Sunday, August 10, 2008

Suatu Hari di Lawang Sewu


Tanggal 23 Juli 2008 lalu saya menyempatkan diri mengunjungi Lawang Sewu di sela-sela agenda daftar ulang Progam Pascasarjana Magister Hukum (PPMH) Universitas Diponegoro (Undip). Bagian keuangan dan administrasi program pascasarjana sepi. Ada acara wisuda Undip selama dua hari (23-24/7). Waktu pelayanan administrasi dibuka mulai pukul 14.00. Hari masih pagi dan pukul 14.00 masih lama. Saya mengajak (pak) Ridwan, rekan kerja saya di FH Untirta yang juga diterima di PPMH Undip ke Lawang Sewu. Ia setuju. Kami berangkat. Menyetop bis menuju Krapyak. Turun di daerah persimpangan. Kenek menyebutnya daerah gereja atau Lawang Sewu.

Tadi subuh, sekitar pukul tiga pagi, sopir taksi yang kami tumpangi bercerita tentang Lawang Sewu. “Lawang Sewu tuh istananya lelembut, segala jenis lelembut ada di situ, genderuwo, kuntilanak, sebab dulu banyak orang kita dibunuhi di sana. Kalau sampeyan nggak percaya ya masuk aja,” paparnya.

Kami berdiri di pintu masuk. Bibir saya bergerak menggumamkan doa nabi “a’udzu bi kalimatillahi tammati min syari ma halaq,” Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan mahluk yang diciptakanNya.
Nuansa angker memang terasa berhembus. Orang Sunda bilang keeung. Bangunan Lawang Sewu tinggi besar, simetris dan subhanallah, indah. Innallaha jamil yuhibul jamal, sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Manusia telah diciptakan mencintai keindahan, built in dalam dirinya. Hal yang membuat Lawang Sewu menjadi seram adalah karena sepi dan sudah sangat lama tak ditempati. Dingin dan lembab. Mungkin karena langit-langitnya yang tinggi. Yang jelas mesti ada jin di tempat ini.

Sejarah Lawang Sewu
Lawang Sewu berarti seribu pintu. Namun sebuah referensi menyatakan jumlah pintu di Lawang Sewu tak sampai seribu. Namun karena jumlah pintunya yang banyak maka gedung ini dinamakan Lawang Sewu. Hampir tiap ruangan memiliki empat pintu. Dua pintu untuk keluar masuk, dua pintu lagi berfungsi sebagai penghubung ruangan.
Arsitektur Lawang Sewu bergaya Eropa. Mirip bangunan gereja. Arsiteknya Prof. Jacob K. Klinkhamer dan B.J. Oudang. Didirikan 1904 dan diresmikan pada 1907. Lawang Sewu terdiri dari dua bangunan utama. Bangunan kedua yang menjadi bangunan utamanya dibangun tahun 1916-1918.

Lawang Sewu untuk pertama kalinya digunakan untuk kantor NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij). Pada 27 Agustus 1913 menjadi milik PT KAI (Kereta Api Indonesia) (kapan PT KAI berdiri?). Pada masa penjajahan Jepang, Lawang Sewu diambil alih. Ruang bawah tanah Lawang Sewu disulap menjadi penjara bawah tanah, di sinilah orang-orang pribumi Indonesia dipenjara. Ada penjara jongkok—dikurung dengan posisi jongkok, bagian atas ditutup terali besi sehingga tak dapat berdiri. Satu kotak penjara jongkok berukuran 1,5x1,5 meter, diisi 4-5 orang. Banyak orang kita yang kemudian mati di penjara jongkok karena kehabisan oksigen. Ada juga penjara berdiri, berukuran 2x0,7 meter. Satu penjara berdiri diisi 5 orang, berdesakan dan sulit bergerak. Konon kabarnya banyak juga yang mati di penjara ini. Mati berdiri. Ridwan saya minta untuk berpose di dalam penjara berdiri. Ada lagi sebuah ruangan yang lebih tragis. Ada bekas besi di dasar lantai. Menurut Novi, guide ruang bawah tanah, bekas besi tadi adalah bekas kaki meja. Di meja tersebut, banyak orang-orang kita dipenggal oleh pedang samurai. Mayat dan potongan kepalanya dihanyutkan ke sungai melalui pintu yang menyerupai pintu got.
Ruang bawah tanah ini pernah digunakan sebagai lokasi acara Uka-uka, reality show menguji nyali di sebuah stasiun televisi swasta. Seorang peserta perempuan tak kuat hingga pingsan, ada penampakan seorang perempuan entah siapa di sebuah pintu. Novi meminta saya dan Ridwan mematikan lampu senter kami di dekat lokasi munculnya penampakan, “Beginilah kira-kira suasana saat acara uka-uka tersebut.” Suasananya memang mencekam, gelap, lembab, dingin. Tangan di depan matapun tak kelihatan.

Untuk masuk ke ruang bawah tanah, anda harus membayar Rp 6.000,- sebagai sewa sepatu bot dan lampu senter. Ruang bawah tanah gelap, becek dan terkadang banjir semata kaki. Jika banjirnya parah, pompa air akan dinyalakan untuk membuang air ke luar. Fungsi utama ruang bawah tanah sebenarnya digunakan sebagai daerah resapan air. Pipa-pipa besi masih tersusun dan terhubung rapih di ruang bawah tanah. Orang Belanda memang jagonya mengelola air.

Setelah pernah dikuasai Jepang, Lawang Sewu kemudian pernah dijadikan markas Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro. Sisa-sisa Kodam Diponegoro masih ada di lantai paling atas, loteng, yang tampaknya digunakan untuk markas utama, karena strategis untuk melakukan pemantauan. Dinas Perhubungan Semarang kemudian sempat juga menempati Lawang Sewu sebagai kantor. Sisa-sisa yang ditinggalkannya hanya terlihat pada plang toilet, masih tertulis di atas pintu toilet: kabag, staf dll.

Lawang Sewu kemudian sempat akan dijadikan sebuah hotel oleh Tommy Soeharto dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Namun Soeharto, Ayah Tommy dan Tutut, tumbang dari tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia pada 1998. Rencana pembangunan hotel urung dilakukan.

Lawang Sewu kini berstatus milik PT KAI, namun pengelolaan sehari-harinya diserahkan pada keluarga Kodam Diponegoro yang tinggal disekitar areal Lawang Sewu. Uang hasil kunjungan wisatawan dikelola mandiri untuk perawatan ringan Lawang Sewu semisal kebersihan dll. Lawang Sewu memiliki kuncen, Mbah Ranto namanya, umur 66 tahun, mantan pasukan kavaleri Kodam Diponegoro. Sebelumnya ada dua kuncen, Mbah Ranto dan Mbah Tunggul? (Saya lupa namanya, catatan saya hilang). Saat saya di Lawang Sewu, Mbah Tunggul baru meninggal dua pekan yang lalu.

Tak seluruh ruangan berhasil saya datangi, terlalu banyak pintu, terlalu banyak ruang, terlalu sedikit waktu. Masih banyak yang menarik di sini, masih banyak detail yang belum dituliskan.
Ridwan diapit guide Novi dan Wiwi

No comments: