Monday, September 03, 2012

Memahami Kegagalan

Tanggal 29 Agustus 2012 adalah hari di mana saya terdiam seketika.
Hari itu adalah hari pengundian untuk mendapatkan rumah milik Pemerintah Kota Kanazawa, Provinsi Ishikawa, Jepang. Ada berbagai keuntungan yang didapat jika menempati rumah di daerah Okuwa Machi tersebut. Secara keseluruhan seperti ini:  harga sewa murah, sekolah untuk anak dekat, taman bermain dan pusat belanja harian juga dekat. Ini memudahkan bagi orang yang tidak memiliki mobil.
Saya mengajukan untuk mendapatkan rumah jenis 3 DK (3 kamar, 1 ruang makan (dinning) dan dapur (kitchen)). Jumlah pelamar ada 5, sementara rumah yang kosong hanya 4. Itu artinya akan ada 1 orang yang tidak mendapatkan dan pada akhirnya saya mengetahui 1 orang itu adalah saya.

Bagaimana perasaan saya setelah mengetahui saya tidak mendapatkan rumah tersebut?
Adalah bohong jika saya katakan bahwa saya tak bersedih. Segala rencana seketika buyar. Anak dan istri saya akan datang Insya Allah tanggal 17 Oktober 2012. Itu artinya saya harus mencari apato/apartemen yang memiliki fasilitas yang mirip dan itu tak mudah.
Saya terbiasa mendapatkan apa yang saya inginkan.  Maka banyak pertanyaan saya segera bermunculan di benak.
Saya percaya segala sesuatunya terjadi atas kehendak Allah, pemilik bumi ini. Maka pertanyaan saya adalah mengapa Allah tak menghendaki nama saya keluar sebagai orang yang berhak menempati rumah di Okuwa pada hari tersebut.
Lebih-lebih kenapa Allah memberikannya justru pada orang Jepang yang bukan Islam? Pertanyaan ini segera  mendapatkan jawaban saat saya teringat tafsir Al Fatihah di sebuah kelas Bada Subuh di Darul Hikmah. Adalah Badrudin yang menjawab dengan benar pertanyaan ustad Hantoni saat itu, apa perbedaan ArRahman dan ArRohim? ArRohman berlaku untuk semua manusia termasuk yang non muslim, sementara ArRohim hanya diberikan kepada muslim. Jadi rizki non muslim juga diatur, diberikan. Hati saya mengingatkan bahwa "Allah tak hanya mengurusi kamu saja Fer, tapi semua orang." Dan sedikit malu mencari-cari dan mengingat apa yang bisa saya banggakan padaNya, terpojokan setelah sulit menemukan hal yang dapat membanggakanNya.
 
Saya segera menyadari diri bahwa ada yang salah pada diri saya. Saya terlalu percaya diri dan bahkan sombong juga yakin akan mendapatkan rumah tersebut dengan menegasikan eksistensi Allah. Saya tak berdoa dan meminta dengan sungguh-sungguh.
Ada sekilas rasa kekecewaan saya terhadap Allah yang segera tersadar bahwa adalah Allah yang lebih pantas kecewa terhadap saya. Entah sudah berapa kali saya mengecewakan Allah. Dan Allah sangat berhak menentukan segala sesuatu tentang saya.

Saya beruntung dikelilingi orang-orang baik. Mereka memberi nasihat dan membantu saya menganalisa tentang peristiwa ini. Pak Irfan, dosen Universitas Lambung Mangkurat, mengingatkan mungkin ada sesuatu yang tidak baik jika saya di Okuwa, Allah berikan yang terbaik, dan kita tidak tahu apa itu.

Ramadhan seorang kawan Mesir, menghibur dengan hal senada, bahwa kita harus berprasangka baik padaNya. Ia memberikan kita yang terbaik menurutNya, bukan menurut kita.

Adalah benar bahwa saya masih berharap mendapatkan rumah tersebut. Tetapi yang juga mengkhawatirkan saya adalah kualitas hubungan saya denganNya. Saya lamban untuk berlari kepadaNya. Saya ingin diakui sebagai hambaNya. Saya ingin menjadi orang yang dapat dibanggakanNya. Tetapi keinginan saja adalah konyol tanpa disertai usaha dan demikian sebaliknya. Agama saya mengajarkan keseimbangan, dan saya merasakan tidak dalam situasi tersebut.

Saya ingin kembali memiliki hubungan dekat dan hangat. Saya ingin mengatakan bahwa saya menyerahkan segala sesuatu padaNya. Apapun yang Engkau berikan akan kuterima asal itu bisa kembali membuatku tenang. Dan berikan aku kekuatan untuk menjalaninya karena sebagaimana engkau tahu bahwa diri ini tak terlalu kuat dan lemah. Aku ingin berbisik dengan tulus bahwa aku mencintaiMu...
   

Tuesday, May 22, 2012

TERJEPIT HUKUM SANDAL JEPIT


Accessed 19.24, 22/05/2012 from 


TERJEPIT HUKUM SANDAL JEPIT
Senin, 2 Jan 2012

Terjepit hukum sandal jepit
Senin, 2 Januari 2012 12:39 WIB | 
Riski Maruto

Performance Sandal Jepit Seniman Endeng Mursalim (40) melakukan aksi art performance bertema "Sandal Jepit" di Jalan Hasanuddin Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (31/12). Aksi itu sebagai bentuk keprihatianan atas kasus hukum yang menimpa AAL yang dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi. (FOTO ANTARA/Basri Marzuki) ()
Kami minta agar bocah itu dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Palu (ANTARA News) - Mengambil barang sekecil apapun tanpa ijin adalah tetap perbuatan kriminal, begitulah mungkin yang ada di benak Briptu Ahmad Rusdi Harahap sehingga memperkarakan perbuatan AAL, siswa SMK di Kota Palu hingga ke pengadilan.

AAL yang tinggal di pinggiran Kota Palu telah menjalani sidang perdana pada 20 Desember 2011 karena didakwa mencuri sepasang sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi pada November 2010.

Oleh jaksa penuntut umum, sandal jepit warna putih itu ditaksir harga maksimalnya mencapai Rp30 ribu. Gara-gara sandal jepit bekas itu, AAL yang masih berumur 15 tahun terancam hukuman kurungan maksimal selama lima tahun.

Kasus pencurian sepasang sandal jepit itu bermula ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra, tepatnya di depan kost Briptu Ahmad Rusdi yang merupakan Anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah.

AAL kemudian mengambil sandal jepit dan memasukkannya ke dalam tas.

Pada Mei 2011, polisi pemilik sandal itu kemudian memanggil AAL dan temannya untuk diinterogasi terkait hilangnya sejumlah sandal di kos.

Briptu Ahmad Rusdi sebelumnya juga kehilangan beberapa sandalnya, dan dia menduga AAL adalah pelakunya.

Saat diinterogasi, AAL sempat mendapat penganiayaan dari Briptu Ahmad Rusdi dan rekannya yang juga seorang polisi.

Akibat dugaan penganiayaan itu, keluarga AAL melaporkan kedua oknum polisi itu ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Tengah. Kedua oknum polisi tersebut pun telah mendapat sanksi disiplin berupa penempatan di tempat khusus selama 21 hari.

Lagarundu, orangtua AAL yang tinggal di Jalan Kijang sebelumnya pernah berniat mengganti sandal yang dicuri anaknya tapi Briptu Ahmad Rusdi bersikeras tetap melanjutkan kasus itu karena dia sudah terlanjur mendapatkan sanksi.

Simpati 1.000 Sandal

Kedua polisi itu telah mendapat sanksi dari kesatuannya namun proses hukum terhadap AAL tetap berlanjut. Inilah yang membuat simpati dari berbagai kalangan masyarakat bermuculan di sejumlah daerah di Indonesia.

Masyarakat di Jakarta, Solo, Yogyakarta dan di Palu menggelar aksi pengumpulan 1.000 sandal jepit untuk diserahkan ke polisi dan petugas pengadilan. Sidang lanjutan AAL akan dilaksanakan pada 4 Januari 2012.

Pengumpulan sandal jepit itu bertujuan untuk menyindir penegak hukum karena dinilai melakukan tugasnya tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat.

Aksi pengumpulan sandal jepit itu, salah satunya, dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Tengah. Lembaga itu juga meminta kepada majelis hakim agar membebaskan AAL.

"Kami minta agar bocah itu dibebaskan dari segala tuntutan hukum," kata Sofyan Farid Lembah, aktivis LPA Sulawesi Tengah.

Bahkan, dia siap mengganti 1.000 sandal jepit jika AAL dibebaskan dari dakwaan.

Selain pembebasan terdakwa, Sofyan juga meminta penghentian proses hukum AAL karena telah mengoyak rasa keadilan hukum masyarakat.

Menurut dia, fakta itu menunjukkan bahwa penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif.

Apalagi, kata dia, banyak kasus korupsi yang merugikan negara hingga miliaran rupiah tetapi pelakunya jarang tersentuh hukum. Kalaupun menjalani proses hukum, maka mendapat perlakuan istimewa dan vonis hukumannya pun terbilang ringan.

Sementara Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan meminta upaya penegakan hukum harus dilakukan akan tetapi sisi kearifan lokal dan rasa keadilan masyarakat juga perlu diperhatikan.

"Rasa keadilan masyarakat harus tetap dikedepankan," katanya.

Sebelumnya Ruslan Sangadji, wartawan yang juga mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, melakukan aksi monolog terkait dengan kasus "sandal jepit" yang menimpa AAL. 

Ruslan Sangadji melakukan aksi tunggal di aula Pogombo Kantor Gubernur Sulawesi Tengah yang saat itu sedang berlangsung pelantikan pejabat eselon II di jajaran pemerintah provinsi setempat.

Dalam aksinya, Ruslan melilitkan sejumlah sandal jepit di tubuhnya dan berjalan kaki ke agar tingkahnya mudah disaksikan banyak orang.

Wartawan yang akrab disapa Ochan ini juga mengalungkan kertas di bagian belakang dan depan badannya yang bertuliskan "Bebaskan AAL (15), terdakwa pencurian sandal jepit".

Dari lingkugan kantor gubernur, Ochan kemudian menuju Kantor DPRD Sulawesi Tengah, Polda dan Kejaksaan Tinggi Negeri setempat.

Setiap tempat yang didatangi, Ochan tidak menyampaikan orasi protes atas kasus yang sedang dialami AAL.

Tajam ke Bawah

Kasus sandal jepit yang menimpa AAL sebenarnya mirip yang dialami nenek Minah (55) yang didakwa mencuri tiga buah kakao di Kabupaten Banyumas pada November 2009.

Nenek Minah terancam hukuman penjara selama enam bulan karena hanya mencuri buah kakao yang nilainya tidak sampai Rp10 ribu.

Sementara Manise (39) harus mendekam di penjara selama 24 hari karena mencuri dua kilogram buah kapuk di Kabupaten Batang pada akhir 2009.

Sebelumnya Manise dituntut hukuman penjara selama satu tahun karena mencuri buah kapok yang nilainya tidak lebih dari Rp20 ribu.

Kondisi tesebut jelas memperlihatkan hukum memang benar-benar ditegakkan.

Namun apakah hal itu sudah memperlihatkan sisi keadilan masyarakat?

Hukum di Indonesia layaknya pisau dapur yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul di atas. Sebagai contoh, terdakwa korupsi miliaran rupiah kerap mendapatkan hak-hak istimewa saat menjalani proses hukum, ada yang seenaknya bepergian ke luar kota, mendapatkan fasilitas penjara layaknya hotel, atau sejumlah keistimewaan lainnya.

Jika dihitung-hitung, uang yang dikorupsi para penjahat itu bisa dibelikan ratusan ton kakao, kapuk atau jutaan pasang sandal jepit.

Jika memang benar-benar ditegakkan dan dijunjung tinggi, hukum seharusnya seperti belati, tajam di ujung dan di kedua sisinya. Hukum seharusnya juga buta seperti yang disimbolkan patung Dewi Keadilan (Lady of Justice).

Masyarakat kecil yang pernah terjerat hukum mungkin rela menjalani hukumannya asal para koruptor juga mendapat hukuman setimpal.

Kasus "sandal jepit" di Kota Palu haruslah menjadi awal penegakan hukum yang sejati di Indonesia. Sekali lagi jangan seperti pisau dapur yang hanya tumpul ke bawah.

Para hakim di Pengadilan Negeri Kota Palu seharusnya bisa mempercepat proses hukum AAL agar kasusnya segera diputuskan karena status yang bersangkutan masih sebagai pelajar. Dampak psikologis harus menjadi bahan pertimbangan.

Sidang lanjutan AAL pada 4 Januari 2012 mungkin akan dipenuhi sandal jepit sebagai hadiah bagi para penegak hukum yang kerap menggunakan sepatu mengkilap. (R026)
Editor: Ella Syafputri



Berawal dari Permintaan Berobat ke Dokter, Kasus Raju pun Merebak


Accessed 16.02, 21/5/2012 from kantor berita antara 

(berita komprehensif tentang Raju)

Berawal dari Permintaan Berobat ke Dokter, Kasus Raju pun Merebak

Rabu, 1 Maret 2006 19:01 WIB | 330 Views

Jakarta (ANTARA News)
 - Kasus persidangan terhadap Muhammad Azwar alias Raju, yang berlanjut dengan penahanan terhadap bocah laki-laki yang menurut Kartu Keluarga lahir pada 9 Desember 1997 itu, tampaknya menarik perhatian nasional.

Tidak kurang Anggota DPR, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA), Komisi Yudisial (KY), hingga Yeni Abdurrahman Wahid yang kini menjadi Penasehat Presiden turun langsung ke Desa Paluh Manis, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang berjarak dua jam perjalanan dari Medan.

Permintaan penghentian persidangan terhadap Raju dan dugaan terjadinya pelanggaran prosedur pengadilan anak yang dilakukan hakim tunggal yang mengadili perkara itu, Tiurmaida H. Pardede, dilontarkan berbagai pihak sejak kasus Raju mencuat di media massa lantaran penahanan yang harus dijalani Raju di dalam sel tahanan dewasa berdasarkan penetapan penahanan yang dikeluarkan hakim sejak 19 Januari 2006.

Padahal, semuanya itu berawal dari sekadar permintaan untuk berobat ke dokter dari Keluarga Armansyah yang ditolak oleh Keluarga Raju.

Ibu Armansyah, Ani Sembiring, menuturkan, kejadian itu berawal pada 31 Agustus 2005 saat anaknya berkelahi dengan Raju sepulang sekolah.

Meski lebih tua enam tahun dari Raju, kondisi fisik Armansyah tidak jauh berbeda dari Raju. Armansyah hanya sedikit lebih tinggi dari Raju, namun tubuhnya lebih kurus.

Menurut Ani, perkelahian Armansyah dan Raju berpokok pada persoalan Iswandi, adik Armansyah yang berada satu kelas dengan Raju di kelas 3 SD Negeri 056633 Gang Mangga, Langkat, Sumatera Utara.

"Iswandi sudah sepuluh hari tidak mau masuk sekolah. Ketika saya tanya kenapa, dia jawab takut sama Raju, karena setiap hari kepalanya ditokok oleh Raju," katanya. Ditokok adalah istilah bahasa di Langkat, Sumatera Utara, yang artinya sama dengan dijitak.

Ani kemudian mengantar Iswandi ke sekolah, dan menemui guru Iswandi yang benama Jamal guna melaporkan keluhan anaknya mengenai perbuatan Raju.

Raju pun dipanggil oleh Jamal. Meski pada awalnya membantah keterangan Iswandi, namun Raju pun akhirnya mengakui perbuatannya. Raju pun mendapat hadiah tamparan dari Jamal.

Usai sekolah, Raju dalam perjalanan pulang mencari Iswandi. Namun, ia hanya melihat sang kakak Iswandi yang duduk di kelas enam, Armansyah.

Perkelahian pun terjadi di antara kedua anak itu. Menurut Ani, Raju mencekik leher Armansyah, dan menjatuhkan badan Armansyah ke tanah.

Raju kemudian menginjak-injak perut Armansyah menggunakan lututnya.

Keduanya sama-sama menderita luka akibat perkelahian itu. Raju menderita luka robek di bibir dan luka cakaran di wajah. Sedangkan, Armansyah dalam catatan dokter (visum) menderita luka memar di iga kiri dan pinggul kiri.

Armansyah pulang ke rumah sambil menangis dan mengeluh sakit di leher maupun pinggulnya.

Setelah Armansyah menceritakan apa yang terjadi, Ani pun mengajak Armansyah ke rumah Raju.

Saedah, ibu Raju, menyanggupi mengobati Armansyah ke tukang urut, serta mantri yang memberikan obat.

Namun, setelah diurut dan mendapat obat dari mantri, pada malam harinya Armansyah tidak bisa tidur lantaran merasakan sakit yang hebat di dalam perutnya.

"Dia tidak bisa tidur. Nangis semalaman sampai guling-gulingan di lantai rumah, karena merasa sakit dari dalam perutnya," tutur Ani.

Karena ketakutan melihat Armansyah merasa kesakitan, Ani keesokan harinya kembali membawa Armansyah ke mantri terdekat. Namun, mantri itu menyarankan, agar Armansyah dibawa ke dokter, karena rasa sakit yang dikeluhkan pasiennya datang dari dalam perut.

Akhirnya, Ani kembali mendatangi Saedah untuk meminta biaya pengobatan Armansyah ke dokter.

"Saya tidak punya uang untuk membawa Armansyah ke dokter. Apalagi, mantri juga menyerah menangani Armansyah, dan menganjurkan untuk ke dokter, karena rasa sakit itu datangnya dari dalam perut," ujar Ani.

Kondisi ekonomi keluarga Armansyah secara umum terlihat lebih menyedihkan dibanding keluarga Raju. Keluarga Raju cukup berada, memiliki usaha rumah makan dan tempat tingal bangunan permanen di pinggir jalan besar. Sedangkan, Sahli, ayah Armansyah, mencukupi kebutuhan keluarganya dari mengolah nira.

Rumah keluarga Sahli terletak sekitar 500 meter dari jalan besar, seluas 5 x 8 meter untuk menampung enam anggota keluarga, berdinding anyaman bambu dan berlantai pasir.

Menurut Ani, permintaan membawa Armansyah ke dokter ditolak oleh Saedah maupun Sugianto, ayah Raju.

"Keduanya bilang, tidak sanggup lagi membiayai anak saya ke dokter. Mereka bilang terserah kau lah. Padahal, saya sudah memohon-mohon, karena saya khawatir sekali dengan kondisi Armansyah," ujarnya.

Lapor polisi

Oleh karena permintaan biaya untuk mengobati anak sulungnya itu ke dokter ditolak oleh keluarga Raju, maka Ani berinisiatif untuk melaporkan Raju ke polisi atas tuduhan penganiyaan.

Namun, Ani mengaku, sebelum melapor ke polisi terlebih dahulu berkonsultasi kepada kepala desanya untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Kepala desa memang tidak menyarankan saya untuk melapor ke polisi. Tetapi, saya pikir, karena tidak ada cara lain lagi, maka saya melaporkan Raju kepada polisi. Saya hanya meminta, agar anak saya dibawa berobat ke dokter, bukan meminta uang," katanya.

Pada tahap penyidikan, Ani maupun Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Langkat, AKBP Anang S. Hidayat, mengatakan bahwa telah dua kali mencoba menempuh perdamaian dengan pihak keluarga Raju, yakni pada 10 Oktober 2005 dan 27 Oktober 2005.

Dengan difasilitasi kepala desa setempat, Syamsir Siregar, dan pihak
kepolisian, kedua keluarga tersebut dipertemukan untuk menyelesaikan
masalah secara kekeluargaan.

"Namun, pihak keluarga Raju tidak mau berdamai. Justru, mereka mengatakan, agar laporan itu segera diselesaikan dan dilimpahkan kepada jaksa. Sugianto, ayah Raju, bahkan mengatakan biar pengadilan yang menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar," kata Kapolres Langkat.

Pada pemeriksaan di tingkat kepolisian, Raju didampingi oleh Saedah, yang juga ikut menandatangi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tertanggal 3 November 2005, seperti yang ditunjukkan oleh Anang.

Bahkan, menurut dia, polisi juga telah meminta pendapat dari Balai Pemasyarakatan Anak (BAPAS) untuk meneliti, apakah Raju layak untuk diajukan ke persidangan.

Anang pun memperlihatkan surat dari BAPAS, yang ditandatangi oleh Karmin Silalahi sebagai peneliti kemasyarakatan anak, pada intinya menyatakan Raju layak untuk disidangkan.

"Jadi, tidak benar kami melanjutkan kasus Raju tanpa pertimbangan BAPAS. Begitu juga dengan pemeriksaan terhadap Raju yang diberitakan tanpa didampingi siapa pun, karena ibunya selalu mendampinginya," jelas Anang.

Simpang siur kasus Raju bertambah runyam setelah muncul berbagai versi tanggal lahir bocah itu. Sampai saat ini, setidaknya ada tiga versi tanggal kelahiran Raju.

Dalam BAP, Raju yang didampingi ibunya menyebut Mei 1997, sehingga saat kejadian perkara Raju berumur 8 tahun tiga bulan.

Sedangkan, Raju dalam Kartu Keluarga yang dikeluarkan pada 4 Februari 2004 tercatat lahir pada 9 Desember 1997, sehingga saat kejadian perkara ia baru berumur 7 tahun 8 bulan.

Tanggal kelahiran itu pun diperkuat oleh kesaksian bidan Hamsiah yang menolong kelahiran Raju melalui surat pernyataan tertanggal 25 Februari 2005.

Setelah ramai pemberitaan tentang pengadilan Raju yang dinilai di bawah umur, pihak polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupaya mencari bukti baru dari pihak sekolah.

Berdasarkan buku raport Muhammad Azwar alias, yang dikeluarkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 056633 Gang Mangga, Kabupaten Langkat, dinyatakan bahwa anak itu lahir pada 5 Desember 1996. Bukti baru itu diajukan JPU pada persidangan kesembilan 15 Februari 2006.

Berkas perkara Raju pun dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari)
Langkat pada 21 November 2005.

Sidang pertama

Persidangan pertama Raju di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, pada 26 Desember 2005. Raju maupun orangtuanya tidak menghadiri persidangan tersebut.

Begitu pula pada persidangan kedua dan ketiga, sehingga JPU AP Frianto Naibaho mengatakan Raju dan keluarganya telah dipanggil, namun tidak datang tanpa alasan yang jelas.

Saedah mengatakan, surat panggilan pengadilan datang dua hari setelah Raju dan keluarganya berada di Banda Aceh untuk menghadiri acara keluarga, sehingga ketidakhadiran Raju di persidangan bukanlah suatu kesengajaan.

Baru pada sidang keempat 12 Januari 2005, Raju bisa disidangkan untuk pertama kalinya. Menurut hakim Tiurmaida, yang sering disapa dengan nama Tiur, pada persidangan itu ia berupaya untuk mendamaikan kedua keluarga.

Namun, Tiur mengatakan, keluarga Raju menolak. Bahkan, ia mengutip kalimat Saedah: "Ini namanya pemerasan, karena dia minta ganti rugi untuk biaya berobat."

Pada persidangan itu, Tiur mengatakan, keluarga Raju juga tidak
kooperatif dan menunjukkan sikap yang kurang menghargai persidangan, bahkan membuat gaduh di ruang sidang.

Pada persidangan berikutnya, 19 Januari 2006, Tiur menetapkan penahanan terhadap Raju dengan alasan tidak hadir di persidangan sebanyak dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, dan keluarga Raju dianggap tidak beritikad baik, bahkan mempersulit proses persidangan.

Tiur juga berpendapat, keluarga terdakwa tidak memperhatikan kepentingan dan tidak mempertimbangkan keadilan dari pihak keluarga korban, Armansyah.

Hakim berumur 31 tahun itu juga berpendapat, ulah Raju bukanlah kenakalan anak biasa, karena melihat luka korban berdasarkan hasil visum yang dinyatakan cukup serius.

Namun, Tiur mengatakan, penahanan itu tidak pernah dijalani Raju
sepenuhnya. Bahkan, ia menyatakan, pada sidang selanjutnya pada 26 Januari 2006 sempat bertanya kepada Raju mengenai keberadaannya selama satu minggu sejak penetapan penahanan 19 Januari 2006, dan dijawab oleh bocah itu: "Di rumah."

Teman satu kelas Raju, Fajar, yang memberi kesaksian di pengadilan juga menyatakan bahwa Raju bersekolah selama masa penahanannya.

Keterangan tersebut diakui oleh Saedah. Menurut dia, Raju hanya berada selama setengah hari di sel tahanan bersama tahanan dewasa, sejak dibawa dari pengadilan ke Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas IIB Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.

Menurut Saedah, Raju bisa dikeluarkan dari ruang tahanan atas kebijakan Kepala Rutan Pangkalan Brandan, Sudjono Evi, yang tidak setuju dengan adanya anak kecil di dalam sel tahanan dewasa.

Sudjono dalam suratnya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Depkumham) Sumatera Utara tertanggal 22 Februari 2006 menyatakan, Raju tidak pernah berada dalam tahanan, karena masih di bawah umur, dan tidak ada ruang khusus tahanan untuk anak-anak, meskipun beberapa kali dimintakan secara lisan melalui telepon oleh pihak pengadilan dan kejaksaan.

Ketua PN Langkat, Syamsul Basri, membantah bahwa dirinya berkali-kali meminta, agar Raju ditahan.

"Saya hanya satu kali menelpon Ka Rutan untuk menanyakan keberadaan anak itu, dan dijawab di luar sel. Saya bilang, ya sudah," ujarnya.

Perdamaian akhirnya tercapai pada 28 Januari 2006, setelah ada
penetapan penahanan terhadap Raju. Keluarga Raju menyerahkan Rp1 juta kepada keluarga Armansyah. Setelah perdamaian itu, Tiur kemudian mengeluarkan surat penangguhan penahanan pada 15 Februari 2006.

Pada persidangan kesembilan 15 Februari 2006, persidangan Raju mengalami kegaduhan. Kuasa hukum Raju, Jonathan Panggabean, bersikukuh meminta hakim menghentikan persidangan lantaran alasan salah penerapan hukumnya, karena Raju masih di bawah umur saat diajukan ke pengadilan, yakni tujuh tahun delapan bulan.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, antara lain termaktub bahwa "anak nakal yang diajukan ke persidangan harus berumur minimal delapan tahun hingga 18 tahun".

Pada saat itu juga, JPU mengajukan bukti baru berupa data kelahiran baru yang diperoleh dari sekolah Raju, yakni pada 5 Desember 1996, sehingga Raju telah berumur sembilan tahun saat diajukan ke pengadilan.

Setelah permintaan penghentian sidang ditolak oleh hakim, Jonathan membawa Raju keluar dari persidangan sebelum persidangan ditutup.

Hakim memerintahkan JPU untuk membawa kembali Raju ke ruang sidang, sehingga terjadi saling tarik menarik antara Jonathan dan JPU.

Setelah terdakwa di bawa kembali ke ruang sidang, JPU dan penasehat hukum membuat kegaduhan di luar sidang, yang didukung oleh keluarga dan massa yang dibawa oleh keluarga Raju.

Saat kegaduhan itu, menurut Tiur, Jonathan mengeluarkan kata-kata "pengadilan sesat, hakim sesat, pengadilan lontong, hakim lontong".

Bahkan, Tiur mengatakan, Jonathan sempat melontarkan kata-kata kotor yang ditujukan kepadanya.

Meski tidak mendengar sendiri, Tiur mengatakan, ucapan Jonathan itu terdengar jelas oleh JPU, beberapa petugas pengadilan dan wartawan yang meliput persidangan.

Tiur kemudian melaporkan ulah Jonathan tersebut kepada Polres Langkat atas tuduhan penghinaan terhadap institusi pengadilan dan hakim secara pribadi.

Kapolres Langkat, AKBP Anang Hidayat mengatakan, pihaknya telah menindaklanjuti laporan Tiur, dan telah memeriksa beberapa saksi yang membenarkan ucapan Jonathan tersebut.

Thomson Purba, wartawan yang meliput persidangan adalah salah satu yang memberi kesaksian di kepolisian. Selain ucapan Jonathan, Thomson juga memberi kesaksian tentang asal muasal foto Raju yang sedang berada di sel tahanan bersama orang dewasa yang kini telah beredar di media massa.

Menurut Thomson, adalah Jonathan yang membuat sendiri foto tersebut.

"Jonathan yang menarik Raju ke dalam sel tahanan di pengadilan, menutup pintunya, lalu memotretnya dari luar," katanya.

Padahal, menurut Thomson maupun Tiur, Raju tidak pernah berada di dalam sel tahanan selama menunggu persidangan di pengadilan.

Foto yang beredar di media massa itu memang menunjukkan lokasi pemotretan di sel tahanan pengadilan, bukan di Rutan Pangkalan Brandan.

Anang Hidayat belum mau berkomentar tentang keterangan Thomson tersebut.

"Memang ada dugaan seperti itu, tapi masih dalam penyelidikan kami,"ujarnya.

Ia mengatakan, sudah memanggil Jonathan untuk diminta keterangan sebagai tersangka, namun pengacara yang juga aktivis Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara itu menolak datang.

Hal itu diakui oleh Jonathan. Ia beranggapan, polisi sebenarnya tidak perlu menanggapi laporan Tiur.

"Seharusnya, kalaupun itu termasuk penghinaan pengadilan, yang berwenang memeriksa saya itu Dewan Kehormatan IKADIN. Hakim telah melakukan kriminalisasi profesi advokat," ujarnya. IKADIN yang dimaksudnya adalah Ikatan Advokat Indonesia.

Ia membantah telah mengeluarkan kata-kata tidak pantas yang ditujukan kepada hakim. Jonathan juga membantah telah membuat sendiri foto Raju di dalam sel tahanan pengadilan.

Walhasil, kasus Raju kini semakin berkembang lebih dari sekedar perdebatan penahanan dan persidangan anak di bawah umur yang menarik perhatian banyak pihak dari seantero negeri. Padahal, semuanya hanya berawal dari permintaan untuk berobat ke dokter yang ditolak. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © 2006

Friday, May 04, 2012

Belajar Mengelola Sampah dari Jepang.




Pada suatu siang di pertengahan Januari 2012, saya terlibat diskusi ringan dengan Yasuyo Komatsu, teman di ruang belajar saya di Kanazawa University. Kali itu saya tertarik membahas masalah pengelolaan sampah di Jepang.  Jepang adalah negara maju dengan tingkat kedisipinan yang tinggi dalam segala hal, masalah penanganan sampah adalah satunya. Sungai-sungai di Jepang sangat bersih dan bebas dari sampah, sementara di negeri kita, sungai bersih mungkin hanya bisa dijumpai di daerah pedesaan. Menurut Komatsu-san, kesadaran Jepang dalam membuang sampah sebenarnya merupakan hal yang baru, dimulai di Era 70-an. Masih menurutnya, beberapa orang tua masih memiliki kebiasaan lama seperti membuang sampah di sungai, tetapi ini sangat jarang ditemukan. Jepang memiliki budaya malu yang tinggi. Dalam pengamatan saya, moral di Jepang dipisah tegas antara moral publik dan moral privat. Dalam konteks sampah, siapapun anda, akan merasa malu jika tidak membuang sampai sesuai aturan di Jepang.  Kalau kita salah mengelompokan jenis sampah, atau membuang sampah tidak sesuai dengan jadwal jenis sampah, petugas sampah tidak akan mengangkut sampah kita. 

Sampah mendapatkan perhatian khusus pemerintah Jepang, sehingga setiap orang asing yang mengawali tinggal di Jepang akan mendapat panduan cara membuang sampah di Jepang. Sampah dikelompokan ke dalam 4 jenis: combustible (sampah bakar), recycle (sampah daur ulang), non-combustible (sampah yang tak terbakar) dan bottles (botol-botol). Keempatnya memiliki jadwal buang yang berbeda sehingga jika kita membuang sampah combustible di hari yang bukan jadwalnya, maka petugas sampah tidak akan mengambil sampah kita.

Sampah combustible adalah jenis sampah yang dapat dibakar. Sampah jenis ini misalnya sampah rumah tangga atau apapun yang sifatnya dapat dibakar. Sampah recycle adalah jenis sampah yang plastik semisal kantung dan botol plastik, jika masih ada sisa isi dari botol plastik tersebut maka harus dibersihkan/dikosongkan  terlebih dahulu (rinse out). Sampah jenis ketiga adalah non-combustible , sampah yang berbahan 80% metal, atau yang tidak dapat terurai dalam tanah. Sampah jenis terakhir adalah bottles yang meliputi berbagai jenis botol kaca yang dipisahkan berdasarkan warnanya.

Beberapa sampah tidak dapat kita buang seperti barang elektronik yang sudah tidak terpakai seperti televisi, refrigerator (lemari es), pendingin udara (air conditioner) ban bekas. Untuk dapat membuangnya kita harus merogoh kocek, membayar untuk membuang sampah tersebut. Kita membeli tiket pembuangan sampah di convenience store (mini market 24 jam), kantor pos atau di balai kota yang menyediakan disposal ticket agent.

Konsep reduce, recycle, reuse, (mengurangi, mendaur ulang, dan menggunakan kembali) sudah digunakan dan berjalan efektif di Jepang. Berbagai hasil pengolahan sampah combustible dimanfaatkan, diantaranya menjadi cone-block untuk trotoar.  
                 
Bagi kita yang tidak terbiasa dengan sistem ini akan mengalami kesulitan untuk membiasakan diri. Termasuk bagi saya, membuang sampah pada tempatnya tidaklah sulit, tetapi memilah-milih jenis sampah, mengategorikan, memisahkan  dan mencocokan jadwal membuang sampah sesuai jenisnya bukanlah perkara mudah bagi orang yang belum terbiasa melakukannya. Di bulan-bulan awal tinggal di Jepang, satu dua kali pemberitahuan lewat email (electronic mail) dari international student affair tentang sampah mampir ke inbox email. Isinya beragam: salah membuang jenis sampah, terlambat dari jam yang telah ditentukan (8.30 JST/Japan Standard Time), hingga yang terakhir seseorang entah siapa membuang penghangat minyak (biasa digunakan di musim dingin) lengkap dengan minyak yang masih tersisa.

Jepang menyadari bahwa tiap bangsa memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Untuk itu berbagai upaya dilakukan agar bangsa luar Jepang memahami dan mengikuti ritme pengelolaan sampah di Jepang. Bukum manual, brosur, leaflet dan pelatihan dilakukan untuk penyesuaian ritme ini. Di Kanazawa misalnya, Kief (Kanazawa International Exchange Foundation)—sebuah lembaga relawan nirlaba—baru-baru ini menggelar program pelatihan cara membuang sampah di Jepang untuk orang asing. 

Masyarakat dan Pemerintah Jepang memerlukan kerja sama yang baik dan waktu untuk mendidik masyarakatnya agar menyadari pentingnya manajemen pengelolaan sampah. Perjalanan waktu mengabarkan bahwa konsep kesadaran untuk membiasakan diri tersebut membuahkan hasil.  Regulasi dibuat, infrastruktur dibangun dan budaya tercipta.

Apakah Indonesia bisa? Jika Jepang bisa, kita juga pasti bisa, terlebih Indonesia yang menyandang nama negeri dengan pemeluk Islam terbesar di dunia yang hampir semua orang tahu terdapat hadist yang menjelaskan tentang kebersihan yang sebagian dari iman. Barangkali kita harus berhenti sejenak, membuka dompet dan melihat pada selembar kartu, merenungi kata agama dalam KTP yang mulai kehilangan makna. Kita pernah mencoba mengategorikan sampah organik dan non-organik, kita bisa berangkat dari sana kembali, dengan membangun kesadaran bersama bahwa pilihan kita cuma dua, merusak atau merawat bumi ini, dimulai dari negeri kita, Indonesia!   
   


Monday, January 09, 2012

Ratusan Media Asing Beritakan Kasus Sendal Jepit

Diunduh dari http://internasional.kompas.com/read/2012/01/06/11364285/Ratusan.Media.Asing.Beritakan.Kasus.Sandal.Jepit

http://assets.kompas.com/data/photo/2012/01/06/1132327620X310.jpeg

JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus pencurian sandal jepit yang melibatkan AAL, seorang remaja 15 tahun di Palu, Sulawesi Tengah, ternyata menjadi perhatian ratusan media asing.

Media-media besar seperti BBC, CNN, ABC News, Voice of America, New York Times, International Business Times, Wall Street Journal, Radio Australia, New Zealand Herald, Hindustan Times, Washington Post, juga kantor berita Associated Press (AP) dan Agence France-Presse (AFP) memberitakan kasus yang menghadapkan AAL yang merupakan seorang pelajar SMK dengan Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng.

Ada yang menggunakan judul menarik. Kantor berita Associated Press, misalnya, menggunakan judul "Indonesians Have New Symbols for Injustice: Sandals". Sementara Voice of America menggunakan judul "Indonesian Use Sandals as Justice Symbols".

Sebagian besar media menyertakan foto tumpukan sandal kiriman warga sebagai simbol solidaritas terhadap AAL, remaja yang didakwa mencuri sandal seorang polisi, serta sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang sedang terjadi.

Hakim Pengadilan Negeri Palu, Rabu (4/1/2012) malam, memvonis terdakwa AAL bersalah dalam kasus pencurian sandal jepit milik seorang anggota polisi. Meskipun demikian, hakim sidang Romel Tampubolon tidak menjatuhkan hukuman kurungan penjara. AAL hanya dikembalikan ke orangtuanya untuk mendapatkan pembinaan.

Pada Desember 2011 lalu, berita tentang penahanan 65 anak punk di Aceh juga sempat mendunia. Peristiwa ini bahkan memicu demonstrasi komunitas punk di San Francisco di depan Konsulat Jenderal Indonesia di negara bagian California, Amerika Serikat, itu

Monday, January 02, 2012

Aksi 'Seribu Sandal' untuk Dukung AAL, Ini Tanggapan Kapolri

"Indonesia adalah laboratorium hukum yang sangat luas," (Alm. Prof Satjipto Rahardjo)

(Berita di bawah ini diambil dari http://us.detiknews.com/read/2012/01/02/140843/1804675/10/aksi-seribu-sandal-untuk-dukung-aal-ini-tanggapan-kapolri)

Jakarta - Sejumlah warga menggelar aksi 'Seribu Sandal untuk Kapolri' dalam rangka mendukung bocah yang diancam 5 tahun penjara gara-gara mencuri sandal, AAL. Apa tanggapan Kapolri?

Ditemui usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di acara pembukaan perdagangan saham 2012, Kapolri Jenderal Timur Pradopo tak mau berkomentar banyak. Dia menyerahkan semua proses pada pejabat polisi di Sulawesi Tengah.

"Sekali lagi kapolres, kapolda sudah menyampaikan, bahwa itu akan ada langkah-langkah lebih lanjut," kata Timur di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jl Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (2/1/2012).

Ditanya lebih pendapatnya tentang kasus ini, pria berkumis ini tak mau berkomentar lebih jauh. "Sekali lagi kapolres dan kapolda sedang ada langkah-langkah," ulangnya lagi.

Kisah ini bermula pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan kost Briptu Ahmad Rusdi. Melihat ada sandal jepit, ia kemudian mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, polisi itu kemudian memanggil AAL dan temannya.

Selain diinterogasi, AAL juga dipukuli dengan tangan kosong dan benda tumpul. Kasus ini bergulir ke pengadilan dengan mendudukkan AAL sebagai terdakwa pencurian sandal. Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan diancam 5 tahun penjara.

Sementara itu, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya AAL. Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J Sipayang dihukum 21 hari.

Sebagai bentuk protes, aksi mengumpulkan sandal untuk Kapolri pun digelar di beberapa wilayah. Berikut lokasinya:

1. Untuk wilayah Tangerang, Komplek Citra Raya Tangerang;
2. Untuk wilayah Bekasi, di Jati Asih, Jalan Gandaria Blok M no 14, Bekasi;
3. Untuk wilayah Depok Kompleks Tugu Indah no. B22;
4. Untuk Wilayah Jakarta di kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat;
5. Untuk Wilayah Palembang di Jalan Basuki Rahmat No 2, Kel. Talang Aman, Kec. Ilir Timur I, Palembang.

(mad/nik)