Monday, March 04, 2024

Mendadak Dekan

Selasa 5 Desember 2023, dilantik jadi pejabat kampus. Panjang ceritanya biar kusingkat saja dalam dua kata, mendadak dekan. Saya memandangnya dalam dua perspektif, pertama sebagai jabatan ya biasa-biasa saja, sesuatu yang tidak asing, seperangkat fasilitas, sebagian besar orang mendadak hormat, standar, ya begitu-begitu saja, sesuatu yang tak abadi, tapi ya tetap saja ajaib saat Allah berkehendak memberi kekuasaan, mencabut kekuasaan, ajaib, tetiba diangkat derajatnya. Kedua sebagai amanah, nah, yang satu ini agak mengerikan, karena semua tindakannya akan dipertanggungjawabkan, terutama di kehidupan setelah kematian. Pada bagian amanah inilah tantangannya lebih terasa. Ada banyak hal yang segera terlihat harus dibenahi. Ini yang membuat saya dan juga semua wakil dekan, paling tidak di awal tiga bulan ini mesti pulang beriringan dengan senja yang temaram. Kadang-kadang saya harus cukupkan rapat dekanat, masih ada esok hari, live today fight tomorrow dalam peribahasa asing, tempur lagi besok.

Pada bagian inilah waktu tersita, sebagai konsekwensi mengikat sumpah tuk wakafkan diri. Jalan satu bulan saya mulai sadari pola waktu berubah, segera menggaris whiteboard dibagi 2/3 dan sepertiga. Dua pertiga urusan publik, sepertiga urusan privat. Prof Topo Santoso tersenyum hampir ketawa saat bertemu di Bandung, mantan Dekan FH UI itu cerita hanya sisa seperenam saja sebetulnya waktu privatnya. Saya memang sudah niat mau menemui Prof Topo untuk sharing kilat meminta pengalamannya memimpin FH UI saat menjabat dekan, takdir mempertemukan kami di Unpar Bandung. Ia merekomendasikan buku Hari tanpa Jeda, buku pengalaman saat ia menjadi dekan. Prof Topo benar tentang sisa waktu me time hanya seperenam, saya punya deadline Januari untuk submit artikel berbahasa Inggris, artikelnya sudah ada, jurnal sudah disediakan, terlewat, terpaksa harus cari jurnal lain. Di Maret ini saya ada deadline lain, tulisan lengkapnya belum jadi, tentang pidana mati di Indonesia pasca KUHP baru disahkan yang pernah saya presentasikan dalam kuliah tamu di Kanazawa University. Dalam perspektif dosen-dosen Jepang, pengaturan baru tentang pidana mati sangat menarik meski tak lepas dari kritik. Selama ini Jepang melihat pidana mati hanya hitam dan putih, perspektif abolisionis dan retensionis, Indonesia menawarkan jalan tengah, dan oleh karenanya diminta untuk ditulis dalam Kanazawa Law Review, agar menjadi diskursus baru di Jepang. Ini sudah Maret, nampaknya akan lewat lagi. Ini bahaya, seperti menggali kubur sendiri. Hingga rumah biasanya sudah lelah, kadang manja yang menyamar sebagai lelah. Tak bisa dibiarkan, ini kali pertama mulai menulis lagi mengawali pola baru yang segera harus dilakukan penyesuaian. Waktu efektif untuk urusan pribadi hanya malam atau akhir pekan. Beberapa hari yang lalu ada permintaan review di email, tertanggal 27 Februari 2024, lalu kemudian jurnal yang lain pun muncul di email tentang hal yang sama. Hari ini ada ada request baru menjadi reviewer dari sebuah jurnal di salah satu univ di Bandung. Saya harus segera meresponnya. Begitu kira-kira. Tulisan ini mengawali bahwa harus ada waktu untuk tetap memenuhi ruang pribadi, menulis, mereview dll, harus segera ditemukan pola keseimbangannya. PR FH Untirta sudah tergambar, prioritasnya sekarang itu. Urusan pribadi dikerjakan di sela waktu, sisa-sisa energi. Tantangannya adalah harus tetap produktif, lets see, sampai berjumpa di tulisan selanjutnya. Ngantuk, kita sudahi dulu.

 

Cipocok, 5 Maret 2024, 02.03 AM

Thursday, March 09, 2023

Empat Puluh Dua

Ada masa, khususnya saat kuliah di Unila, dimana setiap 15 Februari, saya akan menepi sejenak, mengingat hari lahir, mengevaluasi setahun terakhir, dan berharap setahun ke depan akan lebih baik. Tapi sejak menikah tradisi itu tak lagi dirasa penting. Walau tiap tahun nyonyah dan anak-anak pasti buat kejutan, nasi kuningkah, cheesecake, atau apa saja, pasti ada kejutan. Tapi saya melewatkan momen tahunan tersebut. Saat menginjak usia 40, ada rencana membuat tulisan, sebagai pengingat. Life begins at 40 kata orang, fase dimana manusia harus berhati-hati. Di usia ini, ada kecenderungan karakter manusia akan membentuk warnanya dan relatif tak berubah hingga hari akhirnya, cerminan karakter permanen. Di fase ini juga kabarnya puber kedua tiba, usia 40 tapi kelakuan kembali ke 17. Nah saya masuk ke 42 pada 15 Februari 2023 lalu , ini tulisan seharusnya dibuat saat 40, tapi seperti biasanya, lewat. 

Seperti biasa nyonyah kasih kejutan kemarin, dikadoi sepatu yang kini hampir dipake setiap keluar rumah. Aisyah menulis ucapan yang mengharukan berbahasa Inggris. Beberapa mahasiswa menjapri. Saya seperti biasa, ya biasa-biasa saja. Meski sekarang saya rasa tradisi lama baik untuk dilakukan lagi, maka jadilah tulisan ini, ditemani detik jam malam di hening malam. 11:41 PM jam laptop menunjukkan.

Saya menyadari sisa usia semakin berkurang, menuju kepulangan. Bagian ini yang menjadi misteri. Kebanyakan orang Indonesia mematok usia standar di 63 berkaca pada usia Nabi. Maka biasanya orang Indonesia yang lebih dari 63 menanggapnya sebagai bonus. Tapi masalahnya tentu tak ada jaminan hingga 63. Sebagian teman sudah berpulang, di 40, di 35, di 47. Saya di angka berapa? Waktu kita sesungguhnya tak banyak. Kebanyakan orang ditanya pasti belum siap, belum cukup bekal. Kapan cukupnya, harus didesain untuk selalu siap. Jadi hasil kontemplasi malam ini, saya kira, agar mengefektifkan waktu, lebih produktif karena kita tak tahu kapan pulang, harus serius dalam mengumpulkan bekal pulang, mesti punya cita-cita bertemu nabi dan Allah, mesti serius dan tulus, serius ini. Begitulah ya, kita jalani dulu, terdekat ya pasang ulang alarm jangan sampai kesiangan. Be productive, be ready. Harus sampai pada titik pede seperti Muhammad Ali, get ready to meet God. Okelah, kita lihat setahun ke depan ya, sampai jumpa di tahun depan.

Cipocok Jaya, 9 Maret 2023. 11.56 PM