Friday, July 12, 2019

Turun Gunung: Leiden is lijden

Saya beruntung bisa menghadiri pemberian penghargaan Doktor Honoris Causa BJ Habibie di Nagoya University 2012 . Saat itu saya diamanahi sebagai Ketua Korda Hokuriku PPI Jepang dan oleh karenanya sekretaris bung M Akbar Bahar (sekarang di Belanda) dan bendahara Lia Hafiyani (saat ini di Inggris) setuju mengongkosi saya PP Kanazawa-Nagoya. Karena pakai uang rakyat saya bawakan 'oleh-oleh' tulisan dan dimuat di majalah issu PPI Jepang. Ada banyak hal yang bisa diambil dari pertemuan tersebut tapi kali ini saya akan bahas kerelaan Eyang Habibie untuk turun gunung.

Habibie adalah angkatan kedua yang diberangkatkan Bung Karno. Sang Bung punya visi menghubungkan nusantara, memiliki teknologi pesawat adalah keniscayaan bagi kita sebagai negara kepulauan. Bung dilengserkan, ide Habibie sempat terputus. Hingga akhirnya tahun 1973 ia pulang, diminta Soeharto wujudkan mimpi kembali ke ide awal. Saat itu masa sulit Habibie sudah berlalu, Ainun berhasil menabung dan membeli rumah di Jerman. Habibie bahkan menjabat sebagai Wakil Presiden di perusahaan penerbangan Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Jerman. Ia memutuskan kembali ke Indonesia, merancang awal membabad alas, meninggalkan zona nyamannya. Pos menristek disiapkan untuknya. Apa yang membuat ia pulang? Padahal dibanding posisinya di Jerman, berapalah gaji seorang menteri. Tentu saja ia tak menjelaskan eksplisit, tapi ide awal dan kecintaannya kepada negeri sudah cukup menjadi alasan dan mampu membuatnya meninggalkan kenyamanan.

Ada memang orang2 yang memilih untuk turun gunung bukan karena tak ada pilihan, tapi justru meninggalkan kenyamanan dan menghadapi penderitaan, memutuskan untuk mememimpin, untuk sesuatu yang lebih baik. Sebagaimana kata Agus Salim, Leiden is lijden, memimpin adalah menderita.

Damri, Cengkareng-Serang, 13 Juli 2019.