Saturday, August 16, 2008

Mancing di Bojonegara


Saya beruntung punya teman seperti Ridwan (Sehari-hari saya memanggilnya Pak Ridwan, tapi dalam tulisan ini hanya Ridwan saja untuk menghindari ketidaknyamanan dalam membaca). Ridwan adalah kolega di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (FH Untirta). Ia orang Bojonegara, sebuah daerah di Kabupaten Serang yang terkenal penduduknya banyak memiliki ilmu teluh atau santet. Di Bojonegara juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bojonegara memang bersebelahan dengan laut. Ridwan terkenal di kampungnya. Kalau anda berdiri bersama Ridwan di Pasar Bojonegara, anda akan menyaksikan banyak orang yang menyapanya:sopir angkot, tukang uduk, bibi sayur. Orang tua Ridwan memang disegani di daerah ini.

Salah satu kenalan Ridwan adalah Dasuki, nelayan di daerah Bojonegara. Keduanya berkenalan dalam sebuah hobi yang sama, sepak bola, sejak pertemuan pertama keduanya klop dan makin akrab. Sudah lama Mazhab Pakupatan diajak mancing bersama menggunakan perahu Dasuki. Mazhab Pakupatan adalah sebuah komunitas yang terbentuk tanpa sengaja dalam sebuah acara pra jabatan. Komunitas yang tak kami buat serius, komunitas untuk melepas lelah dan penat, membicarakan persoalan-persoalan yang kami anggap tak baik dan benar.

Sabtu, 2 Agustus 2008, dua pekan lalu, akhirnya kami jadi mancing di Bojonegara setelah sekian lama tertunda. Abdul Hamid mengajak Okamoto, temannya dari Kyoto University. Okamoto kemudian mengajak Ukrist Pathmanand, dari Chulalongkorn University. Ukrist mendapat beasiswa dari Nippon Fellowship untuk menulis pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di negaranya, dikomparasikan dengan Indonesia. Ia telah mengunjungi Kontras dan KomnasHAM, waktunya tinggal di Indonesia tinggal satu bulan lagi. Ia memfokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara pada para aktivis. Kasus kematian Munir menjadi salah satu kajiannya.
***

Dasuki mulai menghidupkan mesin disel perahu kayunya. Mesin berisik itu tak pernah lagi diisi solar sejak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak). Solar terlalu mahal dijangkau para nelayan. Seliter solar sekarang harganya Rp 5.500,-. Kini minyak tanah menjadi pengganti solar. Minyak tanah murni, tanpa dicampur oli.

Perahupun berangkat. Kami bersembilan : Ridwan, Abdul Hamid, Anis, Okamoto, Ukrist, Jumpi (sopir Okamoto), Saya, Dasuki dan seorang ‘asisten’ nelayannya. Perahu melaju jauh ke tengah laut. Saya mulai mual, mabuk laut, satu hal yang jarang saya alami. Kebetulan Okamoto bawa tolak angin cair, saya ambil satu. Jumpi menyarankan saya memakan udang mentah yang menjadi umpan ikan untuk memancing nanti.
“Orang Makasar biasa nelen udang mentah biar gak masuk angin,” katanya meyakinkan.
Saya mengambil satu udang, mengupas dan mulai mengunyahnya. Rasanya aneh, menggelinyang di lidah, tenggorokan dan perut. Leeur istilah Sundanya. Hasilnya? Mual semakin menjadi. Dan saya mengistirahatkan badan, baringan di kapal. Tidur.
“Nggak biasa makan udang mentah coba-coba,” Ridwan meledek saya menjelang rebahan. Sebelumnya saya melihat ia juga makan satu udang mentah. Ridwan mantan nelayan, mungkin lidahnya sudah akrab dengan udang mentah.

Dasuki mematikan mesin. Kami sudah berada di tengah laut. Ada perahu lain yang juga sedang mancing di sekitar kami. Umpan dipasang, mancing dimulai. Saya yang pertamakali mendapat ikan tanpa sengaja. Saya bermaksud mengganti umpan khawatir sudah hilang dimakan ikan tanpa tersangkut. Seekor ikan kecil seukuran tiga jari rupanya tersangkut. Tak ada yang tahu nama ikan yang berhasil saya pancing. Tidak Ridwan. Tidak Dasuki. Saya kemudian menamakannya ikan mata belo karena matanya yang memang belo.

Lama tak kunjung dapat ikan, kapal kembali melaju. Kali ini kami mendekati bagan, bagan adalah sebuah konstruksi rangka bambu yang dipasang di tengah laut untuk menjaring ikan. Okamoto mendapat tiga ikan di sini : dua kakap merah dan seekor kirong/kerot (karena insangnya dapat mengeluarkan bunyi krot…krot, seperti sedang memanggil teman-temannya). Karena sepi kami berangkat lagi ke pertangahan laut. Kali ini Ridwan yang dapat ikan, seekor kurisi.

Hari mulai siang, zhuhur hampir tiba. Kami memutuskan menepi ke Pulau Panjang. Long Island. Dasuki punya kenalan seorang guru sekolah dasar di pulau ini. Pulau Panjang awalnya masuk dalam Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Namun sudah hamir satu tahun ini dialihkan menjadi masuk Kecamatan Pulo Ampel Kabupaten Serang, karena letak geografisnya yang lebih dekat ke Pulo Ampel. Pulau Panjang adalah pulau penghasil kelapa muda. Kami mampir ke Masjid, Zhuhur, cuci muka dan sebagainya, mampir ke kenalan Dasuki, minum teh, pamit dan membeli 20 butir kelapa muda milik tetangga kenalan Dasuki yang akan sudah dipanen dan akan dipasarkan ke Pasar Rau Serang. Harga perbutirnya Rp.1.000,-.

Ikan hasil pancingan dinilai belum cukup untuk makan siang sembilan orang yang doyan makan. Senjata pamungkas disiapkan. Jaring. Tawur istilahnya, menangkap ikan menggunakan jaring. Jaring diturunkan, mesin kapal dijalankan, perahu jalan melingkar menuju ujung jaring pertama diturunkan. Beraneka jenis ikan terjaring : belanak, udang, kerapu, baronang, todak, kacangan, ubur-ubur, ikan buntel, belut laut. Dasuki melepaskan belut laut. Warnanya hitam pekat seukuran ibu jari kurus saya. Kata Dasuki belut laut biasa menggigit.

Dua kali tawur dan ikanpun dirasa cukup. Sekarang ini jumlah ikan di laut semakin berkurang. Setahun lalu, saat tawur, banyak ikan yang nyangkut, sekarang sedikit berkurang.

(Dari kiri ke kanan: kerapu, baronang, kakap hitam, kacangan, todak (swordfish), kurisi, belanak, mata belo, kakap merah, kerot/kirong, belanak dan yang barisnya ngacak adalah juga belanak dalam kubur)
Asisten Dasuki menyalakan kompor minyak tanah yang dipompa, menggunakan tabung petromak, seperti kompor yang biasa digunakan oleh tukang mie ayam. Ikan digarang diatas tutup panci yang dipukul datar. Nasi telah dimasak sebelumnya, diliwet. Dasuki meracik sambal, potongan cabe rawit, bawang merah, dicampur saos sambal dan kecap. Semua siap. Makan dimulai di atas perahu. Piring terbatas. Anis punya ide aneh menggunakan belahan batuk kelapa muda. Saya mencontek ide Anis. Ukrist senyum-senyum melihatnya.
Hari sore. Makan siang yang kesorean selesai. Perahu melaju pulang.
(Ikan buntel, di film Spongebob digunakan sebagai karakter Mrs. Puff, guru les menyetir Spongebob)

Cara Mudah Menghadapi Kritikan Pedas

(Tulisan ini diambil dari La Tahzan, Aidh Al Qorny)

Sang Pencipta dan Pemberi rizki Yang Maha Mulia, acapkali mendapat cacian dan cercaan dari orang-orang pandir dan tak berakal. Maka, apalagi saya, Anda dan kita semua yang selalu terpeleset dan salah. Dalam hidup ini, terutama jika anda seseorang yang selalu memberi, memperbaiki, mempengaruhi dan berusaha membangun, maka anda akan selalu menjumpai kritikan-kritikan yang pedas dan pahit. Mungkin pula, sesekali anda mendapat cemoohan dan hinaan dari orang lain.

Dan mereka, tak tidak akan pernah diam mengkritik anda sebelum anda masuk ke dalam liang bumi, menaiki tangga ke langit, dan berpisah dengan mereka. Adapun bila anda masih berada di tengah-tengah mereka, maka akan selalu ada perbuatan mereka yang membuat anda bersedih dan meneteskan air mata, atau membuat tempat tidur anda selalu terasa gerah.

Perlu diingat, orang yang duduk diatas tanah tidak akan pernah jatuh, dan manusia tidak akan pernah menendang anjing yang sudah mati. Adapun mereka, marah dan kesal kepada anda adalah karena mungkin anda mengungguli mereka dalam hal kebaikan., keilmuan, tindak-tanduk, atau harta. Jelasnya, anda di mata mereka adalah orang berdosa yang tak terampuni sampai anda melepaskan semua karunia dan nikmat Allah yang ada pada diri anda, atau sampai anda meninggalkan semua sifat terpuji dan nilai-nilai luhur yang selama ini anda pegang teguh. Dan menjadi orang yang bodoh, pandir, dan tolol adalah yang mereka inginkan dari anda.

Oleh sebab itu, waspadalah terhadap apa yang mereka katakan. Kuatkan jiwa untuk mendengar kritikan, cemoohan dan hinaan mereka. Bersikaplah laksana batu cadas. Tetap kokoh berdiri meski diterpa butiran-butiran salju yang menderanya setiap saat, dan ia justru semakin kokoh karenanya. Artinya jika anda merasa terusik dan terpengaruh oleh kritikan atau cemoohan mereka, berarti anda telah meluluskan keinginan mereka untuk mengotori dan mencemarkan kehidupan anda. Padahal, yang terbaik adalah menjawab atau merespon kritikan mereka dengan menunjukan ahlak yang baik. Acuhkan saja mereka, dan jangan pernah merasa tertekan oleh setiap upadaya mereka untuk menjatuhkan anda. Sebab, kritikan mereka yang menyakitkan itu pada hakekatnya merupakan ungkapan penghormatan untuk anda. Yakni, semakin tinggi derajat dan posisi yang anda duduki, maka akan semakin pedas pula kritikan itu.

Betapapun, anda akan kesulitan membungkam mulut mereka dan menahan gerakan lidah mereka. Yang anda mampu adalah hanya mengubur dalam-dalam setiap kritika mereka, mengabaikan solah-polah mereka pada anda, dan cukup mengomentari setiap perkataan mereka sebagaimana yang diperintahkan Allah.

{Katakanlah (kepada mereka) : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.”}
(QS Ali Imran :119)

Bahkan, anda juga dapat ‘menyumpal’ mulut mereka dengan ‘potongan-potongan daging’ agar diam seribu bahasa dengan cara memperbanyak keutamaan, memperbaiki akhlak, dan meluruskan setiap kesalahan anda. Dan bila anda ingin diterima semua pihak, dicintai semua orang, dan terhinda dari cela, berarti anda telah menginginkan sesuatu yang mustahil terjadi dan mengangankan sesuatu yang terlalu jauh untuk diwujudkan.

Syifa Goes To Lampung








Sunday, August 10, 2008

Suatu Hari di Lawang Sewu


Tanggal 23 Juli 2008 lalu saya menyempatkan diri mengunjungi Lawang Sewu di sela-sela agenda daftar ulang Progam Pascasarjana Magister Hukum (PPMH) Universitas Diponegoro (Undip). Bagian keuangan dan administrasi program pascasarjana sepi. Ada acara wisuda Undip selama dua hari (23-24/7). Waktu pelayanan administrasi dibuka mulai pukul 14.00. Hari masih pagi dan pukul 14.00 masih lama. Saya mengajak (pak) Ridwan, rekan kerja saya di FH Untirta yang juga diterima di PPMH Undip ke Lawang Sewu. Ia setuju. Kami berangkat. Menyetop bis menuju Krapyak. Turun di daerah persimpangan. Kenek menyebutnya daerah gereja atau Lawang Sewu.

Tadi subuh, sekitar pukul tiga pagi, sopir taksi yang kami tumpangi bercerita tentang Lawang Sewu. “Lawang Sewu tuh istananya lelembut, segala jenis lelembut ada di situ, genderuwo, kuntilanak, sebab dulu banyak orang kita dibunuhi di sana. Kalau sampeyan nggak percaya ya masuk aja,” paparnya.

Kami berdiri di pintu masuk. Bibir saya bergerak menggumamkan doa nabi “a’udzu bi kalimatillahi tammati min syari ma halaq,” Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan mahluk yang diciptakanNya.
Nuansa angker memang terasa berhembus. Orang Sunda bilang keeung. Bangunan Lawang Sewu tinggi besar, simetris dan subhanallah, indah. Innallaha jamil yuhibul jamal, sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Manusia telah diciptakan mencintai keindahan, built in dalam dirinya. Hal yang membuat Lawang Sewu menjadi seram adalah karena sepi dan sudah sangat lama tak ditempati. Dingin dan lembab. Mungkin karena langit-langitnya yang tinggi. Yang jelas mesti ada jin di tempat ini.

Sejarah Lawang Sewu
Lawang Sewu berarti seribu pintu. Namun sebuah referensi menyatakan jumlah pintu di Lawang Sewu tak sampai seribu. Namun karena jumlah pintunya yang banyak maka gedung ini dinamakan Lawang Sewu. Hampir tiap ruangan memiliki empat pintu. Dua pintu untuk keluar masuk, dua pintu lagi berfungsi sebagai penghubung ruangan.
Arsitektur Lawang Sewu bergaya Eropa. Mirip bangunan gereja. Arsiteknya Prof. Jacob K. Klinkhamer dan B.J. Oudang. Didirikan 1904 dan diresmikan pada 1907. Lawang Sewu terdiri dari dua bangunan utama. Bangunan kedua yang menjadi bangunan utamanya dibangun tahun 1916-1918.

Lawang Sewu untuk pertama kalinya digunakan untuk kantor NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij). Pada 27 Agustus 1913 menjadi milik PT KAI (Kereta Api Indonesia) (kapan PT KAI berdiri?). Pada masa penjajahan Jepang, Lawang Sewu diambil alih. Ruang bawah tanah Lawang Sewu disulap menjadi penjara bawah tanah, di sinilah orang-orang pribumi Indonesia dipenjara. Ada penjara jongkok—dikurung dengan posisi jongkok, bagian atas ditutup terali besi sehingga tak dapat berdiri. Satu kotak penjara jongkok berukuran 1,5x1,5 meter, diisi 4-5 orang. Banyak orang kita yang kemudian mati di penjara jongkok karena kehabisan oksigen. Ada juga penjara berdiri, berukuran 2x0,7 meter. Satu penjara berdiri diisi 5 orang, berdesakan dan sulit bergerak. Konon kabarnya banyak juga yang mati di penjara ini. Mati berdiri. Ridwan saya minta untuk berpose di dalam penjara berdiri. Ada lagi sebuah ruangan yang lebih tragis. Ada bekas besi di dasar lantai. Menurut Novi, guide ruang bawah tanah, bekas besi tadi adalah bekas kaki meja. Di meja tersebut, banyak orang-orang kita dipenggal oleh pedang samurai. Mayat dan potongan kepalanya dihanyutkan ke sungai melalui pintu yang menyerupai pintu got.
Ruang bawah tanah ini pernah digunakan sebagai lokasi acara Uka-uka, reality show menguji nyali di sebuah stasiun televisi swasta. Seorang peserta perempuan tak kuat hingga pingsan, ada penampakan seorang perempuan entah siapa di sebuah pintu. Novi meminta saya dan Ridwan mematikan lampu senter kami di dekat lokasi munculnya penampakan, “Beginilah kira-kira suasana saat acara uka-uka tersebut.” Suasananya memang mencekam, gelap, lembab, dingin. Tangan di depan matapun tak kelihatan.

Untuk masuk ke ruang bawah tanah, anda harus membayar Rp 6.000,- sebagai sewa sepatu bot dan lampu senter. Ruang bawah tanah gelap, becek dan terkadang banjir semata kaki. Jika banjirnya parah, pompa air akan dinyalakan untuk membuang air ke luar. Fungsi utama ruang bawah tanah sebenarnya digunakan sebagai daerah resapan air. Pipa-pipa besi masih tersusun dan terhubung rapih di ruang bawah tanah. Orang Belanda memang jagonya mengelola air.

Setelah pernah dikuasai Jepang, Lawang Sewu kemudian pernah dijadikan markas Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro. Sisa-sisa Kodam Diponegoro masih ada di lantai paling atas, loteng, yang tampaknya digunakan untuk markas utama, karena strategis untuk melakukan pemantauan. Dinas Perhubungan Semarang kemudian sempat juga menempati Lawang Sewu sebagai kantor. Sisa-sisa yang ditinggalkannya hanya terlihat pada plang toilet, masih tertulis di atas pintu toilet: kabag, staf dll.

Lawang Sewu kemudian sempat akan dijadikan sebuah hotel oleh Tommy Soeharto dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Namun Soeharto, Ayah Tommy dan Tutut, tumbang dari tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia pada 1998. Rencana pembangunan hotel urung dilakukan.

Lawang Sewu kini berstatus milik PT KAI, namun pengelolaan sehari-harinya diserahkan pada keluarga Kodam Diponegoro yang tinggal disekitar areal Lawang Sewu. Uang hasil kunjungan wisatawan dikelola mandiri untuk perawatan ringan Lawang Sewu semisal kebersihan dll. Lawang Sewu memiliki kuncen, Mbah Ranto namanya, umur 66 tahun, mantan pasukan kavaleri Kodam Diponegoro. Sebelumnya ada dua kuncen, Mbah Ranto dan Mbah Tunggul? (Saya lupa namanya, catatan saya hilang). Saat saya di Lawang Sewu, Mbah Tunggul baru meninggal dua pekan yang lalu.

Tak seluruh ruangan berhasil saya datangi, terlalu banyak pintu, terlalu banyak ruang, terlalu sedikit waktu. Masih banyak yang menarik di sini, masih banyak detail yang belum dituliskan.
Ridwan diapit guide Novi dan Wiwi

Thursday, August 07, 2008

Ruang Publik

Setiap media cetak wajib menyediakan ruang publik, dimana masyarakat dapat menuangkan ide dan mengeluarkan apa yang menjadi kegelisahan dan keresahannya.
Ruang dalam media cetak yang disediakan untuk publik biasanya kemudian berbentuk rubrik surat pembaca dan opini. Dua rubrik tadi menjadi standar minimal penyediaan rubrik untuk aspirasi masyarakat. Beberapa media cetak menyediakan lebih ruang publik dalam bentuk rubrik sastra (cerpen, puisi, resensi buku dll.)

Ruang publik juga merupakan perwujudan dari amanat Undang-undang 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sehingga jika ada seorang pembaca mengritisi pemberitaan melalui hak jawab ataupun hak koreksi, maka media cetak tersebut wajib menerbitkan dalam tempatnya di rubrik yang memang didesain untuk ruang publik, biasanya dalam bentuk rubrik surat pembaca. Bukan dalam bentuk berita ataupun dalam rubrik lain yang bukan disediakan untuk ruang publik.

Jangan Paksa Nenek-nenek Menggigit Anjing

Surat ini pernah saya kirimkan melalui surat elektronik

Kepada Yth
Pemred Radar Banten
Cq Redaktur Hukum dan Kriminal
di
Serang

Assalamualaikum wr wb
Bersama ini saya ingin menyampaikan terima kasih atas pernah dimuatnya hak koreksi saya di Radar Banten beberapa hari lalu, hak koreksi tersebut menyeimbangkan pemberitaan yang pernah dimuat sebelumnya.
Kali ini saya ingin mengajukan keberatan atas judul pemberitaan yang dibuat Candra Dewi (Saya tidak tahu judul tersebut tulisan Candra Dewi atau hasil editan redaktur) tertanggal 31 Juli Aman: Proyek PIR Hanya Didasari Surat Partisipasi dan tertanggal 29 Juli 2008 Kesepakatan Proyek PIR Tidak Memiliki Dasar Hukum.

Dua judul tersebut salah, tidak benar dan tendensius. Saya tak masalah jika fakta di persidangannya memang demikian, jadi persoalan tatkala dalam persidangan faktanya tidak demikian. Saya memiliki notulensi lengkap di persidangan. Saya juga selalu mengomparasikan pemberitaannya dengan Fajar Banten dan Baraya Pos (Keduanya pernah saya protes melalui wartawannya, bahwa kasus akses jalan PIR jelas maka jangan dibuat tidak jelas, setelah protes tersebut saya melihat keseriusan mereka dalam peliputan dan alhamdulillah pemberitaannya sesuai dengan fakta di persidangan)

Sayapun melihat keseriusan Dewi dalam meliput setelah saya menyampaikan hak koreksi saya terdahulu. Ia meliput persidangan dari awal hingga selesai (sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan Dewi dalam peliputan kasus akses jalan PIR). Namun yang saya herankan pemberitaannya selalu menyudutkan dan tendensius, kalau memang benar sih bagi saya (sekali lagi) tak masalah, tapi selalu tidak benar. Sehingga saya menemukan beberapa pola pemberitaan Dewi. Pola pemberitaan yang saya ajukan keberatannya kali ini misalnya, pemberitaannya benar sesuai fakta, namun berseberangan dengan judulnya, salah dan menggiring opini publik bahwa ada korupsi pada kasus akses jalan PIR. Dewi terlihat memaksakannya demikian. Seperti pada judul Aman: Proyek PIR hanya didasari surat partisipasi. Padahal dalam fakta di persidangan terungkap bahwa Proyek PIR tidak "hanya" didasari surat partisipasi, tapi yang utama adanya pertemuan antara pemprov dan pemkab dalam rangka mempersiapkan kedatangan presiden yang menghasilkan kesepakatan pembangunan jalan PIR, mengenai pendanaannya ada komitmen dari pemprov (Dalam isi beritanya sebenarnya sudah ada, tapi tak sesuai dengan judul)

Tidak ada lelang, tender dan SPK karena Pemkab tak memiliki dana saat itu, maka menjadi salah justru jika ada SPK, karena tak ada anggarannya. Kondisi seperti ini diatur dalam pasal 19 PP 105 (Kondisi dimana pemerintah tak memiliki dana atau dana yang ada tak mencukupi, telah pernah disampaikan saat sidang).

Judul kedua Kesepakatan Proyek PIR Tidak Memiliki Dasar Hukum. Judul tersebut memperlihatkan Dewi tak mengerti hukum, dalam isi beritanya sebenarnya benar dan menjelaskan dasar pembangunan jalan akses PIR adalah kesepakatan, namun pola ini sama dengan sebelumnya beritanya benar judulnya (di)sesatkan. Kesepakatan dalam hukum adalah menjadi dasar hukum untuk kedua belah pihak bertindak sesuai kesepakatan. Dan kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak berkekuatan mengikat sebagaimana undang-undang. Kecuali jika kesepakatan tersebut bertentangan dengan undang-undang maka kesepakatan tersebut batal demi hukum.

Saya masih berusaha keras berhusnuzon bahwa Dewi mungkin terpengaruh kuat definisi klasik berita : Kalau anjing menggigit (orang) nenek-nenek itu bukan berita, tapi kalau (orang) nenek-nenek menggigit anjing baru berita.

Tapi kalau faktanya nenek tersebut tak menggigit anjing ya jangan dipaksakan nenek tersebut menggigit anjing. Dewi memaksa nenek-nenek menggigit anjing. Percayalah wi (tolong sampaikan pada Dewi) bahwa anjing menggigit nenek-nenek juga tetap berita kok. "No comment"pun adalah berita.

Fakta di persidangan semakin hari semakin memperjelas posisi kasus jalan akses PIR. Beritakanlah sesuai fakta di persidangan. Jangan tutup nurani. Jangan berpihak pada terdakwa. Jangan berpihak pada jaksa. Berpihaklah pada kebenaran. Jika seandainya Aman Sukarso korupsi maka hukumlah ia, hukum sajalah, jangan sungkan-sungkan. Tapi jika tidak ya bebaskan Ia. Saya tahu ia tak korupsi, saya tahu betul kasus ini. Dan kasus ini berjalan sesuai prosedur, dimana kondisi pemkab tak memiliki anggaran. Tapi mungkin anda akan bergumam "ya iyalah ente anaknya." Tidak bukan karena itu. Saya mengerti kalau anda bergumam begitu, anda tak kenal saya (tolong sampaikan pada Dewi).

Demikian saja. Ini bukan hak koreksi, bukan juga hak jawab yang saya gunakan. Jadi tak usah dimuat tak apa-apa. Tapi saya akan tetap meluruskan hal-hal yang tak benar, entah dalam bentuk hak koreksi atau hak jawab atau hanya tulisan semacam ini. Satu-satunya alasan saya tak melakukan upaya hukum adalah karena saya pernah menjadi bagian dari pers. Ini hanya curhatan yang tak ada dan tak diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Saya lelah dengan pemberitaan Dewi, apatis. Maaf jika bahasa saya jadi tak ilmiah di ending tulisan ini saya benar-benar lelah. Saya harus mencharge jiwa kembali.

wassalam

hormat saya

Ferry F