Wednesday, April 30, 2008

Surat Perintah Penahanan yang Bercela

Kecerobohan Kejati Banten dalam melakukan penahanan terhadap Aman Sukarso kembali terlihat dari surat perintah penahan yang dibuat. Dalam Surat Perintah Penahanan bernomor PRINT-159/0.6/Ft.1/04/2008, tertera dengan tegas bahwa SPP itu dalam tingkat penuntutan, bukan penyidikan. Namun dalam dasar konsideran yuridisnya kejati mendasarkan pada pasal 20 ayat 1 KUHAP. Seharusnya kejati mendasarkannya pada pasal 20 ayat 2 KUHAP, karena SPP itu dalam tahap penuntutan. Ini kesalahan fatal dasar yuridis.

Pasal 20 ayat 1 menyebutkan untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atau perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Pasal ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan penahanan di tingkat penyidikan.

Sedangkan pasal 20 ayat 2, menyebutkan untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Karena Surat Perintah Penahanan itu ada dalam tingkat penuntutan, seharusnya jaksa mendasarkan pada pasal ini. Sebab kejati kadung 'mem-p21-kan' dan meningkatkannya pada tahap penuntutan. Bahkan Jaksa Penuntut Umumnyapun telah ditunjuk : M. Hidayat, Drs Sukoco dan Edi Dikdaya, ketiganya SH. Kajati menandatangani surat perintah penahanan itu atas saran dari tim jaksa penuntut umum pada Kejati Banten.

Kesalahan ini membuat citra kejaksaan semakin merosot dan membuat kepercayaan publik semakin pudar. Kejati Banten seharusnya mengkaji setiap perkara yang masuk dengan sangat teliti dan hati-hati, bukan mengejar pencitraan semata. Surat Perintah Penahanan itu kini jadi artefak yang suatu saat nanti akan 'bicara'.

Tuesday, April 29, 2008

Bagaimana kabar Apa?

Semua keluarga, saudara, sahabat kerabat menanyakan hal yang sama? Bagaimana kabar apa? Psikis bapa tolong dijaga de. Saya mikirin psikis bapa di rutan. Sebagian besar tamu yang datang berusaha membendung air matanya. Perjuangan mereka menahan air mata membuat saya terharu. Mereka menjaga psikis apa agar tak membebani. Ada banyak pesan yang juga disampaikan pada kami anaknya menjelang pulang besuk. Salah satunya yang selalu saya ingat adalah “jangan berkecil hati, kemuliaan orangtua kalian tidak berkurang dengan penahanan ini,” saya terenyuh mendengarnya, saya lupa siapa yang mengucapkannya. Sebuah sms dari sahabat juga mampir beberapa hari ini “I have read your blog. It make me angry to this republic. How are your father now?” Sms itu dari seseorang yang mengajari saya akan togmol—istilah sunda yang kurang lebih artinya kepribadian yang blak-blakan menyebut nama orang tanpa anonim dan eufimisme –, Abdul Hamid namanya. Firman Venayaksa juga sebelumnya mengingatkan saya untuk berjiwa besar. Oji (Aji Setia karya) dari Rumah Dunia juga mengingatkan saya untuk sabar. Begitupun Pa Fitrullah dan Pak Ridwan yang secara periodik menanyakan kabar dan berdoa. Demikian juga Anis Fuad, saya merasakannya. Saya teringat sahabat saya almarhumah Uswatun Hasanah, ia pernah menulis “Sahabat itu tak mesti selalu harus terlihat, seperti bintang di malam hari, ia pun ada di siang hari, hanya saja ia tak terlihat, tapi yang pasti ia ada.” Sudah lama saya tak mengunjungi makamnya.

Doa, wejangan bahkan sekedar pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang membuat kami tegar. Doa menjadi hal utama dalam hal ini. Karena ini persoalan hati yang bersembunyi dibalik kewenangan. Dan yang memiliki hati adalah Allah SWT, hanya Ia yang bisa menggerakkannya. Saya percaya akan kekuatan doa. Berulang kali ia menjadi perantara keselamatan saya. Oya kembali ke pertanyaan semula, bagaimana kabar apa?

Alhamdulillah ia melihat ini sebagai musibah dan cobaan. Kita diingatkan oleh Alquran mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun dalam setiap musibah. Sesungguhnya segala sesuatunya dari Allah dn sesungguhnya kepada Allahlah semua akan kembali. Dua orang temannya mengirimkan buku yang sama tanpa sengaja, La Tahzan, karya Aidh Al Qorni. Ia sampai pada bab dimana tertulis bahwa kalau yang namanya takdir pasti akan dilalui, jika sesuatu bukan takdir kita, maka kita tak akan melewatinya. Apa melihat ini bagian alur cerita, skenario Allah yang harus dilaluinya, sudah ada di Lauh Mahfuznya. Ini bagian dari skenario Allah untuk apa, dan Allah akan melihat bagaimana usaha Apa untuk melewati ujianNya.

Apa pun sudah bertekad untuk mengambil sikap melawan kezoliman ini. Ia justru mengkhawatirkan kami anak-anaknya. Sehingga tiga kali ia pernah berujar dalam kesempatan yang berbeda yang intinya minta maaf “kalian jadi dicap anak-anak koruptor,” saya kaget dan terenyuh mendengarnya lalu mengcutnya spontan. “Apa jangan pernah punya fikiran gitu, saya gak berfikir seperti itu demikian juga yang lain, saya ngerti betul bagaimana kasus ini, dan gak pernah ada fikiran minder atau apa,” rupanya ia memikirkan psikis kami dan sebaliknya kami memikirkan psikisnya. Iapun menjadi lega setelah berulang-ulang kami yakinkan bagaimana kami sebenarnya. Bagi kami didikannya selama ini melekat kuat. Kalau memang salah ya harus dihukum, Nabipun mewasiatkan demikian “kalau Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya.” Kalau Apa salah, saya salah maka harus dihukum. Tapi ini kan tidak. Paling tidak saya bisa mengatakan itu karena saya tahu persis kasus posisinya. Maka dalam persidangan nanti kita akan buktikan itu dan terus memperjuangkannya. Meskipun terus terang saya khawatir dengan aparat penegak hukum sekarang. Saya orang hukum dan tahu persis bagaimana kondisi hukum sekarang ini. Tapi hal ini juga bisa menjadi harapan karena kredibilitas dan integritas aparat penegak hukum diuji disini. Mudah-mudahan semuanya bisa melihat jernih persoalan ini, sementara kejaksaan melalui aspidsus telah membuat kesalahan bahkan kejahatan, dalam kriminologi ini disebut occupational crime. Dan sejauh ini ia telah mendapatkan hukumannya dari masyarakat.

Pencitraan, That’s All About!

Selasa 8 April 2008, 16.05, surat perintah penahanan tiba di ruang staf aspidsus, saya menandatangani tanda terima surat tersebut. Yunan mengingatkan telepon genggam apa yang masih melekat di ikat pinggangnya agar dititipkan pada saya. “Nantilah di rutan,” saya setengah menghardiknya. Terus terang saya kecewa melihatnya, ia menunjukkan keangkuhannya. Penahanan ini menumbuhkan tanda tanya besar.

Apa dan Ahmad Rivai keluar didampingi petugas kejaksaan yang akan mengantar ke rutan, saya, A’Iyang, Dewi dan Yudi (Anak dan menantu Rivai) juga kedua pengacara menyusul di belakang. Diluar, banyak wartawan sudah bersiap, mengambil foto. Saya mengkhawatirkan psikis apa. Reputasi, dedikasi, nama baik dan sikap kooperatifnya dalam setiap pemeriksaan selama ini dihancurkan kejaksaan begitu saja. Kejaksaan menagabaikan dan menodai asas praduga tak bersalah. Apa tegar, ia tak menutupi wajahnya, demikian juga Ahmad Rivai, terus berjalan hingga masuk ke dalam mobil tahanan jenis kijang. Mobil pun melesat cepat, saya mengikuti di belakang.

Hati saya menangis, marah dan bergemuruh dalam tiap langkah. Otak saya terus berputar, kenapa ditahan? KUHAP yang dianggap “maha karya” bangsa ini telah ditafsiri seenak perutnya. Alasan KUHAP satupun tak terpenuhi dan Yunan kemudian berlindung di alasan subjektif juga kewenangan Kajati. Semuanya terlihat disetting. Mobil tahanan yang sudah bersiap, banyaknya wartawan, surat perintah penahanan yang tergesa-gesa yang meninggalkan sebuah cela, Aspidsus Yunan yang tampak jelas tak memahami pokok perkara namun terlihat begitu berambisi melakukan penahanan. Kenapa? Ada apa?

Sepekan kemudian pertanyaan itu terjawab. Harlans M Fachra, Konsulat GeRAK Indonesia yang pernah menjadi Ketua West Java Corruption Watch (WJCW) sebuah NGO yang berpusat di Bandung mengabarkan bahwa pernah mendapat sms dari kejaksaan di wilayah kerjanya yang intinya meminta kasus korupsi yang ada di WJCW. Saya ceritakan kasus posisi PIR, ia menemukan kejanggalan, orang awampun bisa melihat kejanggalan ini, dan kejagungpun menemukan keanehan kasus ini. Keanehan yang kini jadi obrolan warung kopi. “Nggak beres kalo urusannya pencitraan,” ucap Harlans. Iapun meneruskan obrolan ini pada kawan-kawan lainnya.

Pencitraan! That’s all about. Ini semua tentang pencitraan kejaksaan yang semakin terpuruk pasca penangkapan ketua tim jaksa kasus BLBI Urip Tri Gunawan oleh KPK. Disusul dengan dinonaktifkannya JAM Pidsus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan M Salim. Kejagung menargetkan penyelesaian kasus korupsi masing-masing 5 (lima) kasus untuk tiap kejati dan 3 (tiga) kasus untuk kejari dalam setahun sebagai upaya pemulihan nama baik kejaksaan. Kegupekan kejaksaan ini semakin sinkron dengan oleh-oleh kurma ajwa, air zam-zam dan sebuah cerita dari Hj Herni, bendahara Korpri yang baru pulang umroh, sebelumnya ia pamit dan kami titip do'a agar orang-orang bisa melihat kasus ini dengan jernih dan hatinya dibukakan. Hj Herni bertemu dengan istri Bupati Semarang dan menceritakan kasus apa. Rupanya Bupati Semarangpun 'dimintai' kasus oleh kejaksaan setempat, hal yang sama diceritakan WJCW.

Tapi ketika Yunan memaksakan kasus ini dan menyarankan kepada kajati untuk dilakukan penahanan, maka ia telah menuliskan kesalahan fatal dalam rekam jejak dunia akhiratnya. Alih-alih membuat pencitraan nama baik, justru akhirnya ia menodai citra kejaksaan itu sendiri dan membuatnya semakin terpuruk. Koran Banten (mingguan yang berkantor di PWI) menuliskan banyaknya penangguhan yang diajukan elemen masyarakat sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada kejaksaan. Lembaga kejaksaan (Kejati Banten .pen) kemudian dipandang aneh, janggal, memaksakan dan jadi bahan obrolan sehari-hari di Serang. Bambang, aktivis Partai Syarikat Islam yang sempat bertemu dengan saya mengabarkan kasus ini telah jadi obrolan warung kopi, semua orang tahu duduk perkara kasus ini. MUI Kota Serang, KONI Serang dan Propinsi, Korpri Serang, DPRD Serang, TTKDH, keluarga, Ketua RT 01/03 Cipocok Jaya dibuat bingung kejaksaan ketika penjaminannya terhadap Aman Sukarso ditolak. Pada akhirnya kami mengerti, bahwa kejaksaan melalui kajati berdasarkan saran dari bagian pidana khusus terlanjur mengambil langkah gegabahnya dan tak mungkin menariknya kembali. Kebingungan kini beralih pada kejati ketika rencana dakwaannya diminta direvisi dan diperbaiki oleh kejagung saat ekspose kasus karena pemborongnya tak diungkap. Kini antara Polda dan Kejati saling lempar, kebingungan. Masyarakatpun melihat kejanggalan kejati yang segera memP21kan (mengganggap lengkap berkas perkara) kasus ini dan mengorbankan Aman Sukarso yang orang banyak tau alur ceritanya. Orang awampun bisa melihat parsialnya kasus ini, apalagi kejagung. Kajatipun mau tak mau pada akhirnya harus melindungi stafnya yang ceroboh mengejar target—dalam bahasa obrolan warung kopi mencari poin untuk promosi. “Tanpa mengurangi rasa hormat, permohonan penangguhan penahanan itu tak saya kabulkan, karena saya harus konsistens dengan sikap dan keputusan saya sebelumnya,” kata Lari Gau (Radar Banten, 12 April 2008)

Sunday, April 20, 2008

Percobaan Penipuan

Dalam kesusahan orang lain hampir selalu ada saja orang yang berusaha menggunakan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Seperti yang dialami saya. Bagi saya ini hiburan di tengah kelelahan dan bisa menjadi bahan kuliah menarik yang bisa dibahas di kelas bersama mahasiswa.

Kejahatan banyak jenisnya, penipuan salah satunya. Ada para penipu yang mencari peluang dengan mempelajari berita di koran tenang orang yang sedang bermasalah dengan hukum. Penipu tersebut kemudian menghubungi nomor telepon rumah calon korbannya, nomor rumah mudah didapat karena tercatat di pusat informasi telkom 108. Biasanya si penipu mengaku dari aparat hukum baik polisi, jaksa, hakim atau bahkan KPK. Mencoba meyakinkan akan membantu persoalan hukum. Maraknya penipu yang berpura-pura jadi aparat hukum ini adalah dampak dari eksistensi aparat yang tak memiliki integritas yang coba bernegosiasi dengan korban. Biasanya, dalam keadaan panik calon korban akan sulit berfikir jernih dan akhirnya menjadi korban penipuan semi pemerasan.

Di bawah ini adalah rekaman sms penipu terhadap saya.

Kamis 10 April 2008, 19.05,
Telpon rumah berdering
“Fer, telepon dari Jakarta katanya, nanyain apa,” kata adik saya.
“Selamat malam, bapak Aman Sukarso ada?” tanyanya.
“Gak ada, dari mana ya,” tanya saya
“Dari Jakarta.”
“Dari mana?”
“Dari instansi.”
“Instansi apa?”
“KPK.”
“O KPK, gimana pak?”
“Ya kami ingin kenal dengan keluarga Pak Aman.”
“Oya, gimana?”
“Kami ingin bantu masalah bapak, bapak sekarang kan ditahan.”
“Oya gimana…gimana?”
“Bapak catat nomor HP saya, 0852 83 792 777,” katanya
“Ya sudah,” kata saya.

Segera saya kirim sms (short message service)
“gimana pa?”

“Sya pribadi brsama rekan siap aja memberi dukungan klau pihak keluarga bp.aman sukarso mmbtuhkan, sbnarnya bnyak jga,pjbat maupun mntan dri prop.banten ada di daftar data2 kami,dan siap untk di thdak lanjuti.” Dikirim 10 April 2008 19:48:27, pusat pesan +6281100000
“Tpi sdr fery jngn bnyak komentar, ini pribadi sya, di luar jam kantor.. klau tdk ada hlangan hari sabtu sya mau ke serang.” 20:03:19

“Sdr.fery tentunya tau sma bp.tb.abbas mak’mun,skrng udh mntan kandepag serang, alhamdulillah, sya yg turun tngan,bisa bebas,cuma bp.abbas ma’mun itu bisa memberikan kbjaksanaan,ya soal buat uang pelicin.” 20:12:55

“Mhon maaf kpda sdr.Fery dikarenakan diinstansi kami ini saling kejar mengejar, semuanya saling membutuhkan jdi sdr.fery brsama keluarga snggupnya berapa? mohon maaf sbelum nya.” 20:26:14

“ini no rek sya. a/n sudirman diman 0142633340 bni cab. roa malaka jakarta, sya tnggu kputusan sdr.fery sekeluarga, klau mau bp.H. AMAN SUKARSO cpt selesai masalahnya,” 20:56:16

“Sebentar ini sedang pengajian, berapa yang sudah-sudah.”

“Mhn maaf, sdah mengganggu acara pengajian keluarga, yg sudah2 50 an, itupun sya bagi sma rekan2.” 21:05:55

“Ya nanti saya musyawarahkan dulu dengan keluarga.”

Jumat 11 April 2008
“Slmat pagi sdr.fery bgaimana kputusannya dg keluarga, klau uang jalan nya dri sdr.fery cpet, abis jum’atan sya brsama rekan lngsung brangkat.” 04:44:45

“Jam 10 sya tnggu ksiapan dri sdr.fery smentara sya mau nyiapin data2 nya Hilman nitiamijaya dan R.A syahbandar, mereka akan sya uber jga.” 06:07:36

“Sudah di ctat no.rek sya kan? lebih cpat lebih baik, sya sarankan .. trima kasih.” 06:21:59

“ini no rekening rekan saya, a/n alang basri 0144076963. BNI cab.rawa mangun, jakarta, klau ada kputusan yg pas, sdr.fery bisa smz sya,” 08:34:33

“ya,gimana ats kptusan nya sdr.fery di tnggu? Mhon maaf abis jum’at sya mau brngkat ke daerah purwakarta, klau sdr.fery bisa cpet soal dana nya,sya bisa mengurus msalah bp.h.aman sukarso ke serang.” 10.10.57

“Hari ini sya mau ke Kajati untuk penangguhan penahanan.”

“Ya udh musyawarahkan dlu sma bp.yunan harjaka di kejati,tpi jgn berkomentar sma sya dg rekan, ini kan soal prbdi, tntunya sdh paham sdr.fery.” 10:22:32

“Kajati bukan kejati. Lari Gau bukan Yunan.”

“Ia, dia di bgian aspidsus nya.” 10:26:59

“Gi mana klnjutannya sdr.fery?dg baik dan scara prbadi sya mnghubungi anda, ya demi kebebasan H.AMAN SUKARSO, sanggup atau tdk soal pendanaannya, di mhon jwbn nya.” 12:35:27

“Klau sdr.fery ga ada jwbannya, sma aj ga menghrgai sya, sdh sya bilang klau soal dana snggupnya brp? Nnti sisa nya bisa nyusul ..bgai mana menurut anda.” 13:19:42

“Tadi lagi jumatan, anda ini yang tak menghargai saya!”

“ia sudah,sya jga kejar mengejar ini, sya maklumi sdr.. dan sya minta maaf, td kata org rumah sdr ke pemda ktanya.” 13:31:37

“Mhon maaf sya brtanya ini, apa sdr.fery sdh brunding dan dibcrakan dg keluarga?” 13:42:47

“Jmlahnya ga bgtu bnyak, tpi untk byar pngcara bisa..pdhal blum tntu bisa membela, bp sdr.fery. Sya tdk mengerti, sya tunggu aj, kesanggupannya brp? 14:33:35

“Ga ada artinya sdr.fery beredar ke beberapa instansi, semuanya itu dibwah naungan instansi sya di Jakarta, selaki gertak aja, udh pada ciut semua.” 14:40:33

(Ada sms yang sya hapus di antara sms sini)
“Anda kok memfitnah bapak saya.”

“bkn nya memfitnah, sesuai fakta ko, jgn buat sya ksal, sperti bp gumelar slamet msih di daerah serang yg ksus kapal tag boat itu, tpi ngasih jg sma sya, tapi ksusnya blum tuntas.” 14:58:22

“Terus terang sma sdr.fery, di instansi sya nama sudirman diman dan alang basri paling bndel, tpi semua itu di dlam prosedur, dan menjalur, ya gimana ksanggupan nya brp.?” 15:04:52

“0144076963, BNI a/n alang basri, cab.rawamangun..untk uang bensin aja dlu, snggup nya brp? Nnti smz ke sya.” 15:24:37

Sabtu 12 April 2008
“Slamet pagi sdr fery beserta keluarga, gimana kelanjutannya.” 08:44:47

“Waalaikum salam, Alhamdulillah, Insya Allah senin selesai.”

“ia, trima kasih .. data2 bp tetap di simpan di kami, meskipun di kejati blum ada putusan, salam dari sudirman diman ke semua khusus buat ket dprd serang, hasan maksudi.” 08:58:15

“Sama-sama, salam juga buat Ajat Sudrajat di sana.”

“klau bp.ajat sya jrang ktemu, dikarenakan dia beda instansi, dia di kejagung, bgmana klau sya minta kbjksanaan dri sdr.fery, untk tambah2 byar pjak CR-V sya, trim’s. 09:32:43

“????”

“Trserah sdr.fery brp aj, sya terima.” 09:47:50

Ahad, 13 April 2008
“Selamat pagi, sdr.fery di tnggu krimannya. Ya buat tambah2 byar pjak mobil sya ini.” 07:35:23

Senin 14 April 2008
“Gi mana sdr.fery mengenai, bp.h.aman sukarso klanjutannya.”

Selasa 15 April 2008
“selamat pagi sdr.fery gimana klanjutannya, anda benar2 ga mendengarkan kata2 sya skali, mau di tindak lanjuti apa?” 05:30:10

“Sudah sholat subuh?”

“sya ga nanya soal sholat, karena itu sudah kewajiban org islam. Gi mana ini, sdr. Fery urusannya sma sya. Mau diperpanjang? 06:07:24

“Saya berkewajiban mengingatkan anda.”

“Jgn banyak bcra sdr.fery, anda mengaku muslim, ko bpk sdr.prilakunya lain, skrng mau di kasarin sma sya..” 06:21:51

“0144076963, BNI cab. rawamangun Jakarta A/n, alang basri, 20 jta, klau ga mau keluarga sdr.fery acak2an.terima kasih.” 06:36:25

“Anda ini kok aneh, katanya mau bantu kok malah mengancam?”

“Bkn ngancam , mau ngeluarin uang jln segitu, 20 jt, siap, jgn bnyak komentar sana sini.”
06:49:10

“Sya tunggu kabarnya? dri sdr.fery.” 08:17:20

Setelah sms di atas, tak ada lagi sms mampir, mungkin ia mulai menyadari bahwa usahanya tak mebuahkan hasil. Sms dengan cetak miring (italic) adalah sms dari saya, frekwensi smsnya kurang lebih 2 banding satu, artinya ia mengirimkan 2 sms saya jawab sekali.

Ada beberapa sms yang terhapus. Seperti misalnya ia mengsms ketika ia mulai kesal bahwa ia akan mengirim anak buahnya ke rumah saya. Agar lebih meyakinkan ia sms alamat rumah saya "Jl Bhayangkara no 1." Saya katakan bahwa alamatnya salah, itu alamat gubernur Banten, tetangga saya (padahal rumah Atut Jl Bhayangkara no 51, Jl Bhayangkara no 1 adalah rumah Matin Syarkowi). Tak disangka ia membalas lagi "Data yang ada di kami seperti itu." Saya balas "kalau gitu koran yang anda baca gak akurat, alamatnya salah"

Tapi dari sms tersebut diketahui ia memantau perkembangan kasus lewat harian lokal. Misalnya ketika menjelang sabtu-ahad saya katakan akan beres senin nanti, maka sms mereda dan ia akhiri dengan minta uang untuk pajak CR-Vnya. Lalu begitu Senin ada lagi pemberitaan di koran, ia gencar lagi mengsms.

Orang ini tak cocok untuk menjadi penipu, penipu harus punya dua bekal utama : cerdas dan satu lagi yang tak saya sebutkan karena khawatir orang ini belajar dari pengalamannya, saya menyuruhnya membaca blog ini. Kalaupun orang ini melakukan kejahatan, kejahatan yang potensial dilakukannya adalah violent crime/street crime/blue collar crime, jatanras istilah kepolisiannya, kejahatan dengan kekerasan. Bagaimanapun saya berharap ia kemudian sadar dan ditunjukkan jalan keluar terbaik. Sebab yang ia lakukan salah dan juga tergolong tindak pidana.

Ada satu kejadian yang lucu. Ia ternyata juga menghubungi keluarga Rivai. Rita, anak pertama Ahmad Rivai menceritakan bahwa ia ditelpon oleh seorang bernama Sudiman Diman dan Alang Basri. Nah, suatu pagi si penipu ini salah sambung, menelpon rumah saya menyangka rumah Ahmad Rivai. Saya masih ingat kutipan pembicaraannya dengan saya seperti ini:

"Selamat pagi, ini dengan rumahnya Ahmad Rivai?"
"Bukan pak, ini bukan rumahnya Ahmad Rivai," kata saya
"Bisa bicara dengan Ibu Rivai?"
"Ini bukan rumah Rivai, bapak salah sambung. Nomornya yang dipijit tadi berapa?"
"Ini rumah siapa?"
"Ya bapak nelponnya ke siapa?"
Beberapa detik hening, lalu tut..tut..tuuut, telpon pun diputus. Saya hapal betul suaranya, rupanya ia tak konsen, menekan nomor telpon saya menyangka rumah Ahmad Rivai, sebab ia punya dua nomor telpon calon korbannya.

The Call

Selasa 8 April 2008
Kelas krimininologi baru saja saya mulai. Handphone berdering, tanpa lihat nomor penelpon, kutekan tombol reject. Kuliahpun dimulai. Lebih dari 30 menit dalam sesi tanya jawab, saya lihat HP, ada sms masuk, dari adik saya Ela, “per telp apa penting.” Perasaan saya mulai tak enak. Saya telpon apa di luar kelas.

“Ferry dimana?”
“Di kampus, gimana pa?”
“Apa kayanya ditahan, Ferry ke kejati aja.”
“Di ruang apa?”
“Ya kesini aja.”
“Ferry ke sana sekarang pa.”

Kelas kusudahi, “Saya harus ke kejati, kalian pelajari sisa perkuliahannya, kita ketemu lagi saat UTS (Ujian Tengah Semester), bahan ujian dari awal pertemuan hingga hari ini.”

Saya kontak A’Iyang, kakak pertama.
“A, ke kejati sekarang. Kita ketemu disana, apa kayanya ditahan.”

Sampai kejati mobil tahanan sudah menunggu dengan pintu belakang terbuka, banyak wartawan bersiap. “Nggak beres ini, kenapa banyak sekali wartawan?” batin saya. Di luar saya bertemu Gusti Endra, pengacara kami, sedang menerima telpon.
“Di dalam Fer,” katanya.

Saya bergegas ke dalam, meninggalkan wartawan yang sepertinya sudah tahu Ahmad Rivai dan Aman Sukarso akan ditahan. Saya lihat ada Ferli, wartawan Banten Raya Pos, masih Group Jawa Pos, saya salami dan segera masuk. Saya sapu seluruh lantai satu kejati, “Dimana ruang pidana khusus,” batin saya lirih, saya pernah menyampaikan undangan seminar eksaminasi publik dan mendampingi kawan saat menjadi saksi ahli di ruang kasi pidsus, tapi dimana letaknya, saya lupa.

Kembali ke luar saya tanya Gusti, “Dimana apa?”
“Di dalam,” ia baru selesai menelpon.
Kami berdua ke dalam. Masuk ke sebuah ruangan dimana banyak staf jaksa di sana. Ada seorang yang berpakaian safari lengan pendek rapih.

“Ini putranya pak Aman, ini pa Yunan Fer, aspidsus,” papar Gusti, mengenalkan.
“O, Yunan Harjaka?” saya salami, selama ini saya mengenalnya lewat harian lokal Banten saja, namanya sering muncul menghiasi berita.

Saya langsung menuju ke dalam ruangan kasi pidsus, dimana ayah saya berada. Yunan saya hiraukan sebagaimana ia menghiraukan saya. Saya salami apa, pa Rivai dan seluruh jaksa di ruang itu, ada Sukoco, Edi Dikdaya dan M Hidayat.
“Gimana pa?”
“Aspidsus gak tegas ngomongnya tapi kayanya ditahan Fer,” paparnya.
“Saya harus temui aspidsusnya,” batin saya.

Kembali ke ruangan sebelumnya saya hampiri Yunan
“Pak Yunan, saya Ferry putera pak Aman, saya ingin bicara, terserah bapak, disini atau di ruangan lain,” pinta saya.
Sekitar dua detik ia berdiam
“Di ruangan saya saja,” kami masuk ruangan aspidsus. Pintu ditutup.
“Bagaimana ini kemungkinannya, ditahan?”
Ia bicara kesana kemari tapi mengisyaratkan akan adanya penahanan.
“Saya minta tolong bapak untuk mengupayakan agar ayah saya tak ditahan, apa yang dikhawatirkan KUHAP kan selama ini tidak terjadi dan berlebihan jika tetap dilakukan penahanan: melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan kembali, lagi pula kan sudah ada surat jaminan dan permintaan untuk tidak dilakukan penahanan, dari ibu,” papar saya.

“Ibu siapa,” tanya Yunan
“Ibu saya, istri Aman Sukarso,” jelas saya.
“Ya alasan kan ada alasan objektif dan subjektif, permohonan itu sudah kita sampaikan ke kajati, ini kan kewenangan kajati,” papar Yunan.
"Ya saya faham, tapi saya minta tolong bapak untuk mengupayakan lebih untuk mempertimbangkan,” pinta saya lagi.
“Kita sudah upayakan pertimbangan permohonan itu, kita sampaikan, tapi ini kan kewenangan kajati,” ujar Yunan lagi.
Dahi saya mengerut, “ada yang nggak beres ini, Yunan ini aneh, ia kemudian selalu berlindung di kewenangan kajati, padahal kajati hanya tinggal menandatangani, usulan penahanan bagaimanapun berawal dari bawah, aspidsus, penahanan ini kok terkesan dipaksakan, padahal alasan yuridis selesai kita bahas, dan kini ia masuk ranah alasan subjektif,” batin saya

Saya menangkap kesan Yunan tak kooperatif dan tak punya itikad baik untuk membantu. Maka obrolan beralih ke hal-hal ringan.
“Bapak ini (Aman sukarso.pen) sekda ya?” tanyanya
“Mantan,” kata saya
“Sekarang apa?” tanyanya lagi
“widyaiswara, pengajar pada diklat-diklat,” jelas saya.
Yunan menganggukan kepala.

Saya menyesal sekali tak menjelaskan latarbelakang apa sebelum menjadi sekda, ketika ia menjadi mantri polisi di Kasemen, Camat Taktakan, Cikande, Serang dan beberapa lagi di Serang, Kabag Pemerintahan, Kabag Pembangunan, Sekretaris Dewan, Catatan Sipil, Asda II, Kepala Bappeda sebelum akhirnya menjadi Sekda.
Saya menyesal tak menceritakan bagaimana ia memimpin dengan hati, berhati-hati dan dicintai warganya. Hingga kini, hubungan baik dengan tokoh masyarakat Taktakan, Kramatwatu, Kasemen, Waringin Kurung tetap terjalin. Seandainya Yunan tahu begitu banyak air mata menetes saat orang-orang membesuk dan memeluknya.
Tapi yang jelas ia tak mengenal ayah saya, dan tanda tanya besar memenuhi benak saya, kenapa ia menanyakan status sekdanya? Belakangan motif penahanan itu saya ketahui, setelah alasan yuridis tak masuk akal jika dikenakan pada ayah saya

Gesture Yunan mengisyaratkan pembicaraan kami selesai.
“Pak, kalau bapak lihat berkasnya secara jelas persoalan ini clear, 5 milyar itukan sudah dianggarkan dari blockgrant pemprov, dan ketika block grant itu turun, ya dibayarkan karena memang peruntukkannya untuk jalan Pasar Induk Rau (PIR).
“5 milyar?” tanyanya.
Kening saya mengernyit, cerita saya melanjutkan.
“Barusan siang ini, Pak Mirdedi ditelpon Polda, bahwa kesaksian ahli Mirdedi untuk kasus PIR tak jadi dipakai dan diganti, kenapa diganti? Polda tak menjelaskan, tapi yang jelas kesaksiannya cenderung menyatakan unsur korupsi kasus ini tak terpenuhi. Dari awal saya tak pernah mengintervensinya, Mirdedi bahkan mengetahui saya anak Aman Sukarso setelah ia diperiksa polda sebagai saksi ahli dalam perkara PIR. Pulang dari Polda baru ia menghampiri saya dan mengatakan pendapatnya,” papar saya.

“Diganti dari mana,” tanya Yunan
“Loh kan ada di berkas?” saya balik tanya.
“Oya,” iya mengangguk dan menyudahi pertanyaannya ketika ia tahu saya menyadari bahwa ia tak begitu memahami kasus posisinya, saya menangkap keterkejutannya.
“Mungkin saksi ahli untuk kasus lain, kan banyak, ada KP3B,” sambung Yunan.
“Nggak, untuk kasus ini, saya tahu kok,” jawab saya.
“Kok baru ditelpon siang ini, berkasnya kan sudah seminggu lalu ada di kita?” tanyanya menyerang informasi saya.
“Ya itu urusan penyidik, kerjaan Karmana itu, dia baru telepon siang ini,” jawab saya.

Saya sudahi pembicaraan yang tidak produktif itu, tapi saya mendapatkan banyak hal dan kesimpulan yang sangat penting, Yunan menunjukkan kesalahan fatalnya, kelak sepekan kemudian saat saya di Bandung bertemu dengan kawan-kawan NGO WJCW (West Java Corruption Watch) dan GeRAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) Indonesia, saya semakin tahu alasan penahanan ayah saya dan juga Ahmad Rivai. Sebab di media cetak dan elektronik Yunan selalu bicara atas nama hukum, seperti di Seputar Indonesia edisi Rabu 09/04/2008, Ia menyatakan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, sebab kedua tersangka itu dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, melarikan diri bahkan mengulangi perbuatan.

Persoalan yuridis di atas kandas kami bahas di ruangannya, karena ia orang hukum maka saya ajak bicara hukum. Barang bukti seluruhnya ada di BAP. Mengulangi perbuatan? statusnya saja sekarang bukan sekda, kewenangannya sangat terbatas sebagai widya iswara, melarikan diri? harusnya ada dasar yang kuat jika dasar penahanan ini akan dipakai. Kasus ini telah di Polda sejak akhir 2005 awal 2006, selama proses penyidikan selalu kooperatif dan tak melarikan diri. Yunan beresiko meruntuhkan reputasinya sendiri sebagai orang hukum. Penahanan dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan, namun hingga 11 hari di rutan tak ada panggilan ke kejati untuk pemeriksaan lebih lanjut, Lalu pertanyaannya untuk apa ditahan? Kecuali jika Yunan membaca tulisan ini dan segera memperbaiki kecerobohannya dengan melakukan pemanggilan guna kepentingan pemeriksaan sebagai upaya pemenuhan dasar filosofi penahanan, maka bolong dan kelalaiannya tertambal.

Hal-hal seperti ini yang dikhawatirkan Prof Tb Ronny Nitibaskara, persoalan aparat penegak hukum kita masih punya kelemahan dalam hal profesionalitas. Dalam tulisan lain saya akan paparkan lebih banyak soal ini. Tapi ini jadi persoalan tersendiri manakala saya membahas soal aparat penegak hukum dan korupsi, (meminjam judul tulisan prof Ronny "Polisi dan Korupsi"), tulisan yang sudah saya siapkan sebelum musibah yang menimpa ayah saya. Bagaimanapun orang akan mengaitkannya dengan persoalan domestik saya. Tapi paling tidak, jikapun tak muncul di koran, ya minimal di blog ini.