Menjelang kelahiran puteri pertama kami, sebuah nama telah kami persiapkan. Syifa Qulubana, artinya penyembuh hati kami. Istri saya, Dewi Wahyuni kemudian menambahkan Malka diantaranya, artinya tempat bertemu. Sehingga nama puteri kami bermakna penyembuh/obat tempat bertemunya hati kami. Belakangan setelah Syifa lahir, ada obrolan menarik antara saya dengan ustad saya sejak sekolah dasar. Rupanya kalau dibuat menjadi kalimat, Syifa Malka Qulubana tidaklah tepat. Kalau secara etimologis, arti per kata memang benar demikian artinya. Tetapi untuk diubah menjadi sebuah kalimat maka bentuk katanya pun harus berubah. Seperti misalnya hati = qalbu, kami = na, tapi untuk menjadi hati kami tidak bisa qolbuna, tetapi menjadi qulubana sebagai bentuk jamak. Nah, Syifa Malka juga harus disambungkan diubah menjadi syifaul malkiah, sebagaimana seperti syifaulinnas sebagai penyembuh bagi manusia dari kata syifa li dan annas. Tapi akte kelahiran Syifa kadung jadi dan secara etimologis tidak salah maka anak kami tetap Syifa Malka Qulubana. Tapi diskusi dengan ustad tadi menjadi tambahan ilmu yang sangat bermanfaat untuk saya.
Syifa lahir Sabtu pagi, 10 Maret 2007, sekira pukul tujuh pagi lewat sekian. Syifa dibidani oleh Halanah, bidan senior dan berpengalaman di Serang. Memilih bidan Halanah bukanlah tanpa alasan. Sebelumnya kami kontrol periodik ke tiga dokter dan tiga bidan yang berbeda. Dari klinik, rumah sakit ibu anak hingga Puskesmas Serang. Dari referensi beberapa kawan dan saudara, Halanah menjadi pilihan kami. Halanah bidan yang sabar dan ramah, umurnya sekira 50-an mendekati 60. Dulu, ia bertugas di Rumah Sakit Umum Serang. Kini ia pensiun dan memiliki rumah bersalin. Ia sering menghabiskan sepertiga malamnya dengan tahajud, Syifa bahkan menunggunya menyelesaikan tahajud sebelum keluar dari rahim.
Di rumah bersalin ini ada 5 kamar ibu, 1 kamar bayi baru lahir, 1 kamar bersalin dan 2 kamar pemeriksaan kontrol rutin. Menjelang kelahiran kami memang kontrol dan Dewi memutuskan untuk melahirkan Syifa di sini.
Syifa lahir dengan bobot 2,9 kg dan 49 cm. Awalnya bermula ketika Dewi mengalami pendarahan di pagi 9 Maret 2007 sekira pukul 09-an, hari itu adalah Jumat. Kami bergegas ke rumah bersalin. Dewi diperiksa perawat/suster Encun. Ia mengatakan belum ada pembukaan. Hanya flek biasa dan masih lama. Dewi ditanya apakah ia merasakan mules. Dewi tak mengerti definisi mules yang seperti apa, mules yang bagaimana? Encun tersenyum melihat kami, katanya maklum kalau baru pertama pasti khawatir, ia menjelaskan kalau proses kelahirannya masih lama sekira 1-2 hari lagi. Kami diberi pilihan untuk menginap atau pulang. Kami pulang.
Jumat 9 Maret 2007 pukul 14.30, Dewi mengeluh sakit--yang kemudian kami ketahui orang-orang menyebutnya mules. Sakit itu berjeda, awalnya 2 jam sekali, lalu 1,5 jam. Bada Magrib kami kembali ke rumah bersalin. Dewi kembali diperiksa, sudah bukaan 2. Nyai--sebutan untuk mamah Lampung, ibunya Dewi--ditelpon, ia sedang berada di Bandung. Tapi berhubung menurut suster Encun prosesnya masih lama, maka kami mengatakan pada Nyai untuk berangkat besok saja dari Bandung. Naluri ibu Nyai bekerja, ia tak menghiraukan saya, segera berangkat malam itu juga menuju Terminal Leuwi Panjang diantar Harlans, menantu pertamanya.
10 Maret 2007 dini hari, mules Dewi semakin menjadi. Intervalnyapun semakin dekat. Dari tiap 1 jam, setengah jam, 20 menit hingga 10 menit. Nyai mengabari kedatangannya. Saya jemput di perempatan Ciceri. Ada Adi (adik bungsu saya) yang menunggu di rumah bersalin. Saat mules tiap 10 menit Suster Encun menawarkan pindah ke ruang bersalin, saya menyetujuinya. Suster Encun ditemani Suster Maya menemani Dewi dan saya, saat itu pukul 02.30. Kini mules Dewi tiap 5 menit. Saya dan Nyai menemani Dewi di ruang bersalin. Mendekati kelahiran suster memberi tahu bahwa hanya 1 anggota keluarga yang boleh menemani Dewi. Nyai berusaha agar saya dan ia boleh menemani. Suster menjelaskan tidak bisa, mungkin alasan ruang gerak yang sempit, karena nanti Bidan Halanah akan diasisteni oleh dua suster. Nyai mengalah, saya di dalam. Menjelang kelahiran adalah detik-detik yang melemaskan lunglai. Mendengar kesakitan Dewi menyayat hati bergetar. Saya berdoa minta ampun padaNya agar Dewi dan Syifa selamat dan bernjanji tak akan mengulangi kesalahan, dosa dan hal-hal bodoh yang tidak perlu--sesuatu yang akhirnya diingkari dan terbukti betapa benar surat dari Allah bahwa saat dalam susah dan terjepit manusia berdoa habis-habisan dan kemudian lupa, semoga saya bisa lepas dari kategori yang disebutkanNya.
Azan subuh menggaung, Syifa belum juga lahir ditengah kepayahan Dewi--wahnan ala wahnin. Saya keluar, sholat subuh di kamar, Nyai menggantikan masuk. Bada subuh saya kembali masuk menggantikan Nyai. Air rendaman rumput fatimah beberapa kali diminum Dewi untuk memperlancar persalinan. Dewi mengejan lagi hingga diinfus agar tak kekurangan carian dan kekuatan, tapi Syifa tak juga keluar.
Pukul 06.45, Syifa tak juga keluar, Dewi kehabisan tenaga, ejanannya melemah. Bidan Halanah memutuskan memvacum Syifa dibantu 2 suster, Dewi tak perlu mngejan lagi. Vacuman pertama Syifa tak keluar, kening bidan mengerut. Vacuman keduapun demikian, keheranan bidan bertambah. Bidan Halanah segera menemukan masalahnya. Leher Syifa terlilit tali pusat plasenta. Maka bidan memvacum sekali lagi pelan sambil melepaskan tali pusat dengan sebuah alat, dan tangis Syifapun keluar. "Kenapa nak?" Dewi tersenyum haru ditengah kelelahannya. Nyai masuk menyongsong Syifa. Tak lama kemudian Dewi muntah, semua makanan yang disuapkan di ruang bersalin keluar termasuk sekaleng pocari sweat yang sempat diminumnya. Saya berwudu dan mengumandangkan azan di telinga kanan Syifa dan iqomat di kirinya. Nyai menggosokkan sedikit madu bayi ke langit-langit Syifa. Yai--sebutan untuk ayah Dewi--sangat senang dengan kelahiran Syifa. Ia bertambah senang ketika tahu Syifa terlilit tali pusat "Kalau anak lelaki terlilit tali pusat itu bagus, kalau orang dulu ia akan ditutupi dengan baskom dan membacokan golok ke baskom, kelak ia akan menjadi jagoan yang kuat dan tangguh, tapi Syifa kan perempuan, nggak usah lah," paparnya. Yai berasal dari Ogan, Sumatera Selatan. Di kalangan Jawa, bayi terlilit pusat dipercaya akan menarik hati setiap orang, ia, mengenakan apapun, akan terlihat pantas. Kepercayaan seperti itu banyak sekali di Indonesia yang pada umumnya dipengaruhi budaya Jawa. Seperti bayi yang terlahir sungsang--kaki keluar lebih dulu-- dipercaya mempunyai kemampuan mengobati orang. Hmmm...
Selamat datang ke Bumi Syifa. Saya akan berusaha keras menjadi ayah yang baik untukmu. Tugas kita berat. Negeri ini sedang kacau, sakit. Kebingungan mengurai kekekusutan yang tak jelas pangkal dan ujungnya, mana kepala mana kaki. Dan engkau lahir sebagai penyembuhnya.