Monday, September 03, 2012

Memahami Kegagalan

Tanggal 29 Agustus 2012 adalah hari di mana saya terdiam seketika.
Hari itu adalah hari pengundian untuk mendapatkan rumah milik Pemerintah Kota Kanazawa, Provinsi Ishikawa, Jepang. Ada berbagai keuntungan yang didapat jika menempati rumah di daerah Okuwa Machi tersebut. Secara keseluruhan seperti ini:  harga sewa murah, sekolah untuk anak dekat, taman bermain dan pusat belanja harian juga dekat. Ini memudahkan bagi orang yang tidak memiliki mobil.
Saya mengajukan untuk mendapatkan rumah jenis 3 DK (3 kamar, 1 ruang makan (dinning) dan dapur (kitchen)). Jumlah pelamar ada 5, sementara rumah yang kosong hanya 4. Itu artinya akan ada 1 orang yang tidak mendapatkan dan pada akhirnya saya mengetahui 1 orang itu adalah saya.

Bagaimana perasaan saya setelah mengetahui saya tidak mendapatkan rumah tersebut?
Adalah bohong jika saya katakan bahwa saya tak bersedih. Segala rencana seketika buyar. Anak dan istri saya akan datang Insya Allah tanggal 17 Oktober 2012. Itu artinya saya harus mencari apato/apartemen yang memiliki fasilitas yang mirip dan itu tak mudah.
Saya terbiasa mendapatkan apa yang saya inginkan.  Maka banyak pertanyaan saya segera bermunculan di benak.
Saya percaya segala sesuatunya terjadi atas kehendak Allah, pemilik bumi ini. Maka pertanyaan saya adalah mengapa Allah tak menghendaki nama saya keluar sebagai orang yang berhak menempati rumah di Okuwa pada hari tersebut.
Lebih-lebih kenapa Allah memberikannya justru pada orang Jepang yang bukan Islam? Pertanyaan ini segera  mendapatkan jawaban saat saya teringat tafsir Al Fatihah di sebuah kelas Bada Subuh di Darul Hikmah. Adalah Badrudin yang menjawab dengan benar pertanyaan ustad Hantoni saat itu, apa perbedaan ArRahman dan ArRohim? ArRohman berlaku untuk semua manusia termasuk yang non muslim, sementara ArRohim hanya diberikan kepada muslim. Jadi rizki non muslim juga diatur, diberikan. Hati saya mengingatkan bahwa "Allah tak hanya mengurusi kamu saja Fer, tapi semua orang." Dan sedikit malu mencari-cari dan mengingat apa yang bisa saya banggakan padaNya, terpojokan setelah sulit menemukan hal yang dapat membanggakanNya.
 
Saya segera menyadari diri bahwa ada yang salah pada diri saya. Saya terlalu percaya diri dan bahkan sombong juga yakin akan mendapatkan rumah tersebut dengan menegasikan eksistensi Allah. Saya tak berdoa dan meminta dengan sungguh-sungguh.
Ada sekilas rasa kekecewaan saya terhadap Allah yang segera tersadar bahwa adalah Allah yang lebih pantas kecewa terhadap saya. Entah sudah berapa kali saya mengecewakan Allah. Dan Allah sangat berhak menentukan segala sesuatu tentang saya.

Saya beruntung dikelilingi orang-orang baik. Mereka memberi nasihat dan membantu saya menganalisa tentang peristiwa ini. Pak Irfan, dosen Universitas Lambung Mangkurat, mengingatkan mungkin ada sesuatu yang tidak baik jika saya di Okuwa, Allah berikan yang terbaik, dan kita tidak tahu apa itu.

Ramadhan seorang kawan Mesir, menghibur dengan hal senada, bahwa kita harus berprasangka baik padaNya. Ia memberikan kita yang terbaik menurutNya, bukan menurut kita.

Adalah benar bahwa saya masih berharap mendapatkan rumah tersebut. Tetapi yang juga mengkhawatirkan saya adalah kualitas hubungan saya denganNya. Saya lamban untuk berlari kepadaNya. Saya ingin diakui sebagai hambaNya. Saya ingin menjadi orang yang dapat dibanggakanNya. Tetapi keinginan saja adalah konyol tanpa disertai usaha dan demikian sebaliknya. Agama saya mengajarkan keseimbangan, dan saya merasakan tidak dalam situasi tersebut.

Saya ingin kembali memiliki hubungan dekat dan hangat. Saya ingin mengatakan bahwa saya menyerahkan segala sesuatu padaNya. Apapun yang Engkau berikan akan kuterima asal itu bisa kembali membuatku tenang. Dan berikan aku kekuatan untuk menjalaninya karena sebagaimana engkau tahu bahwa diri ini tak terlalu kuat dan lemah. Aku ingin berbisik dengan tulus bahwa aku mencintaiMu...