-Analisa kriminologis atas pelaksanaan UN-
*Ferry Fathurokhman
Sebenarnya tulisan ini dibuat untuk melengkapi tulisan Firman Venayaksa, Hantu Pendidikan itu Bernama UN (Radar Banten, 12/5). Tapi kalau saya sebut sebagai pelengkap, ada kemungkinan Firman akan misuh-misuh karena mengesankan tulisannya sebagai sesuatu yang tak utuh, repot lagi nanti saya kalau bertemu dengannya. Maka tulisan ini menjadi lebih tepat sebagai analisa kriminologi atas pelaksanaan UN, karena UN menjadi persoalan tersendiri ketika banyak menghasilkan kejahatan baru yang dilakukan guru, sebuah hal yang tragis.
Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya saya menceritakan proses UN yang saya alami. Tahun ini saya menjadi Tim Pemantau Independen di SMAN 1 Cikeusal Serang. UN berjalan lancar, soal diambil pukul 5 subuh di sub rayon, tersegel hingga sampai di kelas. Selesai dikerjakan lembar jawaban disegel dalam kelas, diserahkan pada panitia dan segera melesat menuju Dinas Pendidikan Kabupaten Serang dikawal pemantau dan aparat kepolisian. Semuanya lancar, tak ada kecurangan, kecuali bisik-bisik beberapa peserta sebagai wujud tak percaya diri saat UN. Mencontek model lama seperti itu saya kira cerminan bangsa kita atas ketidakpercayaan diri dan sulitnya berlaku jujur, bahkan pada diri kita sendiri.
Kecurangan UN yang fatal justru saya temukan tahun lalu saat menjadi pemantau di sebuah SMP di Kragilan, Serang. Saat UN selesai di hari pertama, saya mendahului pulang karena ada satu keperluan. Menjelang pulang, Lembar Jawaban UN (LJUN) sudah disiapkan untuk diantar ke sub rayon, dimasukkan dalam sebuah mobil berjenis kijang. Besoknya saya mendapat laporan LJUN terlambat sampai di sub rayon, telat 1,5 jam. Padahal waktu tempuh dari SMP ke sub rayon tersebut hanya sekitar 5 menit perjalanan bermobil. Berarti ada kemungkinan setelah saya pulang LJUN tak segera diantar, tapi diturunkan untuk merevisi jawaban siswa.
Modus Operandi
Modus kecurangan seperti diatas adalah modus umum yang sering berulang, tak terkecuali di tahun ini. Modus umum lainnya yang juga terjadi adalah bocornya soal dan pembahasan soal cadangan oleh guru untuk kemudian disebarkan kunci jawabannya melalui handphone (HP)—meski ditetapkan HP tak boleh berada dalam kelas, beberapa lolos dari pengawasan. Modus lainnya adalah adanya ‘tim sukses’ di tiap sekolah. Tim sukses ini terminologi untuk sebuah kepanitiaan khusus untuk menargetkan 100% kelulusan siswanya. Sebuah informasi kolega menyebutkan di beberapa propinsi tahun ini ‘tim sukses’ berpindah ke tingkat propinsi. Hal ini bisa dipahami karena propinsi dengan persentase kelulusan yang kecil akan menjadi sorotan pemerintah pusat. Sehingga muncul kepesimisan aktivis pendidikan terhadap efektivitas UN : ditargetkan lulus 100%pun bisa saja, lha semuanya bisa diatur. Saya kadang berfikir kita ini kok dalam beberapa hal mengambil porsinya Tuhan, menentukan nasib orang semaunya, naïf sekali.
Bagi kriminologi, persoalan kecurangan dalam UN tak berhenti pada titik modus operandi. Tapi lebih jauh lagi yang lebih penting adalah dengan memunculkan pertanyaan kenapa kecurangan itu bisa terjadi? Kenapa guru yang katanya digugu ditiru, pahlawan tanpa tanda jasa, sosok panutan dan sebagainya bisa melakukan kecurangan dalam UN? Kenapa beberapa guru kini menjadi tersangka dalam hal kecurangan UN?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami konsep kejahatan terlebih dahulu. Dalam konsep kriminologi, kejahatan dapat dibedakan ke dalam dua kategori umum. Mala in se dan Mala in prohibita. Mala in se adalah kejahatan dalam arti sosiologis, kejahatan dalam perspektif masyarakat di sekitarnya. Sebuah kejahatan tetaplah kejahatan meskipun tidak dituliskan dan ditetapkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Sementara mala in prohibita adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut dirumuskan, ditulis dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Persoalan kecurangan dalam UN ini harus dipahami secara menyeluruh sebagai akibat dari suatu kebijakan yang kemudian menjadi sistem universal yang diterapkan. UN kemudian—seperti ditulis Firman—menjadi berhala pendidikan. Angka 5,25 menjadi hantu yang membayangi setiap siswa, orang tua, bahkan guru. Sehingga dalam konteks sosiologis wajar kemudian guru berupaya keras agar seluruh siswanya lulus dalam UN. Tidak ada guru yang senang melihat anak didiknya tak lulus. Guru manapun akan sedih manakala melihat ada siswanya yang tak lulus. Maka berbagai cara dilakukan, dari diadakannya try out UN berkali-kali hingga pada cara-cara yang tidak dibenarkan. Dalam konteks mala in se, boleh jadi kecurangan yang dilakukan oleh guru dapat ditolerir oleh masyarakat. Saya katakan boleh jadi, karena yang namanya kejahatan itu—khususnya mala in se—relatif, sangat bergantung pada persepsi masyarakat setempat. Semua orang paham bahwa guru melakukan perbuatan tersebut bukan untuk dirinya, tapi dalam rangka membantu siswa. Meskipun dalam konteks mala in prohibita, perbuatan kecurangan dalam UN tetap tidak dibenarkan dan merupakan kejahatan akademis. Tapi saya kira, hal-hal diatas dapat dijadikan pertimbangan para penegak hukum dalam memproses guru yang disangka melakukan kecurangan dalam UN.
Dalam beberapa hal, kebijakan yang dibuat pemerintah memang dapat menimbulkan faktor kriminogen. Terlebih jika kebijakan itu tidak dirumuskan dengan matang. Ambil contoh BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai kompensasi dicabutnya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak). Ketika BLT digulirkan kita menyaksikan banyak penjahat baru, oknum aparat yang ‘menyunat’ santunan, dan yang lebih fatal dan parah adalah orang berbondong-bondong berebut menjadi miskin demi mendapatkan Rp 100 ribu perbulan tanpa bekerja. Kefatalan kebijakan itu adalah mengajarkan dan menanamkan mental pengemis pada bangsa kita.
Demikian halnya dengan UN yang kini menjadi berhala pendidikan. Kita mengabaikan proses, berorientasi pada nilai. Proses belajar selama tiga tahun dinafikan. Ada pengabaian nilai-nilai humanisme dalam UN. Padahal masing-masing orang punya potensi yang berbeda. Ada yang menyenangi matematika tapi tak begitu berminat pada bahasa. Ada yang senang dengan bahasa tapi tak ‘bernafsu’ pada matematika. Tetapi karena UN, potensinya sebagai pakar matematika, diplomat, negosiator ulung negeri ini terhambat bahkan terancam kandas.
Wakil Presiden Yusuf Kalla pernah berujar bahwa standar nilai di Malaysia lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Benar, tetapi yang jangan kita lupa adalah banyak faktor lain sehingga kita tak bisa mengadopsi sistem secara parsial. Kita masih punya banyak persoalan di sarana dan prasarana pendidikan, infrastruktur, kesejahteraan guru, masih banyak guru yang belum tersertifikasi dan banyak lagi. Saya kira sudah saatnya kita mendekonstruksi UN dengan menawarkan konsep yang tetap bertujuan pada kualitas pendidikan tanpa mengabaikan sisi humanisme dengan perumusan yang lebih matang. Dan yang paling tepat melakukan itu adalah orang-orang pendidikan seperti Firman misalnya, karena ini adalah ranahnya. Sebab kalau saya teruskan tulisan ini jadi salah, repot lagi nanti saya kalau bertemu dengannya. Wallahualam bi showab.
*Dosen kriminologi FH Untirta, Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan anggota Mazhab Pakupatan .
No comments:
Post a Comment