Sunday, April 20, 2008

The Call

Selasa 8 April 2008
Kelas krimininologi baru saja saya mulai. Handphone berdering, tanpa lihat nomor penelpon, kutekan tombol reject. Kuliahpun dimulai. Lebih dari 30 menit dalam sesi tanya jawab, saya lihat HP, ada sms masuk, dari adik saya Ela, “per telp apa penting.” Perasaan saya mulai tak enak. Saya telpon apa di luar kelas.

“Ferry dimana?”
“Di kampus, gimana pa?”
“Apa kayanya ditahan, Ferry ke kejati aja.”
“Di ruang apa?”
“Ya kesini aja.”
“Ferry ke sana sekarang pa.”

Kelas kusudahi, “Saya harus ke kejati, kalian pelajari sisa perkuliahannya, kita ketemu lagi saat UTS (Ujian Tengah Semester), bahan ujian dari awal pertemuan hingga hari ini.”

Saya kontak A’Iyang, kakak pertama.
“A, ke kejati sekarang. Kita ketemu disana, apa kayanya ditahan.”

Sampai kejati mobil tahanan sudah menunggu dengan pintu belakang terbuka, banyak wartawan bersiap. “Nggak beres ini, kenapa banyak sekali wartawan?” batin saya. Di luar saya bertemu Gusti Endra, pengacara kami, sedang menerima telpon.
“Di dalam Fer,” katanya.

Saya bergegas ke dalam, meninggalkan wartawan yang sepertinya sudah tahu Ahmad Rivai dan Aman Sukarso akan ditahan. Saya lihat ada Ferli, wartawan Banten Raya Pos, masih Group Jawa Pos, saya salami dan segera masuk. Saya sapu seluruh lantai satu kejati, “Dimana ruang pidana khusus,” batin saya lirih, saya pernah menyampaikan undangan seminar eksaminasi publik dan mendampingi kawan saat menjadi saksi ahli di ruang kasi pidsus, tapi dimana letaknya, saya lupa.

Kembali ke luar saya tanya Gusti, “Dimana apa?”
“Di dalam,” ia baru selesai menelpon.
Kami berdua ke dalam. Masuk ke sebuah ruangan dimana banyak staf jaksa di sana. Ada seorang yang berpakaian safari lengan pendek rapih.

“Ini putranya pak Aman, ini pa Yunan Fer, aspidsus,” papar Gusti, mengenalkan.
“O, Yunan Harjaka?” saya salami, selama ini saya mengenalnya lewat harian lokal Banten saja, namanya sering muncul menghiasi berita.

Saya langsung menuju ke dalam ruangan kasi pidsus, dimana ayah saya berada. Yunan saya hiraukan sebagaimana ia menghiraukan saya. Saya salami apa, pa Rivai dan seluruh jaksa di ruang itu, ada Sukoco, Edi Dikdaya dan M Hidayat.
“Gimana pa?”
“Aspidsus gak tegas ngomongnya tapi kayanya ditahan Fer,” paparnya.
“Saya harus temui aspidsusnya,” batin saya.

Kembali ke ruangan sebelumnya saya hampiri Yunan
“Pak Yunan, saya Ferry putera pak Aman, saya ingin bicara, terserah bapak, disini atau di ruangan lain,” pinta saya.
Sekitar dua detik ia berdiam
“Di ruangan saya saja,” kami masuk ruangan aspidsus. Pintu ditutup.
“Bagaimana ini kemungkinannya, ditahan?”
Ia bicara kesana kemari tapi mengisyaratkan akan adanya penahanan.
“Saya minta tolong bapak untuk mengupayakan agar ayah saya tak ditahan, apa yang dikhawatirkan KUHAP kan selama ini tidak terjadi dan berlebihan jika tetap dilakukan penahanan: melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan kembali, lagi pula kan sudah ada surat jaminan dan permintaan untuk tidak dilakukan penahanan, dari ibu,” papar saya.

“Ibu siapa,” tanya Yunan
“Ibu saya, istri Aman Sukarso,” jelas saya.
“Ya alasan kan ada alasan objektif dan subjektif, permohonan itu sudah kita sampaikan ke kajati, ini kan kewenangan kajati,” papar Yunan.
"Ya saya faham, tapi saya minta tolong bapak untuk mengupayakan lebih untuk mempertimbangkan,” pinta saya lagi.
“Kita sudah upayakan pertimbangan permohonan itu, kita sampaikan, tapi ini kan kewenangan kajati,” ujar Yunan lagi.
Dahi saya mengerut, “ada yang nggak beres ini, Yunan ini aneh, ia kemudian selalu berlindung di kewenangan kajati, padahal kajati hanya tinggal menandatangani, usulan penahanan bagaimanapun berawal dari bawah, aspidsus, penahanan ini kok terkesan dipaksakan, padahal alasan yuridis selesai kita bahas, dan kini ia masuk ranah alasan subjektif,” batin saya

Saya menangkap kesan Yunan tak kooperatif dan tak punya itikad baik untuk membantu. Maka obrolan beralih ke hal-hal ringan.
“Bapak ini (Aman sukarso.pen) sekda ya?” tanyanya
“Mantan,” kata saya
“Sekarang apa?” tanyanya lagi
“widyaiswara, pengajar pada diklat-diklat,” jelas saya.
Yunan menganggukan kepala.

Saya menyesal sekali tak menjelaskan latarbelakang apa sebelum menjadi sekda, ketika ia menjadi mantri polisi di Kasemen, Camat Taktakan, Cikande, Serang dan beberapa lagi di Serang, Kabag Pemerintahan, Kabag Pembangunan, Sekretaris Dewan, Catatan Sipil, Asda II, Kepala Bappeda sebelum akhirnya menjadi Sekda.
Saya menyesal tak menceritakan bagaimana ia memimpin dengan hati, berhati-hati dan dicintai warganya. Hingga kini, hubungan baik dengan tokoh masyarakat Taktakan, Kramatwatu, Kasemen, Waringin Kurung tetap terjalin. Seandainya Yunan tahu begitu banyak air mata menetes saat orang-orang membesuk dan memeluknya.
Tapi yang jelas ia tak mengenal ayah saya, dan tanda tanya besar memenuhi benak saya, kenapa ia menanyakan status sekdanya? Belakangan motif penahanan itu saya ketahui, setelah alasan yuridis tak masuk akal jika dikenakan pada ayah saya

Gesture Yunan mengisyaratkan pembicaraan kami selesai.
“Pak, kalau bapak lihat berkasnya secara jelas persoalan ini clear, 5 milyar itukan sudah dianggarkan dari blockgrant pemprov, dan ketika block grant itu turun, ya dibayarkan karena memang peruntukkannya untuk jalan Pasar Induk Rau (PIR).
“5 milyar?” tanyanya.
Kening saya mengernyit, cerita saya melanjutkan.
“Barusan siang ini, Pak Mirdedi ditelpon Polda, bahwa kesaksian ahli Mirdedi untuk kasus PIR tak jadi dipakai dan diganti, kenapa diganti? Polda tak menjelaskan, tapi yang jelas kesaksiannya cenderung menyatakan unsur korupsi kasus ini tak terpenuhi. Dari awal saya tak pernah mengintervensinya, Mirdedi bahkan mengetahui saya anak Aman Sukarso setelah ia diperiksa polda sebagai saksi ahli dalam perkara PIR. Pulang dari Polda baru ia menghampiri saya dan mengatakan pendapatnya,” papar saya.

“Diganti dari mana,” tanya Yunan
“Loh kan ada di berkas?” saya balik tanya.
“Oya,” iya mengangguk dan menyudahi pertanyaannya ketika ia tahu saya menyadari bahwa ia tak begitu memahami kasus posisinya, saya menangkap keterkejutannya.
“Mungkin saksi ahli untuk kasus lain, kan banyak, ada KP3B,” sambung Yunan.
“Nggak, untuk kasus ini, saya tahu kok,” jawab saya.
“Kok baru ditelpon siang ini, berkasnya kan sudah seminggu lalu ada di kita?” tanyanya menyerang informasi saya.
“Ya itu urusan penyidik, kerjaan Karmana itu, dia baru telepon siang ini,” jawab saya.

Saya sudahi pembicaraan yang tidak produktif itu, tapi saya mendapatkan banyak hal dan kesimpulan yang sangat penting, Yunan menunjukkan kesalahan fatalnya, kelak sepekan kemudian saat saya di Bandung bertemu dengan kawan-kawan NGO WJCW (West Java Corruption Watch) dan GeRAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) Indonesia, saya semakin tahu alasan penahanan ayah saya dan juga Ahmad Rivai. Sebab di media cetak dan elektronik Yunan selalu bicara atas nama hukum, seperti di Seputar Indonesia edisi Rabu 09/04/2008, Ia menyatakan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, sebab kedua tersangka itu dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, melarikan diri bahkan mengulangi perbuatan.

Persoalan yuridis di atas kandas kami bahas di ruangannya, karena ia orang hukum maka saya ajak bicara hukum. Barang bukti seluruhnya ada di BAP. Mengulangi perbuatan? statusnya saja sekarang bukan sekda, kewenangannya sangat terbatas sebagai widya iswara, melarikan diri? harusnya ada dasar yang kuat jika dasar penahanan ini akan dipakai. Kasus ini telah di Polda sejak akhir 2005 awal 2006, selama proses penyidikan selalu kooperatif dan tak melarikan diri. Yunan beresiko meruntuhkan reputasinya sendiri sebagai orang hukum. Penahanan dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan, namun hingga 11 hari di rutan tak ada panggilan ke kejati untuk pemeriksaan lebih lanjut, Lalu pertanyaannya untuk apa ditahan? Kecuali jika Yunan membaca tulisan ini dan segera memperbaiki kecerobohannya dengan melakukan pemanggilan guna kepentingan pemeriksaan sebagai upaya pemenuhan dasar filosofi penahanan, maka bolong dan kelalaiannya tertambal.

Hal-hal seperti ini yang dikhawatirkan Prof Tb Ronny Nitibaskara, persoalan aparat penegak hukum kita masih punya kelemahan dalam hal profesionalitas. Dalam tulisan lain saya akan paparkan lebih banyak soal ini. Tapi ini jadi persoalan tersendiri manakala saya membahas soal aparat penegak hukum dan korupsi, (meminjam judul tulisan prof Ronny "Polisi dan Korupsi"), tulisan yang sudah saya siapkan sebelum musibah yang menimpa ayah saya. Bagaimanapun orang akan mengaitkannya dengan persoalan domestik saya. Tapi paling tidak, jikapun tak muncul di koran, ya minimal di blog ini.

No comments: