Monday, December 20, 2010

Pengelolaan Hutan Ala Masyarakat Baduy Dalam

(Tulisan ini dimuat dalam buku VanaPrastha: 182 Tahun Kabupaten Lebak)

Sabtu 24 April 2010, pukul 09.30, Aman Sukarso ayah saya, tampak bersemangat mengantarkan saya menuju terminal Pakupatan Serang pagi itu. Beberapa hari yang lalu saya memang diserang rasa jenuh. Saya tahu bahwa Ayah saya risih melihatnya, tiduran di depan televisi atau sekadar baca-baca tak jelas. Ayah saya itu orang Sunda jadi ada perasaan tidak enak jika harus menegur, ia biasa bekerja dalam diam. Nah karena kami orang sunda itulah jadi harus pandai-pandai menafsirkan. Seperti pagi itu, jika ia sudah menghidupkan mesin mobil, itu berarti ia menginginkan saya untuk segera pergi ke Baduy menyelesaikan penulisan tesis saya yang tertunda.
Beberapa hari yang lalu saya memang telah memberitahukannya bahwa 24 April saya berencana menuju Cibeo, sebuah Kampung Baduy Dalam di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Tas ransel hitam saya nampak kerepotan membawa beban hari itu: 4 kilo beras, 1 kilo ikan asin, 7 bungkus mie instan, bekal makan siang dari istri, 4 buku tentang Baduy dan sebuah blocknote. Saya berencana menulis tesis mengenai hukum pidana adat Baduy. Tema tesis tersebut didapat setelah saya dan seorang kawan bernama Abdul Hamid berdiskusi di sebuah kamar hotel di Semarang pada suatu malam. Andreas Harsono, mantan wartawan harian The Star (Kuala Lumpur) dan majalah Asian Business (Hongkong), guru saya dalam menulis, pernah menjelaskan rumus sederhana dalam menulis: riset dan wawancara. Maka segera setelah mendapatkan tema tersebut saya melakukan riset, mengumpulkan bahan bacaan, buku, artikel internet, semua yang berkaitan dengan Baduy saya kumpulkan untuk dipelajari. Dari bahan tersebut saya lalu membuat daftar orang-orang yang harus saya wawancarai. Bagi saya menulis tesis tak ubahnya seperti menulis reportase.
Dari semua bahan bacaan, hampir semua penulis Baduy selalu mencantumkan filosofi Baduy “lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung) dalam setiap tulisannya. Filosofi tersebut memberikan pedoman bagi masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan tata kosmos, alam semesta. Saya menutup sebuah buku Baduy dan bergumam “Ada hubungan apa antara Baduy dengan alam?”
***
Kanekes adalah nama sebuah Desa dimana komunitas masyarakat Baduy berada, Ibu Kota Desa Kanekes adalah Kampung Kadu Ketug III atau dikenal juga dengan nama Babakan Cigoel, dimana Jaro Dainah berada. Dalam struktur adat Baduy, Jaro Dainah menjabat sebagai Jaro Pamarentahan yang bertugas antara lain sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan pemerintahan dan lingkungan di luar Baduy. Jaro Dainah berambut ikal dengan alis yang tebal. Berkumis, kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia. Kita akan menemukan kesan yang tidak ramah jika belum akrab dan baru pertamakali bertemu. Namun jika telah beberapa kali bertemu dan mengetahui maksud baik kita, maka obrolan tentang Baduy mengalir lancar dari mulutnya, bahkan ia tak sungkan memberikan data tertulis. Desa Kanekes terdiri dari 59 Kampung yang dibagi ke dalam tiga bagian: 3 Kampung Baduy Dalam, 55 Kampung Baduy Luar dan 1 kampung luar Baduy. Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik merupakan Kampung Baduy Dalam, yang jumlahnya tidak akan berkurang atau bertambah, selalu 3 Kampung. Sementara Kampung Baduy Luar dapat bertambah jumlah kampungnya seiring pertambahan penduduk dan pemekaran daerah. Satu kampung luar Baduy yang disebut Jaro Dainah adalah Cicakal Girang. Berbeda dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar yang memeluk agama Sunda Wiwitan, sebagian besar warga Cicakal Girang merupakan pemeluk agama Islam.
Jadi, seluruh masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dari Jakarta, jaraknya sekitar 120 kilometer. Dengan kondisi alam yang berbukit-bukit di kawasan Pegunungan Kendeng, desa tersebut berada di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut seluas 5.101,85 hektar, sebagai dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau masyarakat Baduy sering menyebutnya dengan hutan tutupan atau hutan larangan.
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun berikutnya meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Awal tahun 1980 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.057 orang, sepuluh tahun kemudian berjumlah 5.600 orang dan tahun 1999 menjadi 7.000-an orang (Kartawinata, 2000).
Data kekinian tentang jumlah kampung kemudian saya temukan dalam buku Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah yang ditulis Suhada, jumlah kampung di Desa Kanekes tahun 1985 tercatat sebanyak 30. Pada 1996 meningkat menjadi 49 kampung, lalu tahun 2000 meningkat lagi menjadi 52 kampung. Kini, menurut Jaro Dainah, jumlah kampungnya telah menjadi 59, dengan jumlah penduduk sebanyak 11.150 Jiwa.
Akses menuju masyarakat Baduy tidaklah sulit. Terminal pertama yang harus dituju adalah Terminal Bis Rangkas Bitung. Banyak bis yang menuju ke terminal ini, bisa dari terminal Pakupatan Serang atau bahkan yang langsung dari Jakartapun telah ada. Sampai di terminal Rangkas Bitung, carilah PS atau Elf yang menuju Terminal Ciboleger. PS atau Elf adalah angkutan umum mini bus bermesin truck PS. Atau bisa juga menaiki angkutan umum menuju terminal kecil Aweh. Dari terminal Aweh baru kemudian naik PS menuju Ciboleger. Ciboleger adalah desa terakhir yang bisa dimasuki kendaraan dan berbatasan dengan Desa Kanekes. Desa Kanekes hanya berjarak sekitar 100 meter dari Ciboleger. Jika kita sudah berada di Kanekes, itu artinya kita sudah berada di salah satu kampung Baduy Luar yang terluar, Babakan Cigoel atau dikenal juga sebagai Kampung Kadu Ketug III.
Saat di Babakan Cigoel, sebelum berangkat ke Cibeo, saya menyempatkan shalat dhuhur dijamak takdim, jadi shalat asar saya tarik ke waktu shalat dhuhur. Jaro Dainah mempersilahkan saya shalat di rumah singgah dengan diantar Saidam, warga setempat. Saya mendapat kabar dari Asep Bule, warga Ciboleger, bahwa rumah singgah adalah rumah yang disediakan hasil kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Lebak dan Haji Kasmin, warga Baduy Luar yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten dan Ketua DPD Partai Golkar Lebak. Desain rumah singgah disamakan dengan rumah warga Baduy Dalam pada umumnya: rumah panggung, tiang kayu, anyaman bambu sebagai dinding dan hateup (atap) yang terbuat dari anyaman daun aren. Yang membedakan, pada rumah singgah telah dilengkapi dengan kamar mandi dan water closet (WC).
Ditemani Saidam, saya menuju rumah Ayah Mursyid di Cibeo, beberapa bulan sebelumnya saya memang telah membuat janji untuk bertemu dengannya. Ayah Mursyid adalah wakil Jaro Cibeo, putra dari Puun Jandol. Perjalanan ke Cibeo cukup melelahkan, 2,5 jam perjalanan kaki. Naik turun bukit. Jam di telepon genggam saya menunjukan pukul 17.00 saat saya tiba di Cibeo. Saidam membawa saya ke jalan setapak yang biasa dipakai warga Baduy sehingga bisa lebih cepat sampai.
Memasuki Kampung Baduy Dalam Cibeo seperti memasuki dunia lain. Seperti menerobos dimensi waktu, mundur ke belakang. Tak ada listrik dan bangunan tembok, asri, alami, hening, gemericik air sungai mendominasi. Jembatan bambu melintasi sungai menjadi tanda memasuki Cibeo. Saya terpaku saat melihat seekor elang terbang berputar-putar di atas kepala saya, dekat, di atas rumah warga Cibeo. Di sini, manusia dan alam hidup berdampingan, bersahabat. Ada banyak yang dapat dituliskan mengenai Baduy, namun yang paling menarik adalah bagaimana interaksi masyarakat adat Baduy yang dapat hidup berdampingan dengan alam selama ratusan tahun. Sungai yang baru saja saya lewati adalah sungai yang sama saat dua belas tahun lalu saya mengunjungi Cibeo. Tidak ada yang berubah, jernih, segar, dan tak ada secuilpun sampah plastik yang mengotorinya. Di Cibeo saya menginap di rumah Ayah Mursyid. Makan, bicara dan mendengarkan hingga larut malam, mengoreksi kekeliruan beberapa buku tentang Baduy. Saya juga mewawancarai Jaro Sami, Jaro Cibeo keesokan harinya.
Masyarakat Baduy percaya alam adalah salah satu titipan yang maha kuasa untuk dilestarikan. Amanah dan kewajiban melestarikan alam jatuh pada Masyarakat Baduy. Oleh karenanya semua sistem kehidupan Masyarakat Baduy berpedoman pada filosofi “lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung” tidak terkecuali sistem hukum adat Baduy.
‘Pembumian’ filosofi Baduy dapat dilihat di seluruh Kampung Baduy khususnya pada Kampung Baduy Dalam seperti Cibeo. Cibeo terletak di pinggiran sungai. Di Sungai inilah seluruh kebutuhan air warga Cibeo terpenuhi: mandi, minum dan semuanya. Airnya jernih tak berbuih. Warga Baduy Dalam tak diperkenankan menggunakan peralatan mandi semisal sabun, odol dan shampo. Termasuk para tetamu yang mengunjungi Cibeo tak diperkenankan menggunakannya. Jika anda membawa peralatan mandi ke Cibeo maka simpan sajalah di dalam tas. Itulah sebabnya selama ratusan tahun sungai di pinggiran Cibeo tetap sanggup menopang kehidupan warga Cibeo. Tahun 1998 adalah pertamakalinya saya ke Cibeo. Kini, setelah 12 tahun berselang, tak ada yang berubah dari sungai di Cibeo. Airnya tetap jernih, dingin dan berhasil mengembalikan kesegaran tubuh kala saya mandi sore itu.
Sama halnya dengan makanan pokok di Indonesia pada umumnya, makanan utama masyarakat Baduy adalah nasi. Namun masyarakat Baduy tak menamam padi dengan bersawah. Mereka menanam padi Huma—padi yang ditanam di tanah kebun, bukan sawah. Bersawah dan membajak tanah merupakan salah satu larangan Masyarakat Baduy. Ayah Mursyid menjelaskan ketentuan tersebut semata untuk menjaga keseimbangan alam. Saya kurang tahu, pada suatu malam di Menes, Suhada, salah satu penulis Baduy pernah menjelaskan pada saya bahwa ada penelitian yang menunjukan mengolah tanah menjadi sawah akan mengurangi kesuburan tanah dalam jangka panjang. Masyarakat Baduy menyimpan hasil panenan padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit biasanya dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit masing-masing. Leuit menyiratkan konsep ketahanan pangan masyarakat Baduy. Saya belum pernah mendengar warga Baduy kekurangan stock bahan pangan.
Semua rumah di Cibeo bentuknya sama, semua bahan yang digunakan berasal dari alam: Batu, kayu, bambu, ijuk. Tidak ada satupun bahan modern semisal paku, batu bata dan semen diperkenankan di Cibeo (Hal yang sama juga berlaku pada kampung Baduy Dalam lainnya). Satu hal yang menarik, meskipun bahan bangunan didapatkan dari alam sekitar, tidak nampak adanya kerusakan hutan di Baduy. Masyarakat Baduy tidak mengeksploitasi alam, mereka menggunakan seperlunya yang selalu dibarengi dengan pelestariannya. Seperti misalnya suatu pagi saya temui rombongan anak-anak dan beberapa ibu-ibu Cibeo yang membawa kayu dari hutan menuju Cibeo. Rupanya ada sebuah hajatan hari itu, sehingga pemangku hajat membutuhkan kayu bakar untuk keperluan memasak. Kayu yang mereka bawa rupanya kayu yang telah kering dan tua. Saidam menjelaskan bahwa kayu bakar tersebut didapat dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Mereka tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun. Saya kira hutan pegunungan Kendeng di sekitar sini telah memilih masyarakat Baduy sebagai penghuninya. Keduanya berjodoh. Keduanya berusaha untuk tidak saling menyakiti. Hingga saat ini saya tak pernah mendengar banjir yang melanda perkampungan Baduy. Menurut Jaro Sami, Jaro Cibeo, alam adalah salah satu yang dititipkan oleh yang maha kuasa pada masyarakat Baduy untuk dilestarikan. Pemahaman ini merata pada masyarakat Baduy, Jaro Dainah pernah mengatakan hal yang sama pada suatu ketika. Salah satu kewajiban masyarakat Baduy adalah melestarikan alam. Masyarakat Baduy bersekolah pada alam. Mereka belajar dan hidup dengan alam. Oleh karenanya kita takkan menemukan seorang warga Baduy yang bersekolah formal. Sekolah adalah salah satu hal yang dilarang dalam kehidupan Baduy.
Bagian paling bawah dari rumah masyarakat Baduy adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu. Tetapi tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi yang menyesuaikan adalah panjang pendeknya batu dan tiang kayu. Jadi panjang pendeknya batu disesuaikan dengan kontur tanah.
Baduy memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mengelola lingkungan. Sekalipun masyarakat adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan padahal mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal tersebut telah berlangsung lama meskipun masyarakat adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Pada konteks ini, kita harus belajar dari masyarakat adat Baduy dalam berinteraksi dengan alam sehingga kelestarian tetap terjaga. Nilai-nilai yang berkaitan dengan alam dan pengelolaan hutan tersebut merupakan pelajaran berharga bagi pengelolaan lingkungan hidup secara nasional.
Masyarakat adat Baduy dikenal sangat patuh dan taat pada hukum adat Baduy. Ada banyak larangan dalam hukum adat Baduy misalnya tidak boleh difoto (di dalam wilayah Baduy Dalam), naik kendaraan, memakai alas kaki. Orang Baduy Dalam jika pergi ke Jakarta, Bogor atau Bandung dengan maksud memenuhi undangan ataupun mengunjungi tamu yang pernah datang ke Baduy selalu berjalan tanpa alas kaki. Jika diketahui menggunakan kendaraan, maka ia akan dikenai sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar—Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar dan berinteraksi lebih dengan modernisasi. Jika ditanyakan alasan kenapa tidak boleh ini dan itu, maka mereka akan menjawab dengan singkat “teu meunang ku adat” (Tidak boleh oleh adat).
Pengakuan atas Masyarakat Adat dan Hutannya.
Menurut Jaro Dainah, perwakilan masyarakat adat se Indonesia pernah dikumpulkan dalam sebuah acara di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Bagian terpenting pertemuan tersebut adalah dijanjikannya sebuah undang-undang yang menjamin tentang keberadaan masyarakat adat beserta tanah yang melingkupinya. Undang-undang tersebut menurut Jaro Dainah hingga saat ini—2010—belum ada.
Meski demikian, dalam catatan saya, sebenarnya keberadaan masyarakat adat Baduy telah diakui dengan diterbitkannya Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy di wilayah Banten. Bahkan secara umum, masyarakat adat di Indonesia telah diakui keberadaannya. Berbagai peraturan telah mempertegas eksistensi masyarakat adat. Dalam Undang-undang Dasar 1945, pengakuan tersebut dicantumkan dalam pasal 18B ayat 2 dan 18I ayat 3 sebagai berikut:
Pasal 18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

UU No 41 tahun 1999 Kehutanan (yang mengalami perubahan dengan adanya Perppu Nomor 1 tahun 2004) juga mengakui hak dari masyarakat hukum adat dalam pasal 67 sebagai berikut :
Pasal 67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak :
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Selain itu keberadaan hutan adat juga telah diakui oleh undang-undang ini sebagai berikut :
Pasal 1
6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Pasal 4
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan dengan kepentingan nasional
Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan
sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Masyarakat Baduy dan Hutan yang wilayahnya telah ditetapkan pemerintah daerah setempat sebagai hutan adat telah hidup secara harmonis. Tidak ada penebangan kayu secara masif, tidak ada pencemaran air, tidak terjadi ‘gundulnya’ hutan. Hal tersebut karena kultur masyarakat Baduy yang menyatu dengan alam.
Kerusakan Hutan di Baduy
Keharmonisan antara masyarakat Baduy dan hutan di sekitarnya tak selamanya langgeng, kemesraan keduanya mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy, menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat. Dalam perjalanan pulang, saya menemukan jejak ternak berkaki empat. Saidam menjelaskan bahwa ternak semisal kerbau tersebut merupakan milik warga luar Baduy. Warga Baduy telah sering melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Banten, melakukan sosialisasi pada warga luar Baduy agar tidak menebang pohon di hutan adat bahkan melaporkan persoalan ini ke kepolisian. Jaro Dainah mengaku meski tanah ulayat Baduy itu sudah dilindungi peraturan daerah, pada praktiknya aturan tersebut tidak berjalan akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat.
Pada akhirnya faktor ekonomi menjadi faktor yang paling utama dalam menyumbang kerusakan hutan di Baduy. Kerusakan hutan adat di Baduy tak lepas dari persoalan ekonomi. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan lingkungan tidak hanya dalam tataran kebijakan legislatif, tapi juga upaya kuat mendorong penegakan hukumnya dengan tak berpihak pada kekuatan ekonomi. Pihak perusahaan maupun perseorangan juga harus memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara dari penyuluhan hingga penegakan hukum sebagai upaya untuk menghasilkan deterrence effect (efek pencegahan).
Keharmonisan yang telah berlangsung lama antara masyarakat adat Baduy dan alam akhirnya harus terusik justru karena faktor di luar mereka. Sedikit demi sedikit, modernisasi mulai menjamah keharmonisan hubungan alam dan manusia. Kondisi ini sebenarnya menjadi ‘bom waktu’ jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas. Konflik horizontal pada akhirnya berpotensi terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyakarat luar Baduy. Duduk bersama antara masyarakat luar Baduy, masyarakat adat Baduy dan pemerintah pada akhirnya mutlak diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan.
***
Ayah Mursyid menjelaskan konsep kehidupan masyarakat Baduy hingga larut malam. Lewat temaram lilin Ia menyadari saya mulai mengantuk. Dua buah bantal empuk bersarung putih diberikannya. Saya tidur beralas tikar pandan karena memang tak ada kasur di Cibeo.
Banyak pelajaran yang saya dapat dari Baduy, diantaranya prinsip hidup masyarakat adat Baduy yang tercermin dari petatah-petitih adat Baduy :
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong Pendek tak boleh disambung (Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung)
yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang yang benar haruslah dibenarkan
Pada prinsipnya, kandungan penting dari aturan adat tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Saya kurang tahu, apakah dua belas tahun mendatang masyarakat adat Baduy masih dapat mempertahankan keharmonisannya dengan alam sebagaimana dua belas tahun yang lalu saat saya menginap di kampung ini, Cibeo, Baduy Dalam.

Daftar Pustaka
Arif Hidayat dan FX Adji Samekto. Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah. Semarang. Badan Penerbit Undip. 2007.
Ade Makmur, Pamarentahan Baduy Di Desa Kanekes: Perspektif Kekerabatan Pamarentahan Baduy In Kanekes: Kinship Perspective diunduh dari http://www.geocities.com/puslitmasbud_unpad/artikel_pamarentahan_Baduy.htm
www.hukumonline.com/berita/Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan
[3/8/06].
www.kompas.com Berita edisi Senin, 24 Mei 2004
www.kompas.com Berita edisi Senin, 24 Mei 2004

www.tempointeratif.com pada berita “Penyerobotan Tanah Baduy Merajalela”.

www.sinarharapan.