Ini cerita kemarin, terjadi sesaat setelah selesai memfoto kopi berkas untuk mendaftarkan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan di Jalan Bhayangkara, 150 meter dari rumah saya. Dua anak terbaru saya, Inara dan Mushab, belum terdaftar pada BPJS. Oya kabar gembira, anak ketiga kini 'diakui' negara dalam konteks BPJS. Maka jadilah hanya Mushab yang bayar asuransi bulanan. Baiklah kembali ke maksud tulisan. Baru saja saya naik motor di parkiran, seorang ibu, berjilbab, umur menjelang 60an menghampiri dengan wajah panik.
Ibu: "Bapak tahu Kantor Askes? saya mau ketemu Haji Didi, Kepala Askes, adik ibu di RSU Serang, sekarang mau dibawa pulang ke Pandeglang, kurang untuk ongkos mobilnya Rp 120.000. Tadi ini mampir ke bu Haji Ida sudah berangkat," ceritanya.
Saya: "Wah Kantor Askes sudah tidak ada bu, dulu di Benggala, tapi sekarang sudah dialihkan ke BPJS di Karundang, ini saya mau urus ke BPJS, kalau mau bareng saya antar," jelas saya.
Ibu: "Ibunya mau ke askes ketemu Haji Didi"
Saya: "Iya askesnya sudah tidak ada."
Ibu: "Bapak kerja dimana? Gini aja, ibu minta dibantu berapa aja, tadi juga ibu dapat dari orang-orang, ini data-data ibu kalau bapak nggak percaya," ujarnya sambil memperlihatkan dompet yang berisi Rp.12.000, KTP dan kertas askes lama yang sudah tak berlaku.
Saya: "Gini-gini, masalah ibu itu apa?"
Ibu: "Ibu mau bawa adik ibu dari RSU Serang ke Pandeglang."
Saya: "Kalau uang untuk ke Pandeglang saya gak ada, tapi kalau ibu mau, nanti saya antar adik ibu ke Pandeglang, tapi saya harus minta tanda tangan dekan dulu ini (untuk salah satu surat yang menjadi syarat BPJS). Jadi gini aja, ibu ikut saya aja dulu, nanti setelah dari fakultas kita ke rumah sakit jemput adik ibu," tawar saya.
Ibu:" Pakai apa? Gak bisa pakai motor, kan duduknya susah, gak bisa duduk," bingungnya.
Saya: "Pakai mobil, bensin mobil saya masih cukup untuk ke Pandeglang," jelas saya.
Dan tiba-tiba saja si ibu makin panik.
Ibu: "Gak usahlah, sayanya gak enak nanti ngeganggu bapak, ngerepotin."
Saya:" Eh gak papa bu, sebentar saja ke fakultas temui dekannya."
Ibu: " Gak usah pak," yang langsung dengan tiba-tiba menyetop ojeg yang tampak akrab dengannya. Lalu menghilang naik ojeg.
Tukang foto kopi:"(sambil senyum) apa katanya mas? kemarin juga si ibu itu di sini, nih Haji .... (lupa nama yang disebutkan) kena sepuluh ribu," jelasnya sambil menunjuk warung sebelah.
Begitulah. Menyedihkan ya. Mungkin hidup ini terlalu berat, atau kita yang terlalu lemah. Tapi menyaksikan wajah ibu tersebut yang sangat umum tanpa ciri-ciri fisiologis kriminal versi kriminolog Lombroso. Adalah jilbabnya juga yang membuat saya semakin bersedih.
Maka naik motorlah saya menuju kampus. Masih di Jalan Bhayangkara, motor ibu terlewati oleh saya. Maklumlah motor saya adalah motor bebek tercepat di zamannya.
Cipocok Jaya, 31 Oktober 2014.
Ibu: "Bapak tahu Kantor Askes? saya mau ketemu Haji Didi, Kepala Askes, adik ibu di RSU Serang, sekarang mau dibawa pulang ke Pandeglang, kurang untuk ongkos mobilnya Rp 120.000. Tadi ini mampir ke bu Haji Ida sudah berangkat," ceritanya.
Saya: "Wah Kantor Askes sudah tidak ada bu, dulu di Benggala, tapi sekarang sudah dialihkan ke BPJS di Karundang, ini saya mau urus ke BPJS, kalau mau bareng saya antar," jelas saya.
Ibu: "Ibunya mau ke askes ketemu Haji Didi"
Saya: "Iya askesnya sudah tidak ada."
Ibu: "Bapak kerja dimana? Gini aja, ibu minta dibantu berapa aja, tadi juga ibu dapat dari orang-orang, ini data-data ibu kalau bapak nggak percaya," ujarnya sambil memperlihatkan dompet yang berisi Rp.12.000, KTP dan kertas askes lama yang sudah tak berlaku.
Saya: "Gini-gini, masalah ibu itu apa?"
Ibu: "Ibu mau bawa adik ibu dari RSU Serang ke Pandeglang."
Saya: "Kalau uang untuk ke Pandeglang saya gak ada, tapi kalau ibu mau, nanti saya antar adik ibu ke Pandeglang, tapi saya harus minta tanda tangan dekan dulu ini (untuk salah satu surat yang menjadi syarat BPJS). Jadi gini aja, ibu ikut saya aja dulu, nanti setelah dari fakultas kita ke rumah sakit jemput adik ibu," tawar saya.
Ibu:" Pakai apa? Gak bisa pakai motor, kan duduknya susah, gak bisa duduk," bingungnya.
Saya: "Pakai mobil, bensin mobil saya masih cukup untuk ke Pandeglang," jelas saya.
Dan tiba-tiba saja si ibu makin panik.
Ibu: "Gak usahlah, sayanya gak enak nanti ngeganggu bapak, ngerepotin."
Saya:" Eh gak papa bu, sebentar saja ke fakultas temui dekannya."
Ibu: " Gak usah pak," yang langsung dengan tiba-tiba menyetop ojeg yang tampak akrab dengannya. Lalu menghilang naik ojeg.
Tukang foto kopi:"(sambil senyum) apa katanya mas? kemarin juga si ibu itu di sini, nih Haji .... (lupa nama yang disebutkan) kena sepuluh ribu," jelasnya sambil menunjuk warung sebelah.
Begitulah. Menyedihkan ya. Mungkin hidup ini terlalu berat, atau kita yang terlalu lemah. Tapi menyaksikan wajah ibu tersebut yang sangat umum tanpa ciri-ciri fisiologis kriminal versi kriminolog Lombroso. Adalah jilbabnya juga yang membuat saya semakin bersedih.
Maka naik motorlah saya menuju kampus. Masih di Jalan Bhayangkara, motor ibu terlewati oleh saya. Maklumlah motor saya adalah motor bebek tercepat di zamannya.
Cipocok Jaya, 31 Oktober 2014.