Tahun ini saya diminta bergabung sebagai tim harmonisasi dan sinkronisasi raperda Propinsi Banten di bawah Biro Hukum Propinsi Banten.
Salah satu temuan saya dalam kajian-kajian raperda ini adalah masih ada beberapa yang beranggapan bahwa teori tidak lebih penting dari kondisi praktek di lapangan. Ini anggapan yang juga terjadi pada kebanyakan orang, seolah teori berjarak jauh dari praktik.
Padahal begini, teori itu adalah sari dari pengamatan atas praktik, ia merupakan pola perumusan dari peristiwa yang terjadi sehari-hari. Hasil dari puluhan, ratusan, ribuan percobaan.
Prof Tjip, penggagas hukum progresif di Indonesia, pernah membahas ini sekilas dalam sebuah bukunya. Kesan bahwa teori berjarak dengan praktik adalah salah satu yang keliru. Bahwa kemudian ada praktik yang tidak sesuai dengan teori menandakan boleh jadi ada permasalahan dengan teorinya, dan bukanlah suatu yang haram untuk merumuskan teori baru atas perubahan pola yang terjadi dalam praktik.
Semua teori didasarkan atas praktik. Jika ada teori yang ujug-ujug muncul tanpa didahului eksperimen, pengamatan pola yang terjadi, maka validitasnya patut dipertanyakan.
Dalam konteks hukum misalnya, kita mengenal adanya teori paksaan psikis dari Feuerbach yang mendasari asas legalitas. Bahwa menurutnya hukum harus dituliskan, apa saja yang dilarang dan apa ancaman hukumnya sehingga secara psikologis orang akan berusaha menghindari melakukan larangan tersebut setelah mengetahui bahwa sebuah perbuatan telah dilarang untuk dilakukan. Sekali lagi, teori dirumuskan berdasarkan praktik. Teori Feurbach tadi lahir dari tidak jelasnya sebuah kepastian hukum ketika hukum tak dituliskan dengan tegas.
Demikian juga dengan Lon Fuller, ia merumuskan delapan cara merumuskan perundang-undangan yang baik. Delapan patokan tadi diceritakannya dengan ilustrasi menarik tentang seorang raja yang ingin membuat undang undang dan menyadari bahwa pada akhirnya delapan patokan tadi harus ada untuk merumuskan sebuah perundang undangan yang baik.
Dalam konteks undang-undang, sebuah undang undang haruslah memiliki kriteria lex scripta (bahwa sebuah undang undang harus tertulis), lex certa (harus jelas), lex stricta (harus ketat sehingga tak menimbulkan multitafsir). Saya harus katakan saya mendapat ilmu ini dari Prof Barda, salah satu perumus rancangan KUHP sebagai credit yang harus diberikan padanya.
Ilmu ini berlaku global, saat sebuah conference di Brazil misalnya. saat seorang pemalakah menjelaskan undang undang dalam hukum pidana, Ia menjelaskan ilmu ini yang secara spontan saya mengucapkan yang sama saat ia menyebutkan kriteria dan tampak senang ada orang lain mengerti teori yang sama yang ingin ia jelaskan, "ya saya kira ini sama saja di mana-mana, ya," ujarnya.
Nah dalam konteks peraturan perundang-undangan, formula tadi haruslah dipegang teguh untuk menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang baik.
Dalam tataran praktik persoalan ini pernah terjadi pada saat kami akan merumuskan perda retribusi di bidang kesehatan. Perda yang lama akan diganti , tapi ada dua hal yang luput, aturan penutup (ketentuan penutup) dan atper (aturan/ketentuan peralihan). Ketentuan penutup clear disepakati bahwa harus ada kepastian bahwa perda sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Tetapi atper sempat menjadi diskursus yang perlu waktu untuk disepakati dan hampir tidak dirumuskan.
Atper penting dirumuskan justru untuk mengatasi persoalan yang berpotensi muncul pada tataran praktis (within practical level). Pertama kita sudah tahu bahwa peraturan lama sudah dicabut oleh aturan penutup. Kedua kita akan menemukan persoalan lain, bagaimana dengan peristiwa hukum yang terjadi diantara masa peralihan ini? Dalam konteks retribusi ada yang namanya retribusi terhutang. Dan ini segera diamini oleh para dokter bahwa BPJS berkaitan dengan ini, BPJS akan membayar rumah sakit setelah rumah sakit mengajukan klaim penggunaan jasa medis dan sarana yang telah digunakan. Nah, peraturan yang mana yang akan digunakan? Tarif mana yang akan dipakai. Perda baru jelas tak bisa dipakai sebab ia tak boleh berlaku surut. Perda lama tak bisa diekseskusi sebab ia telah dinyatakan tidak berlaku. Maka aturan peralihan menjadi penting dirumuskan sebagai penyelesaian permasalahan yuridis yang berpotensi timbul ini, bahwa terhadap persoalan yang 'tempus delictinya' terjadi sebelum perda baru ditetapkan maka diberlakukan perda lama. Atper ini semacam dasar pemberian kewenangan untuk 'pengabdian terakhir' perda lama.
Tetapi begini, sekalipun misalnya persoalan BPJS tidak terfikirkan saat itu, atper ini tetap haruslah ada untuk mengantisipasi kekosongan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini perda). Sebab jika kita menemui masalah tanpa diprediksi dahulu kemunculannya, maka kemungkinan yang akan kita lakukan adalah mengubah peraturannya. Ini yang dikategorikan Lon Fuller sebagai peraturan yang tidak baik. Peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak mudah berubah-ubah, peraturan yang stabil. Ini adalah salah satu dari delapan kriteria terkenalnya. Usahakan peraturan itu bertahan lama, tidak mudah berubah. Sama dengan tidak mudah berubahnya cinta kita pada suami/istri kita, ini juga harus diusahakan sehingga terkategori sebagai suami/istri yang baik, atau dalam bahasa Lon Fuller, peraturan yang baik, tidak mudah berubah.