Saturday, December 29, 2007

Syifa Malka Qulubana


Menjelang kelahiran puteri pertama kami, sebuah nama telah kami persiapkan. Syifa Qulubana, artinya penyembuh hati kami. Istri saya, Dewi Wahyuni kemudian menambahkan Malka diantaranya, artinya tempat bertemu. Sehingga nama puteri kami bermakna penyembuh/obat tempat bertemunya hati kami. Belakangan setelah Syifa lahir, ada obrolan menarik antara saya dengan ustad saya sejak sekolah dasar. Rupanya kalau dibuat menjadi kalimat, Syifa Malka Qulubana tidaklah tepat. Kalau secara etimologis, arti per kata memang benar demikian artinya. Tetapi untuk diubah menjadi sebuah kalimat maka bentuk katanya pun harus berubah. Seperti misalnya hati = qalbu, kami = na, tapi untuk menjadi hati kami tidak bisa qolbuna, tetapi menjadi qulubana sebagai bentuk jamak. Nah, Syifa Malka juga harus disambungkan diubah menjadi syifaul malkiah, sebagaimana seperti syifaulinnas sebagai penyembuh bagi manusia dari kata syifa li dan annas. Tapi akte kelahiran Syifa kadung jadi dan secara etimologis tidak salah maka anak kami tetap Syifa Malka Qulubana. Tapi diskusi dengan ustad tadi menjadi tambahan ilmu yang sangat bermanfaat untuk saya.

Syifa lahir Sabtu pagi, 10 Maret 2007, sekira pukul tujuh pagi lewat sekian. Syifa dibidani oleh Halanah, bidan senior dan berpengalaman di Serang. Memilih bidan Halanah bukanlah tanpa alasan. Sebelumnya kami kontrol periodik ke tiga dokter dan tiga bidan yang berbeda. Dari klinik, rumah sakit ibu anak hingga Puskesmas Serang. Dari referensi beberapa kawan dan saudara, Halanah menjadi pilihan kami. Halanah bidan yang sabar dan ramah, umurnya sekira 50-an mendekati 60. Dulu, ia bertugas di Rumah Sakit Umum Serang. Kini ia pensiun dan memiliki rumah bersalin. Ia sering menghabiskan sepertiga malamnya dengan tahajud, Syifa bahkan menunggunya menyelesaikan tahajud sebelum keluar dari rahim.
Di rumah bersalin ini ada 5 kamar ibu, 1 kamar bayi baru lahir, 1 kamar bersalin dan 2 kamar pemeriksaan kontrol rutin. Menjelang kelahiran kami memang kontrol dan Dewi memutuskan untuk melahirkan Syifa di sini.


Syifa lahir dengan bobot 2,9 kg dan 49 cm. Awalnya bermula ketika Dewi mengalami pendarahan di pagi 9 Maret 2007 sekira pukul 09-an, hari itu adalah Jumat. Kami bergegas ke rumah bersalin. Dewi diperiksa perawat/suster Encun. Ia mengatakan belum ada pembukaan. Hanya flek biasa dan masih lama. Dewi ditanya apakah ia merasakan mules. Dewi tak mengerti definisi mules yang seperti apa, mules yang bagaimana? Encun tersenyum melihat kami, katanya maklum kalau baru pertama pasti khawatir, ia menjelaskan kalau proses kelahirannya masih lama sekira 1-2 hari lagi. Kami diberi pilihan untuk menginap atau pulang. Kami pulang.
Jumat 9 Maret 2007 pukul 14.30, Dewi mengeluh sakit--yang kemudian kami ketahui orang-orang menyebutnya mules. Sakit itu berjeda, awalnya 2 jam sekali, lalu 1,5 jam. Bada Magrib kami kembali ke rumah bersalin. Dewi kembali diperiksa, sudah bukaan 2. Nyai--sebutan untuk mamah Lampung, ibunya Dewi--ditelpon, ia sedang berada di Bandung. Tapi berhubung menurut suster Encun prosesnya masih lama, maka kami mengatakan pada Nyai untuk berangkat besok saja dari Bandung. Naluri ibu Nyai bekerja, ia tak menghiraukan saya, segera berangkat malam itu juga menuju Terminal Leuwi Panjang diantar Harlans, menantu pertamanya.

10 Maret 2007 dini hari, mules Dewi semakin menjadi. Intervalnyapun semakin dekat. Dari tiap 1 jam, setengah jam, 20 menit hingga 10 menit. Nyai mengabari kedatangannya. Saya jemput di perempatan Ciceri. Ada Adi (adik bungsu saya) yang menunggu di rumah bersalin. Saat mules tiap 10 menit Suster Encun menawarkan pindah ke ruang bersalin, saya menyetujuinya. Suster Encun ditemani Suster Maya menemani Dewi dan saya, saat itu pukul 02.30. Kini mules Dewi tiap 5 menit. Saya dan Nyai menemani Dewi di ruang bersalin. Mendekati kelahiran suster memberi tahu bahwa hanya 1 anggota keluarga yang boleh menemani Dewi. Nyai berusaha agar saya dan ia boleh menemani. Suster menjelaskan tidak bisa, mungkin alasan ruang gerak yang sempit, karena nanti Bidan Halanah akan diasisteni oleh dua suster. Nyai mengalah, saya di dalam. Menjelang kelahiran adalah detik-detik yang melemaskan lunglai. Mendengar kesakitan Dewi menyayat hati bergetar. Saya berdoa minta ampun padaNya agar Dewi dan Syifa selamat dan bernjanji tak akan mengulangi kesalahan, dosa dan hal-hal bodoh yang tidak perlu--sesuatu yang akhirnya diingkari dan terbukti betapa benar surat dari Allah bahwa saat dalam susah dan terjepit manusia berdoa habis-habisan dan kemudian lupa, semoga saya bisa lepas dari kategori yang disebutkanNya.

Azan subuh menggaung, Syifa belum juga lahir ditengah kepayahan Dewi--wahnan ala wahnin. Saya keluar, sholat subuh di kamar, Nyai menggantikan masuk. Bada subuh saya kembali masuk menggantikan Nyai. Air rendaman rumput fatimah beberapa kali diminum Dewi untuk memperlancar persalinan. Dewi mengejan lagi hingga diinfus agar tak kekurangan carian dan kekuatan, tapi Syifa tak juga keluar.

Pukul 06.45, Syifa tak juga keluar, Dewi kehabisan tenaga, ejanannya melemah. Bidan Halanah memutuskan memvacum Syifa dibantu 2 suster, Dewi tak perlu mngejan lagi. Vacuman pertama Syifa tak keluar, kening bidan mengerut. Vacuman keduapun demikian, keheranan bidan bertambah. Bidan Halanah segera menemukan masalahnya. Leher Syifa terlilit tali pusat plasenta. Maka bidan memvacum sekali lagi pelan sambil melepaskan tali pusat dengan sebuah alat, dan tangis Syifapun keluar. "Kenapa nak?" Dewi tersenyum haru ditengah kelelahannya. Nyai masuk menyongsong Syifa. Tak lama kemudian Dewi muntah, semua makanan yang disuapkan di ruang bersalin keluar termasuk sekaleng pocari sweat yang sempat diminumnya. Saya berwudu dan mengumandangkan azan di telinga kanan Syifa dan iqomat di kirinya. Nyai menggosokkan sedikit madu bayi ke langit-langit Syifa. Yai--sebutan untuk ayah Dewi--sangat senang dengan kelahiran Syifa. Ia bertambah senang ketika tahu Syifa terlilit tali pusat "Kalau anak lelaki terlilit tali pusat itu bagus, kalau orang dulu ia akan ditutupi dengan baskom dan membacokan golok ke baskom, kelak ia akan menjadi jagoan yang kuat dan tangguh, tapi Syifa kan perempuan, nggak usah lah," paparnya. Yai berasal dari Ogan, Sumatera Selatan. Di kalangan Jawa, bayi terlilit pusat dipercaya akan menarik hati setiap orang, ia, mengenakan apapun, akan terlihat pantas. Kepercayaan seperti itu banyak sekali di Indonesia yang pada umumnya dipengaruhi budaya Jawa. Seperti bayi yang terlahir sungsang--kaki keluar lebih dulu-- dipercaya mempunyai kemampuan mengobati orang. Hmmm...

Selamat datang ke Bumi Syifa. Saya akan berusaha keras menjadi ayah yang baik untukmu. Tugas kita berat. Negeri ini sedang kacau, sakit. Kebingungan mengurai kekekusutan yang tak jelas pangkal dan ujungnya, mana kepala mana kaki. Dan engkau lahir sebagai penyembuhnya.

Thursday, December 20, 2007

Jangan ’Bunuh’ Potensi Kecerdasan Anak (2)


Saya sering tersenyum sendiri di peradaban (peradaban adalah kata yang biasa dipakai untuk menyebut Sekolah Peradaban. pen). Dua minggu lalu misalnya, Kelas 4 Bilal, (kelas matematis logis-viso spasial) saat pelajaran Bahasa Indonesia saya minta mereka ke laboratorium bahasa, membawa buku tulis dan pensil. Selembar kertas kerja saya berikan satu persatu pada anak-anak. Isinya berupa teks bacaan dan ruang (space) kosong untuk menulis ulang ejaan yang tak sempurna. Anak-anak membaca teks sesuai intruksi pertama. Lalu menyalin ulang satu paragraf dimana banyak kesalah ejaan di dalamnya. Tiba-tiba Haruman bertanya

”Pak ditulisnya di kertas ini?” tanyanya.

Saya mengiyakan.

”Kalau ditulisnya di kertas, ngapain tadi disuruh bawa buku tulis, buat apa buku ini?”

Saya terperangah, diam lalu tersenyum. “Ya kalau mau menulis di buku tulis juga nggak papa,” jawab saya sekenanya.

“Dih, aneh ngapain bawa buku?” ujar Haruman sambil mulai menulis di kertas kerja.

Haruman menanyakan hal tadi dua tiga kali. Jawabannyapun bervariasi, mencoba mengimbangi pertanyaan. Meski akhirnya menulis, jawaban yang tak memuaskannya mewujud dalam kerutan di keningnya.

”Anak cerdas,” batin saya. Senyum saya menyelimutinya. Saya dikalahkan Haruman hari itu. Baginya membawa buku tulis kemudian mengerjakan tugas dalam sebuah kertas di luar buku tulis adalah hal yang tak masuk akal. Lalu untuk apa buku tulis itu dibawa jika tak dipakai? Sementara saya terjebak rutinitas, kebiasaan membawa buku tulis untuk belajar, padahal saya tahu anak-anak akan mengerjakan tugasnya dalam sebuah kertas kerja.

Pertanyaan kritis juga pernah dilontarkan Tommy, putra Pak Anung, saat ia berada di Kelas 2 Muhammad (atau kelas 1? Saya lupa tepatnya. pen) setahun yang lalu. Hari itu adalah fun games menjelang (atau sesudah? Lupa lagi) perayaan—istilah yang dipakai di peradaban untuk menggantikan istilah ujian. Yang jelas fun games itu diadakan setelah market day.

Anak-anak Sekolah Peradaban mendapat misi menyelamatkan seorang puteri yang dijaga 3 alien. Anak-anak juga diberi misi untuk mencari satu bintang yang bisa ditempel di dada. Bintang itu nantinya bisa ditukarkan dengan segelas minuman segar.

Begitu perintah mencari satu bintang selesai diumumkan, semua berhamburan, berlarian mencari bintang. Hanya Tommy yang tak bersegera lari.

”Pak, ngambil bintangnya boleh lebih dari satu?“ tanyanya.
“Nggak boleh, satu saja,” jawab saya.
”Kenapa nggak boleh?”
”Sebab, sudah dihitung pas sejumlah anak, kalau ada yang lebih dari satu berarti ada anak yang nggak kebagian bintang.”
”O, jadi cuma boleh satu ya,” Tommypun segera lari mencari bintang meninggalkan saya yang senyum sendirian. Subhanallah. What a great kid. Ia tak bergerak hingga semuanya jelas dan masuk akal. Sesekali datanglah ke peradaban dan temukan ‘keajaiban’ anak-anak disana.

Jangan 'Bunuh' Potensi Kecerdasan Anak

Ferry Fathurokhman*

Suatu hari, Irbah, Siswa TK (Taman Kanak-kanak) Sekolah Peradaban—sekarang Irbah Kelas 1 Sekolah Dasar Sekolah Peradaban—pernah bertanya pada ayahnya tentang daun yang berubah warna menjadi kuning. Mungkin ia heran, sebab daun pada umumnya berwarna hijau. Maka saat ia menemukan daun yang menguning, tanyanya tak terbendung. Ayah Irbah saat itu sedang lelah, tapi ia tahu jika pertanyaan Irbah tak dijawab, maka itu akan mengurangi bahkan ‘membunuh’ kekritisan dan rasa ingin tahu Irbah yang secara sistemik akan mematikan potensi kecerdasannya. Maka dipendingnya jawaban untuk Irbah hingga pada suatu hari yang nyaman keduanya melakukan eksperimen kecil tentang proses menguningnya daun hingga mengering. Dan akhirnya Irbah tahu kenapa daun bisa berubah warna.

Cerita tadi disampaikan Ayah Irbah, Pak Bun Anam, dalam sebuah acara open house di Sekolah Peradaban Cilegon sekitar setahun lalu. Satu pesan penting dalam cerita Pak Bun yang bisa diambil adalah “Jangan mematikan potensi kecerdasan anak.”

Dalam keseharian terkadang tanpa sadar kita melakukannya. Dan ini umum terjadi pada orang tua bahkan guru sekalipun. Saat kita pulang kerja, badan masih lelah tiba-tiba anak bertanya ini itu. Respon spontan yang sering terlontar adalah “Aduh, kenapa ya?” “Wah, kalau itu sih tanya sama ibu aja.” “Duh bapak lagi capek ni nak,” dan kalimat lainnya yang pada intinya tidak menjawab dan tidak mau pusing dengan pertanyaan anak. Ini terjadi karena banyak faktor, kondisi fisik dan psikis yang lelah, menganggap anak terlalu cerewet, memandang sebagai hal yang sepele sehingga bukan sesuatu yang “wah” di ’mata’ kita.

Daun mengering adalah hal yang biasa dan tak aneh untuk kita. Tapi untuk anak, fenomena itu adalah hal yang pertamakalinya ia lihat dan itu hal yang aneh. Mungkin semut yang jalan beriringan, ’bersalaman‘ dan selalu menggunakan jalur yang sama adalah hal biasa bagi kita, tapi tidak bagi anak-anak. Kita banyak membiarkan, menerima semua apa adanya begitu saja tanpa berfikir kenapa bisa begitu? Sementara begitu banyak peristiwa yang sebenarnya penuh makna di sekitar kita yang bisa kita temukan. Kita bisa menemukannya pada pergantian siang dan malam hari, pada susu murni dalam sapi yang bisa terpisah dari kotoran, pada kaum yang dilanda bencana dan dibinasakan, pada turunnya hujan, pada bintang di malam hari dan pada-pada lainnya. Kesemuanya sering lewat begitu saja. Padahal kitapun diwajibkan memikirkannya. Kenapa bisa begitu? Ada apa di balik semua itu?

Setiap anak, setiap manusia, dibekali rasa ingin tahu (curiosity). Kecenderungan lingkunganlah yang membuat naluri rasa ingin tahu ini berkembang atau meredup. Kita telah mengenal kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Semua jenis kecerdasan memiliki insting itu, rasa ingin tahu. Kita akan menemukan seorang dominan kinestetik, linguistik atau kecerdasan lainnya bertanya, memenuhi rasa ingin tahunya. Namun insting atau naluri rasa ingin tahu, dominan dimiliki oleh seorang matematis logis. Seorang matematis logis dominan, cenderung sulit menerima sesuatu yang tidak masuk di akal, sesuatu yang ia belum tahu jawabannya.
Maka jika suatu hari anak kita bertanya, jangan patahkan rasa ingin tahunya. Pupuk dan kembangkanlah. Tapi juga jangan berikan jawaban instan. Buatlah sedemikian rupa sehingga jawaban itu merupakan hasil dari eksplorasinya. Rangsang pemikirannya. Berikan kailnya bukan ikannya. Kelak jika ia ingin makan lagi, ia tak akan minta ikan. Ia bisa mendapatkannya sendiri, ia punya kail.

Jika anak ingin mengambil buku dalam sebuah perpustakaan namun tak dapat dicapainya karena terlalu tinggi. Jangan ambilkan buku itu. Berikan ia tangga dan ia akan mengambilnya. Kelak jika ia membutuhkan buku yang lain, ia tahu, ia membutuhkan tangga untuk mengambilnya.

Tanpa kita sadari, pola pendidikan di kita cenderung memberikan segala sesuatunya dengan instan. Kita terbiasa didikte, dicekoki, spoon feeding, disuapi. Sehingga begitu kita dewasa dan menjadi penentu kebijakan, kitapun tak sadar menularkannya pada generasi kita. Kita tak menanamkan mental perjuangan. Justru sebaliknya, kita menanamkan mental pengemis. Santunan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pencabutan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) adalah salah satu contohnya. Masih segar dalam ingatan kita, dengan kebijakan tersebut orang berebut, berbondong-bondong ingin berstatus miskin agar dapat BLT Rp 100 ribu/bulan. Tiba-tiba banyak orang menjadi pengemis. Kita memberi ikan, bukan kail. Maka ketika Rp 100 ribu itu habis orang berfikir kembali bagaimana caranya agar mendapat Rp 100 ribu lagi secara gratis tanpa harus berusaha. Kebijakan itu menyisakan perubahan, sayangnya bukan perubahan yang baik. Kebijakan itu merubah mental mereka menjadi mental pengemis.

Saya memahami kenapa kebijakan itu bisa terjadi. Secara tak sadar itulah output pemikiran kita, hasil dari sistem pola pendidikan yang tak mencerdaskan yang tertanam dalam diri kita. Cukuplah kita saja yang mengalami kegagalan sistem pendidikan. Perlahan, kita harus mulai berbenah. Dan perbaikan sistem pendidikan itu kini mulai terlihat.

Anak-anak adalah aset bangsa. Mereka yang akan meneruskan perjuangan dan mengangkat derajat bangsa kita. Mereka adalah anugerah yang unik dan ’ajaib’. Maka biarkan kecerdasan mereka tumbuh dan berkembang. Jangan patahkan potensi kecerdasannya. Ada banyak keajaiban pada anak di manapun, di Sekolah Peradaban salah satunya. Suatu hari di pertengahan 2005, jam dinding di sebuah kelas mati, batrenya habis. Batre harus diganti, posisi jam tinggi, sulit dijangkau anak, bagaimana caranya? Lalu persoalan itu diserahkan pada anak-anak. Dan mereka berpikir, berdiskusi. Satu anak turun ke lantai bawah mengambil kursi. Dua orang lainnya saling bahu-membahu, membungkukan diri menjadi pijakan. Kedua cara yang dilakukan berbeda, tapi keduanya benar, keduanya berhasil. Batre berhasil diganti. Jam dinding hidup kembali. Kita akan menemukan keajaiban ini dimanapun tak hanya di peradaban, asalkan kita berikan mereka kepercayaan. Beri sedikit petunjuk, dorongan, biarkan mereka berfikir dan anda akan kagum dengan apa yang mereka lakukan. Wallahualam bishowab.

* Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan Dosen FH Untirta.

Memberantas Korupsi dengan Korupsi

Tulisan ini dibuat setelah mendapat informasi valid tentang seorang wakil bupati di Banten yang mengeluarkan Rp 500 juta untuk oknum jaksa agar surat permohonan pemeriksaan ke presiden tidak diajukan. Saya mengirimkan artikel ini ke sebuah harian lokal di Banten, tapi tak dimuat.

Memberantas Korupsi dengan Korupsi
-Catatan untuk peringatan Hari Antikorupsi Internasional-

Ferry Fathurokhman*

Tanggal 9 Desember 2003 telah menjadi hari bersejarah bagi dunia internasional juga Indonesia tak terkecuali. Hari itu Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Convention Againts Corruption) ditandatangani oleh 133 negara di Merida , Meksiko. Kita telah meratifikasi Konvensi Anti Korupsi tersebut dengan Undang undang nomor 7 tahun 2006. Korupsi telah menjadi musuh dunia internasional. Dalam konteks Hukum Pidana Internasional, korupsi merupakan tindak pidana internasional. Cherif Bassiouni, pakar Hukum Pidana Internasional, membuat tiga unsur untuk mengategorikan sebuah tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana internasional. Unsur internasional, transnasional, dan necessity (kebutuhan untuk melakukan kerja sama dengan negara lain). Dalam unsur internasional salah satu yang terpenting adalah bahwa tindak pidana tersebut haruslah mengandung unsur shocking to the conscience of humanity (menggoyahkan perasaan kemanusiaan) . Korupsi telah memenuhi unsur tersebut. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, menggoyahkan dan melukai perasaan kemanusiaan.

Indonesia memiliki prestasi yang luar biasa dalam hal korupsi. Kita tercatat sebagai the big ten negara terkorup. Program StAR (Stolen Asset Recovery Initiative) yang dibentuk oleh Bank Dunia dan PBB menempatkan mantan presiden kita Soeharto sebagai mantan presiden yang mencuri uang rakyat di urutan pertama dari 10 negara. Sembilan negara di bawah kita telah menyatakan para mantan presidennya bersalah. Hanya Indonesia yang belum menyatakan bersalah. Bahkan dalam kasasi perkara Soeharto versus Majalah Time, Mahkamah Agung memenangkan Soeharto dan menghukum Time membayar 1 Triliun rupiah kepada Soeharto. Time sebelumnya dalam sebuah edisi menyimpulkan Soeharto sebagai koruptor. Yang menggelikan dan memalukan, data yang dipakai Time untuk menyimpulkan Soeharto korup adalah data yang sama dengan yang digunakan Bank Dunia dan PBB dalam program StAR. Data tersebut diperoleh dari TI (Transparency International), sebuah NGO (Non-Governmental Organisation) internasional yang dikenal teliti dan rutin melakukan riset.

Memberantas Korupsi
StAR bukanlah program yang bertujuan untuk memojokkan suatu negara. Tujuan utama program itu adalah membantu negara yang bersangkutan untuk mendapatkan kembali uang rakyat yang telah dikorupsi. Permasalahannya adalah ada tidaknya kemauan kuat dari pemerintahan kita untuk mengambil kembali aset yang dicuri tersebut. Sebab negara yang berkepentinganlah yang harus aktif. StAR hanya membantu beberapa hal teknis yng diperlukan saja, misalnya pelatihan penelusuran harta yang dicuri dan menghubungi Bank- Bank Eropa dimana uang yang dikorupsi itu disimpan. Namun StAR hanya akan membantu jika ada kemauan kuat (willingness) dari kita. Permasalahannya kita punya ‘pekerjaan rumah’ besar tentang kemauan yang kuat.

Untuk memberantas korupsi kita membutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan komitmen yang kuat. Polisi-polisi, jaksa-jaksa dan hakim-hakim yang baik.
Kita memang memiliki KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang relatif lebih baik untuk diharapkan yang saat ini baru saja terpilih setelah menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ). Namun beberapa keterbatasan KPK seperti masa kerja dan daya jangkau yang terbatas menjadi kendala tersendiri.

Pada akhirnya harapan kita ada pada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) untuk memberantas korupsi. Namun berbagai peristiwa dan perilaku tercela yang melibatkan aparat penegak hukum membuat harapan dan agenda pemberantasan korupsi menjadi suram. Penyalahgunaan wewenang jabatan menjadi modus umum yang sering dilakukan. Hasil survei TII (Transparansi Internasional Indonesia)—sebuah NGO cabang dari TI—menunjukkan legislatif, polisi, dan sistem hukum/peradilan sebagai lembaga terkorup. Sistem peradilan disini termasuk di dalamnya adalah kejaksaan dan pengadilan. Ketiga lembaga tersebut dianggap paling korup dalam persepsi masyarakat. Meski hasil survei tersebut sempat dikritik Kepala Polri Jendral Polisi Sutanto, namun pada akhirnya ia berterima kasih karena survei itu akan memacu kinerja jajarannya.

Beberapa kasus dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat penegak hukum pernah diekspos di media. Pada tahun 2000 pernah muncul kasus yang menggemparkan Mahkamah Agung. Adalah Endin Wahyudin yang melaporkan para Majelis Hakim di Mahkamah Agung yang menangani perkara kasasinya, M. Yahya Harahap, SH, Ny. Marnis Kahar, SH, Ny. Supraptini Sutarto SH, ke Ketua TGPTPK Adi Andojo atas dugaan korupsi—dalam hal ini dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan-kesempat an atau sarana yang ada padanya karena jabatannya. Endin mengaku memberikan uang pada ketiga majelis hakim tadi masing-masing 50 juta rupiah untuk memenangkan perkara perdata yang sedang ditanganinya sebagai kuasa hukum para ahli waris. Perkara Endin dimenangkan, namun tak bisa dieksekusi, akhirnya Endin melaporkan peristiwa penyuapan tersebut. Marnis dan Supraptini kemudian mengadukan Endin ke Mabes Polri dengan tuduhan “pencemaran nama baik” pada Agustus 2000. Kasus ini dikupas tuntas oleh Harkristuti Harkrisnowo Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia dalam jurnal dictum edisi 1, 2002.

Di kalangan kejaksaan indikasi korupsi juga terjadi. Sebanyak tujuh kajari dicopot dari jabatannya oleh Kejaksaan Agung. Sebagian besar diduga kuat menerima suap dalam perkara korupsi yang ditanganinya, sedangkan satu orang kajari diduga berselingkuh di rumah dinasnya. Kepala Kejaksaan Agung, Hendarman Supanji sejak April 2007 memang berkomitmen untuk membersihkan kejaksaan dari perilaku tercela dan tidak profesional.

Di kepolisian kita menemukan Komisaris Jendral Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri tahun 2004-2005. Landung ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam perkara pembobolan Bank BNI dengan tersangka Adrian Waworuntu yang sedang ditanganinya.
Kasus-kasus di atas hanya beberapa saja dari kasus yang terjadi dan diekspos di media massa . Peristiwa ini hanyalah fenomena ‘gunung es’ saja. Layaknya anak Gunung Krakatau yang sedang aktif, yang terlihat hanyalah di permukaan laut saja, sementara di bawah permukaan laut masih lebih besar lagi. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa aparat penegak hukum bisa melakukan korupsi? Mengapa korupsi diberantas dengan korupsi pula? Statement dari Lord Acton setidaknya bisa menjelaskan pertanyaan ini.

Sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902) pernah berujar “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup. Maka siapapun yang diberikan kekuasaan, ia memiliki potensi besar untuk korupsi. Pejabat publik yang memungli proyek, dosen yang menjual nilai, demikian juga dengan aparat penegak hukum : polisi, jaksa dan hakim, ketiganya diberikan kekuasaan dan karenanya memiliki potensi besar untuk korupsi. Dalam bahasa hukum, kekuasaan tadi diejawantahkan dalam bentuk kewenangan. Polisi, jaksa dan hakim diberi kewenangan yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) terhadap tersangka ataupun terdakwa. Jika dicermati dari kasus-kasus yang telah terjadi di atas ataupun yang lainnya, modus yang sering dilakukan biasanya terjadi dalam proses penetapan status tersangka, penahanan, substansi Berita Acara Pemeriksaan, dakwaan dan tuntutan juga vonis hakim. Atau modus lain misalnya dengan ‘memainkan’ seorang pejabat publik baik itu gubernur, wakil gubernur atau wakil bupati yang karena ketentuan undang-undang dibutuhkan izin presiden untuk dapat memeriksa si pejabat publik tadi. Surat permohonan izin pemeriksaan tadi merupakan kewenangan penyidik yang juga berpotensi untuk disalahgunakan. Negosiasi yang terjadi adalah diajukan atau tidak diajukannya surat permohonan pemeriksaan.

Dalam prakteknya, kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum semacam ini akan terungkap ketika ada whistle blower yang ‘bersuara’. Whistle blower bisa dari kalangan mana saja, orang yang muak dan gerah melihat korupsi, orang yang tak kebagian korupsi atau tersangka yang ‘digarap, digoreng’ hingga ‘kering’. Kategori yang ketiga ini yang kemudian dalam prakteknya sering bersuara. Karena sebagai manusia ia punya hati yang juga dapat kelelahan ketika diperas tapi juga diganjar hukuman. Kasus pemerasan yang dilakukan oleh Jaksa Burdju Ronni dan Cecep Sunarto pada perkara Jamsostek adalah salah satu contohnya. Atas ruwetnya persoalan korupsi ini, seorang bupati di Banten pernah berujar dalam sebuah obrolan ringan tentang ironisme ini. “Sekarang ini disaat para pejabat diperiksa karena diduga melakukan korupsi, disaat itulah oknum aparat hukum melakukan korupsi.”

Pada akhirnya kekuasaan dan kewenangan bagaimanapun sangat diperlukan untuk memberantas korupsi. Persoalannya adalah sejauh mana orang yang mengemban amanah kekuasaan dan kewenangan itu dapat bertanggungjawab baik di peradilan dunia maupun di akhirat nanti. Saya jadi teringat Taverne yang berkata “Berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun aku akan memperoleh hasil yang lebih baik.” Kita merindukan sosok penegak hukum semisal Baharudin Lopa di negeri ini. Dalam konteks ke-Bantenan yang islami, kita punya banyak teladan seperti Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar atau Umar bin Khottob yang sangat anti korupsi. Lopa telah selesai dan berhasil meneladaninya, bagaimana dengan kita? Wallahualam bi showab.

*Dosen Hukum Pidana Internasional FH Untirta, Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan anggota Mazhab Pakupatan.