Friday, December 16, 2011

Kisah Saljuku yang Pertama

Ini tulisan refreshing, ini tulisan yang easy reading saja, tentang salju pertama dalam hidupku. Melatih kembali otak dan jari-jari yang mulai kaku menari di atas keyboard.
Alhamduillah per 14 Oktober 2011 aku diberikan kesempatan olehNya mengunjungi sisi lain bumi ini, Kanazawa. Kanazawa adalah ibu kota Prefektur (Provinsi) Ishikawa, salah satu prefektur di Jepang. Kota yang ramah dan dikenal dengan kekayaan budayanya. Aku tiba menjelang winter (musim salju), jadi bisa melihat tahapan turunnya salju. Hari ke hari temperatur di Kanazawa semakin turun, dari 16 derajat celcius ke 11, 6, 4,1.
Suatu hari entah di suhu berapa gerimis turun di kampus. Menakjubkan, tetesan air berubah menjadi es-es kecil yang berpelantingan saat menyentuh aspal yang dingin, mengingatkanku akan Bandung dua puluh tahun lalu.
Ira Taskirawati, rekan dosen dari Universitas Hasanudin mendebatku, “Itu bukan hujan salju itu hujan es, belum salju kang Ferry anu kasep sa Wakunami! Wakunami adalah nama daerah tempat apato (apartemen) kami berada. Menjelang malam menuju apato, kumpulan kecil es nampak memenuhi jas hujan yang kusimpan di keranjang depan sepeda. Kucicipi segenggam kecil kumpulan es tadi. Segar. Kurasa aku mulai menyukai kota ini.
Hari-hari berikutnya hujan es mulai sering, jika sedang naik sepeda menuju kampus, rasanya seperti dilempari kerikil2 kecil yang dingin, seru, apalagi jika sudah kena telinga, peureus (bahasa sunda, yang susah dicari padanan katanya, apa ya, peureus tuh rasa seperti habis disintreuk/disentil).
Kami berpikir ini mungkin cara pemilik bumi ini mendesain temperatur secara bertahap, salju tidak ujug2/tiba-tiba datang sehingga tubuh kita bisa beradaptasi dengan suhu menuju 0 derajat hingga minus secara bertahap. Apalagi orang Indonesia seperti kami, perlu adaptasi menghadapi salju, tapi menurut Acep Purqon—dosen ITB-Kanazawa University yang sudah kami anggap kakak sendiri, meski Ianya belum tentu mau menganggap kami adik -- orang Indonesia adalah orang yang paling mudah beradaptasi di Jepang dibanding orang dari negara lain. Kemampuan adaptasi itu memang saya lihat sendiri, Insafitri, rekan dosen dari Universitas Trunojoyo leluasa masuk dapur orang-orang Jepang karena keluwesan dan kemampuan memasak masakan Indonesia, salah satu sensei (dosen) pernah minta diajari masak masakan Indonesia. Insafitri mengklaim mereka menyukai masakannya , tapi memang sejauh saya mencicipi masakannya, memang selalu enak. Di Jepang cuma ada 2 rasa: enak dan enak banget (ini menurut Astrit ‘Acit’ atau siapa saya lupa, teman-teman Double Degree ITB-Kanazawa Univ, dan memang ternyata demikian, hanya ada 2 rasa).
Balik lagi ke salju, setelah beberapa kali hujan es kecil, meski sebentar, salju akhirnya turun di malam hari setelah kami latihan tari Lulo (Sulawesi Tenggara) untuk pertemuan dengan perhimpunan persahabatan Jepang Indonesia (komunitas orang Jepang penyuka Indonesia). Seperti anak kecil bermain hujan semua gembira menyambut salju, ada yang menjulurkan lidah menyambut salju, ada yang mengumpulkan di sarung tangan dan mencicipinya. Sepanjang jalan pulang dari tempat latihan diselingi dengan sesi foto-foto. Tapi sejak saat itu salju tak pernah turun lagi selama seminggu.
Kami sudah mulai terbiasa dengan dingin. Hingga akhirnya butiran lembut putih itu datang lagi kemarin (16/12/2011). Aku di depan laptop di ruanganku di lantai 3. Yahoo Messenger berkedip. Gemala Anjani, rekan dosen pakar nutrisi dari Undip.
“Pulang kapan kang?”
“Masih lama, mau ke perpus perpanjang buku”
“Pulangnya jalan aja sih, hujan salju loh”

Segera kuhampiri jendela dan menyibakan tirai, subhanallah, putih menyelimuti pepohonan, jalan dan genting bangunan di bawah! Salju!

Urusan buku selesai. Janjian dengan Ema, di gedung Natural Science and Technology. Simbiosis mutualisme sebenarnya. Ia perlu teman jalan, saya perlu kamera Iphonenya dan berbaur dengan keajaiban alam ini. Kami bersepakat tentang dua hal. Pertama, suasananya sangat sempurna, malam, jalan, hujan salju, sangat indah. Kedua, Ema dan saya mengurangi kesempurnaannya . Aku menginginkan yang berjalan di sampingku adalah Dewi Wahyuni, ibu dari anak-anaku, tapi yang ada malah Ema . Ema menginginkan seseorang lain (yang belum jelas ) berjalan di sampingnya. Kami mengukir masing-masing nama itu di salju. Aku dan istriku, nampak romantis. Ema dan ***, nampak norak . Siapapun suami Ema kelak, orang Jepangkah, Indonesiakah, aku akan ikut merasa senang. Kami semua disini sudah seperti saudara, sudah biasa saling menghibur dan menghina.

Display di pinggir jalan menunjukan 0 derajat celsius! Dalam dunia hitung-hitungan yang kuingat di SMA, 0 derajat celsius adalah titik beku sementara 100 derajat celcius adalah titik didih.

Aku menyukai salju sebagaimana ia menyukaiku. Kadang ia kumakan dengan dua cara: lembut dan keras. Jika menginginkan salju lembut sapu saja dengan telapak tanganmu, langsung makan. Rasanya sama dengan seperti menyapu butiran salju di freezer kulkas kita. Sejak kecil aku suka makan kerokan butiran es di freezer. Kebiasaan itu diikuti dan disukai Aisyah, putri keduaku yang berumur 2 tahun, Ia suka makan es dari freezer, ekspresinya saat makan butiran es lembut sangat lucu. Kalau istilah Jawanya ngangeni. Cara kedua makan salju adalah dengan dipadatkan dalam genggaman tangan. Ini bisa seperti kue, aku menyebutnya kue salju. Bunyi krek saat kue salju digigit mirip dengan kue lebaran putri salju. Kue salju ini mirip es geprok yang dijual di SD-SD jaman dulu. Gusrukan/parutan es batu yang dipadatkan dengan cetakan batok kelapa kecil segenggaman tangan lalu dilumuri sirup merah, kuning atau oranye (udah lama gak pakai kata oranye  karena mulai digantikan dengan orange (orenj.pen)). Jenis es geprok ini juga ternyata ada di India juga sebagai jajanan jalanan. Kalau anda pernah nonton Tare Zameen Par (Every Child is Special/little star in the earth) yang disutradarai Aamir Khan, anda akan menemukannya dalam babak saat Ihsan membolos sekolah dan melihat semua aktifitas hiruk pikuk manusia dan keindahan alam. Ini film bagus, inspiratif, highly recommended.

Di apato aku dan Irfan Prasetia (dosen Univ Lambung Mangkurat), teman apatoku, girang bukan main, seperti anak kecil melihat mainan seru, melemparku dengan bola salju, agak kurang ajar memang, tapi sebagai 'kakak' (untuk tidak menyebut yang lebih tua:) aku harus bersabar menemaninya bermain. Tiduran di atas salju dan memandang salju yang turun dari langit adalah keasyikan tersendiri. Indah sekali, sayang begitu menengok yang di sebelah bukan Dewi Wahyuni, tapi Irfan Prasetia :) Piss Pak Irfan.

Di musim salju, mobil2 berjalan lebih pelan karena resiko tergelincir. Bannya pun khusus ban yang didesain menghadapi salju, lebih banyak guratannya. Dalam kondisi ekstrim ban dilapisi rantai.
Jepang punya 4 musim: Winter, Sring, Summer, Autumn (Kalau di-Indonesiakan bebas menjadi musim salju, semi, panas dan gugur). Rudy Yusuf rekan dosen sastra dan antropolog Univ Hasanudin menyarankan berfoto di satu tempat yang sama di 4 musim yang berbeda agar bisa terlihat perbedaannya. Aku, Rudy Yusuf, Herlambang Saputra (Poltek Univ Sriwijaya), dan Irfan telah memilih tempat dan berfoto di salah satu bangku taman kampus dengan latar autumn, saat daun-daun mulai memerah dan berguguran. Idenya seperti dalam cover album Guns N Roses yang sedang duduk dan menulis lirik lagu, agak norak memang.
Aku berencana bermain ski di winter ini. Rido Lesmana, sobat SMA yang tinggal di Jepang dan mencintai negeri ini (berikut orangnya  (Ia kemudian menikah dengan Asami dan tinggal di Chicibu, Prefektur Saitama)), menanyakan arena ski di Kanazawa. Ada satu di Kigoyama, tempatnya bagus, Jika ada kesempatan mungkin kami bisa bertemu.
Tulisan ini harus disudahi, aku ingin mencoba sepatu bootku di salju. Hmmm.. beruntunglah menjadi orang Indonesia, karena kita diberikan kemudahan beradaptasi. Semua makanan bisa kita makan disini kecuali yang diharamkan untuk dimakan. Miss Komatsu teman ruanganku belakangan bersyukur saat melihatku makan kerupuk Jepang dan berbagi dengannya. Dari awal ia sebenarnya ingin menawarkan makanan Jepang padaku tapi khawatir karena ada larangan yang ia tidak terlalu hapal. Lalu kukatakan aku pemakan segala, semacam omnivora, kecuali babi, sake, wine, bir, ayam dan hewan yang tidak disembelih dengan cara Islam, untuk segala jenis flora dan fauna di laut aku bisa makan semuanya . Ada pepatah asing bagus yang mirip dengan “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yakni “when you in Rome, do as Romans do,” (thanks to Miss Dolok (rekan Udayana) yang telah berhasil menggali pepatah ini dari Carol (Native dari Maine, U.S)). Jadi semua makanan Jepang bisa kumakan sejauh tidak diharamkan .
Kali ini benar-benar akan disudahi. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan, jadikan kami mahluk yang bersyukur, seperti salju yang menuruti perintah untuk turun ke bumi. Selamat datang salju, yokoso yuki!
***
*Judul tulisan ini terinspirasi dari lagu Vina Panduwinata tentang surat cinta dengan sedikit perubahan, judul awalnya bukan ini, sudah saya edit karena terlalu panjang. Judul awalnya “Kisah saljuku yang pertama, membuat hatiku meronta, seperti melodi yang indah, butir-butir saljunya”

No comments: