Monday, June 09, 2008

Jemaah Ahmadiyah Menangis

Seorang ibu tua mengenakan mukena menangis dalam shalat berjamaah di sebuah masjid Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. Beberapa anak-anak berdo'a dengan muka sedih. Lelaki tua tampak bingung dengan nasibnya. Jemaah Ahmadiyah berencana mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung karena SKB tentang Ahmadiyah bertentangan dengan UUD 1945. Saya menyaksikannya malam ini dalam pemberitaan sebuah stasiun televisi swasta.
Bagaimana perasaan saya?
Persoalan SKB ini bukan persoalan menang kalah. Tapi persoalan akidah yang harus diluruskan. Bagaimana perasaaan saya?
Sedih. Saya terenyuh melihat ibu dan lelaki tua juga anak-anak. Mereka menangis karena mereka percaya akan ajaran Ahmadiyah. Mereka menangis karena nasib Ahmadiyah ada dalam sepotong surat bernama SKB yang ramai dibicarakan orang. Mereka sadar merekalah yang sedang dibicarakan. Mereka dijadikan komoditas politik. Ada yang sedang tertawa-tawa dalam insiden monas.
Ini juga bukan persoalan mereka dan saya. Kamu dan aku. Bukan. Ini persoalan ketidaktahuan tentang Islam. Lihat wajah polos si ibu. Lelaki tua dengan guratan lelah di wajahnya. Anak-anak yang tuturut munding.
Saat malaikat kesel atas ulah seorang kafir quraisy yang menumpahkan kotoran unta pada punggung nabi ketika sedang bersujud di depan kabah. Nabi tak bisa bangun hingga Fatimah putrinya menemukan, membersihkan dan bersedih. Malaikat menawarkan dan bersiap menimpakan gunung pada orang-orang yang menyakiti nabi yang segera dicegah nabi "Jangan, mereka melakukan ini karena ketidaktahuannya."
Demikian dengan Jemaah Ahmadiyah. Mereka harus diberitahu. Wajib bagi kita untuk menyampaikan kekeliruannya. Para petinggi Ahmadiyah menafsiri Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Mengambil ayat-ayat dan hadist tentang Nabi Isa AS. Mereka saudara kita yang harus diingatkan. Khususnya para warga yang karena ketidaktahuannya mengikuti Ahmadiyah. Para ibu, bapak dan anak-anak. Anak-anak yang kelak akan menggantikan para pemimpin sekarang. Pewaris negeri ini.

No comments: