Monday, July 21, 2008

Fakta yang Terungkap di Senin 21 Juli


Ada 3 saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum. Komarudi (Kabid Anggaran) di BPKD, Hasan Sochib dan Ida (staf PT SCRC)

Komarudin :
-Pembayaran akses jalan PIR melalui pembahasan dan rapat lebih dari 2 kali, mengkaji solusi atas permasalahan yang ada, pemimpin rapat Sekda Serang, Aman Sukarso.

-Pembayaran Rp 1 M sebagai uang muka pembayaran tahap awal, menggunakan pos pemeliharaan jalan dan jembatan.

-Pembayaran Rp 1 M tidak mengganggu pos yang ada, karena dikembalikan dalam jangka waktu 1 bulan dari Block Grant. Selain itu total Pos tersebut ada Rp 5 M untuk satu tahun dibagi per tri wulan ada yang Rp 1,7 M dan sebagainya, sehingga masih ada cadangan dana untuk pemeliharaan jalan.

-Pos pemeliharaan jalan tersebut mengambil pos pemeliharaan jalan kabupaten (ada kriteria jalan kota dan sebagainya)

-Penanggulangan pembayaran tersebut tidak salah dan dibenarkan karena posnya memang bersifat umum, tidak untuk jalan tertentu, akan salah jika pos pemeliharaannya bunyi misalnya untuk jalan Anyer (atas pertanyaan jaksa apakah boleh menggunakan pos tersebut)

-SKO dan SPK duluan SKO (atas pertanyaan jaksa apakah ada lampiran SPK saat Komarudin membuat SKO)

Hasan Sochib

-Ada surat partisipasi tertulis dari Bupati Bunyamin dan mengatakan pemabayarannya dari pemprov, sudah dibicarakan.
-Ada penagihan kekurangan pembayaran dari Bupati Taufik Nuriman dan DPRD kepada Gubernur Banten tahun 2006.

-PT SCRC pernah menggugat pemda atas kekurangan pembayaran, pengacara negara dari pemda saat itu adalah jaksa dari kejari.

-dalam gugatan perdata tersebut terjadi perdamaian dan pemkab mengakui pekerjaan tersebut dan akan membantu menagihkan kekurangan pembayaran ke pemprov.

Ida

-Mengantarkan surat penagihan PT SCRC ke Pemkab Serang.
(Ida tak banyak tahu kasus ini kecuali hanya mengantarkan surat san sebagainya)

Sidang Ricuh dalam Kesaksian Haji Hasan Sochib

Maaf saya terburu-buru memposting cerita ini. Saya harus ke Semarang sore ini, sementara banyak yang belum diurus : tiket bis belum dipesan, transfer uang ke UNDIP, surat untuk PSK (Pusat Studi Kepolisian) UNDIPpun belum belum diprint dan ditanda tangan, ambil servisan komputer, printer, tv dan DVD.


Tapi kejadian kemarin belum saya posting. Begini ceritanya, Hasan Sochib bersaksi di persidangan kasus jalan akses PIR Senin (21/7) kemarin. Setelah hakim selesai bertanya, mulailah porsi jaksa bertanya. Jaksa bertanya-tanya seperti biasa mencoba mengontruksi hukumnya sendiri. Sementara Hasan Sochib di awal sidang membawa bukti terbaru : 2 lembar kertas pengajuan pembayaran jalan akses PIR ke Propinsi Banten dari Bupati Taufik Nuriman dan DPRD Kabupaten Serang. Jaksa nanya berputar-putar tanpa mengonversi bahasa ke bahasa yang sederhana yang mudah dimengertinya. Hasan Sochib menjawab bahwa awalnya ada perjanjian berupa surat partisipasi dari Bupati Bunyamin dan minta kepastian dananya. Diyakinkan dananya akan dibantu oleh Pemprop Banten dalam bentuk BlockGrant nanti.

Jaksa bertanya soal bestek, SPK dll (sebenarnya persoalan SPK telah terbantahkan dalam persidangan2 sebelumnya dengan adanya pasal 19 PP 105 dan UU no 17 pasal 28). Hasan Sochib mulai kesal dan balik bertanya pada jaksa Edi Dikdaya. "Menurut bapak eksekutif dan legislatif itu diperlakukan tidak dalam negara Republik Indonesia ini (maksudnya penyelenggara negara adalah eksekutif dan legislatif), itu 2 surat yang jelas bapak nggak akui?"

Edi tak menjawab pertanyaan tersebut dan menanyakan hal lainnya. Hasan Sochib tersinggung, bolak-balik minta dijawab pertanyaannya. Jaksa memberi sinyal pada hakim untuk menengahi. Ketua Majelis Hakim Maenong menengahi. Satu dua pengawal Hasan Sochib berdiri. Hakim mempersilahkan penasehat hukum bertanya. Efran bertanya "Saat proyek itu akan dilakukan..."

"Jangan bicara proyek lagi, ini belum selesai!" Hasan Sochib memutar kursi lagi ke arah jaksa.

Menunjuk-nunjuk jaksa dan sumpah serapah keluar.

"Ini nggak bener penegak hukum, jawab dulu pertanyaan saya, nyari-nyari kesalahan, yang bener mau disalahin, yang salah dibenerin, ini penghianat negara ini, mana, ada wartawan tidak, saya minta dicatat ini ada pengkhianat negara."

Saya menepuk lutut Haji Aep di belakang, Ia terlihat menatap jaksa, "Ka Haji, tenangin bapak," pinta saya. Ia menatap jaksa. Saya menepuk paha pemuda plontos disebelah saya "Siapa yang bisa nenangin bapak,"

"Nggak ada kalau udah begini," wajahnya gusar.

Beberapa 'pengawal' pribadi ke depan membawa tisu dan air mineral.

Sidang dihentikan setelah jaksa dan penasehat menyatakan cukup ketika Hakim menawarkan pertanyaan. Haji Hasan keluar ruangan. Sidang dinyatakan ditutup dan dilanjutkan pekan depan. Jaksa Edi Dikdaya dan Sukoco menghampiri meja penasehat hukum. Seorang lelaki sekretaris pribadi Haji Hasan meyakinkan jaksa tidak apa-apa

"Bapak maen ke Rau juga dijamin nggak ada apa-apa, sudah ditenangkan tadi."

"Tadinya saya mau minta maaf usai sidang, tapi bapaknya langsung keluar," kata Sukoco.
Jaksa M Hidayat menyulut rokok di luar sidang, menyembunyikan ketegangan.
Saya kehilangan momen Hasan Sochib menunjuk jaksa, gak responsif, insting jurnalistiknya mulai tak terasah, kelamaan jadi orang umum. Hmmm.. ayo Fer diasah lagi.

Terima Kasih Candra Dewi


Dalam persidangan kasus dugaan korupsi jalan akses PIR senin (21/7) kemarin di Pengadilan Negeri (PN) Serang, saya melihat Dewi meliput dari awal sampai akhir persidangan. Meskipun diakhir sidang hanya mewawancarai jaksa, namun saya sangat menghargai atas kesungguhannya dalam meliput sebuah peristiwa. Paling tidak Dewi melihat semua fakta yang terungkap di persidangan.

Saya juga melihat Kiki, wartawan Fajar Banten meliput dari awal hingga selesai. Sebelumnya Kikipun memiliki pola kerja yang sama dengan Dewi. Namun setelah bertemu dan saya sampaikan bahwa kasus ini kasus yang jelas dan semakin jelas dalam persidangan terungkap banyak fakta dari keterangan para saksi yang mengarah bahwa unsur korupsi dalam kasus ini tidak terpenuhi. Misalnya setiap saksi yang ditanya hakim apakah ada kerugian negara, mengatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus jalan akses PIR. Maka ikuti persidangannya hingga selesai.

Nasi Samin dan Rabeg


Dua masakan khas serang saya temukan dalam satu waktu di aqiqahannya anak kedua Anis Fuad.
Masakan khas itu adalah nasi samin dan rabeg. Nasi samin biasa dibuat dalam acara aqiqahan. Nasi yang dibumbui bermacam rempah-rempah, mirip nasi kebuli atau nasi pada masakan chicken mandi. Wanginya harum khas, warnanya coklat tipis.
Rabeg adalah cincangan daging, iga dan jeroan kambing seperti usus kepang, babat dan hati. Kuahnya kental coklat berbumbu semur sedikit pedas. Rasanya hangat di perut.

Wednesday, July 16, 2008

Kenapa Saya Membela Aman Sukarso

Saya memang memosisikan diri membela Aman Sukarso.
Bukan karena Ia Ayah saya, suami dari Ibu saya.
Tapi karena saya tahu Ia memang tak bersalah.
Saya bicara kebenaran. Saya tak tahu kalian bicara apa.
Saya bicara nurani. Saya tak tahu kalian bicara apa.
Saya bicara hukum. Saya tak tahu kalian bicara apa.
Kalian pikir saya marah.
Tidak.
Saya tidak marah.
Saya sedang bicara.

Berita Radar Membuat Banyak Orang Suuzhon

Sore tadi saya bertemu Ridwan, rekan kerja saya. Ia menceritakan pertemuannya dengan Muhyi Mohas tadi pagi. Muhyi telah membaca Radar Banten dan menyampaikan pada Ridwan

"tuh bener kan, (korupsi)," ujar Muhyi.
"Nggak pak, bapak coba sekali-kali datang ke persidangan, sering faktanya nggak menjurus kesitu kok," paparnya mencoba meluruskan.
"O, gitu ya, berarti trial (maksudnya trial by the press)."
"Iya."
Ridwan memang beberapa kali menyaksikan persidangan. Saya hanya tersenyum mendengar cerita Ridwan.

"Hmmmff... look what you've done," gumam saya. Beberapa teman saya yang lain juga terpengaruh. Saya sih secara pribadi tak masalah. Jika seandainya Aman Sukarso salah, saya akan mengatakan ia salah. Tapi saya tahu ia benar dalam kasus ini. Jika dalam kasus ini ada korupsi pasti akan saya katakan ada korupsi. Saya tahu, anda tak percaya. Anda tak mengenal saya. Saya memahaminya.

Menyimak Dua Pemberitaan.

Dua berita di bawah ini adalah pemberitaan atas persidangan kasus akses jalan Pasar Induk Rau (PIR) Serang dengan terdakwa Ahmad Rivai pada 15 Juli 2008. Berita diturunkan pada 16 Juli 2008. Lihat bagaimana Radar Banten memilih judul (Judul yang sama juga pernah ditulis Radar Banten beberapa minggu lalu), mencoba selalu mengarahkan dan menggiring opini publik. Saya telah mengetahui pola terbentuknya judul semacam ini. Wartawan bertanya pada jaksa, jaksa mengeluarkan statement, lalu wartawan mengadopsi statement tersebut, dan menyimpulkannya menjadi judul pemberitaan. Padahal akan lebih profesional dan menjadi judul yang tepat kalau memang judul tersebut akan diputuskan menjadi judul adalah, M.Hidayat :"Indikasi Korupsi Kasus PIR Menguat." Kalau tak ada kata M.Hidayat di depannya maka judul tadi menjadi kesimpulan dan tanggungjawab wartawan. Judul tersebut sangat mudah dipatahkan bahkan hanya dengan melihat dan membandingkan isi pemberitaannya, terlihat jelas wartawan tak mengerti definisi dan makna korupsi. Sangat dipaksakan. Tapi saya mulai lelah dengan penzoliman yang bertubi-tubi ini. Maka silahkan sajalah zholimi para terdakwa yang saya tahu betul mereka tak bersalah dan fakta dipersidangan menjelaskan demikian. Saya kemudian merasa kenapa harus selalu meluruskan sesuatu yang semestinya sudah lurus? Sehingga harus mengatakan "woi salah loh pemberitaannya, ente nyimak persidangannya nggak sih? Banyak energi terbuang, mudah-mudahan tidak percuma. Innallaha maashobirin. Persoalannya adalah apakah kesabaran menyelimuti saya? Semoga demikian adanya. Ishbiru.
Bandingkan dengan pemberitaan Fajar Banten di bawahnya. Saya tak pernah memberi Kiki (wartawan Fajar Banten) uang atau apapun. Bagi saya amplop pada wartawan jelas hukumnya, haram. Wartawan harus bebas amplop. Wartawan pekerjaan mulia. Seseorang pernah mengusulkan 'mengajak makan' para wartawan. Saya menolak. Ini persoalan kebenaran. Saya masih percaya para wartawan di Pengadilan Negeri (PN) Serang bukan wartawan amplop, bukan wartawan bodrek, semoga demikian adanya. Sehingga saya hanya meminta tolong agar mengikuti persidangan (Baca : Bertemu dengan wartawan) dan memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik.

Pada akhirnya, inilah kedua berita itu.
Berita Radar Banten:
Indikasi Korupsi Kasus PIR Menguat
Rabu, 16-Juli-2008,
Rencana Biaya Dibuat Setelah PIR Diresmikan
SERANG – Indikasi korupsi dalam proyek pembangunan jalan lingkar dan drainase Pasar Induk Rau (PIR) menguat. Pasalnya, mantan Kabid Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang Hidayat mengakui jika rencana biaya (RB) proyek senilai Rp 9 miliar tersebut dibuat hampir satu bulan setelah pasar yang terletak di Kota Serang tersebut diresmikan Presiden RI Megawati Sukarnoputri. Padahal seharusnya, RB dibuat sebelum proyek dilaksanakan. Keterangan Hidayat disampaikan di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang dalam kasus tersebut dengan terdakwa mantan Pjs Bupati Serang Ahmad Rivai. “Saya membuat secara global RB pembangunan 7 ruas jalan di Serang termasuk jalan PIR pada 10 Agustus 2004 karena ada surat dari Pjs Bupati,” katanya. Dalam RB itu, pembangunan jalan lingkar dan drainase PIR menghabiskan dana hingga Rp 9,30 miliar. Selain permintaan pembuatan RB, Hidayat juga mengakui jika dirinya diminta melakukan stock opname atas proyek tersebut oleh Ahmad Rivai yang kemudian disanggupi, walaupun ia mengaku tak tahu kapan proses pembangunannya. “Stock opname dilakukan atas tagihan PT SCRC,” terangnya. Hasilnya, lanjut dia, diketahui nilai proyek mencapai Rp 8,44 miliar. “Nilai proyek berdasarkan stock opname lebih rendah karena ada pelebaran jembatan di sebelah selatan Rau yang tidak dikerjakan PT SCRC,” tegasnya sambil menambahkan, jalan lingkar PIR itu sudah layak dan mampu menahan beban tonase hingga 5 tahun pemakaian. Di akhir kesaksiannya, Sekretaris DPU Kota Serang itu menginformasikan bahwa stock opname tidak diikuti Bawasda Kabupaten Serang. “Saya nggak tahu alasannya kenapa,” katanya. Kesaksian Hidayat itu mengundang rasa ingin tahu jaksa penuntut umum (JPU). JPU M Hidayat mengatakan, berdasarkan keterangan beberapa saksi dalam sidang sebelumnya diketahui jika peresmian PIR terjadi pada tanggal 30 Juli 2004. “Itu artinya RB dibuat sebulan setelah proyek diresmikan. Padahal mestinya, RB dibuat sebelum proyek berjalan, karena RB adalah acuan dalam pembiayaan proyek,” katanya. Fakta ini, kata JPU, menunjukkan kalau proyek PIR dikerjakan tanpa melalui tender sehingga tidak ada surat kontrak kerja. “Ini menguatkan tindak pidana korupsi oleh terdakwa,” pungkasnya. Sementara itu, mantan Kepala Bawasda Kabupaten Serang RA Syahbandar dalam kesaksiannya mengatakan, dirinya memang diperintahkan melakukan stock opname oleh Ahmad Rivai yang akan dijadikan dasar pembayaran proyek jalan lingkar PIR ke PT SCRC. “Tapi kami mengalami kesulitan karena mata anggaran proyek tersebut tak tercantum di APBD TA 2004, sehingga kami akhirnya tak melakukan stock opname,” katanya seraya mengatakan, dirinya sudah memohon petunjuk kepada Pjs Bupati atas tidak dilaksanakan stock opname oleh pihaknya. Selain dua pejabat tersebut, sidang sedianya juga menghadirkan mantan Bupati Serang Bunyamin. Namun saksi terakhir tidak hadir dengan alasan sakit. Lantaran itu, jaksa akan mengirimkan surat panggilan kedua. (dew)


Berita Fajar Banten:
Sidang Lanjutan Kasus Jalan PIR
Perintah Opname Sempat Ditolak
Serang, (FB).-
Mantan Kepala Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Serang RA. Syahbandar (sekarang Sekda Kabupaten Serang) menyatakan, pihaknya sempat menolak perintah pelaksanaan opname terhadap proyek jalan Pasar Induk Rau (PIR) Serang.
Keterangan tersebut disampaikannya saat memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan dugaan korupsi proyek jalan sekitar PIR Serang dengan terdakwa H. Ahmad Rivai (mantan Pjs. Bupati Serang) di Pengadilan Negeri (PN) Serang.
Dalam sidang tersebut, Ketua Majelis Hakim Maenong, SH meminta saksi untuk menjelaskan tentang adanya perintah Bupati Serang untuk opname pekerjaan perbaikan jalan akses PIR Serang yang telah dilaksanakan PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (SCRC). Saksi membenarkan adanya perintah opname dari Pjs. Bupati Serang. Surat perintah opname tersebut disampaikan kepada Bawasda dan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang.
Akan tetapi, saksi mengaku tidak mau melaksanakannya karena proyek tersebut tidak ada kontraknya. Akibat sikapnya tersebut, saksi mengaku sempat dipanggil pjs. bupati. Dalam kesempatan tersebut, saksi menjelaskan untuk mengopname proyek tersebut sangat sulit. Sementara DPU melaksanakan opname pekerjaan yang telah dikerjakan PT SCRC.
Setelah adanya opname tersebut, kemudian diketahui proyek jalan PIR Serang dibayar Pemkab Serang. Pembayaran baru Rp 5 miliar dari nilai pekerjaan sekitar Rp 9 miliar.
Saksi mengatakan, atas kejadian tersebut, pihaknya sempat memeriksa DPU. Hasilnya, ditemukan dokumen terkait pembayaran proyek jalan PIR tersebut.

Dikerjakan 2004
Menurut saksi RA Syahbandar pekerjaan perbaikan jalan tersebut dilaksanakan PT SCRC saat menjelang peresmian PIR Serang oleh presiden pada 2004. Ketika itu, jalan akses PIR sangat rusak. Sekarang, kondisi jalan akses PIR Serang, sudah bagus dan dapat dinikmati masyarakat. Tim pengacara terdakwa sempat meminta penegasan saksi atas keterangannya tentang sikapnya yang sempat menolak perintah bupati untuk mengopname pekerjaan proyek jalan PIR. “Kepada bupati, saya tidak mengatakan menolak, tapi kesulitan,” kilahnya. Sidang kasus dugaan korupsi proyek jalan PIR Serang dengan terdakwa H Ahmad Rivai, juga menghadirkan saksi mantan Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang, Ir. Hidayat (Sekarang sekretaris DPU Kota Serang). Dalam kesaksiannya, Hidayat menerangkan hal yang hampir sama dengan RA Syahbandar. Saksi Hidayat membenarkan pihaknya pernah melakukan opname pekerjaan perbaikan jalan akses PIR Serang. Dia melaksanakan opname tersebut atas perintah atasannya. Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan pekan depan. (H-33).

Tuesday, July 15, 2008

Koreksi Terhadap Pemberitaan Radar Banten

Hak koreksi ini saya layangkan Rabu (16/7)

Yth Pemimpin Redaksi Radar Banten
cq Redaktur Rubrik Hukum dan Kriminal
di
Serang.

Assalamualaikum, wr, wb
Sebelumnya saya perlu mengenalkan diri, saya Ferry Fathurokhman, putera ke empat dari Aman Sukarso yang saat ini menjadi terdakwa dalam perkara pidana dugaan korupsi jalan akses Pasar Induk Rau Serang.
Bersama ini saya menggunakan hak koreksi sebagaimana diatur dalam pasal 1 ke-12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Koreksi yang ingin saya sampaikan adalah mengenai pemberitaan tertanggal 15 Juli 2008 dengan judul berita Chasan Sochib Batal Jadi Saksi Kasus PIR.
kutipan berita yang perlu dikoreksi adalah sebagai berikut :

......Kesaksian Juanda kemudian dibantah oleh Aman Sukarso yang mengatakan, saat ia memerintahkan pembayaran, pekerjaaan pendahuluan PIR sudah berjalan. Keterangan Juanda itu dikuatkan oleh keterangan bendahara DPU Mamah Rohimah yang membenarkan sudah dua kali melakukan pembayaran ke PT SCRC. “Pembayaran pertama Rp 1 miliar dan pembayaran kedua Rp 4 miliar,” katanya.......

Bantahan Aman Sukarso yang sebenarnya terhadap kesaksian Juanda bukan seperti dituliskan di atas. Fakta mengenai bantahan yang terjadi di persidangan adalah bahwa saat Aman Sukarso memerintahkan pembayaran, pemeriksaan (opname) DPU Kabupaten Serang sedang berlangsung. Namun dalam pembahasan yang dilakukan bersama BPKD dan Kepala Dinas PU Kabupaten Serang, Juanda, ada laporan lisan dari Juanda bahwa pekerjaan memang ada berdasarkan hasil opname. Hasil opname secara tertulis saat itu belum dibuat. Berdasarkan pembahasan bersama itulah kemudian pembayaran diperintahkan.
Ini untuk meluruskan pertanyaan jaksa terhadap saksi yang mencoba mengontruksi bahwa hasil opname belum ada tapi sudah dilakukan pembayaran. Juanda saat diklarifikasi di persidangan kemudian ingat kembali dan mengamini klarifikasi yang dilakukan Aman Sukarso. Ada dua hal sebetulnya yang diklarifikasi Aman Sukarso yang kemudian keduanya dibenarkan oleh saksi Juanda, namun yang ditulis Radar Banten hanya satu dan salah mengenai apa yang diklarifikasikan.

Demikian koreksi saya agar kualitas pemberitaan Radar Banten lebih terjaga. Saya memahami kenapa kekeliruan itu dapat terjadi. Di lapangan, Senin (14/7) lalu, wartawan Radar Banten tak mengikuti persidangan dan hanya menanyakan hasil persidangan pada Jaksa Penuntut Umum Sukoco di akhir persidangan.

Dalam kesempatan ini juga saya menghimbau kepada Radar Banten untuk mengingatkan wartawannya agar dalam melakukan pemberitaan menjunjung prinsip-prinsip jurnalisme seperti fairness, balance dan cover both side. Dalam pemberitaannya, beberapa kali Radar Banten memuat berita yang sepihak dan terkadang tak sesuai dengan fakta yang terjadi di persidangan.

Saya pernah mencoba meluruskan pemberitaan-pemberitaan tersebut melalui Candra Dewi dengan menyerahkan alamat blog saya dimana terdapat banyak hal mengenai kasus akses jalan PIR dari kronologis, kesalahan jaksa hingga analisa kesalahan pada berita Radar Banten.

Sebelum pemberitaan kasus PIR, saya percaya Radar Banten adalah media yang dapat saya hargai dalam hal kualitas pemberitaan. Namun kepercayaan tersebut mulai pudar seiring terjadinya penzholiman yang dilakukan lapis demi lapis oleh pemberitaan di Radar Banten yang tak sesuai dengan fakta di lapangan. Beberapa kawan dan audiens yang hadir dalam persidangan selalu mengernyitkan kening keheranan atas berita Radar Banten keesokan harinya. Saya punya kepentingan terhadap kualitas pers yang baik. Saat terjadi kasus Sabawi misalnya, saya dan kawan-kawan melakukan diskusi dan menyuport dengan mengirimkan tulisan. Bukan Sabawi yang kami lihat, tapi upaya membungkam kebebasan pers yang terjadi.

Demikian koreksi dan himbauan ini saya sampaikan, semoga pemberitaan di Radar Banten dapat lebih baik lagi dalam arti menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya. Mengabarkan pada masyarakat mengenai fakta yang ada, yang terjadi, sehingga masyarakat dapat memutuskan apa yang akan mereka lakukan. Bukan mengarahkan dan menggiring opini publik pada pihak tertentu. Sebab saya percaya semakin baik mutu jurnalisme semakin baik mutu masyarakatnya.

Terima kasih. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Saya rasa ini akumulasi dari keheranan dan penzoliman yang terjadi dalam pemberitaan Radar Banten.

Wassalamualaikum.

Ferry Fathurokhman
Post script : Untuk mengecek analisa berita, kronologis dan lainnya dapat dilihat di www.feryfaturohman.blogspot.com , blog ini menjadi alternatif dan referensi masyarakat terhadap pemberitaan yang ada. Blog ini juga mengungkap fakta-fakta sejak penahanan yang dilakukan jaksa yang tak ter(di)ungkap.

Yang tak (di)Tuntas(kan) dalam Berita Radar Banten

Mari kita telaah framing yang coba dibangun oleh pemberitaan di Radar Banten.

Chasan Sochib Batal Jadi Saksi Kasus PIR

Selasa, 15-Juli-2008, 07:44:19

Sementara itu, dalam kesaksiannya, mantan kepala DPU Kabupaten Serang Juanda mengaku diperintahkan oleh terdakwa dalam sidang tersebut yaitu Aman Sukarso untuk membayarkan uang Rp 1 miliar ke PT SCRC pada 20 Mei 2005 dengan alasan ada penagihan dari PT SCRC. Di saat bersamaan, Juanda kembali mendapatkan perintah terkait proyek PIR dari Pjs Bupati Serang Ahmad Rivai. “Saya diperintahkan melakukan stock opname terhadap proyek PIR. Hasilnya proyek tersebut menghabiskan dana hingga Rp 9 miliar,” katanya. Untuk diketahui hasil stock opname itulah yang kemudian dijadikan dasar pembayaran kepada PT SCRC. Kesaksian Juanda kemudian dibantah oleh Aman Sukarso yang mengatakan, saat ia memerintahkan pembayaran, pekerjaaan pendahuluan PIR sudah berjalan. Keterangan Juanda itu dikuatkan oleh keterangan bendahara DPU Mamah Rohimah yang membenarkan sudah dua kali melakukan pembayaran ke PT SCRC. “Pembayaran pertama Rp 1 miliar dan pembayaran kedua Rp 4 miliar,” katanya.

Hari Senin 14 Juli 2008 adalah hari dimana jaksa tak bersemangat karena hampir semua keterangan saksi justru memperjelas dan meringankan terdakwa Aman Sukarso. Tetapi angle judul yang diambil adalah ketidakhadiran Hasan Sochib sebagai saksi, bandingkan dengan judul Fajar Banten pada hari yang sama.

Lalu kita lihat isinya. Saya akan jelaskan kesaksian Juanda yang diluruskan oleh terdakwa. Dalam akhir persidangan ada dua hal sebenarnya yang diluruskan Aman Sukarso atas kesaksian Juanda, yang kemudian saksi Juanda memenarkan koreksi terdakwa tersebu. Namun saya hanya akan membahas hal yang diberitakan Radar Banten.
Bahwa saat ada tagihan PT SCRC maka dilakukanlah opname, memeriksa pekerjaan tersebut. Pada saat pembayaran dilakukan terdakwa mengingatkan ahwa memang laporan tertulis dari DPU Kabupaten Serang belum selesai. Tapi saat pembahasan yang dihadiri oleh Juanda, BPKD, diketahui bahwa pekerjaan tersebut ada dan DPU melaporkannya secara lisan. Sehingga ini menepis tuduhan jaksa bahwa pembayaran dilakukan sebelum ada hasil opname.
Hasil opname oleh jaksa kemudian dikontruksikan sebagai dasar untuk membayar--Radar Banten pun kemudian cenderung mengontruksikan hal yang sama. Padahal prinsip dasar hasil opname adalah untuk memeriksa apakah pekerjaan tersebut benar adanya dan baru kemudian untuk dilakukan pembayaran, sebab bagaimana akan dibayar jika tidak ada hasil pekerjaannya? Jadi memang hasil opname dilakukan untuk membayar. Hanya kerangka berfikirnya yang berbeda. Opname pun dilakukan dengan serius dan akur bukan fiktif ataupun akal-akalan. Dari kesaksian subdin Bina Marga Hidayat terdahulu, diketahui ia memeriksa jalan tersebut dengan melakukan drilling dan uji lab terhadap jalan tersebut. Dari hasil drilling diketahui bahan material apa saja yang dipakai dan berapa jumlahnya. Satu hal kemudian muncul di persidangan bahwa hasil penghitungan opname lebih kecil dari tagihan PT SCRC, dan Pemkab Serang hanya mengakui hasil opname DPU Pemkab Serang. Fakta tersebut tentu saja tak muncul di pemberitaan, hal yang mengherankan bukan?

Lihat pemberitaan yang saya bold hitam
Kesaksian Juanda kemudian dibantah oleh Aman Sukarso yang mengatakan, saat ia memerintahkan pembayaran, pekerjaaan pendahuluan PIR sudah berjalan. Keterangan Juanda itu dikuatkan oleh keterangan bendahara DPU Mamah Rohimah yang membenarkan sudah dua kali melakukan pembayaran ke PT SCRC.

Ada dua kalimat di atas. Kalimat pertama berbeda persoalan dengan kalimat kedua, tapi dipaksakan berkaitan sehingga berkesan Mamah menguatkan keterangan Juanda maka berkesan Mamah dan Juanda versus Aman Sukarso. Mamah menguatkan kesaksian Juanda. Padahal dalam persidangan yang terjadi bukan seperti itu, tapi seperti yang saya ceritakan di atas sebelumnya. Kenapa konstruksi hukum yang coba dibangun Radar Banten atau Candra Dewi jadi semakin jelas? Jadi rucek karena mengeluarkan energi yang seharusnya tak terjadi. Hmmm... ini semakin memperbesar tanda tanya saya pada Radar Banten atau khususnya Dewi, ada apa sih? Kalau saya secara prinsip jelas dimana saya berdiri, kalau memang salah ya salahlah ia, kalau benar ya benar. Jangan benar disalahkan, salah dibenarkan. Saya berpihak pada terdakwa bukan karena ia bapak saya, tapi karena saya tahu benar kasusnya bagaimana, saya tahu ia tak salah. Ia dizholimi. Dan kini ia dizholimi oleh pemberitaan yang tidak fair. Sama seperti ketika saya di kampus mendiskusikan penzholiman yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Cilegon terhadap Radar Banten dalam kasus Sabawi. Saya mengirimkan opini yang menjelaskan fungsi dan kedudukan pers, sayang tak dimuat karena sepertinya telah terjadi kesepakatan untuk di'peti es'kan.

Komparasi Pemberitaan

Di bawah ini ada dua pemberitaan yang sangat berbeda dengan peristiwa yang sama. Saya berada dalam persidangan tersebut dari awal hingga akhir. Kiki, wartawan Fajar Banten, terlihat mengikuti persidangan, sementara Dewi, Radar Banten dan Fierly Banten Raya Pos, tak mengikuti persidangan, hanya beberapa kali mengencek keberadaan persidangan. Ada persidangan lain di lantai 2 Pengadilan Negeri (PN) Serang, perkara dugaan korupsi pengadaan lahan KP3B. Dewi lebih intensif meliput persidangan di lantai 2. Setelah persidangan akses jalan PIR selesai, Dewi dan Fierly terlihat meminta keterangan Jaksa penuntut Umum Sukoco, mungkin karena tak mengikuti persidangan, saya menghampiri dan menyalami ketiganya, Dewi tampak melirik saya, mungkin ia telah membuka blog saya. Sementara Fierly, saya mengenalnya saat saya mendampingi siswi SMUN 1 Jayanti kabupaten Tangerang yang didrop out karena diduga melakukan zina, versi si klien, dia diperkosa. Saya mewakili Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH Untirta saat itu. Kiki tak terlihat entah kemana, tak bertanya pada Sukoco juga tak bertanya pada pihak terdakwa, mungkin karena ia mengikuti persidangan dan telah mendapatkan keterangan melalui jalannya persidangan.

Beberapa fakta yang terungkap di persidangan antara lain dari saksi Juanda adalah tidak ada kerugian negara dalam akses jalan PIR, nilai perhitungan DPU Kabupaten Serang saat pemeriksaan fisik pekerjaan di lapangan lebih kecil dibandingkan tagihan PT SCRC. Dari saksi Mamah Rohimah terungkap pengeluaran dana Rp 1 M tak memerlukan SPK karena merupakan Beban Sementara (BS).

Di bawah ini adalah hasil pemberitaannya :

Komparasi dua pemberitaan

Berita Fajar Banten pada hari yang sama

Keterangan Mantan Kepala DPU Serang
PT SCRC Dirugikan dalam Proyek Jalan PIR

Selasa 15 Juli 2008.
Serang, (FB).-
Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang Ir.H.Juanda menilai PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (SCRC) dirugikan dalam proyek jalan akses Pasar Induk Rau (PIR) Serang. Penilaian ini disampaikan Juanda ketika memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek jalan PIR Serang dengan terdakwa H Aman Sukarso (Mantan Sekda Serang) di Pengadilan Negeri (PN) Serang, kemarin.

Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Maenong SH, saksi Juanda menjelaskan, secara fisik, Pemkab Serang tidak dirugikan dalam proyek jalan akses PIR Serang. Pasalnya pekerjaan telah dilaksanakan PT SCRC dan fisiknya bisa dinikmati masyarakat umum sekarang.

“Siapa yang dirugikan dalam proyek tersebut,”tanya hakim anggota majelis Sabarudin SH. Yang dirugikan dalam proyek tersebut adalah PT SCRC,” kata Juanda. Menurut Juanda berdasarkan hasil opname yang dilakukannya, proyek jalan PIR menghabiskan biaya antara Rp 9 miliar sampai Rp 10 miliar. Akan tetapi, jelas saksi, proyek tersebut belum dibayar seluruhnya. Pemkab Serang baru membayar ke PT SCRC senilai Rp 5 miliar, sedangkan sisanya belum dibayar karena tidak ada dananya. “Untuk melunasinya, Bupati Serang saat itu telah mengajukan tambahan dana ke Pemprov Banten, namun belum ada realisasinya,” katanya.

Mantan Kepala DPU Kabupaten Serang itu, menjelaskan, pihaknya melakukan opname pekerjaan perbaikan jalan, menuju PIR Serang atas dasar, perintah Pjs Bupati Serang, H Ahmad Rivai. Opname dilakukan untuk pembayaran kepada PT SCRC yang telah mengerjakan kegiatan tersebut.

Tidak ada
Pekerjaan perbaikan jalan tersebut dilaksanakan PT SCRC saat menjelang peresmian PIR Serang oleh Presiden pada 2004. Ketika itu, jalan akses PIR saat rusak. Saksi Juanda membenarkan bahwa proyek tersebut tidak masuk dalam APBD 2005. Menjawab pertanyaan majelis hakim, saksi Juanda membenarkan, sebenarnya proyek yang tidak ada dalam APBD tidak dibenarkan. Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) Sukoco SH mempertanyakan tentang dasar pembayaran yang dilakukan Pemkab Serang kepada PT SCRC. Saksi Juanda menyatakan dasar pembayaran dilakukan Pemkab adalah hasil opname. Atas dasar opname tersebut Saksi mengajukan surat peribtah pembayaran (SPP). SPP tersebut diajukan dua tahap, tahap pertama Rp 1 miliar dan tahap kedua Rp 4 miliar. Pengajuan SPP Rp 1 miliar tersebut, atas perinta Sekda Serang. Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan pekan depan (H-33)***


Berita Radar Banten
Chasan Sochib Batal Jadi Saksi Kasus PIR
By redaksi
Selasa, 15-Juli-2008, 07:44:19
57 clicks

*Kepala PU dan Bendahara PU Ngaku Diperintah Terdakwa
SERANG – Jatuh sakit, Direktur PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (SCRC) Chasan Sochib batal memberikan kesaksian dalam kasus dugaan korupsi pembangunan jalan lingkar dan drainase Pasar Induk Rau (PIR), Senin (14/7). Sehingga sidang di Pengadilan Negeri (PN) Serang hanya mendengarkan keterangan dari mantan kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang Juanda dan bendahara DPU Mamah Rohimah. Menurut keterangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sukoco yang ditemui usai sidang, berdasarkan surat yang diterima oleh pihaknya, Chasan Sochib saat ini sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. “Oleh karena itu, kesaksiannya akan kita tunda hingga yang bersangkutan sembuh,” katanya. Sementara itu, dalam kesaksiannya, mantan kepala DPU Kabupaten Serang Juanda mengaku diperintahkan oleh terdakwa dalam sidang tersebut yaitu Aman Sukarso untuk membayarkan uang Rp 1 miliar ke PT SCRC pada 20 Mei 2005 dengan alasan ada penagihan dari PT SCRC. Di saat bersamaan, Juanda kembali mendapatkan perintah terkait proyek PIR dari Pjs Bupati Serang Ahmad Rivai. “Saya diperintahkan melakukan stock opname terhadap proyek PIR. Hasilnya proyek tersebut menghabiskan dana hingga Rp 9 miliar,” katanya. Untuk diketahui hasil stock opname itulah yang kemudian dijadikan dasar pembayaran kepada PT SCRC. Kesaksian Juanda kemudian dibantah oleh Aman Sukarso yang mengatakan, saat ia memerintahkan pembayaran, pekerjaaan pendahuluan PIR sudah berjalan. Keterangan Juanda itu dikuatkan oleh keterangan bendahara DPU Mamah Rohimah yang membenarkan sudah dua kali melakukan pembayaran ke PT SCRC. “Pembayaran pertama Rp 1 miliar dan pembayaran kedua Rp 4 miliar,” katanya. Ia kemudian merinci, pembayaran Rp 1 miliar atas perintah Aman Sukarso melalui kepala dinas PU yang meminta agar dibuatkan Surat Perintah Pembayaran (SPP) untuk proyek PIR pada 20 Mei 2008. “Karena dananya belum turun dari provinsi, untuk pembayarannya ngambil dulu dari mata anggaran perbaikan jalan dan jembatan. Terus dimasukkan ke pos beban sementara (BS). Karena itu termasuk pinjaman,” terangnya sambil mengatakan tindakannya itu atas perintah atasannya yaitu kepala Bagian Keuangan atas perintah kepala PU. Oleh karena masuk ke pos BS itulah, lanjut Mamah, memandang tak perlu ada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Surat Kontrak yang menjadi syarat pencairan. “Lagipula, sudah diganti kok pada 15 Juni 2005, dari dana block grant,” pungkasnya. Sedangkan pembayaran kedua dilakukan Mamah atas perintah Ahmad Rivai setelah ia memerintahkan kepala PU untuk melakukan stok opname. Usai Mamah memberikan kesaksian, majelis hakim yang diketuai Maenong didampingi Sabarudin Ilyas dan Toto Ridarto menutup sidang dan akan dilanjutkan pekan depan. (dew)

Bertemu Chandra Dewi, Wartawan Radar Banten

Satu bulan lalu saya menemui Chandra Dewi, wartawan Radar Banten. Saya sebetulnya heran dengan berita-berita yang dituliskan Dewi, yang berpihak pada jaksa. Terkadang menuliskan fakta yang tidak ada dalam persidangan, terkadang hanya memuat sebagian fakta yang berpihak pada jaksa, terkadang tak mengikuti persidangan dan menanyakan hasil akhir persidangan hanya pada pada jaksa, terkadang menuliskan judul tendensius yang menggiring mengarahkan opini publik, ada apa dengan Chandra Dewi? Padahal ada saya, pengacara, terdakwa di saat yang sama, atau bahkan hakim, tapi tak pernah dimintai konfirmasinya. Dimana asas fairness, balance, cover both side? Dalam beberapa situasi memang berita dapat diturunkan jika cover both side tidak dapat dilakukan jika ada kendala teknis pada hari tersebut. Tapi kendala teknis tersebut tak ada. Dan pengabaian cover both side terjadi tiap pekan. Radar Banten bukan korannya jaksa kan?
Maka saya menemuinya di Pengadilan Negeri (PN) Serang. Tak banyak yang saya sampaikan, saya hanya menuliskan alamat blog saya dan menyerahkan padanya, http://www.feryfaturohman.blogspot.com/ "Ini akan membuat berita Dewi lebih berimbang,"jelas saya. Dewi menerimanya "Boleh," jawabnya singkat.

Bertemu dengan Wartawan

Senin (7/7) lalu, saat persidangan atas terdakawa Aman Sukarso ditunda karena jaksa penuntut umum berhalangan hadir berkaitan dengan Pekan Olah Raga (POR) Kejaksaan se Banten, saya menyempatkan diri menemui wartawan. Di ruang pers di belakang ruang sidang, hanya ada Fierly dari Banten Raya Pos dan Kiki dari Fajar Banten (Kiki memakai kode H-33 dalam pemberitaan di Fajar Banten).Belum ada penggunaan By Line di media cetak Banten, kecuali pada berita berjenis feature di Radar Banten yang biasanya berada di halaman depan bagian bawah, mirip feature pada Kompas. Sayang tak ada Chandra Dewi dari Radar Banten.
Saya menyampaikan pada Fierly dan Kiki agar menuliskan berita dengan memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik, fairness dan balance. wartawan harus tak berpihak kepada keduabelah pihak dan harus berimbang dalam pemberitaan. Wartawan harus berpihak pada kebenaran. Kebenaran yang mana? Kebenaran yang muncul dalam persidangan. Kebenaran yang diungkapkan para saksi. Kebenaran yang berlapis dari pekan ke pekan. Selama ini saya melihat wartawan berpihak pada jaksa. Banyak sekali fakta yang muncul di persidangan yang menjelaskan duduk perkara kasus jalan akses Pasar Induk Rau (PIR) Serang yang meringankan terdakwa tak ditulis wartawan. Fierly meminta contoh fakta-fakta tersebut. Saya menjelaskan misalnya, ketika saksi RA Syahbandar (Sekretaris Daerah Kabupaten Serang sekarang) ditanya hakim tentang kerugian negara. RA Syahbandar mengatakan tak ada kerugian negara. Demikian juga saksi lainnya seperti Dirgana, menjawab hal yang sama ketika ditanya manjelis hakim apakah ada kerugian negara. Belakangan semakin banyak saksi yang mengatakan tak ada kerugian negara dalam kasus jalan akses PIR. (Ada banyak fakta lain yang tak diberitakan wartawan, saya tulis dalam tulisan terpisah).
Saya tak meminta wartawan untuk berpihak pada terdakwa. Saya hanya meminta wartawan berpihak pada kebenaran sebagaimana seharusnya wartawan berpihak. Memang banyak persoalan teknis di lapangan, seperti misalnya wartawan dituntut menulis 2 sampai 3 berita dalam satu hari, semakin banyak berita yang ditulis dalam satu hari, semakin berkurang tingkat keakuratannya. Di lapangan saya menyaksikan wartawan tak mengikuti proses persidangan secara utuh atau bahkan tak mengikuti persidangan, lalu kemudian pada akhirnya meminta kesimpulan persidangan pada jaksa penuntut umum (JPU) semata. Sehingga faktanya menjadi sepihak bahkan terkadang tak sesuai dengan fakta yang ada dipersidangan (pernah ada dalam suatu hari JPU Hidayat terpojokkan dengan pertanyaannya sendiri saat bertanya pada saksi Dirgana tentang pengeluaran uang Rp 1 miliar yang tak sesuai prosedur karena tak ada (surat perintah kerja) SPK dan lain-lain, saat dijelaskan bahwa pengeluaran itu adalah beban sementara (BS) sehingga cukup dengan bend 1 bend 2 dan bend 3, JPU Hidayat tak menyangka ada prosedur BS sehingga tak sesuai dengan skenario pertanyaannya dan runtuh ditengah-tengah, sehingga jurus JPUnya keluar "saudara saksi jangan berputar-putar", audiens bergumam kesal, sebab semua orang bisa melihat yang berputar-putar adalah JPU yang mencoba menyusun skenario konstruksi hukumnya sendiri dan kemudian runtuh di tengah pertanyaannya sendiri.
Berita yang tak sesuai dengan fakta atau terlebih berbohong adalah kesalahan fatal dalam dunia jurnalistik.Fierly dan Kiki kemudian menjelaskan kendala teknis yang dialaminya, misalnya diedit oleh redaktur (Saya mengerti kendala teknis ini, idealnya wartawan belum boleh pulang sebelum beritanya selesai diedit, saya teringat saat menulis kasus penipuan terhadap warga Way Tuba oleh oknum mahasiswa Universitas Lampung (Unila), setelah berita selesai ditulis, M. Ma'ruf, Pemimpin Redaksi mengedit dengan didampingi saya di sampingnya, ada proses cross check antara wartawan dan editor).
Kiki berterima kasih karena telah diingatkan dan diperhatikan. Fierly meyakinkan "Insya Allah kita dari awal nggak berniat berpihak pada siapapun."
Saya menyampaikan kasus jalan akses PIR ini adalah kasus yang jelas, jangan kemudian dibuat tidak jelas, silahkan ikuti persidangannya, terbuka. Saya meminta maaf jika ada kata yang tak berkenan, tapi saya punya kewajiban mengingatkan. Saya beruntung dengan adanya kasus ini saya juga jadi berkesempatan mengevaluasi pekerjaan wartawan secara lebih intensif. Saya rasa kita semua punya kewajiban meningkatkan mutu jurnalisme di Banten. Sebab semakin baik mutu jurnalisme semakin baik pula mutu masyarakatnya.

Monday, July 14, 2008

There's a Shrimp Behind The Rock

Beda Sate Padang Pariaman dan Padang Panjang


Sate padang adalah salah satu makanan kesukaan saya. Sate Padang berbeda teksturnya dengan sate Madura. Daging sapinya dibumbu kuning, dalam satu tusukan tak semuanya daging, kadang ada lidah sapi dan jeroan lainnya. Proses pembuatannya sama saja dengan sate pada umumnya. Sate yang sudah diungkeb bumbu kuning dibakar. Sambil menunggu sate matang, piring sajinya dialasi daun pisang dan diberi ketupat lembut yang lumer dimulut tanpa perlu digigit, cukup mengatupkan mulut. Sate matang kemudian ditaruh diatas tumpukan ketupat lalu disiram bumbu kental. Voila. Sate Padang siap disantap. Eit, lupa, terakhir, ditopingi dengan taburan bawang goreng, harum. Cobalah. Kelezatan ada di tiap gigitnya. Yummy.

Saya mendapat ilmu baru saat sarapan sate Padang di Pasar Tugu Bandar Lampung. Saya jadi tahu ternyata ada dua jenis sate Padang. Pariaman dan Padang Panjang. Ini berkat saya sarapan dengan kakak ipar saya, brother in law, Harlans M Fachra. Dia menyapa Uda penjual sate Padang, sesaat setelah melihat sate Padang yang disajikan.

“Pariaman ya jo,” katanya.
“Iya, kok tau,” jawabnya

Lalu mereka berdua terlibat dalam obrolan bahasa Padang yang saya tak mengerti artinya. Hmm.., kira-kira mereka berdua ini saling mengerti nggak sih saat mereka mengobrol, hehe.
Kemudian Harlans menjelaskan perbedaan sate Padang Pariaman dan sate Padang, Padang Panjang. Bumbu Pariaman merah, pewarnanya cabe merah, sementara bumbu Padang Panjang kuning berasal dari kunyit. Soal rasa, kabarnya masing-masing punya kenunggulan. Tapi lidah saya mengatakan dua-duanya nikmat. Luar biasa nenek moyang kita yang pandai meracik bumbu. Luar biasa yang telah menciptakan kunyit dan cabe untuk kita. Subhanallah. Mantap.

Wednesday, July 09, 2008

Cabullah Engkau Kau Kubalsam!

Malam ini rumah kami kedatangan tamu. Usman. Teman ayah saya saat berada di rumah tahanan (rutan) Serang. Apak (sebutan akrab ayah saya) sedang ke Jakarta. Saya menemaninya ngobrol.
Mang Usman bercerita tentang kehidupan di dalam rutan. Menurutnya, merupakan sebuah kecelakaan besar bagi mereka yang masuk rutan karena kasus pencabulan. Ia akan menjadi sasaran empuk warga rutan. "Dari awal ia akan diplonco petugas, disuruh buka celana dan membalsami anunya sendiri dengan balsam dari petugas," papar Mang Usman.
Kalau sudah masuk kamar nasibnya akan lebih tragis lagi. Ia akan diospek. Disuruh memperkenalkan diri secara detail termasuk kasusnya.

"Misalnya kasusnya ny--ot, disuruh diperagain gimana cara dia melakukannya, terus kalau udah kita tanya, enak? Dia pasti bilang enak karena tinju warga siap melayang. Nah kalau enak, nih ngocok* pake balsem." papar Mang Usman panjang lebar.

Maka mau tak mau warga baru tersebut akan ngocok pake balsem dan bengkak panas tiga hari berturut-turut. Setelah itu baru digebuki bareng-bareng. Setelah ritual pembalseman dan digebuki selesai, sehari dua hari kemudian baru akan diterima dan ngobrol biasa dengan warga lain. Ospek selesai.

Saya kemudian bertanya, kenapa di setiap penjara, tahanan ataupun juga narapidana dengan kasus pencabulan pemerkosaan selalu diperlakukan 'istimewa'? Menurut Mang Usman, warga memiliki kekhawatiran "Jangan-jangan yang diperkosa anak, istri atau saudara saya?"

Saya rasa ada benarnya. Setiap orang akan marah dan tak rela jika anaknya diperkosa. Maka jika akan memperkosa ataupun melakukan zina, hendaknya berfikir apakah ia rela jika ibunya dizinahi, apakah ia rela jika anaknya, saudara perempuannya dizinahi? Jika tidak, maka demikian juga orang lain, takkan rela ibu, anak atau saudara perempuannya dizinahi.

Oya, tentang mang Usman saya belum ceritakan bagaimana ia bisa masuk rutan. Mang Usman membeli sepeda motor tak berBPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor), hanya ada STNK (Surat Tanda Kendaraan Bermotor) dari temannya seharga Rp 2 juta. Beberapa bulan kemudian diketahui sepeda motor tersebut hasil curian. Usman diberi kesempatan oleh polisi untuk menemukan temannya, jika diketemukan temannya yang seharusnya masuk penjara. Usman mencari selama dua bulan. Temannya hilang entah kemana. Polisi akhirnya menjeratnya dengan pasal penadahan. Enam bulan terpaksa dijalaninya.
Hmmf.. hukum di negeri ini terkadang masih menjadi bagian dari masalah bukan solusi. Kebenaran formil dijunjung tanpa melihat kebenaran materil. More home work. Penegak hukum ke depan harus dituntut lebih cerdas, tak letterlijk dan menguasai interpretasi yang lebih mumpuni.

* istilah untuk onani, di daerah Serang.

Thursday, July 03, 2008

Syifa!



Penyuluhan Hukum di Kelapiyan Pontang


“Bapak-bapak ibu-ibu, diharapkan datang ke SD Kelepiyan, ada ahli agama dari Untirta untuk memberikan penyuluhan.” Yusnanik, Fajar, Ridwan, Muhyi Mohas dan saya tersenyum. Diam-diam kami mengamini dalam hati. Fajar yang mengingtakan untuk mengamininya. Semoga saja kelak kita jadi ahli agama. Kami berempat datang ke Kelepiyan untuk melakukan penyuluhan tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT). Tak usah bicara anggaran. Peyuluhan ini tak menggunakan anggaran. Ridwan selaku Sekretaris Bidang Hukum Pidana telah menanyakan soal anggaran ke fakultas, karena memang belum dianggarkan dan tak ada mata anggaran yang bisa digeser maka kamipun jalan. Patungan. Saya suka orang-orang macam begini.

Kali ini yang menjadi pembicara adalah Yusnanik dan saya. Sebelumnya penyuluhan tentang tindak pidana anti korupsi di Mandaya Kecamatan Carenang Kabupaten Serang dilakukan oleh Ridwan dan Eva sebagai pembicara, moderatornya Fajar.

Penyuluhan hukum kali ini bertempat di Desa Kalapiyan Kecamatan Pontang Kabupaten Serang. Temanya tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pematerinya saya dan Nanik, dimoderatori Ridwan. Nanik berkesempatan memberikan materi di sesi pertama. Saya menyapu sisanya.

Pada dasarnya ada empat bentuk KDRT. Kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga atau bisa juga disebut kekerasan ekonomi. Kami mulai menjelaskan dari sejarah, awal mula terminologi KDRT, apa yang dimaksud KDRT, siapa saja yang dapat menjadi korban dan pelaku KDRT. Bagaimana jika KDRT terjadi di sekitar kita dan banyak lagi. Tentu saja kami harus mengonversikan bahasa undang-undang ke bahasa sehari-hari di masyarakat.

Sesi materi selesai. Tanya jawab dimulai. Saya lebih senang menyebutnya sebagai tukar pengalaman. Tak disangka warga begitu antusias. Pertanyaan menghujani kami. Mungkin karena mereka baru mendengar tentang KdRT. Bahwa menyakiti fisik, psikis, seksuil dan menelantarkan istri atau siapapun dalam rumah tangga yang seseorang memiliki kewajiban untuk dipenuhi karena adanya suatu perikatan (nikah, kontrak kerja dengan pembantu) dapat dikenai hukuman pidana.

Seorang ibu sekira usia lima puluhan menanyakan bagaimana jika ada tetangganya yang menyakiti psikis istri. Saya jawab bagaimana prosedurnya jika kita melihat KdRT di sekitar kita. Saya menduga terjadi KdRT, tetangga si ibu memang tersiksa secara psikis.

Satu pertanyaan dari seorang pemuda tak saya jawab karena masuk ranah fiqih. “Kalau kita menikah kan ada sighat taklik, bagaimana jika ada seorang istri yang menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang bekerja ke Arab, apakah jatuh talaq satu kepada si istri,” tanyanya antusias. Saya katakan bahwa saya memiliki sebuah jawaban, tapi untuk konsumsi pribadi saya. Sebab ini sudah masuk ranah fiqih, ada orang yang lebih ahli untuk menjawab pertanyaan ini, ada ulama di sini, bisa ditanyakan pada mereka. Sebab kata nabi, kalau satu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran. Audiens tampak tidak kecewa dengan jawaban saya. Seorang lelaki berpenampilan haji bahkan manggut-manggut.

Nah saya akan sampaikan di blog ini tentang jawabannya. Lho, kenapa disampaikan? Karena saya sudah share jawaban saya pada seorang ustad.
Bahwa yang harus dipahami terlebih dahulu adalah Arrijalu qowamu alannisa, laki-laki itu pemimpin perempuan. Karena sebuah perikatan pernikahan maka timbul suatu hak dan kewajiban diantara keduanya. Peristiwa hukum akan menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban. Laki-laki mempunyai kewajiban menafkahi istrinya baik lahir maupun batin. Maka lelaki harus berupaya sedapat mungkin untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya agar si istri tidak ke Arab dalam rangka mencari nafkah. Karena dia punya kewajiban menafkahi istrinya. Sebab bagi saya laki-laki itu harus punya harga diri. Harus menjadi “lelaki”. Ini yang terutama dan sebaiknya demikian.

Bagaimana jika akhirnya si istri pergi juga ke Arab. Harus dilihat kasusnya. Jika si istri berangkat dengan musyawarah dan mendapat rido suaminya maka tak jatuh talak satu pada istrinya. Karena dalam sighat taklik kata kuncinya adalah adanya ketidakridoan. Perlu juga diingat bahwa sighat taklik diucapkan oleh suami pada istri, bukan dari istri untuk suami. Maka apakah dapat dilakukan penafsiran acontrario. Perlu halaman khusus lagi untuk membahas ini.

Lalu apakah terjadi KdRT? Bisa ya bisa tidak. Tergantung kasusnya. Terjadi KdRT jika yang terjadi adalah penelantaran rumah tangga dalam arti istrinya tak diberi nafkah apalagi jika ditambah dengan adanya unsur eksploitasi agar si istri bekerja di Arab, lengkap sudah, si suami bisa diadukan telah melakukan KdRT dalam bentuk penelantaran rumah tangga.

Dosen Jarang Masuk

Aula FH Untirta hari itu mendadak hening. Semua diam. Agenda rapat persiapan Ujian Akhir Semester (UAS) hari itu (10/6) jadi berkesan ajang saling menyalahkan. Bermula dari pernyataan saya yang melaporkan tentang adanya pengawas ujian yang disuap dengan uang Rp.200 ribu oleh mahasiswa non reguler (ekstensi) untuk keluar dari ruangan sehingga mahasiswa leluasa mencontek. Selain itu saya juga menyampaikan ada dosen yang baru masuk satu kali selama masa perkuliahan. Selama 14 kali pertemuan dosen tersebut baru masuk satu kali menjelang UAS. Saya tak pernah menyebutkan nama. Bagi saya bukan itu persoalannya. Bukan saya baik dan ia tak baik. Tapi yang lebih penting adalah bahwa fenomena dosen jarang ngajar itu ada. Dan itu merusak wibawa fakultas di mata mahasiswa. Saya juga menyampaikan cerita seorang pengusaha lokal bahwa anaknya kuliah di FH Untirta, jarang masuk tapi nilainya bagus. Jangankan orang lain, orang tuanya saja merasa heran.

Atas pertanyaan saya tersebut dekan memarahi saya. Bahwa hal tersebut bukan hal baru, sudah bulukan. Tidak usah menyalahkan orang. Sulit bagi pimpinan mengontrol dosen satu persatu, dikembalikan pada dosennya saja. Kemudian balik bertanya apa yang sudah saya lakukan. Apakah sudah menjalankan Tri Darma Perguruan Tinggi (Pendidikan, penelitian dan pengabdian) dll.

Saya tak mungkin menceritakan bagaimana saya melakukan pengajaran, pengabdian di daerah kaki Gunung Sari Pandeglang soal illegal logging, di Kelepiyan Pontang soal Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT), tulisan di koran dan lain-lain yang berhubungan dengan Tri Darma Perguruan Tinggi dalam forum tersebut. Dan saya lakukan itu semua antara lain untuk meningkatkan citra dan wibawa fakultas. Saya ingin menjual potensi kepakaran yang ada di fakultas.

Saya tak mengerti kenapa respon dekan seperti itu. Saya paham bahwa dalam forum tersebut ada dosen luar dari IAIN SMHB (Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten) juga dosen FP Untirta. Ada dua alasan kenapa saya menyampaikan peristiwa tersebut padahal ada dosen dari ‘tetangga’. Pertama bahwa merekapun sebenarnya sudah tahu kondisi FH Untirta. Prof Suparman Usman misalnya, adalah orang ‘luar’ yang lama di Untirta. Kedua, agar permasalahan ini ditindaklanjuti. Dengan adanya orang luar, saya berharap ada keinginan untuk merubah kondisi negatif tersebut. Sebab selama ini secara internal peroalan tersebut tak pernah diselesaikan.

Wajah FH Untirta ini sedang dibicarakan di luar sana. Saya dan juga teman-teman dosen muda berupaya ‘menyelamatkan’ wajah fakultas, menyelamatkan wibawa kepemimpinan. Umar bin Khattab pernah berujar, jika ada 1000 orang melakukan kebaikan pastikan kamu ada di antaranya, jika ada 100 orang berbuat kebaikan pastikan kamu di antaranya jika ada 10 orang berbuat kebaikan pastikan kamu di antaranya, jika ada 1 orang berbuat kebaikan pastikan itu adalah kamu. Maka kita harus menganalisa apakah kita bagian dari masalah atau bagian dari solusi.

Wednesday, July 02, 2008

Pemandian Sumur Belerang di Kragilan


Saat melakukan survey reform institute ke Desa Suka Jadi Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang, mata kami tertuju pada plang dipinggir jalan yang kami lalui. Pemandian Sumur Belerang. Saya dan Anis bersepakat jika survey selesai, kami akan mampir sebentar ke sumur belerang tersebut. Survey di Sukajadi selesai dalam waktu dua hari Jumat dan Sabtu (20-21/6). Agar cepat kami menyebar dalam melakukan survey, Anis dan saya berpisah menemui responden terpilih.

Selesai survey, kami mampir ke tempat pemandian sumur belerang. Saya lahir dan besar di Serang, tapi baru kali ini tahu ada pemandian belerang di Serang.

Pemandian sumur belerang terletak di Kampung Pematang Masjid Desa Pematang Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang. Jika anda menggunakan kendaraan umum, dari terminal Pakupatan Serang anda harus naik mobil angkutan kota menuju cikande, sekitar 15 menit perjalanan turun di sentul sebelum jembatan, ongkosnya sekitar Rp. 4.000,-. Dari sentul naik ojeg, katakan saja kita akan ke pemandian sumur belerang, pasti abang ojeg tahu, ongkosnya sekitar Rp. 10.000,-. Dari jembatan sentul ke pemandian sumur belerang berjarak kurang lebih 6 kilometer. Pemandian sumur belerang berada di kiri jalan, masuk ke dalam gang sekitar 100 meter. Kalau anda menggunakan sepeda motor, dikenakan tarif Rp.10.000,-/sepeda motor.

Jalan menuju pemandian belerang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Sepeda motor ataupun mobil diparkir di gardu tempat retribusi. Jalanannya sudah dipaving blok, menurun bertangga, saya teringat tangga menuju kuil dairin dalam komik kungfu boy saat menuruni anak tangga menuju pemandian belerang. Mu'in, warga yang sehari-hari ditugasi mengelola sumur belerang ini menceritakan bahwa jalan paving blok tersebut baru saja selesai dibangun oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Serang sekitar dua bulan lalu.


Di pertengahan anak tangga, kita sudah bisa melihat sumur belerang. Subhanallah, bagaimana pemilik bumi ini menciptakannya, mesti ada penjelesan ilmiahnya. Pemandangannya indah, umur belerang berada di tengah sawah yang hijau. Tampaknya warga Pematang baru beberapa bulan ini memasuki musim tanam, terlihat dari hijaunya sawah. Tandur istilah kampungnya. Konon tandur merupakan singkatan dari tanam mundur. Kalau kita melihat petani menanam bibit padi, pasti selalu berjalan mundur. Sebab jika menanam dan berjalan ke depan maka hasil bibit yang ditanam akan terinjak, mirip jika kita mengepel lantai.

Sumur belerang lebih mirip kubangan lumpur, disekelilingnya dipagari dengan bangunan pondasi batu agar sumur tak melebar. Pondasi batu itu dibuat tahun 2001 oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Serang. Ada juga sebuah bangunan tertutup di sampingnya untuk berbilas dan ganti pakaian. Saya mendekati sumur belerang yang mengingatkan saya pada kawah belerang di Gunung Pulosari Pandeglang, tapi grubuk-grubukan air belerang juga mengingatkan saya pada lumpur lapindo. Air di permukaan dingin warnanya coklat, grubuk-grubukannya hangat tak panas seperdi kawah belerang pada umumnya. Saya mengambil air dengan tangan dan mengusapkannya pada kening, ada panu menghiasi kening saya, sedang diterapi dengan kalpanax, tapi tak rutin jadi agak lama proses penyembuhannya.

Sejarah Pemandian Belerang Pematang
Awalnya areal sumur belerang milik empat orang warga sekitar dikelola turun temurun sejak zaman kerajaan dan Belanda menduduki negeri ini. Salah satu pemiliknya adalah Haji Sidik, usianya 90 tahun dan sekarang menetap di Cikande, sebuah kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan Jayanti Kabupaten Tangerang. Kurang lebih berjarak 15 menit berkendaraan sepeda motor atau mobil dari Kragilan. Areal sumur belerang kini telah diwakafkan untuk Masjid Pematang. Uang hasil kunjungan wisatawan kini dikelola untuk pengurusan masjid sehari-hari. Salah seorang pengelola sumur belerang ini adalah Haji Lafi, menantu Haji Sidik yang berusia 70 tahun. Haji Lafi menceritakan awalnya sekeliling sumur dipagari bambu. Orang-orang yang mandi menaruh uang begitu saja setelah mandi dan tak ada yang berani mengambil. Sejak dulu uang tersebut juga digunakan untuk memakmurkan masjid. Haji Lafi juga bercerita tiga hari lalu ada Polisi Jepang yang berkunjung--Kepolisian Jepang memang sekitar 3 hari lalu berkunjung ke Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Banten, melakukan kerja sama dalam hal pembagian helm.

Di sekitar sini juga banyak anak-anak yang meminta uang. Ini umum terjadi di tempat penjiarahan ataupun daerah wisata di Banten. Saya tak memberi mereka uang. Saya tak ingin mengajari mereka jadi pengemis, saya jadi teringat program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Kami mengobrol dan berfoto. Mereka bersekolah dan baru saja menerima raport (mungkin diterjemahkan dari report) mereka hari itu.

Saat hendak pulang di gardu sudah ada beberapa orang. Muhammad Tunasik salah satunya, Penghulu Desa Pematang. Ia berpesan agar menyampaikan bahwa di Pematang ada pemandian sumur belerang, sehingga perekonomian di daerah ini bisa tergerak dan ramai. Saya berjanji padanya akan menampilkannya di blog. Anis berlebihan menjelaskan bahwa blognya nanti bisa dilihat dari luar negeri sekalipun. Memang benar, tapi mungkin sangat jarang sekali, kecuali memang ada orang yang panuan akut di Australia misalnya dan mencari dengan keyword sumur belerang dalam search engine. Panu sebetulnya penyakit yang bagus jika tersebar merata, maka sekujur tubuh orang tersebut akan putih. Panu menjadi jelek jika tak menyebar rata. Saya sebenarnya curiga pada Abdul Hamid atau Idi Dimyati, kawan saya di Untirta, keduanya berkulit putih, jangan-jangan mereka menderita panu, hanya saja tersebar merata, jika disiram kalpanax, mungkin warna aslinya akan keluar.
Dari kiri ke kanan : Mu'in, M.Tunasik, saya, Haji Lafi dan Sar'i.

Gitaris Sultan itu Bernama Angga!


Saya mengatakan pada Anis bahwa pengalaman riset di Tangerang bulan Januari 2008 lalu akan tidak efektif kalau dilakukan dengan PP (pulang-pergi, round trip). Saat saya mendapat tugas Januari 2008 lalu di Tangerang, dibutuhkan waktu sekitar 3-4 hari untuk mengambil 20 orang responden. Beberapa kawan yang berdomisili di Tangerang saya kontak saat kemalaman. Ahmad Firdaus, sedang berada di Jakarta. Ahmad Fauzi masih di kantornya di Jakarta dan baru pulang agak larut. Jadilah riset itu saya lakukan dengan cara PP. Berangkat pagi dari Serang, pulang sekitar pukul 9 malam dari Tangerang, sangat tak efisien. Maka saat Anis mendapat tugas survey di Tangerang Juni 2008 ini, saya menyarankan untuk mencari tempat menginap. Anis sudah menghubungi mahasiswanya yang berdomisili di Cipondoh Tangerang, dekat dengan kelurahan Karang Timur, wilayah survei yang terpilih secara acak. Angga Ferdian namanya. Anak sulung dari pasangan Nurhalim dan Nani Mulyani. Kedua orangtuanya masih muda. Nurhalim bercerita bahwa ia menikah setelah lulus SMA dan diberi dua anak.

“Baru dua atau sudah dua pak?” tanya saya.
“Ya baru dua, Angga dan adiknya yang perempuan di SMA, saya gak KB, memang dikasihnya dua.”

KB adalah singkatan dari keluarga berencana, sebuah program pemerintah di era Soeharto yang menghimbau agar memiliki anak cukup dua dalam sebuah keluarga. “Dua anak cukup” adalah jargon pemerintah yang sangat terkenal saat itu.
Nurhalim senang berusaha. Ia membuka warung kelontongan di depan rumahnya. Di ruang tamunya ada sekitar sepuluh stok air mineral kemasan galon. Nurhalim juga memiliki bedengan --bangunan kontrakan beberapa lokal yang menyambung bersebelahan satu sama lain di belakang rumah. Saya dan Anis menginap di bedengannya. Kebetulan ada satu kamar yang kosong. Satu kamar terdiri dari dua ruang: kamar tidur dan kamar mandi yang bisa dibagi dua untuk dapur. Bedengan seperti ini mengingatkan saya pada asrama lima saudara, tempat indekost dulu saat kuliah di Bandar Lampung. Anis berencana membayar sejumlah uang yang pantas untuk kamar kost ini. Saya menyetujuinya.

Kami beruntung bisa mendapat tumpangan menginap di rumah Angga. Angga adalah Mahasiswa FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Untirta (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa) semester VI. Tinggi kurus, rambutnya gondrong ikal setengkuk, memakai beberapa gelang hitam berbahan karet di tangan. Gaul, beberapa orang di pom bensin (SPBU) depan mengenalnya. Angga orang yang ramah dan sopan. Dan yang tak saya sangka, Angga adalah gitaris Sultan. Kalau anda pemerhati musik Indonesia, anda akan mengenal Sultan sebagai grup band yang muncul di tahun 2007 dengan hits lagu Aku Bukan Untukmu yang telah dibuat video klipnya. Ini berawal dari obrolan di ruang tamu. Ayahnya bercerita Angga senang bermusik. Angga menambahkan dirinya pernah membuat album rekaman.
“Indi lebel,” tanya saya.
“Mayor lebel.”
“Lho, apa grup bandnya?”
“Sultan.”
“O, Sultan, Sultan sih terkenal, sempet ada video klipnya kan?”

Angga bercerita ongkos produksi albumnya menghabiskan satu milyar. Tentu saja disupport oleh manajemen. Sultan dikontrak tiga tahun oleh manajemen. Launching Sultan bertempat di Crown, semacam diskotik di Glodok Plaza, Jakarta. Band pembukanya adalah D’Massiv. D’Massiv? Ya, D’Massiv yang saat ini sedang naik daun, the rising star. Saat itu D’Massiv belum terkenal tapi sudah sering ikut festival dari panggung ke panggung.
“Ya itu rezekinya D’Massiv,” kata Angga.
Sayang belakangan ada persoalan internal dalam manajemen Sultan. Terakhir kabarnya, vokalis dan sebuah stasiun televisi swasta digugat lima milyar oleh produser karena sang vokalis menampilkan lagu Sultan untuk sound track sebuah sinetron.
Sst... barusan ibunya Angga mengucapkan salam, Assalamualaikum. Dua cangkir teh manis hangat diantarkannya untuk Anis dan saya. Cocok sekali, kenikmatan tersendiri, ngetik pagi-pagi ditemani secangkir teh manis. Dari semalam kami diperlakukan ramah sekali. Kopi, kacang, biskuit keluar menemani obrolan. Setengah dus air mineral kemasan gelas disediakan di kamar. Keluarga ini tahu bagaimana memuliakan tamu. Amanat yang dipesankan nabi. Kami jadi malu dan bersepakat tak berlama-lama disini. Begitu pekerjaan selesai kami kan pamit dan semoga semua kebaikan yang ada dibalas oleh pemilik bumi ini.

Bahasa!


Pada suatu malam sekitar pukul 12.00, mendekati daerah Padalarang, mata saya terusik oleh dua buah tulisan di sebuah pintu tol. Saya menukar tiket tol, melajukan kendaraan dan berhenti tepat di belakang sebuah truk tronton yang sedang menepi. Turun dan mengambil satu frame tentang dua tulisan yang menabrak mata tadi. "Ini unik, ada dua contoh yang salah dalam satu tempat,"batin saya.

Persoalan penggunaan kata depan "di" dan imbuhan "di" memang menjadi hal yang paling sering salah digunakan di Indonesia (bukan diIndonesia). Dengan mudah kita bisa menemukannya di mana saja. Salah satunya di pintu tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang). Terjadi salah penulisan antara di sini dengan didenda. Seharusnya di sini dan didenda, bukan disini dan di denda. "Di" pada kata di sini adalah kata depan, sementara "di" pada kata didenda adalah imbuhan. Untuk lebih mudah membedakannya kata depan di dapat diganti dengan kata depan ke. Sementara untuk imbuhan di, dapat digantikan dengan imbuhan me. Sehingga kata di sini dapat diganti dengan ke sini. Kata didenda dapat diganti dengan mendenda. Di sini tak dapat diganti dengan mesini atau mensini, kata tersebut menjadi tak bermakna. Didenda tak dapat diganti dengan kedenda (bedakan dengan kena denda, yang dalam bahasa tak baku/pergaulan sering salah menggunakan kedenda). Penggantian tersebut berlaku pada kata lainnya juga, misalnya di dapur-ke dapur, di Bandung-ke Bandung. Dirasa-merasa, disayang-menyayang dan seterusnya.

Reform Institute Kembali Membuat Survey

"Reform Institute nawarin survey lagi, mau diambil nggak?"Kurang lebih begitu bunyi sms Abdul Hamid suatu pagi. Saya, Ridwan, Anis, Firman menyanggupi. Meeting pun digelar di rumah saya. Persoalan teknis tak banyak dibahas karena metode dan sebagainya masih sama dengan survey sebelumnya. Reform melakukan survey se Indonesia mengenai persepsi masyarakat terhadap partai politik, calon presiden dan wakil presiden 2009 mendatang, kinerja pemerintah, ahmadiyah dan banyak lagi, ada sekitar 60an pertanyaan dalam kuesionernya.
Di wilayah Banten, survey dilakukan di 5 kabupaten/kota : Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Kabupaten Tangerang dan Kota Serang tak masuk wilayah survey. Setiap satu kabupaten diambil satu kelurahan yang telah ditentukan reform sebelumnya. Dari satu kelurahan, empat RT (Rukun Tetangga) yang diambil menjadi sampel ditentukan melalui metode kish grid. Dari empat RT tersebut diambil 20 responden, jadi tiap RT diambil 5 responden yang ditentukan secara acak dengan metode kish grid.
Kali ini saya memilih Kabupaten Serang. Sebelumnya saya menyurvey wilayah Tangerang. Anis kemudian kebagian di Tangerang, bertukar tempat dengan saya. Ridwan di Cilegon, Firman di Lebak, Rahmat di Pandeglang.

Kerja kami kali ini akan lebih berat. Reform tak menyediakan cinderamata untuk para responden seperti biasanya. Periode lalu reform menyediakan tempelan magnet kulkas berbentuk kalender praktis. Meskipun sederhana, souvenir semacam itu sangat membantu dalam menyurvey, responden senang menerimanya. Perasaan tak enak kamipun karena merepotkan dan mengambil waktu responden selama kurang lebih 20-30 menit tergantikan. Kebanyakan orang saat ini tak begitu mau peduli dengan perannya untuk sekadar menuangkan keresahan dan pikirannya. Masyarakat sudah jenuh dan apatis, terlalu sering disakiti pemerintah, termasuk juga terlalu sering "disurvey."



Dalam pelaksanaannya, akhirnya saya menemani Anis menyurvey wilayah Tangerang di Kelurahan Karang Timur Kecamatan Karang Tengah (Reform menentukan Keluranhan Ciledug, namun di lapangan telah terjadi pemekaran, Karang Timur berada di Kecamatan Karang Tengah). Anispun kemudian menemani saya 'menyisir' Desa Sukajadi Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang.

Hasan Sochib Mampir ke Pengadilan


H Hasan Sochib memenuhi undangan saksi pada persidangan Ahmad Rivai, Selasa (24/6) lalu. Dalam kesaksiannya Hasan Sochib menerangkan risalah pembangunan jalan akses PIR (Pasar Induk Rau). Berawal dari adanya pertemuan antara Propinsi Banten, Kabupaten Serang dan dirinya selaku pihak Kadin. Dari pihak Propinsi Banten dihadiri oleh Sekda Banten Chaeron Muksin, Asda II Hilman Nitiatmaja dan Muslim Jamaludin dari DPRD Banten, dari Pemkab Serang dihadiri oleh Ir. Juanda, Kepala Dinas PU Kabupaten Serang.

Inti pertemuan tersebut--pertemuan terjadi pada 24 Februari 2004--adalah membahas rencana peresmian PIR oleh Presiden RI Megawati. Mengingat PIR sudah selesai dibangun, namun akses jalan menuju PIR perlu diperbaiki maka disepakatilah bahwa jalan menuju PIR harus diperbaiki. Mengingat Pemerintah Kabupaten Serang tak memiliki anggaran untuk pembangunan jalan tersebut, maka disepakati pula pembiayaannya akan dibantu Pemerintah Propinsi Banten. Berawal dari komitmen itulah PT SCRC membangun jalan akses menuju PIR. Selanjutnya setelah terjadi pertemuan tersebut muncul surat-menyurat antara Pemkab Serang dan Pemprop Banten, pembahasan dan dokumen lainnya sebagaimana saya tulis dalam kronologis PIR.
Beberapa fakta yang terungkap di persidangan tapi wartawan tak memuatnya adalah bahwa terjadi selisih nominal jumlah pekerjaan. PT SCRC menghitung total akses jalan PIR dan drainase adalah Rp.11 milyar, sementara Pemkab Serang melalui PU setelah melakukan opname pemeriksaan jalan dan mengujinya melalui laboratorium PU adalah Rp 9,5 milyar. Jadi ada selisih. Yang diakui Pemkab hanya Rp 9,5 M.
Saat saksi Hidayat bersaksi dalam persidangan Aman Sukarso sebelumnya dijelaskan teknis pemeriksaannya adalah dengan melakukan drilling, diambil sampel jalan tersebut dan diuji lab sehingga diketahui bahan material apa saja dan berapa kadarnya yang digunakan. Namun fakta uji lab ini juga tak dimuat di harian lokal.

Tentang Surat Bunyamin 15 Juli 2004

Surat permohonan partisipasi kepada PT SCRC (Sinar Ciomas Raya Contraktor) untuk membangun jalan akses menuju PIR (Pasar Induk Rau) adalah memang surat mundur. Surat itu dibuat tahun 2005 saat Bupati Bunyamin tak lagi menjadi bupati. Namun satu hal yang penting adalah bahwa substansi surat tersebut memang ada, memang terjadi, ada permintaan dari Bunyamin untuk membangun jalan PIR pada PT SCRC, hanya saja disampaikan secara lisan tidak dituangkan secara tertulis pada 2004.

Trial By The Press oleh Radar Banten

Saya mulai heran dengan kinerja Candra Dewi, wartawan Radar Banten pada rubrik hukum. Mengapa selalu berpihak pada jaksa, bukan pada kebenaran. Dalam pemberitaannya yang diambil selalu yang menyudutkan, menggiring opini publik. Saya tak mengharapkan ia berpihak pada terdakwa, saya hanya berharap ia berpihak pada kebenaran, sebagaimana seharusnya pers berpihak. Ada penzoliman yang sistematis yang tanpa sadar dilakukan Dewi. Tidak ada fairness dan Balance dalam pemberitaannya, Dewi melakukan Trial by The Press.

Banyak fakta yang terungkap di persidangan dari kesaksian saksi yang meringankan tak dimuat di Radar Banten. Misalnya saat pemeriksaan saksi, Sekda Serang RA Syahbandar dan mantan ketua BPKD Imam Sanjadirja mengatakan tak ada kerugian negara dalam pembangunan akses jalan PIR, Radar Banten tak memuatnya. Atau pada saat jaksa 'terjebak' dan tersudutkan dengan pertanyaannya sendiri pada pemeriksaan saksi Dirgana dalam persidangan Aman Sukarso juga tak terungkap. JPU Hidayat saat itu meminta pada saksi agar jangan bolak-balik, berputar-putar, padahal semua tahu yang berputar-putar jaksa sendiri, ia bingung sendiri, ketika Dirgana menyampaikan ada rencana definitif untuk pembangunan jalan PIR, audiens geregatan, saya melihat hakim berusaha menahan senyum.

Di bawah ini berita yang saya kutip dari situs resmi Radar Banten

Dugaan Korupsi Proyek PIR Menguat
By redaksi
Rabu, 02-Juli-2008, 07:05:48
28 clicks

SERANG – Indikasi tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan jalan lingkar dan drainase Pasar Induk Rau (PIR) menguat.
Hal itu ditegaskan salah satu jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus tersebut, Sukoco, menanggapi kesaksian tiga birokrat Pemkab Serang di Pengadilan Negeri Serang, Selasa (1/7). “Ada beberapa proses yang tak ditempuh. Dan ini dibuktikan dengan tidak adanya kontrak kerja, serta surat partisipasi yang dibuat menjelang pencairan dan ditandatangani oleh bupati yang sudah tidak menjabat yaitu Bunyamin,” katanya. Penilaian JPU itu menyusul kesaksian mantan Kasubag Pengendalian pada Bagian Pengendalian Pembangunan Pemkab Serang yang mengatakan adanya mekanisme proses pengerjaan proyek yang tidak ditempuh. Di hadapan terdakwa mantan Pjs Bupati Serang Ahmad Rivai, saksi menyatakan, surat permintaan partisipasi dari Pemkab Serang Nomor 62-/044/Pemb & Kemasy, tertanggal 15 Juli 2004, yang ditandatangani Bupati Serang Bunyamin, sebenarnya dibuat pada Mei 2005. Surat ini kemudian dijadikan dasar oleh mantan Pjs Bupati Serang untuk memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang melakukan stock opname, yang hasilnya dilampirkan dalam dokumen pencairan dana proyek senilai Rp 5 miliar untuk PT Sinar Ciomas Raya Contractors (SCRC) sebagai pelaksana. “Saya cuma ngonsep surat partisipasi tertanggal 15 Juli 2004 atas perintah Pak Sekda saat itu (Aman Sukarso, red) pada Mei 2005. Setelah jadi, suratnya saya serahkan lagi ke Pak Sekda,” katanya di hadapan Ketua Majelis Hakim Maenong dengan hakim anggota Yohanes Priyana dan Tito Suhud. Dalam kesaksiannya, Dirgana menegaskan bahwa saat surat partisipasi itu dibuat satu tahun setelah Bunyamin tidak lagi menjabat sebagai Bupati Serang. “Pokoknya, setelah suratnya jadi saya ajukan ke Pak Sekda. Tahu-tahu pas masuk ke bagian saya lagi, suratnya sudah ada tanda tangannya Pak Bunyamin yang sudah tidak menjabat lagi (sebagai Bupati Serang, red),” ungkapnya. Kesaksian Dirgana dikuatkan oleh mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Serang Imam S Sandjadirja. Dalam kesaksiannya, dia mengakui, pencairan dana proyek jalan lingkar dan drainase PIR tak sesuai dengan aturan. Kata Imam, syarat-syarat dalam lampiran Surat Perintah Pembayaran (SPP) yang diajukan DPU Kabupaten Serang ke BPKD Kabupaten Serang tidak lengkap karena surat-surat terkait lainnya seperti, Surat Kontrak, Surat Perintah Kerja (SPK), berita acara lelang dan berita acara penerimaan barang, tidak disertakan. Mantan Kasubid Perencanaan pada Bagian Perbendaharaan BPKD Kabupaten Serang Soleh Muslim menambahkan, pembayaran proyek senilai Rp 1 miliar diambil dari pos pemeliharaan jalan dan jembatan APBD Kabupaten Serang 2005 karena dana untuk pembayarannya tak tercantum dalam APBD Kabupaten Serang TA 2005. Keterangan ketiga saksi itu, dinilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sukoco, menguatkan adanya dugaan korupsi dalam proses pembangunan proyek tersebut. “Ada beberapa proses yang tak ditempuh. Dan ini dibuktikan dengan tidak adanya kontrak kerja, serta surat partisipasi yang dibuat menjelang pencairan dan ditandatangani oleh bupati yang sudah tidak menjabat yaitu Bunyamin,” katanya. (dew)