Monday, June 02, 2008

Mari Bicara Fakta dan Nurani


Sidang kedua apa digelar hari ini, Senin (2/06). Sidang yang diagendakan pukul 10, molor hingga pukul 12.20 Wib. Semua sudah siap, jaksa (Sukoco dan M Hidayat), penasehat hukum (Gusti, Rivai, Anwar Supena, Zulfikar dan Efran yang datang terlambat), Apa dan Ahmad Rivai, audiens yang mulai resah. Hidayat kemudian melepas jubah JPU, membakar sebatang rokok diluar ruang sidang. Sukoco kemudian menyusul keluar. Gusti melepas jubah advokat dan terlihat ngobrol dengan Hidayat dan Sukoco.
Saya kemudian menuju kedua JPU tersebut. Kami bertiga bertemu, Gusti entah kemana. Saya memperkenalkan diri sebagai Ferry, putera Pak Aman.
Hidayat menyambut
"O yang dosen Untirta ya."
"Ya beberapa teman-teman fakultas hukum juga datang," jawab saya.
"Bapak katanya sakit?"
"Ya, gulanya naik 450, dr Budi (direktur rumah sakit) mengetahuinya," papar saya.
"Kenapa nggak dari dokter rutan, kan harus ada izin dari pengadilan?"
"Saya pribadi yang minta general check up ke dokter rumah sakit, bapak biasanya juga cek ke dr Ika (dokter rutan), tapi saya menginginkan cek up secara keseluruhan," jelas saya.
"Besoknya bapak periksa darah ke dr Ika, gula darahnya turun jadi 302, dr Ika kaget, karena 300 pun masuk kategori tinggi, silahkan konfirmasi ke dr Ika di rutan atau dr retno (dr rumah sakit) yang memeriksa apa." lanjut saya.
"Sebenarnya gimana kekuatan fisik orangnya, kadar gula tidak terlalu jadi penentu," Sukoco ikut bicara.
"450 tuh tinggi pak, bapaknya temen saya (Rudi) drop pada angka 400, mertua saya drop pada angka 550, jadi kita nggak bisa prediksi kekuatan dia, ya betul kata pak Sukoco tergantung orangnya, tapi kita kan gak tau samapi angka mana kekuatannya," jawab saya.
"Ibu gimana?" tanya Sukoco.
"Ibu makin kurus, tinggal tulang, matanya bengkak, nangis terus, banyak diem, nggak semangat."
"Ya kita juga udah dengar, kabarnya begitu."
"Saya nih bingung ngasih taunya, gimana caranya supaya percaya, bapak cek sajalah ke rumah, kejati punya asintel ada jajarannya, silahkan cek ajalah," jelas saya, kedua jaksa terdiam.
"Kita nih anak-anaknya terkonsentrasi di dua hal itu, menyemangati ibu dan juga menjaga bapak, bagi saya dan keluarga persoalan salah benar itu sudah selesai, kalau salah ya harus dihukum, nabi mengajarkan soal itu, tapi ini kan nggak, saya tahu betul kasus bapak, tolong lihat kasus ini secara komprehensiflah, teliti dengan benar, mangga, silahkan," papar saya lagi.

Saya mencoba mengetuk nuraninya, setiap manusia diberi otak dan hati, begitupun kedua jaksa ini. Persoalannya yang punya hati bukan saya, bukan pengacara, bukan hakim, tapi gusti Allah. Maka saya beberapa hari ini meminta padaNya untuk melembutkan hati, melihat persoalan ini dengan jernih.

No comments: