Friday, May 04, 2012

Belajar Mengelola Sampah dari Jepang.




Pada suatu siang di pertengahan Januari 2012, saya terlibat diskusi ringan dengan Yasuyo Komatsu, teman di ruang belajar saya di Kanazawa University. Kali itu saya tertarik membahas masalah pengelolaan sampah di Jepang.  Jepang adalah negara maju dengan tingkat kedisipinan yang tinggi dalam segala hal, masalah penanganan sampah adalah satunya. Sungai-sungai di Jepang sangat bersih dan bebas dari sampah, sementara di negeri kita, sungai bersih mungkin hanya bisa dijumpai di daerah pedesaan. Menurut Komatsu-san, kesadaran Jepang dalam membuang sampah sebenarnya merupakan hal yang baru, dimulai di Era 70-an. Masih menurutnya, beberapa orang tua masih memiliki kebiasaan lama seperti membuang sampah di sungai, tetapi ini sangat jarang ditemukan. Jepang memiliki budaya malu yang tinggi. Dalam pengamatan saya, moral di Jepang dipisah tegas antara moral publik dan moral privat. Dalam konteks sampah, siapapun anda, akan merasa malu jika tidak membuang sampai sesuai aturan di Jepang.  Kalau kita salah mengelompokan jenis sampah, atau membuang sampah tidak sesuai dengan jadwal jenis sampah, petugas sampah tidak akan mengangkut sampah kita. 

Sampah mendapatkan perhatian khusus pemerintah Jepang, sehingga setiap orang asing yang mengawali tinggal di Jepang akan mendapat panduan cara membuang sampah di Jepang. Sampah dikelompokan ke dalam 4 jenis: combustible (sampah bakar), recycle (sampah daur ulang), non-combustible (sampah yang tak terbakar) dan bottles (botol-botol). Keempatnya memiliki jadwal buang yang berbeda sehingga jika kita membuang sampah combustible di hari yang bukan jadwalnya, maka petugas sampah tidak akan mengambil sampah kita.

Sampah combustible adalah jenis sampah yang dapat dibakar. Sampah jenis ini misalnya sampah rumah tangga atau apapun yang sifatnya dapat dibakar. Sampah recycle adalah jenis sampah yang plastik semisal kantung dan botol plastik, jika masih ada sisa isi dari botol plastik tersebut maka harus dibersihkan/dikosongkan  terlebih dahulu (rinse out). Sampah jenis ketiga adalah non-combustible , sampah yang berbahan 80% metal, atau yang tidak dapat terurai dalam tanah. Sampah jenis terakhir adalah bottles yang meliputi berbagai jenis botol kaca yang dipisahkan berdasarkan warnanya.

Beberapa sampah tidak dapat kita buang seperti barang elektronik yang sudah tidak terpakai seperti televisi, refrigerator (lemari es), pendingin udara (air conditioner) ban bekas. Untuk dapat membuangnya kita harus merogoh kocek, membayar untuk membuang sampah tersebut. Kita membeli tiket pembuangan sampah di convenience store (mini market 24 jam), kantor pos atau di balai kota yang menyediakan disposal ticket agent.

Konsep reduce, recycle, reuse, (mengurangi, mendaur ulang, dan menggunakan kembali) sudah digunakan dan berjalan efektif di Jepang. Berbagai hasil pengolahan sampah combustible dimanfaatkan, diantaranya menjadi cone-block untuk trotoar.  
                 
Bagi kita yang tidak terbiasa dengan sistem ini akan mengalami kesulitan untuk membiasakan diri. Termasuk bagi saya, membuang sampah pada tempatnya tidaklah sulit, tetapi memilah-milih jenis sampah, mengategorikan, memisahkan  dan mencocokan jadwal membuang sampah sesuai jenisnya bukanlah perkara mudah bagi orang yang belum terbiasa melakukannya. Di bulan-bulan awal tinggal di Jepang, satu dua kali pemberitahuan lewat email (electronic mail) dari international student affair tentang sampah mampir ke inbox email. Isinya beragam: salah membuang jenis sampah, terlambat dari jam yang telah ditentukan (8.30 JST/Japan Standard Time), hingga yang terakhir seseorang entah siapa membuang penghangat minyak (biasa digunakan di musim dingin) lengkap dengan minyak yang masih tersisa.

Jepang menyadari bahwa tiap bangsa memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Untuk itu berbagai upaya dilakukan agar bangsa luar Jepang memahami dan mengikuti ritme pengelolaan sampah di Jepang. Bukum manual, brosur, leaflet dan pelatihan dilakukan untuk penyesuaian ritme ini. Di Kanazawa misalnya, Kief (Kanazawa International Exchange Foundation)—sebuah lembaga relawan nirlaba—baru-baru ini menggelar program pelatihan cara membuang sampah di Jepang untuk orang asing. 

Masyarakat dan Pemerintah Jepang memerlukan kerja sama yang baik dan waktu untuk mendidik masyarakatnya agar menyadari pentingnya manajemen pengelolaan sampah. Perjalanan waktu mengabarkan bahwa konsep kesadaran untuk membiasakan diri tersebut membuahkan hasil.  Regulasi dibuat, infrastruktur dibangun dan budaya tercipta.

Apakah Indonesia bisa? Jika Jepang bisa, kita juga pasti bisa, terlebih Indonesia yang menyandang nama negeri dengan pemeluk Islam terbesar di dunia yang hampir semua orang tahu terdapat hadist yang menjelaskan tentang kebersihan yang sebagian dari iman. Barangkali kita harus berhenti sejenak, membuka dompet dan melihat pada selembar kartu, merenungi kata agama dalam KTP yang mulai kehilangan makna. Kita pernah mencoba mengategorikan sampah organik dan non-organik, kita bisa berangkat dari sana kembali, dengan membangun kesadaran bersama bahwa pilihan kita cuma dua, merusak atau merawat bumi ini, dimulai dari negeri kita, Indonesia!   
   


No comments: