Sebuah Kajian Yuridis
Oleh : Ferry Fathurokhman*
Hari Ahad (2/7) tahun 2006 lalu saya pernah diundang Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera (DPD PKS) Serang. Agendanya adalah mendengarkan penjelasan tentang rencana pembentukan Kota Serang dari Ketua Tim Percepatan Pembentukan Kota Serang Tb Edy Mulyadi. Edy menggulirkan dan menjelaskan sejarah rencana pembentukan Kota Serang karena memang menurutnya wacana ini telah menjadi wacana publik yang bukan merupakan kepentingan elit, tapi seluruh warga Kota Serang nantinya. Sebab salah satu tujuan dibentuknya Kota Serang adalah menyejahterakan warga Kota Serang. Setelah pertemuan tersebut Bidang Polhukam DPD PKS meminta saya untuk mengkaji pembentukan Kota Serang dari sisi yuridis dan akademis. Apakah dengan terbentuknya Kota Serang nanti akan dapat lebih menyejahterakan masyarakat? Atau malah sebaliknya?
Maka sebagaimana telah saya paparkan pada Bidang Polhukam PKS yang rupanya sedang mengkaji rencana pembentukan Kota Serang dari berbagai sisi, saya merasa perlu dan merasa bersalah jika tak menuliskan hasil kajian tersebut pada publik, kabupaten induk, propinsi induk dan khususnya kepada masyarakat di enam kecamatan (Serang, Cipocok Jaya, Curug, Taktakan, Kasemen dan Walantaka) yang rencananya akan masuk wilayah Kota Serang.
Untuk membuat tulisan ini setidaknya saya mengkaji tiga Undang Undang (UU) dan satu Peraturan Pemerintah (PP). UU tersebut adalah UU nomor (No) 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Propinsi Banten, UU No 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depokdan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon dan PP No 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Saya juga mewawancarai dan diskusi dengan beberapa tokoh praktisi pemerintahan, akademisi di Fakultas Hukum Untirta (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa) dan mantan Presiden Mahasiswa Untirta Irfan Dadi, terkait aksi demonstrasi beberapa lembaga mahasiswa ekstrakampus saat ada pejabat Depdagri (Departemen Dalam Negeri) datang ke Serang.
Pada dasarnya syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU No 32 Tahun 2004 telah ditempuh dan dilakukan. Demikianpun dengan tujuh syarat yang diatur Pasal 3 PP No 129 Tahun 2000 yang meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah, telah dihitung dan tertuang dalam hasil penelitian yang dilakukan STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang mengacu pada PP No 129 Tahun 2000. Penelitian awal tersebut juga merupakan salah satu prosedur pembentukan kota yang diatur dalam Pasal 16 PP 129 Tahun 2000. Adapun untuk pembiayaan di tahun pertama sebuah kota yang baru dibentuk itu dibebankan pada kabupaten induk sebagaimana diatur pasal 18 dalam PP yang sama. Namun menurut Edy, hasil evaluasi Depadgri mengharuskan Pemerintah Propinsi Banten untuk mengalokasikan anggaran Rp 5 miliar selama dua tahun berturut-turut dan menyediakan infrastruktur pendukung bagi Kota Serang (Radar Banten, 10/01). Tentu Depdagri memiliki pertimbangan lain, sebab dalam PP 129 Tahun 2000 pembiayaan di tahun pertama hanya dibebankan pada kabupaten induk. Namun karena aspirasi pembentukan Kota Serang berasal dari bawah, bukan dari pusat, maka sudah sewajarnya pembiayaan awal penyelenggaraan pemerintahannya bukan dari pusat, tapi dari kabupaten induk dan tentu propinsi indukpun harus ikut menyuport dalam bentuk alokasi anggaran untuk Kota Serang.
Landasan Yuridis
Dasar yuridis yang sering disuarakan para inisiator pembentukan Kota Serang adalah bahwa Ibu Kota Propinsi Banten harus berada di daerah kota sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Pembentukan Propinsi Banten. Maka pembentukan Kota Serang adalah amanat Undang Undang Pembentukan Propinsi Banten. Landasan yuridis tersebut salah dan tidak benar. Tidak ada dasar hukum bahwa Ibu Kota Propinsi harus berada di wilayah kota. Ibu Kota Propinsi berada di wilayah kota hanya sebuah kelaziman, hanya pada umumnya. Sebenarnya hal ini pernah dijelaskan oleh Profesor Sadu Wasistiono dari STPDN saat menyeminarkan hasil kajian STPDN tentang pembentukan Kota Serang di DPRD Serang sekitar tiga tahun lalu. Demikian pula dengan UU No 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Propinsi Banten tak pernah mengamanatkan bahwa Ibu Kota Propinsi Banten harus berbentuk kota atau berada di Kota Serang. Dalam Pasal 7 Undang Undang tersebut disebutkan bahwa Ibu kota Propinsi Banten berkedudukan di Serang. Penjelasan pasal 7 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Serang sebagai Ibu Kota Propinsi Banten adalah sebagian wilayah yang berada di Kabupaten Serang. Ini artinya jika nanti Kota Serang terbentuk maka berdasarkan Undang Undang tersebut seharusnya Ibu Kota Propinsi Bantenpun harus pindah ke wilayah Kabupaten Serang. Karena UU tersebut menyebutkan bahwa Ibu Kota Propinsi Banten berada di wilayah Kabupaten Serang bukan Kota Serang.
Sebenarnya dasar alasan dibentuknya Kota Serang cukup dengan tujuan percepatan kesejahteraan masyarakat Kota Serang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP 129 Tahun 2000 tentang tujuan pembentukan ataupun pemekaran daerah. Karena karakteristik masyarakat perkotaan berbeda dengan masyarakat urban maka pelayanan dan perlakuannya harus dibedakan pula. Masyarakat perkotaan cenderung heterogen, industrial, individualis dan dinamis maka akan sangat efektif jika masyarakat dengan karakteristik tersebut berada di wilayah kota. Pertumbuhan ekonominyapun akan semakin cepat karena hanya melayani masyarakat di enam kecamatan dengan jumlah penduduk relatif sedikit dibandingkan beban kabupaten Serang yang harus melayani masyarakat di 34 kecamatan 357 Desa dan 20 kelurahan. Sebagai ilustrasi dan perbandingan, Kota Cilegon saat berpisah dari Kabupaten Serang hanya terdiri dari 43 Desa dan 4 Kecamatan, maka sekarang kita dapat melihat percepatan pembangunan di Cilegon dibandingkan dengan Kabupaten Serang.
Komposisi Legislatif dan Eksekutif
Anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Serang untuk pertamakalinya nanti akan diisi oleh wakil partai dengan memperhatikan perolehan hasil suara dari Pemilu (Pemiilihan Umum) legislatif terakhir. Ini berarti Pemilu yang kita lakukan pada 2004 lalu. Para calon anggota legislatif dengan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan pada enam kecamatan calon wilayah Kota Serang yang pada Pemilu lalu tidak masuk dalam DPRD Serang, akan menjadi anggota DPRD Kota Serang. Jumlah anggota DPRD Kota Serang disesuaikan dengan jumlah penduduk Kota Serang. Mudah-mudahan ini bukanlah motivasi dibentuknya Kota Serang. Sebab jika ini jadi motif utama maka pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Serang akan dinomorsekiankan.
Sedangkan untuk sementara, pejabat Walikota Serang untuk pertamakalinya ditunjuk dan ditetapkan oleh Mendagri (Menteri Dalam Negeri) atas usul Gubernur Banten. Pejabat yang ditetapkan tersebut bertugas mempersiapkan struktur kelembagaan dan pemilihan Kepala Daerah Kota Serang. Tentu akan banyak posisi struktural yang dibutuhkan, sehingga peluang untuk naik menduduki jabatan eselon tertentupun terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat. Namun mudah-mudahan ini juga bukan tujuan utama pembentukan Kota Serang. Sebab jabatan yang diperoleh nanti adalah merupakan amanah baru untuk melayani, meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
*Dosen FH Untirta.
(Dimuat Radar Banten, 16 Januari 2006)