Friday, June 19, 2009

Prita dan Keadilan yang Terkoyak.

Tulisan ini dikirim ke Fajar Banten dah lama. Saya nggak bisa mantau apa dimuat atau tidak. Fajar Banten belum mempunyai situs jaringan.

Ferry Fathurokhman*

Barangkali benar apa yang pernah ditulis Satjipto Rahardjo, Indonesia adalah laboratorium hukum yang luas dan menarik untuk dikaji. Banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia yang justru keluar dari cita-cita hukum itu sendiri. Kasus penahanan atas Prita Mulyasari adalah salah satu kasus 'aneh' yang terjadi di Indonesia. Peristiwa penahanan Prita telah menarik perhatian masyarakat luas. Kasus ini telah banyak diliput media, baik lokal maupun asing

Kasus Prita menjadi kasus menarik karena pengutaraan ketidakpuasannya terhadap pelayanan rumah sakit malah berbuntut penahanan terdahap dirinya. Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang per 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang. Namun simpati masyarakat, lembaga dan juga tokoh nasional yang mengalir deras membuat status tahanan Prita akhirnya dialihkan menjadi tahanan kota pada Rabu (3/6) lalu setelah 21 hari mendekam di LP Wanita Tangerang.

Kasus hukum yang menimpa Prita berawal dari ketidakpuasannya saat ia mengalami sakit dan berobat ke Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Pihak RS Omni mengatakan hasil laboratorium menunjukkan bahwa trombosit darah Prita 27.000, sementara nilai normalnya adalah 200.000. Hasil tersebut membuat Prita dinyatakan demam berdarah dan harus menjalani rawat inap di RS Omni Internasional. Belakangan hasil lab tersebut direvisi bahwa trombosit Prita 181.000 bukan 27.000. Prita meminta hasil lab pertama yang menyatakan trombositnya 27.000, tapi RS Omni tak pernah memberikannya. Selama perawatan Prita sempat mengalami pembengkakan pada leher dan menderita sesak nafas selama 15 menit hingga harus diberikan oxygen setelah mendapat suntikan dua ampul sekaligus. Prita tak mendapatkan jawaban dari suster ketika menanyakan obat-obatan yang diberikan padanya. Prita mengeluhkan pelayananan beberapa dokter dan manajemen di Rumah Sakit Omni Internasional. Hingga akhirnya Prita memutuskan untuk pindah ke rumah sakit lain.

Pengalamannya itu ia tuliskan di surat elektronik (e-mail) dan dikirimkan kepada 20 orang temannya. E-mail keluhan Prita tersebut akhirnya menyebar ke mailing list. Pihak RS Omni Tangerang telah menjawab keluhan Prita melalui mailing list dan iklan di media massa. Namun pihak RS Omni kemudian menggugat prita secara perdata dan pidana. Pada perkara perdata Prita dikalahkan dan dinyatakan melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Hakim memutuskan Prita membayar kerugian materiil Rp161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp100 juta untuk kerugian nonmateriil.

Yang menarik perhatian, dalam perkara pidana pada kasus Prita, pihak Kejaksaan Negeri Tangerang melakukan penahanan terhadap Prita. Dalam tahapan penyidikan, Prita hanya dikenakan pasal 310 (pencemaran nama baik) dan 311 (fitnah) KUHP ( (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Namun setelah berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan, jaksa menambahkan pasal 45 ayat 1 juncto pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Setelah pasal 45 ayat 1 juncto pasal 27 ayat 3 tersebut ditambahkan, pihak kejaksaan melakukan penahanan atas Prita.

Analisa Yuridis

Kita bisa menilai bahwa mungkin saja jaksa melihat peristiwa hukum ini sebagai tindak pidana kontemporer karena sarana yang digunakan dalam dugaan pencemaran baik yang dilakukan Prita menggunakan e-mail. Maka kemudian jaksa menambahkan pasal dalam dakwaannya dengan pasal 27 ayat 3 (pencemaran nama baik melalui dokumen elektronik). Pasal tersebut sebelumnya tidak dikenakan di tingkat penyidikan. Pihak kepolisian hanya menjerat Prita dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Penambahan pasal oleh jaksa tersebut dimungkinkan untuk dilakukan. Bahkan jika jaksa memandang dakwaannya masih belum sempurna, jaksa masih dimungkinkan untuk melakukan penyempurnaan sebelum hari sidang ditetapkan.

Kasus ini mulai menjadi 'aneh' manakala setelah penambahan pasal tersebut, jaksa melakukan penahanan terhadap Prita. Maka penambahan pasal yang dilakukan oleh jaksa mulai terjawab dengan analisa yuridis yang berbeda dengan penilaian sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, penahanan hanya dapat dilakukan terhadap beberapa tindak pidana yang telah ditentukan dan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih (Pasal 21 ayat 4 KUHAP). Ini berarti terhadap tindak pidana dengan ancaman penjara dibawah lima tahun tidak dapat dilakukan penahanan. Dua pasal (pasal 310 dan 311 KUHP) yang dikenakan pihak penyidik sebelumnya memiliki ancaman pidana penjara di bawah 5 tahun. Maksimal khusus ancaman pidana pada pasal 310 KUHP hanya 1 tahun 4 bulan sedangkan pasal 311 KUHP ancaman pidana penjaranya 4 tahun. Ini berarti dua pasal tersebut tak dapat membuat orang yang diduga melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam dua pasal tersebut ditahan. Maka untuk sementara, penambahan pasal yang dilakukan oleh jaksa sangat berkaitan erat dengan upaya penahanan yang dilakukannya. Sebab ancaman pidana penjara maksimal pada pasal 45 ayat 1 UU ITE adalah 6 tahun (Pasal 45 ayat 1 mengatur ancaman pidana untuk tindak pidana pasal 27 ayat 1, 2, 3, dan 4). Jaksa menambahkan pasal 27 ayat 3 sehingga penahananpun dapat dilakukan. Sebab tanpa adanya penambahan pasal tersebut, jaksa tak dapat menahan Prita.

Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah kenapa jaksa melakukan penahanan? Seseorang ditahan karena adanya kekhawatiran melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatan kembali (Pasal 21 ayat 1 KUHAP). Ketentuan dalam KUHAP tersebut harus ditafsirkan sesuai dengan amanat pasal 21 ayat 1 itu sendiri yakni adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tiga hal tersebut di atas. Adanya keadaan tersebut di atas dapat ditempuh dengan melihat rekam jejak selama proses penyidikan.

Dalam proses penyidikan di kepolisian, ketiga kekhawatiran tersebut jelas tidak terjadi. Prita tidak melarikan diri. Prita merupakan seorang istri, ibu rumah tangga biasa dengan dua anak yang masih kecil, bahkan yang terkecil masih berusia 1 tahun 3 bulan yang masih mengonsumsi ASI (Air Susu Ibu). Sangat kecil kemungkinan Prita melarikan diri. Mengenai barang bukti, pihak penyidik tentunya telah menyita beberapa barang bukti termasuk e-mail (yang mungkin telah dicetak dalam bentuk hard copy) dan menjadi lampiran dalam berkas perkaranya. Prita telah mengirimkan e-mailnya ke 20 orang temannya, dan e-mail tersebut telah menyebar diluar kendali Prita, sehingga menjadi kesulitan tersendiri badi Prita untuk melacak dan menghapuskan e-mail yang telah menyebar diluar kendalinya. Kekhawatiran yang ketiga adalah mengulangi perbuatan. Prita digugat secara perdata dan pidana. Bagi seorang ibu rumah tangga dan tidak terbiasa berurusan dengan hukum, peristiwa digugat oleh sebuah rumah sakit saja sudah merupakan guncangan besar dan menjadi beban tersendiri. Prita bahkan mengaku tidak membayangkan bahwa curhatnya di email dapat berdampak panjang dan menjadi kasus hukum. Maka kemungkinan mengulangi perbuatanpun sangat kecil.

Dari ketiga kekhawatiran tersebut jelas bahwa penahanan yang dilakukan kejaksaan terlalu berlebihan dan dipaksakan. Hal tersebut akan sangat dapat dilihat dengan mudah oleh masyarakat bahkan oleh Kejaksaan Agung sekalipun.

Jaksa yang menjadi penuntut umum dalam kasus Prita mungkin lupa akan nilai dasar hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan/kegunaan (Satjipto Raharjo, 2006:19). Dalam prakteknya memang terkadang terdapat suatu kondisi spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu sama lain di antara nilai dasar hukum tersebut. Jika kepastian hukum ingin ditegakan maka ia akan menggeser keadilan dan kemanfaatan. Jika pertentangan itu terjadi, aparat penegak hukum seharusnya mengedepankan keadilan dari pada kepastian hukum. Dalam kasus Prita jelas bahwa seharusnya penahanan terhadap Prita tidak perlu dilakukan. Jika dipaksakan jelas akan mengesampingkan nilai keadilan.

Terjebaknya sebagian penegak hukum dalam belenggu kepastian hukum selama ini telah menjadi keprihatinan bersama para pengamat juga praktisi hukum. Banyak jalan kemudian ditempuh untuk mencoba meretas persoalan ini. Salah satunya dengan merancang konsep KUHP yang baru. Dalam Pasal 12 RUU KUHP (draft 2008) ke depan hakim sebagai pemutus akhir perkara diberikan pedoman dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Semoga tulisan ini dapat memberi sumbangsih untuk dapat memaknai kembali hukum yang terkadang kita lupa untuk apa ia diciptakan. Hukum tidak diciptakan untuk menyengsarakan rakyatnya. Hukum—meminjam istilah Satjipto Rahardjo—diciptakan untuk membahagiakan rakyatnya. Waallahualam bi showab.

*Pengajar FH Untirta, Mahasiswa Magister Hukum Undip.


 

 

No comments: