta Polda Banten menjadi saksi ahli dalam kasus PIR ini: Efriyanto, Mirdedi dan Hilton. Ketiganya diminta keterangan dalam kapasitas ahli perdata, HAN dan Pidana. Aku tahu keberangkatan mereka ke Polda dalam rangka kasus kakekmu. Tapi aku tak pernah mengintervensi mereka, jadi aku tak bicara satu katapun pada mereka tentang kasus ini, dalam dunia kami, kebebasan menyampaikan pendapat haruslah dihargai.
Sepulang dari Polda, Pak Mirdedi menghampiriku.
“Aman Sukarso itu bapak Pak Ferry?”
“Iya, kenapa?”
Lalu Mirdedi menceritakan bahwa ia baru saja dimintai keterangan menjadi saksi ahli di Polda dan ia berpendapat bahwa dalam perkara tersebut kepentingan publik terlayani dll. Di luar dugaanku Efriyanto juga mengatakan tidak ada korupsi dalam kasus ini. Ia mengetahui ada putusan perdata, PT SCRC yang menggugat Pemkab Serang atas kekurangan pembayaran. Bupatinya telah berganti saat Pemkab digugat, Taufik Nuriman. Pemkab Serang kemudian meminta pihak kejaksaan negeri Serang menjadi pengacara negara untuk menghadapi gugatan tersebut. Gugatan perdata tersebut berakhir dengan perdamaian (akta van dading), point kesepakatan diantaranya adalah Pemkab Serang akan membantu menagihkan pada Pemprov Banten tentang kekurangan pembayaran.

Berbeda dengan Mirdedi dan Efriyanto. Pak Hilton sebagai ahli pidana mengatakan unsur korupsi terpenuhi dalam kasus ini. Syifa, Aisyah, tidak usah Hilton, akupun akan mengatakan hal yang sama jika data yang diberikan padaku tidak lengkap seperti itu. Rencana Definitif, SPM Nihil, dan Perda Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Perubahan APBD 2005 tidak dimunculkan dalam penyidikan dan penuntutan. Dan itu menjadi kunci kejelasan kasus ini. Kalau hanya ada 3 sila dalam pancasila, apakah kemudian masih bisa dinamakan sebagai Pancasila jika dua bagian lainnya hilang?

Syifa, Aisyah, dalam BAP kemudian aku hanya menemukan saksi ahli tiga dosen dari sebuah universitas di Bandung dan Hilton. Sementara keterangan Mirdedi dan Efriyanto tidak ada dalam BAP. Dalam pembuktian di persidangan hanya tiga saksi ahli dari Bandung yang dihadirkan JPU. Ketiganya ternyata diketahui tidak pernah ditunjukan adanya Rencana Definitif, SPM Nihil, dan Perda tentang Perubahan APBD 2005. Anggota majelis hakim Toto Ridarto di akhir pemeriksaan saksi ahli menanyakan “jadi saudara tidak pernah diperlihatkan dokumen-dokumen ini?”

Syifa, Aisyah, salah satu kerepotan kami sebagai saksi ahli, terkadang kita tidak diberikan gambaran yang utuh tentang suatu peristiwa. Atau fakta yang ditemukan terbatas. Beberapa kali aku diminta menjadi saksi ahli. Pernah dihadapkan padaku sebuah kasus pencemaran nama baik. Seorang istri yang sedang hamil bertengkar dengan suami karena suami sudah tiga bulan tak menafkahi, dan menemukan foto suami dengan seorang perempuan dalam dompet suaminya. Keduanya bertengkar, suami mengatakan ia telah menikah lagi dengan perempuan dalam foto. Istrinya marah-marah melaporkan suaminya ke kepolisian atas penelantaran rumah tangga. Menyebut nama perempuan dalam foto, wartawan menulisnya. Perempuan dalam foto membaca beritanya dan melaporkan si istri melakukan pencemaran nama baik, karena perempuan dalam foto mengaku tidak pernah menikah dengan suami si istri. Penyidik menyodorkanku foto, berita koran dan berkas lainnya. Peristiwanya mengarah pada terpenuhinya pasal pencemaran nama baik. Maka kukatakan pencemaraan nama baik telah terjadi, kecuali jika si istri dapat membuktikan bahwa si suami benar-benar telah menikah dengan perempuan dalam foto. Katakanlah jika si istri berhasil mendapatkan saksi atau penghulu yang menikahkan mereka, maka pendapat pertamaku gugur, pencemaran nama baik tidak terjadi.

Jadi sangat wajar jika Hilton mengatakan dalam kasus ini ada korupsi, demikian pula dengan tiga saksi ahli dari sebuah PTN di Bandung. Saat di persidangan, mereka tidak menyangka kalau ada dokumen-dokumen yang lain yang tidak dimunculkan dalam penyidikan. Tidakkah penegakan hukum di negeri ini menjadi konyol jika dilakukan dengan cara menyembunyikan data dan fakta?

Tentang Putusan MA yang Saling Bertentangan

Rasa penasaranku kemudian terfokus pada putusan MA. Putusan kakekmu bernomor 258 K/Pid.Sus/2009. Majelis Hakimnya H.M. Zaharuddin Utama, SH MM,; H.Mansur Kartayasa, SH MH; dan ketuanya R. Imam Harjadi SH MH. Diputus Rabu, 28 April 2010 dengan vonis 5 tahun pidana penjara dan denda Rp. 200 juta rupiah subsider 6 bulan pidana kurungan!

Ini benar-benar tidak masuk akal! Aku membacanya berulang-ulang. Dan menemukan berbagai kemungkinan kenapa putusannya bisa seperti itu. Salah satu analisaku adalah bahwa putusan tersebut mislead, karena RD, SPM Nihil, dan Perda 13 tahun 2005 tidak ada disebut dalam putusan tersebut. Rechterlijke dwaling, kesesatan hakim atau kesalahan hakim dalam mengambil kesimpulan telah terjadi dalam kasus kakekmu. Dalam ranah hukum pidana hal ini dimungkinkan terjadi. Kasus Sengkon dan Karta, Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, serta Rubbin ‘Hurricane’ Carter adalah salah satu contoh rechterlijke dwaling yang diawali dari kekeliruan dan kesalahan di pihak penyidik dan penuntut.

Dalam bagian hal yang meringankan kakekmu dalam putusan tersebut tertulis adalah bahwa terdakwa tidak menikmati hasil korupsi, karena seluruh uang yang dikeluarkan terdakwa diserahkan kepada Prof.H.Chasan Sochib PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (vide halaman 23 Putusan Kasasi MA Nomor 258 K/Pid Sus/2009)

Rumusan pasal 2 tipikor memang bukan hanya menguntungkan diri sendiri tapi dapat (baca: atau) juga menguntungkan orang lain (model perumusan alternatif). Sekarang mari kita analisis. Jadi menurut putusan tersebut Kakekmu dipandang menguntungkan orang lain. Pertama, diuntungkan dari mana? Utang Pemkab Rp.9.862.857.000,- dan baru dibayar Rp. 5 Milyar, maka masih kurang Rp.4.862.857.000,-. Kedua, dalam putusan tersebut tak dijelaskan dimana letak kerugian negara (karena memang tidak ada kerugian negara), padahal unsur kerugian negara dalam pasal 2 adalah unsur yang harus terpenuhi. Tambah konyol bukan? Jadi kakekmu itu dihukum atas apa? Kemerdekaannya telah dirampas, tidak tanggung-tanggung 5 tahun! Atas apa? Kerugian negara? Kerugian negara yang mana? Putusan itu tak memberikan jawaban.

Lalu kemudian aku membaca putusan kasasi Pak Rivai Nomor 346 K/PIDSUS/2009, diputus oleh DR.Artidjo Alkostar SH.LLM dengan anggota H.M Zaharuddin Utama, SH. MM dan R . Imam Harjadi, SH pada Rabu Juni 2009. Perkara dan jumlah uang yang sama namun berkasnya dibuat terpisah. Putusan tersebut membebaskan Pak Rivai. Memang seharusnya bebas karena memang tidak ada korupsi dalam kasus ini. Dalam bagian pertimbangannya putusan tersebut mengatakan : 4. Tidak ternyata terdakwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, karena kenyataannya Pemda Kab Serang masih harus menanggung kekurangan sebesar Rp. 4.862.857.000,- kepada PT SCRC (vide halaman 25 putusan Kasasi MA Nomor 346 K/PIDSUS/2009).

Kalau kita analisis, jumlah Rp.4.862.857.000,- yang diakui sebagai kekurangan pembayaran oleh MA tersebut merupakan hasil dari Rp. 9.862.857.000,- dikurangi Rp.5.000.000.000,- yang baru dibayar Pemkab. Jadi kalau begitu sekali lagi, kakekmu itu dihukum atas apa? Korupsi pembayaran tahap I Rp. 1 Milyar? Rp. 1 Milyar yang dibayarkan tersebut diakui oleh putusan MA yang diketuai Artidjo Alkostar. Dan memang begitulah adanya.

Aku mengetahui Artidjo Alkostar, aku menemukan dan membaca singkat disertasinya di sebuah perpustakan S2 dan S3 di Semarang mengenai korupsi politik. Disertasi itu kini sudah menjadi buku. Ia punya reputasi bagus. Tulisannya tersebar di jurnal dan surat kabar. Maka sebenarnya aku berharap kasus kakekmu ini jatuh ke tangannya namun ternyata tidak. Jadi aku benar-benar penasaran dan ingin menanyakan pada majelis hakim yang memutus kakekmu kenapa putusannya bisa seperti itu? Apakah tidak ada dissenting opinion saat musyawarah dilakukan? Apa yang terjadi?

Hukum itu melelahkan
Syifa, Aisyah, berhadapan dengan hukum itu melelahkan. Aku mendampingi beberapa perkara atas nama BKBH (Badan Konsultasi Bantuan Hukum) sebuah PTN, melelahkan, tapi terkadang tak tega melihat mereka yang awam dan kebingungan berhadapan dengan hukum. Aku menulis tentang patologi hukum di negeri ini: Minah; Prita; Risman Lakoro; Aspuri. Saat menulis tentang prita dan dimuat di sebuah buku antologi, aku bisa merasakan bagaimana perasaannya saat ditahan. Perasaan anak-anak dan suaminya, sebab kita mengalami hal yang serupa (lihat tulisan The Call dalam blog).

Seorang guru besar pernah menulis bahwa Indonesia ini merupakan laboratorium hukum yang luas. Ia benar. Maka kutulis tentang berbagai ketidakberesan dalam hukum. Tapi saat kasus hukum menimpa kakekmu, maka itu benar-benar menguras energi lahir dan batin. Kalian bisa bayangkan betapa melelahkannya persoalan ini. Betapa aku harus menulis tentang kasus ayahku sendiri. Nenekmu menangis setiap malam saat kakekmu ditahan, dan menanyakan padaku apa salah kakekmu? Hancur hatiku melihatnya. Selama ini aku selalu menjaga agar ia tidak menangis. Aku tahu ia tak bersalah, itulah sebabnya aku membela. Jika ia salah, takkan aku mengurusinya. Nenekmu kemudian meninggal tiga hari sebelum kakekmu divonis bebas PN Serang tanggal 13 November 2008. Sebagai muslim kita tahu bahwa nenekmu harus meninggal tanggal 9 November 2008, secanggih apapun alat kedokteran, takkan sanggup ia memundurkan tanggal kematian nenekmu. Namun mengingat ia memikirkan kakekmu merupakan hal tersendiri yang menyedihkanku.

Syifa, Aisyah, hukum di satu sisinya yang gelap dapat sangat melelahkan. Kondisi hukum sekarang bisa membuat orang menjadi gila. Hukum bisa memporak-porandakan kehidupan. Teaching order finding disorder. Sengkon harus dipenjara 6 tahun atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Risman Lakoro hancur jari jempol kakinya dihimpit kaki meja, dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Aspuri harus ditahan dan divonis atas sebuah persoalan yang merupakan error factie. Harta dan energi mereka terkuras habis mengurusi perkara. Jika dibandingkan mereka kita belumlah apa-apa. Kesamaan kita adalah bahwa kita merupakan korban dari peradilan sesat. Menjalani hukuman atas perbuatan yang bukan tindak pidana; perbuatan yang tidak pernah dilakukan; perbuatan yang seharusnya tidak dipidana. Tidak jelas.

Beruntung sebagai muslim kita diajarkan untuk selalu seimbang. Kata nabi, sungguh luar biasa seorang muslim, jika diberi nikmat ia bersyukur, jika ditimpa musibah ia bersabar. Kita sedang diberi ujian musibah. Maka merugilah jika kita tidak bersabar. Kita harus melawan dan mencari hikmah dibalik peristiwa ini. Untuk persoalan melawan, aku telah menuangkan semuanya dalam memori PK. Memori PK pengacara kurevisi hingga 3 kali, bahkan kali terakhir aku sendiri yang mengetik di rumah pengacara. Saat ini kabar terakhir memori PK itu sudah disampaikan ke MA. Aku mendatangi pihak Pemda yang terkait persoalan ini. Subhanallah mereka semua mensuport, memberikan dokumen yang dilegalisir. Semua yang mengerti tentang persoalan ini dibuat bingung dengan putusan MA yang menyatakan kakekmu bersalah. Dalam suatu sore saat aku minta tanda tangan Pak Toto untuk legalisir lampiran laporan realisasi perubahan APBD 2005 ia bertanya padaku
“Coba Fer analisis, kenapa bapak bisa dinyatakan bersalah?”
“Nampaknya mungkin karena SPM Nihil tidak dilampirkan/dimunculkan pak.”
“Itu! Jadi mungkin mereka kira uang negara hilang Rp 1 M,”katanya.
Aku terharu akan suport, dukungan dan do’a mereka. Kakekmu punya banyak kawan. Kekuatan kakekmu ada di silaturahmi. Dalam sebuah pengajian untuk kakekmu, seorang sesepuh ustad dari Baros Serang berujar “teu kahartos/(tidak dapat dimengerti)”.

Negeri kita memang sedang melawan korupsi, ia menjadi mainstream penegakan hukum. Tapi menjadi konyol jika dalam rangka mengikuti mainstream bertindak gegabah mengorbankan orang yang tidak bersalah. Aku jadi teringat Cesare Beccaria yang mengkritik hukum di abad 18 yang penuh dengan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan lalu dihukum “Saya, hakim, harus menunjuk satu orang salah. Anda, yaitu teman yang kuat, telah berhasil melawan daya siksa; oleh karenanya saya membebaskan anda. Anda karena lemah, telah menyerah pada siksa; oleh karenanya, saya menghukum anda....”
Dalam konteks dan gradasi yang berbeda, aku percaya ada beberapa orang yang menjadi korban salah menghukum dalam kasus korupsi hanya karena korupsi sedang menjadi mainstream penegakan hukum. Kakekmu adalah salah satu yang dapat kupastikan.

Syifa, Aisyah, aku berencana mengirimi surat pada majelis hakim yang menyatakan kakekmu bersalah. Mungkin akan terlambat, karena sangat menguras energi dan aku ingin membuatnya dengan baik, aku harus mengingatkan mereka bahwa palu mereka memiliki konsekwensi hukum. Aku tak tahu bagaimana akhir dari persoalan ini tapi yang lebih penting kedepan mereka harus berhati-hati sebelum memutus, jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Jika ragu lebih baik datangkan pihak yang dapat menjelaskan persoalannya menjadi jelas sebelum memutus, mereka diberikan kewenangan untuk itu.

Sekarang yang kedua tentang bersabar, kita harus tawakal menyerahkan pada pemilik bumi ini setelah kita berusaha. Persoalan hukum terkadang membuat orang berhenti berharap. Bayangkan, jika harapan saja sudah hilang, apa yang membuat seseorang tetap hidup? Maka berharaplah hanya pada Allah. Sampai sekarang aku masih mencari hikmah di balik semua ini. Ada skenario Allah dibalik semua ini. Kita harus ikhlas menerimanya. Aku selalu mengatakan, bahwa aku mengantarkan kakekmu ke kejari saat eksekusi bukan karena menerima putusan hukum, tapi menjalani ketetapanNya. Apa yang terjadi hari itu memang harus terjadi.

Syifa, Aisyah, kita sedang diuji. Maka bergembiralah. Kesedihan ini hanya sementara. Kita harus lulus ujian ini. Jika kita bisa melewati ujian sebelumnya, maka ujian ini juga akan kita lewati. Aku ingin melihat Allah tersenyum. Mungkin ini cara Allah agar kita kembali dekat denganNya. Tegakan kepalamu, aku bukan anak koruptor, kalian bukan cucu koruptor. Kita punya masalah besar, tapi kita punya Allah yang Maha Besar. Dan tak ada lagi yang perlu kau takutkan.

Friday, February 18, 2011

Saya "Anti" Demokrasi

oleh : Emha Ainun Nadjib.

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namaya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikat lah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka. Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya ? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangn atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya. “Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”.

Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri. Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Wednesday, February 09, 2011

Konflik Agama Dapat Diselesaikan Secara Adat

(dimuat di http://www.lenteratimur.com/konflik-agama-dapat-diselesaikan-secara-adat/)
Posted by TM. Dhani Iqbal Featured, Kasatmata Tuesday, February 8th, 2011

Juru Bicara Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Ahmad Pontoh, menjawab pertanyaan wartawan di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Minggu (6/2), di Jakarta. Foto: LenteraTimur.com/TM. Dhani Iqbal.

Penyerangan massa yang mengakibatkan tewasnya tiga orang anggota Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, tak lepas dari absennya sistem adat. Fanatisme yang datang dari tradisi luar sangat mungkin tumbuh di kawasan yang tak lagi menjadikan adat sebagai sistem nilai.

Pakar hukum adat dan kriminologi Universitas Tirtayasa, Banten, Fery Faturohman, mengungkapkan hal tersebut kepada LenteraTimur.com, Selasa (8/2), di Banten, terkait penyerangan terhadap Ahmadiyah yang disertai pembunuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Pada penyerangan yang terjadi di hari Minggu (6/2) tersebut, tiga orang tewas dan puluhan lainnya luka berat. Mereka diserang oleh massa yang disebut-sebut berjumlah sekitar 1500 orang. Massa menyerang kala anggota jamaah ahmadiyah sedang berkumpul di rumah Ustad Suparman. Ini merupakan kasus termutakhir yang melanda kelompok Ahmadiyah.

Beberapa lama sejak reformasi bergulir di Indonesia, Ahmadiyah memang telah menjadi target kekerasan. Sebelum Cikeusik, mereka diserang di berbagai tempat, entah itu Bogor, Tasikmalaya, Lombok, atau Makassar. Terhadap serangan bertubi-tubi ini, Jamaah Ahmadiyah Indonesia mengaku tak memiliki strategi untuk melakukan perlawanan. Mereka lebih memilih mengharapkan perlindungan dan keselamatan dari negara.

“Saya kira perlawanan akan memperkeruh suasana. Tapi mempertahankan diri itu tentu diizinkan oleh agama maupun diizinkan oleh hukum di Indonesia… Dalam ajaran kami, mati mempertahankan agama itu mati syahid… Jadi kalau tempat kita diserang, kan kita boleh mempertahankan diri. Hukum mengizinkan, agama mengizinkan. Lebih dari itu kan kita tidak boleh,” ujar Juru Bicara Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Ahmad Pontoh, di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Minggu (6/2), di Jakarta.

Menurut Zafrullah, penyerangan demi penyerangan itu di luar akal sehat. Apa yang dituduhkan kelompok tertentu bahwa pihaknya meresahkan kelompok tertentu adalah tidak benar.

“Kalau orang Ahmadiyah salat, salat jumat, salat lima waktu, bagaimana bisa menyinggung perasaan? Orang mau jadi baik masak menyinggung perasaan. Itu satu hal yang berada di luar logika,” kata Zafrullah.

Persoalan mendasar yang menjadikan polemik Ahmadiyah berlarut-larut ada pada prinsip kenabian. Kelompok tertentu menuding bahwa Ahmadiyah, yang mengaku sebagai Islam, tidak menjadikan Muhammad sebagai nabi terakhir, tetapi Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian, hal ini dibantah oleh Zafrullah.

“Ini kan masalah penafsiran, ya. Sudut pandang. Beliau (Muhammad), menurut pandangan kami, itu nabi terakhir yang membawa syariat,” ucap Zafrullah.

Zafrullah menambahkan, posisi Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok yang mengkhidmati Nabi Muhammad. Namun, selama ini Ahmadiyah tak dapat menjelaskan perihal kenabian ini kepada masyarakat luas secara lugas. Sebab, Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait Ahmadiyah menghalangi pihaknya untuk memberikan penjelasan.

“Anda beragama apa? Islam? Ketika saya mengatakan Anda bukan Islam, (tapi) Kristen misalnya, Anda mau membantah tidak boleh. Menurut saya Anda Kristen. Sudah. Bisa diterima enggak? Kami juga seperti itu. Ketika kami ingin menjelaskan, SKB (bilang) jangan jelaskan,” terang Zafrullah.

Aksi masyarakat dari berbagai elemen memprotes penyerangan dan pembunuhan anggota Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, Senin (7/1), di Jakarta.

Meski demikian, di lokasi yang sama, pejabat Hubungan Masyarakat Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Mubarik Ahmad, sedikit menerangkan kepada LenteraTimur.com bahwa Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi yang ditunggu-tunggu pada akhir zaman, yang dalam banyak literatur disebut sebagai Nabi Isa atau Imam Mahdi.

“Di hadits, salah satu tanda-tanda zaman, Rasulullah mengatakan, kapan turunnya Imam Mahdi atau Nabi Isa ini, (jawabnya-red) pada saat akhir zaman. Apa tanda-tanda akhir zamannya? Satu, bila unta-unta telah ditinggalkan oleh manusia, tidak dipergunakan lagi. Sahabat (Nabi Muhammad-red) ketika itu bingung, kok unta ditinggalkan. (Kedua) apabila binatang-binatang dikumpulkan di kota. Itu hadits juga. Sejak kapan orang mengumpulkan binatang di kota, berupa kebun binatang? (Ketiga) apabila perempuan berpakaian seperti laki-laki. Ini ciri-ciri akhir zaman. Dan pada akhir zaman, Imam Mahdi atau Nabi Isa akan turun,” papar Mubarik.

Menurut Mubarik, kemunculan imam Mahdi dalam sosok Mirza Ghulam Ahmad tidaklah menegasikan posisi Muhammad.

“Muhammad terakhir dalam hal syariat. Tidak ada lagi nabi yang sempurna seperti beliau,” ujar Mubarik.

Perbedaan hanya muncul dalam tafsir tentang Imam Mahdi atau Nabi Isa yang dikatakan muncul di akhir zaman tersebut.

“Jadi perbedaan Ahmadiyah dengan yang lain adalah Ahmadiyah memandang Imam Mahdi atau Nabi Isa sudah datang, sedangkan yang lain masih menunggu. Jadi ada yang masih menunggu, ada yang merasa sudah datang,” ucap Mubarik.

Peran Adat
Perbedaan penafsiran Ahmadiyah dengan kelompok Islam lainnya ini kerap dijadikan latar belakang penyerangan terhadap Ahmadiyah. Sebagian pihak lantas merespon kejadian yang terus berulang ini sebagai indikasi tak hadirnya negara dalam melindungi warga negaranya.

Namun, Fery memberikan perspektif lain. Menurutnya, kejadian brutal di Cikeusik, Pandeglang, itu sangat mungkin juga terjadi karena absennya atau tak mengakarnya adat bagi masyarakat setempat. Fanatisme agama atau paham yang berasal dari tradisi luar dapat tumbuh di masyarakat yang tak lagi berjejak pada adat.

“Cikeusik Pandeglang, tempat kerusuhan kemarin, bukan Cikeusik Lebak tempat Baduy Dalam berada. Jadi tidak ada Sunda Wiwitan di sana,” kata Fery.

Untuk itu, dosen yang riset terakhirnya tentang hukum adat Baduy ini berkeyakinan bahwa persoalan kejadian penyerangan terhadap Ahmadiyah perlu diselesaikan secara adat. Apalagi kejadian tersebut berpotensi untuk terulang. Hukum adat dipandang memiliki kelengkapan penyelesaian yang lebih komprehensif ketimbang hukum positif. Sebab, hukum positif tidak menyelesaikan kasus secara integral, tetapi lebih berorientasi pada pelaku (retributive justice). Sedangkan hukum adat cenderung menyelesaikan perkara secara integral yang meliputi pelaku, korban, dan masyarakat yang terkena dampak tindak pidana, (restorative justice).

“Para tokoh adat harus berkumpul untuk musyawarah melibatkan Ahmadiyah. Konflik horizontal lebih efektif diselesaikan dengan para tokoh adat,” ujar Fery.
VN:F [1.9.6_1107]

Thursday, February 03, 2011

Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Pidana

(Makalah ini Disampaikan dalam Diskusi Publik di Rumah Dunia, Banten, 4 Februari 2011 atas kerjasama Rumah Dunia dan Banten Institute dan Seminar Internasional Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda, Jatinangor, 9-10 Februari 2011. Diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bekerja sama dengan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata)

(Diperkenankan mengutip dengan menyebutkan sumber untuk kepentingan akademik)

Oleh: Ferry Fathurokhman

Abstrak
Hukum Pidana Adat adalah disiplin ilmu hukum yang direkomendasikan untuk dipelajari dan digali oleh berbagai para ahli hukum, seminar hukum nasional, dan Kongres PBB Mengenai Penanggulangan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan. Rekomendasi tersebut didasarkan pada kepentingan hukum nasional dalam upaya pembaharuan hukum nasional agar hukum tidak semakin menjauh dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat dalam rangka membangun hukum nasional. Latar belakang pemikiran tersebut kemudian dituangkan dalam makalah ini dengan judul Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana.

Makalah ini mendasarkan pada dua pokok permasalahan yang disusun dalam pertanyaan besar bagaimanakah sistem hukum pidana substansif adat Baduy? Dan bagaimana hukum pidana substansif adat Baduy dapat berperan dalam memberikan kontribusi pada pembaharuan hukum pidana nasional? Tujuan makalah ini untuk mengetahui sistem hukum pidana substansif adat Baduy dan mencari nilai-nilai universal hukum pidana substansif adat Baduy yang dapat dikontribusikan dalam pembaharuan hukum pidana nasional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum pidana adat Baduy merupakan hukum yang tidak tertulis yang mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara integral yang meliputi pemulihan kepentingan korban, kepentingan pelaku dan kepentingan masyarakat. Hukum pidana adat Baduy mengenal berbagai jenis tindak pidana berikut konsep pertanggungjawaban dan sanksi hukumnya.

Hukum pidana adat Baduy juga mengenal tindak pidana santet dan pidana ganti rugi dengan berbagai karakteristiknya yang perlu dipertimbangkan untuk diakomodir dalam konteks pembaharuan hukum pidana nasional

Kata kunci: Hukum pidana adat Baduy, pembaharuan hukum pidana, penyelesaian perkara integral.
1. PENDAHULUAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai diberlakukan untuk seluruh wilayah di Indonesia dengan adanya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada dasarnya, KUHP yang diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia tersebut merupakan warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 No 732), sehingga dapat dipahami jika asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia. Pemberlakuan KUHP tersebut menjadi keunikan tersendiri manakala sebenarnya Indonesia telah memiliki hukum sendiri, jauh sebelum Belanda datang dan mengenalkan KUHP di Indonesia. Beberapa kritik pernah dilontarkan pelbagai kalangan terkait pemberlakuan Hukum Belanda tersebut di Indonesia. Kritik tersebut diantaranya justru lahir dari kalangan Belanda sendiri seperti sebagaimana pernah dilontarkan J van der Vinne, yang mengemukakan keberatan-keberatan, yang terutama bersandar pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal (niet geëigend) jika diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia):
“Buat suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama nasrani dan penyembah berhala yang mempunyai pelbagai agama serta adat istiadat, sedangkan penduduknya yang beragama Islam amat besar kesetiaannya pada sendi-sendi agamanya serta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diperlakukannya hukum Belanda akan berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat daripada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain berhubung dengan tempat atau daerah ataupun golongan manusia (orang-orang) di Hindia.”

Belakangan, Satjipto Rahardjo menulis bahwa sebelum Belanda, dan dengan demikian berbagai institut yang dibawanya, masuk di Indonesia di abad ketujuhbelas, negeri ini sudah mengenal tatanan sosial dan kehidupan yang telah berkembang, Belanda tidak menemukan suatu komunitas yang primitif, melainkan berbagai kerajaan dan karya-karya budaya fisik maupun non fisik yang terkadang berkualitas dunia, seperti candi Borobudur. Daniel S Lev, menggambarkan kondisi hukum di Indonesia sebelum bertemu dengan barat sebagai berikut: “Before then many different legal orders existed, independently within a wide variety of social and political systems”.
Berkaitan dengan hal di atas, Moeljatno dalam bukunya Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-undang Tentang Asas-asas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Indonesia mengingatkan resolusi bidang hukum pidana yang dihasilkan dalam Seminar Hukum Nasional 16 Maret 1963 sebagai berikut:
1. Menyerukan dengan sangat agar supaya rancangan kodifikasi Hukum Pidana Nasional selekas mungkin diselesaikan.
2. Dalam KUHP baru itu bagian umum (fundamentals), antara lain: asas legalita hendaknya disusun secara progresif sesuai dengan kepribadian Indonesia dan perkembangan Revolusi, setelah mempelajari perkembangan aturan-aturan pidana umum dalam KUHP, di negara-negara lain.
3. ....................................................................
4. Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut Hukum Adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.
5. .....................................................................
6. .....................................................................
7. ....................................................................
8. Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP.
9. ...................................................................
(Cetak tebal dari penulis)

Sejak seminar hukum nasional yang pertama tahun 1963 itulah kemudian Indonesia mulai mendesain pembaharuan hukum pidana dalam bentuk konsep (RUU) KUHP yang salah satunya dilakukan dengan cara menggali kearifan lokal dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hingga kini konsep KUHP yang terbaru adalah konsep 2008.
Selain itu, berbagai Kongres PBB mengenai Prevention Crime and the Treatment of Offenders juga telah menegaskan pentingnya memperhatikan nilai-nilai budaya yang ada pada tiap-tiap negara.
Hal tersebut misalnya terdapat dalam Deklarasi Caracas yang dihasilkan pada kongres PBB ke -6 tahun 1980 menegaskan:
-Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order. (garis bawah dari penulis).
-it is a matter of great importance and priority that programmes for crime prevention ant the treatment of offenders should be based on the social, cultural, political, and economic circumstance of each country, in a climate of freedom and respect for human rights, and that member states should develop an effective capacity policy, coordinate with strategies for social, economic, political and cultural development. (garis bawah dari penulis)
Komisi I Kongres PBB ke-6 yang membicarakan “Crime trend and crime prevention strategies “ antara lain menyatakan:
“ ......the corelation betwen development and increasing criminality could not be accepted as principle. ........development was not rationally planned, disregarded cultural and moral values and did not include integrated social defence strategies”.(garis bawah dari penulis).
Jadi, pada dasarnya pembangunan tidak menimbulkan meningkatnya angka kejahatan. Namun pembangunan yang tidak direncanakan dengan rasional, tidak menghargai budaya dan nilai moral membuat pembangunan menjadi salah satu faktor kriminogen.
Salah satu hukum pidana adat yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah hukum pidana adat Baduy. Terlebih penting sekadar pemaparan, makalah ini akan menyajikan nilai-nilai ataupun kaidah yang dapat dikontribusikan pada pembaharuan hukum pidana nasional.
2. PEMBAHASAN
Sulit untuk menuangkan seluruh hasil penelitian mengenai hukum pidana adat Baduy dalam jumlah halaman yang terbatas dalam makalah ini. Oleh karenanya, pemaparan mengenai hukum pidana adat dan nilai-nilai yang dapat dikontribusikan dalam konsep KUHP kiranya akan disampaikan sarinya saja. Namun sebelum itu, saya kira perlu dipaparkan terlebih dahulu hal-hal umum mengenai Baduy.
Dalam 19 pembagian lingkungan/lingkaran hukum (rechtskring) adat yang dibuat Van Vollenhoven, Baduy yang berada di Provinsi Banten masuk dalam kategori lingkungan hukum adat terakhir, ke 19. Sebenarnya, lingkungan hukum adat ke 19 tersebut tidak dinamakan lingkungan hukum adat Banten oleh Van Vollenhoven, tetapi lingkungan hukum adat Jawa Barat. Jakarta Raya, Banten, Priangan, Cirebon dikategorikan masuk dalam kukuban-kukuban hukum dalam lingkungan hukum adat Jawa Barat oleh Van Vollenhoven. Banten sendiri dalam perkembangannya kemudian menjadi provinsi yang terpisah dari Jawa Barat sejak tahun 2000. Menurut Mahadi, pekerjaan Van Vollenhoven dalam membagi lingkungan hukum adat belumlah tuntas. Hal ini dapat dipahami mengingat lingkungan hukum adat tersebut masih sangat umum sementara didalam satu lingkungan hukum adat sendiri banyak terdapat corak perbedaan seperti hukum adat Baduy dengan hukum adat di daerah priangan pada umumnya.
Secara adminstratif, masyarakat Baduy berada di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Kabupaten Lebak sendiri terletak di sebelah selatan Banten sehingga lazim juga disebut sebagai Banten Selatan.
Menurut Ayah Mursyid, wakil jaro (kepala kampung) Cibeo, Baduy tidak memiliki kitab mengenai larangan-larangan dalam adat Baduy. Namun hal ini tak berarti bahwa tetua adat Baduy dan masyarakatnya tak mengetahui larangan-larangan dalam adat Baduy. Pengetahuan mengenai larangan adat diperoleh masyarakat secara turun temurun berdasarkan budaya lisan dan kebiasaan.
2.1. Struktur Adat Baduy.
Struktur adat dalam masyarakat Baduy digambarkan sebagai berikut:







Sumber skema: Wawancara Jaro Sami dan Ayah Mursyid
Keterangan:
Puun = Pemimpin adat tertinggi yang ada di masing-masing Baduy Dalam yang disakralkan dalam hal spiritual. Saat ini Puun Cibeo dijabat Jahadi, Cikartawana Puun Sangsang, di Cikeusik Puun Yasih.
Girang Seurat = Tokoh adat yang diberi kewenangan dan membidangi masalah pertanian, dijabat oleh 2 orang: Seurat Arwi di Cibeo dan Seurat Samin di Cikeusik.
Jaro Tangtu = Kepala kampung yang ada di tiap kampung Baduy Dalam. Saat ini dijabat oleh Jaro Sami (Cibeo), Jaro Damin (Cikartawana), Jaro Alim (Cikeusik)
Baresan Salapan/tujuh = Pembantu puun yang ada di Baduy Dalam. Di Cibeo ada 9, di Cikeusik ada 9 (maka disebut Baresan salapan), di Cikartawana ada 7 maka disebut Baresan tujuh. Jumlah penduduk Cikartawana lebih sedikit dibanding Cibeo dan Cikeusik.
Tangkesan = Penasehat Jaro 7 atau Jaro Dangka, berfungsi dalam hal urusan adat, tangkesan ini semacam dukun yang terkadang diminta menujum seorang pelaku tindak pidana. Pada dasarnya posisi struktur tangkesan lebih tinggi dari Tanggungan. Tangkesan dijabat 1 orang yang saat ini berada di Cicatang.
Tanggungan/Jaro 12 = Mirip tangkesan, sebagai penasehat Jaro 7/Jaro Dangka namun lebih berfungsi sebagai saksi dalam pelaksanaan kegiatan Jaro7. Tanggungan/Jaro 12 dijabat oleh satu orang, saat ini dijabat Saidi Putra di Katuketer Hilir.
Jaro 7/Jaro Dangka = Tokoh adat yang berfungsi menegakan hukum adat (termasuk hukum pidana adat). Berjumlah 7 orang yang tersebar di : Dangka Cibengkung, Dangka Cihandam, Dangka Cipatik, Dangka Panyaweyan, Dangka Carungan, Dangka Nungkulan, Dangka Warega. Kesemuanya adalah Jaro 7. Pusat Jaro 7 ada di Warega.
Kepala Desa = Kepala Desa Kanekes yang saat ini dijabat Jaro Dainah/Jaro Pamarentahan (Jaro Pemerintahan) berfungsi sebagai penghubung antara Baduy dengan lingkungan luar termasuk persoalan tindak pidana yang tidak bisa diselesaikan di Baduy (melibatkan hukum negara).

2.2. Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Adat Baduy
Konsep Bentuk Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Adat Baduy adalah sebagai berikut:





Sumber: Wawancara Jaro Sami, Ayah Mursyid, dan Jaro Dainah.
Dalam upacara ngabokoran beberapa bahan untuk ngabokoran disediakan oleh keluarga pelaku diantaranya perangkat sepaheun: sereh, gambir, pinang. Jika si pelaku sudah meninggal namun belum sempat ngabokoran, maka bahan ngabokoran ditambahkan dengan menyan.
Dalam upacara serah pati pada prinsipnya sama dengan ngabokoran, memohon maaf pada leluhur karena si pelaku dan desa telah tercemar dengan tindak pidana. Namun upacara serah pati dilakukan atas tindak pidana yang dianggap berat misalnya pembunuhan, sebab dalam pembunuhan si pelaku telah menghilangkan nyawa/ngalengitkeun jiwa yang merupakan hak yang maha kuasa.
2.3. Hukum Formil (Prosedural) Pidana Adat Baduy
Prosedur penyelesaian tindak pidana di Baduy adalah sebagai berikut:












Sumber: Wawancara Jaro Sami dan Ayah Mursyid

Keterangan:
1. Silih ngahampura = saling memaafkan
2. Dikaluarkeun = dikeluarkan dari Baduy Dalam ke Baduy Luar, atau dikeluarkan dari Baduy Luar ke luar Baduy (bagi warga Baduy Luar)
3. Ditegor = ditegur
4. Dipapatahan = dinasehati
5. Jaro Tangtu adalah jaro (kepala kampung) di Baduy Dalam.
6. Jaro 7/Jaro Dangka adalah bagian dari struktur adat yang ditugasi dalam menegakan hukum (pidana) adat Baduy yang berjumlah 7 orang dan berada di Baduy Luar.
7. Puun adalah tokoh adat tertinggi yang ada di masing-masing Baduy Dalam yang disakralkan dalam hal spiritual.
8. Ngabokoran upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu berat yang dilakukan di Cihulu, Sarokokod/Panyaweyan, Cibengkung (tergantung asal daerah pelaku). Perlengkapan bokor disediakan pihak pelaku yang meliputi : sereh/sirih, gambir, apu, menyan, boeh/kain kafan, keris. Sereh kemudian didahar/dimakan oleh perangkat adat: puun, girang serat, baresan salapan, jaro tangtu. Yang menobatkan si pelaku adalah jaro tangtu dan puun, puun kemudian meneruskan penobatan pada leluhur.
9. Serah pati upacara pembersihan batiniah yang serupa dengan bokor tetapi dilakukan atas tindak pidana berat (mengakibatkan kematian).

2.4. Hukum Pidana Materiil Adat Baduy
Beberapa jenis tindak pidana di Baduy adalah sebagai berikut : Fitnah/Pencemaran Nama Baik, Zina, Perkosaan, Pencurian, Penipuan, Penganiayaan, Pembunuhan, Santet (Julid), Sengketa Tanah. Selain itu beberapa tindak pidana (larangan) yang memiliki kekhas-an Baduy adalah sebagai berikut:
a. Larangan foto dan gambar audio visual (Berlaku di wilayah Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik).
b. Larangan Merokok (Khusus warga Baduy Dalam)
c. Larangan Menggunakan Emas (Khusus warga Baduy Dalam)
d. Larangan Poligami dan Poliandri (Berlaku bagi warga Baduy Dalam dan Luar)
e. Larangan Minuman Alkohol (Berlaku bagi warga Baduy Dalam dan Luar)
f. Larangan Menggunakan Pakaian modern (Berlaku bagi warga Baduy Dalam)
g. Larangan Menggunakan Alat Mandi (Berlaku di wilayah Baduy Dalam)
h. Larangan Menggunakan Kendaraan (Berlaku bagi warga Baduy Dalam)
i. Larangan Orang asing Memasuki Wilayah Baduy Dalam
j. Larangan Bersekolah dan Mendirikan Sekolah (Berlaku bagi warga Baduy Dalam, Luar dan wilayah Baduy)
k. Larangan Mendirikan Masjid
l. Larangan Mengolah Tanah Menjadi Sawah

2.5 Kontribusi Hukum Pidana Adat Baduy terhadap Pembaharuan Hukum Pidana (Konsep KUHP).
Hukum adat pada dasarnya telah diakomodir dalam konsep KUHP. Misalnya dalam Pasal 1 ayat 3 yang memberi tempat bagi asas legalitas materiil (hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum). Namun demikian penelitian hukum pidana adat Baduy yang telah dilakukan memberikan gambaran tentang beberapa hal yang patut untuk diakomodir dalam Konsep KUHP.
a. Santet (Julid)
Konsep KUHP 2008 telah mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan santet (kekuatan gaib) dalam Pasal 293 . Namun pengaturan tersebut hanya untuk orang yang menawarkan bantuan jasa kepada orang lain melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang. Sementara jika santet tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri si pelaku santet maka Konsep KUHP belum dapat menjangkaunya. Hukum Pidana Adat Baduy mengatur larangan menawarkan bantuan jasa santet dan juga melakukan santet atas inisiatif sendiri. Sehingga patut dipertimbangkan untuk memasukan rumusan pengaturan orang yang melakukan santet atas kehendak dan kemampuannya sendiri. Santet (julid ka papada) merupakan dosa/ tindak pidana yang sangat berat hukumannya dalam hukum pidana adat Baduy, dalam riwayat, menurut jaro sami, pelaku santet dihukum dengan cara ditalian dibalangkeun ka laut.

b. Ganti Kerugian
Hukum pidana adat Baduy mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara integral yang mengorientasikan pada pemulihan korban, pelaku dan keseimbangan masyarakat. Dalam beberapa hal konsep tersebut mirip dengan konsep restorative justice yang dikembangkan John Braithwaite, dosen, kriminolog dan peneliti pada Australia National University. KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal konsep ganti kerugian, hal ini menunjukan penyelesaian perkara pidana lebih diorientasikan pada pelaku (retributive justice) dan korban (victim) cenderung ditinggalkan. Konsep KUHP 2008 telah mengakomodir kepentingan korban dengan mengantur ganti rugi sebagai jenis pidana tambahan dalam Pasal 67 ayat 1 huruf d (pembayaran ganti rugi sebagai jenis pidana tambahan). Namun pengenaan pidana tambahan ganti rugi dalam Konsep KUHP masih terbatas pada tindak pidana tertentu saja, misalnya kekerasan terhadap orang atau barang; mengakibatkan cidera pada badan orang; mengakibatkan luka berat; mengakibatkan matinya orang (Pasal 306 ayat 1 dan 2 Konsep KUHP 2008). Dalam hukum pidana Adat Baduy, pidana ganti kerugian adalah jenis pidana yang melekat pada setiap tindak pidana yang menimbulkan korban. Jadi ganti rugi (secara proporsional) merupakan hak korban, kecuali jika korban melepaskan haknya, maka pidana ganti kerugian tidak perlu dikenakan pada pelaku. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang bersifat integral dan juga mengorientasikan pada kepentingan korban, hendaknya konsep KUHP juga memuat ganti kerugian sebagai jenis pidana tambahan yang melekat pada setiap tindak pidana yang menimbulkan korban.

3. SIMPULAN

3.1 Simpulan
1. Hukum pidana adat Baduy memiliki sistem hukum pidana substantif yang meliputi hukum formil/prosedural, hukum materiel/susbtantif dan hukum pelaksanaan pidana.
2. Perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan sanksi dalam hukum pidana substantif adat Baduy dirumuskan secara tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab. Pengetahuan dan pemahaman hukum pidana substantif adat Baduy dilestarikan melalui budaya lisan tutur secara turun temurun.
3. Konsep pertanggungjawaban sanksi hukum dalam Hukum pidana substantif adat Baduy diorientasikan pada penyelesaian perkara secara integral yang meliputi pemulihan kepentingan korban (victim oriented), kepentingan pelaku (offender oriented) dan kepentingan masyarakat (community oriented) sehingga keseimbangan dalam masyarakat kembali terjaga.
4. Hukum Pidana Substantif Adat Baduy memiliki ketentuan mengenai konsep pelaku santet dan konsep ganti rugi yang diorientasikan pada kepentingan hukum korban dan masyarakat yang belum diakomodir dalam Konsep KUHP 2008.

3.2 . Rekomendasi
1. Sebagaimana hukum pidana adat Baduy, pembaharuan hukum pidana nasional hendaknya mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara integral yang meliputi pengakomodiran kepentingan korban, kepentingan pelaku dan kepentingan masyarakat.
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan santet sebagaimana terdapat dalam hukum pidana adat Baduy dan konsep KUHP 2008 hendaknya tetap dipertahankan keberadaannya dan mempertimbangkan untuk mengkriminalisasikan dan memformulasikan tindak pidana santet yang dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan santet atas inisiatif sendiri mengingat eksistensi dan fenomena santet yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
3. Konsep ganti rugi sebagaimana ada dalam hukum pidana adat Baduy yang melekat kepada setiap tindak pidana hendaknya diadopsi Konsep KUHP dan selalu diperhatikan hakim sehingga penyelesaian perkara pidana secara integral dapat terlaksana.
4. Nilai-nilai universal hukum adat yang telah diakomodir dalam pembaharuan hukum pidana nasional hendaknya dipertahankan dengan berdasarkan pada kajian-kajian hukum adat secara berkesinambungan.




DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti.2002.

-----------------------------.Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Semarang. Pustaka Magister. 2008.

---------------------------------. Kebijakan Legislastif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang. Badan Penerbit Undip. 2000.

---------------------------------. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia). Semarang. Badan Penerbit Undip. 2007.

----------------------------------. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta. Kencana Prenada Media. 2008.

----------------------------------. Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional. Semarang. Pustaka Magister. 2008.

----------------------------------. Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia. Semarang. Penerbit Pustaka Magister Undip. 2008


Braithwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. New York. Oxford University Press. 2002.

.

Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. MembukaTabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug. 2004.

Enschede, Ch.J, dan A. Heijder (terjemahan R Achmad Soema Dipradja). Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung. Almuni. 1982.

Friedman, Lawrence Meir. The Legal System. A Social Science Perspective. Russel Sage Foundation. New York. 1975.

-------------------------------------. The Horizontal Society. London.Yale University Press. 1999.

Gautama, Sudargo dan Robert N Hornick. An Introduction to Indonesian Law, Unity in Diversity. Bandung. Alumni. 1983.

Hadisuprapto, Paulus. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang. Bayu Media. 2008.

Hartono, Soenaryati. Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1981.

----------------------------. Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke- 20. Bandung. Alumni. 1994.

Hadikusumah, Hilman. Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat. Bandung. Alumni. 1980.

Kanter, E.Y. dan S.R.Sianturi.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.Jakarta. Storia Grafika.2002.
Kartika, Sandra dan Candra Gautama. Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1999.

Ketut Sutha, I Gusti. Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat. Yogyakarta. Liberty.1987.

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Sinar Baru. 1984.

Mahadi. Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854. Bandung. Alumni. 1991

Michrob, Halwany. The Way of Life: Suku Baduy as a Cultural Interest. Jakarta. Asean Writer Workshop. 1996.

Moeljatno. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-undang Tentang Asas-asas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Indonesia. Jakarta. Bina Aksara.1985.

-------------. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. 2002.

Morris, Allison and Gabrielle Maxwell. Restorative Justice for Juveniles, Conferencing, Mediation and Circles. North America (US and Canada). Hart Publishing. 2001.

Muhyidin, Mansyur. Banten Menuju Masa Depan. Cilegon. Yayasan Kiyai Haji Wasyid. 1999.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. Alumni. 2005.

Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2005.

-------------------------------------. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang. BP Undip. 2005.

Permana, R. Cecep Eka Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta. Wedatama Widya Sastra. 2006.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2006.

-------------------------. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta.Genta Press. 2008.

-----------------------. Biarkan Hukum Mengalir. Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Penerbit Buku Kompas, 2007.

-----------------------. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta. UKI Press. 2006.

Rato, Dominikus. Pengantar Hukum Adat. Yogyakarta. LaksBang Pressindo. 2009.


Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung. Assyamil.2000.

Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Alumni. 2002.

Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta. Rajawali Press. 1985.
--------------. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta. Raja Grafindo Persada.1996.

Soekanto dan Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Hukum Adat.Bandung. Alumni. 1978.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.2007.

Soemarman, Anto. Hukum Adat. Perspektif Sekarang dan Mendatang. Yogyakarta. Adicita Karya Nusa. 2003.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Permasalahan Hukum di dalam Masyarakat. Bandung. Alumni.1980.

Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta Pradnya Paramita. 1982.

Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto. 1980.

Sudiyat, Iman. Hukum Adat, Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. 1981.

Suhada. Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah. Dinas Pendidikan Propinsi Banten. 2003.

Supomo, R. dan R. Djokosutono. Sejarah Politik Hukum Adat (Djilid II). Jakarta. Djambatan. 1954.

Ter Haar Bzn, B. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en stelsel van Adatrecht). Jakarta. Pradnya Paramita. 1981. Terjemahan K.Ng. Soebakti Poesponoto.

Tjipian, Kaum. Evolusi Pemikiran Hukum Baru: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Hukum Progresif. Yogyakarta. Genta Press. 2009.

Utrecht, E. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta. PT Penerbitan Universitas.1966.

--------------. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya. Pustaka Tinta Mas.1994.

Van Apeldoorn. L.J. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita. 1981.

Van Vollenhoven, Cornelis. Penemuan Hukum Adat (De ontdekking van het adatrecht). Terjemahan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta. Jambatan.1981.

Wignjodipuro, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta. Gunung Agung.1982.

Wiranata, I Gede AB. Hukum Adat Indonesia, Perkembangnya dari Masa ke Masa. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2005.

Yani, Ahmad. Etnografi Suku Baduy. Banten. Himpunan Pramuwisata Indonesia. 2008


Makalah

Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum dengan Pendekatan Religius dalam Konteks Siskumnas dan Bangkumnas. Makalah dalam Seminar “Menembus Kebuntuan Legalitas Formal Menuju Pembangunan Hukum dengan Pendekatan Hukum Progresif”, FH UNDIP, 19 Desember 2009


Jurnal

I.G.N Sugangga. Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Vol.XXXII No.2 April-Juni 2003.

Aroma Elmina Martha. Denda Adat dalam Penjatuhan Pidana (Studi Kasus Kekerasan di Pengadilan Negeri Merauke Papua. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum.UII. Perkembangan Lembaga Peradilan di Indonesia. No 26 vol 11 2004.

Ferry Fathurokhman. Pengakuan Asas Legalitas Materiil Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Sebagai Ius Constituendum. Jurnal Ilmu Hukum Litigasi. FH Unpas. Volume 10 Nomor 3. Oktober 2009.

------------------------------. Menerebos Kekakuan Legalitas Formil dalam Hukum Pidana. Jurnal Hukum Progresif. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Volume 4/Nomor 1/April 2008.