Monday, March 04, 2013

Adakah Orang Miskin di Jepang?


Ini tulisan singkat, maka jika anda berharap akan menemukan data rinci mengenai angka kemiskinan dan sebagainya, anda akan kecewa membaca tulisan ini. Ini tulisan tentang hal yang saya temui di sela-sela perjalanan singkat saya menuju Waseda University untuk menemui seorang guru besar yang memiliki ketertarikan minat yang sama dengan saya. Jadi di awal tulisan ini adalah waktu yang tepat untuk memutuskan apakah akan meneruskan membaca tulisan ini atau tidak.





Ini versi kemiskinan yang berbeda dari film dokumenter “Japan- A Story of Love and Hate BBC (English Version)” yang diposting seorang kawan di muka buku. Film yang sangat baik menggambarkan kemiskinan di Jepang saya kira, a must watch movie.

***

Hari itu Sabtu, dua Maret 2013. Saya tiba di Stasiun Tokyo. Waktu di telepon genggam saya menunjukkan puluk 07.00 JST (Japan Standard Time), masih jauh ke waktu janjian yang pukul 14.00 di Waseda. Waseda masih berada di wilayah Kanto, dekat dengan Tokyo. Jadi saya memutuskan untuk ‘mengenali’ Stasiun Tokyo. Saya orang sosial, kesempurnaan akan keteraturan dan kemapanan adalah sesuatu yang mustahil bagi saya, selagi di dunia pasti akan ada patologi sosial di manapun itu, bahkan Jepang sekalipun yang dikategorikan negara maju dan kaya.

Mata saya menubruk pemandangan tak umum, di Jepang yang terkenal bersih. Sebuah selimut nampak dijemur di pagar umum stasiun, nampak kumuh. Jepret! Satu frame tercipta dari pemandangan tersebut. Beberapa tuna wisma nampak mulai bergeliat pagi itu. Beberapa tas koper, kardus alas tidur nampak di salah satu pojok stasiun.  Satu lainnya ditemukan juga di dalam stasiun dekat Tozai line, sebuah kereta bawah tanah (subway train). Tak kurang enam tuna wisma saya temukan. Timbul perdebatan dalam hati saat saya ingin mengenal mereka lebih dalam. Tak usahlah mendramatisir kehidupan, tapi di sisi lain saya ingin mengetahuinya. Saya bukan tipe jenius, modal saya dari dulu hanyalah rasa ingin tahu, curiosity, yang mulai digerogoti kemalasan. Jika hal terakhir—rasa ingin tahu – itu saya abaikan juga maka selesailah saya, saya tak punya apa-apa lagi.            

Akhirnya saya memutuskan untuk mengenal lebih dekat dengan salah satu diantaranya. Yang di dekat Tozai Line nampak tak nyaman, Ia mendekati beberapa orang yang baru turun dari kereta untuk mendapatkan belas kasihan. Terlihat orang-orang risih dengan kehadirannya. Yang lainnya sedang asyik dengan botol beling birnya di dalam stasiun. Saya memutuskan berkenalan dengan yang diluar. Dekat dengan selimut yang sedang dijemur. 


Namanya Tokugawa, usianya 80 tahun, badannya dibalut jaket kulit cokelat kemerahan. Ia berasal dari Hamamatsu (masuk wilayah Chubu, kalau saya tak salah). Rambutnya tak lagi hitam, nampak tak disisir, dibungkus dalam sebuah topi pet mirip karakter om pasikom dalam karakter kartun Surat Kabar Kompas, mirip topi Ari Wibowo pelantun madu dan racun, atau topi Hanggoro “Hengky” Tri Rinonce seorang kawan di Korda Kansai. Yang terakhir itu belum setenar Ari Wibowo memang, tapi suatu saat nanti akan menjadi terkenal, seorang dokter muda dengan berjuta energi karya. Saya beruntung bisa berteman dengannya.


Tokugawa sedang menikmati sarapan paginya saat saya sapa. Beberapa buah roti selai yang biasa dijual di mini market. Saya duduk di trotoar yang sama. Membuka bekal roti tawar oles cokelat karya istri tercinta. Saya menawarinya satu yang ia balas dengan menawari rotinya. Kebanyakan orang Jepang menjunjung tinggi harga dirinya. Menjadi orang yang dikasihani adalah hal yang tabu dalam budaya Jepang. Jadi kami makan roti masing-masing di tengah kesibukan Tokyo pagi itu.
“Pemerintah Jepang tak memberi saya uang,” ujarnya dalam sebuah obrolan. Seingat saya Jepang punya pasal yang mirip dengan pasal terkenal dalam konstitusi kita “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Dalam Konstitusi Jepang pasal senada akan kita temukan di pasal 25: All people shall have the right to maintain the minimum standards of wholesome and cultured living. In all spheres of life, the state shall use its endeavors for the promotion and extension of social welfare and security, and of public health. Anak kalimat pasal 25 UUD Jepang tahun 1946 ini mirip denganPasal 34 ayat 2 dan 3 UUD 1945: (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Ya sudahlah pembahasan pasalnya, intinya bahwa ada jaminan sosial dan jaminan penghidupan yang layak dari pemerintah di kedua negara. Di Indonesia kita bisa menerka kenapa tidak berjalan. Tapi kenapa tidak berjalan di Jepang? Padahal jaminan kesejahteraan sosial di Jepang berjalan untuk warga asing yang bukan penduduk tetap di Jepang seperti saya. Ada perumahan pemerintah bersubdisi yang terjangkau bagi warga Jepang dan non-Jepang. Ada uang kesejahteraan anak untuk subsidi sekolah, susu bayi dan sebagainya. Ketiga anak saya mendapatkan sekitar Rp.3,5 juta/bulan untuk tunjangan biaya sekolah dan susu bayi. Pada titik ini, apa yang dikatakan Hikmah (saya biasa memanggilnya dengan “mbak”), seorang Indonesia yang menikah dengan seorang Jepang menjadi terasa benar. Banyak orang asing yang masih protes dan mengeluh dengan mahalnya berbagai biaya di Jepang padahal mereka mendapatkan subsidi dan lain-lain, lebih singkatnya, tidak bersyukur. Menemukan Tokugawa dalam keadaan tanpa rumah, tanpa uang, menghadirkan kenyataan bahwa saya masih jauh dari kata bersyukur.      
              
Saya menawarinya untuk minum kopi bersama di dalam stasiun. Ia nampak enggan. Mungkin karena rikuh dan akan sangat mencolok di tengah-tengah orang Jepang yang mendewakan penampilan, fashion is number one. Ya sudah, kami teruskan mengobrol di trotoar itu. Sehari-hari ia biasa mangkal di sebuah pusat keramaian sekitar 100 meter dari stasiun. Kalau malam ia tidur di luar. “Samui dakedo…./Dingin sih tapi……” Saya bisa menerka, tak ada pilihan lain, shikataganai. Pada jam 10 malam stasiun mulai ditutup saat saya tanya kenapa tak tidur di dalam stasiun. Beberapa toko dalam stasiun memang tutup pada jam 9 atau 10 malam.

Saya berusaha untuk kembali menemuinya pukul 8 malam ini. Tapi ia belum selesai ‘bekerja’ pada jam tersebut. Di akhir perbincangan saya memintanya untuk berfoto bersama. Bagi saya, foto itu penting. Ia bisa mewakili 1000 kata menurut pepatah Cina. Tapi Ia nampak enggan. Saya mengerti. Kepercayaan tak bisa didapat dalam waktu 15 menit 30 menit. Biarlah saya yang mengalah menuliskan 1000 kata. Belakangan saat di Waseda University saya bisa menerka alasan lain kemungkinan keengganannya. Prof Yoko Hosoi, Sosiolog Toyo University, menjelaskan bahwa seringkali pemerintah Jepang ‘membersihkan’ mereka dari stasiun, tapi mereka kembali lagi. Pemerintah juga menjamin kesejahteraan mereka, tapi Jepang kurang dana untuk mensuport mereka. Itu sebabnya pasal yang disebut di atas tidak berjalan sebagiannya. Hmm… saya memang pernah membaca bahwa Jepang mengalami defisit anggaran tiap tahunnya. Indonesia malah kini yang sedang menjadi primadona, sexy lady, incaran negara maju. Hanya saja kita masih punya pe’er besar di SDM, bukan soal kecerdasan, tapi lebih soal mental, soal nasionalisme. Dalam bahasa Acep Purqon, alumni dan senior kami, sexy ladynya gak boleh o’on.

Balik lagi ke Tokugawa, saya tiba pukul 10-an malam di Stasiun Tokyo. Sebuah jamuan makan malam membuat saya tak bisa tiba pukul 8. Ada sekitar tiga kardus tidur dekat halte saya. Dua tertutup rapat nampak lebih hangat. Satu lainnya terbuka pada bagian atas. Nampak Tokugawa tertidur menahan dingin di tengah gemerlapnya Tokyo. Saya ingin mengambil fotonya, tapi saya juga ingin Ia menikmati ‘kemerdekaannya’, kamera saya kembali ke sarungnya. Saya pulang dengan mengenang senyumnya saat saya tanya apakah Ia masih keturunan shogun.

Kamar 2 ベルナール Apato, Wakunami. 5 Maret 2013.