Friday, June 19, 2009

Berikan Kami Kemampuan Membaca Tanda-tanda


 

Judul di atas rasanya pernah saya dengar dari Taufik Ismail saat membaca puisi di sebuah stasiun televisi. Tidakkah kita sadari banyak tanda-tanda yang diberikan Allah SWT pada kita. Tetapi kita melewatkannya begitu saja tanpa dipikirkan secara dalam dan selalu mengingatnya.

Tujuh bulan lalu saya membeli buku di sebuah pameran buku di Gedung Wanita Semarang. Buku itu berjudul Sejarah Hidup Muhammad SAW untuk anak, karya Dr. Hamid Ahmad Ath Thahir. Buku ini adalah terjemahan dari Hayatu Muhammad SAW Lil Athfal. Penerjemahnya Fathurohman Abdul Hamid. Buku itu saya beli untuk Syifa dan Aisyah (saat itu Aisyah masih berada 6 bulan dalam perut Dewi).

Ada hal menarik yang berhubungan dengan judul di atas dalam buku itu dalam sub bab Boikot Kaum Quraisy . Sebagaimana kita tahu Islam pernah ditolak di Mekkah, dimusuhi dengan keji, hingga ancaman pembunuhan atas nabi. Berikut saya tulis ulang sub bab dimaksud.

Boikot Kaum Quraisy

Ketika kaum Quraisy putus asa terhadap Rasulullah SAW, mereka kembali menemui Abu Thalib untuk memperingatkan bahwa mereka akan membunuh Rasulullah SAW. Mereka juga menawarkan Imarah bin Walid, seorang pemuda Quraisy yang paling tampan, sebagai pengganti Rasulullah SAW.

Abu Thalib menjawab: " Bagaimana aku menyerahkan anakku untuk kalian bunuh, kemudian mengambil anak kalian untuk kuberi makan? Ini sungguh tidak adil."

Semuanya itu dilakukan oleh Abu Thalib karena dia sangat mencintai keponakannya. Ketika Abu Thalib mengkhawatirkan Muhammad dari kejahatan kaum Quraisy, yang diketahui bahwa mereka akan membunuhnya, sementara Hamzah, Umar, dan kaum muslimin lainnya tidak mampu membelanya. Abu Thalibpun memanggil seluruh anggota keluarga Bani Hasyim. Dan memerintahkan mereka untuk berkumpul di suatu tempat untuk menjaga dan melindungi Rasulullah SAW di suatu tempat untuk menjaga dan melindungi Rasulullah SAW dari gangguan kaum musyrik.

Seluruh anggota keluarga Bani Hasyim berkumpul untuk menjaga Rasulullah SAW. Mereka melakukannya bukan karena Islam, tetapi karena fanatisme kesukuan yang telah mengakar di kalangan Bani Hasyim, yang mana Nabi SAW adalah salah satu dari mereka. Mereka memilih sebuah lereng di Makkah untuk tempat tinggalnya. Tempat ini disebut dengan "Lereng Abu Thalib" (Syi'b Abi Tahlib).

Setelah mereka mengetahui bahwa Bani Hasyim melindungi Rasulullah, mereka mengadakan kesepakatan di antara sesamanya untuk melancarkan jenis peperangan baru, yaitu embargo ekonomi. Mereka menulis sebuah perjanjian di dalam Ka'bah yang isinya sebagai berikut.

"Dengan namaMU ya Allah! Kalian harus memboikot Bani Hasyim yang bergabung dengan Muhammad dan semua orang yang beriman bersamanya. Hendaknya kalian juga tidak memberi makan atau minum kepada mereka, tidak berbesanan dengan mereka, dan tidak berjual beli dengan mereka".

Embargo ini diberlakukan terhadap mereka yang tinggal di lereng bukit Abu Thalib usai penandatanganan perjanjian yang mereka tuangkan di lembaran kulit yang mereka gantungkan di Ka'bah. Mereka menahan makanan dan minuman untuk kaum muslim, berharap jika kaum muslim kelaparan dan kehausan, pasti mereka akan meninggalkan Islam dan mau kembali kepada kekafiran.

Namun apa yang dilakukan tikus terhadap gunung yang tinggi lagi kokoh? Apakah cahaya lilin dapat menutupi cahaya matahari?

Kaum muslim berkumpul di tempat itu. Mereka tidak mendapatkan makanan, sehingga tubuh mereka menjadi lemas; kulit mereka pecah-pecah; tenggorokan mereka kering, darah mereka mengalir; dan tangisan anak-anak semakin keras, begitu juga dengan rintihan kaum wanita. Akan tetapi mereka memiliki Alquran, yang merupakan obat luka dan makanan yang mengenyangkan hati dan ruh.

Tiga tahun sudah lamanya kaum muslim berada di tempat itu. Selama itu juga mereka merasakan kelaparan dan kehausan, tetapi mereka tetap bersabar menghadapinya.

Utbah bin Ghazwan menceritakan salah satu keadaan tempat itu; ia berkata: "kami tidak mempunyai makanan selain dedauanan, sehingga mulut kami berdarah karena sering memakannya. Aku sering mengumpulkan air embun, lalu aku bagi dengan Sa'ad bin Abu Waqqash."

Ia juga menceritakan tentang tenggorokannya yang telah mengeluarkan nanah, bukan darah, setelah memakan dedaunan selama tiga tahun itu. Ia juga pernah menemukan sebuah ranting pohon, yang kemudian dibaginya dengan Sa'ad. Mereka memakan itu selama beberapa hari.

Apabila kaum musyrik melihat sebuah rombongan pedagang datang ke Mekkah, mereka segera menemuinya, lalu menaikan tawaran harga, sehingga tidak ada seorangpun dari lereng bukit Abu Thalib yang bisa membelinya.

Selama itu pula Rasulullah SAW tidak pernah lalai atau istirahat. Ia terus keluar berdakwah. Ia jga tidak pernah makan tiga hari tiga malam, sampai Bilal datang membawakan sedikit makanan yang lalu dimakannya.

Quraisy terus melakukan kekerasan ini hingga tergerak hati beberapa kaum musyrik saat melihat anak-anak kecil yang hampir mati kelaparan dan mendengar rintihan bayi dan kaum wanita. Mereka berupaya untuk mencabut embargo tersebut dan merobek piagam itu.

Namun Allah bertindak lebih cepat dari semuanya, karena Dia telah mengirimkan rayap untuk memakan lembar perjanjian itu. Tiada yang tersisa dari lembaran perjanjian itu, kecuali kalimat "Dengan namaMu ya Allah."

Akhirnya Rasulullah SAW dan kaum muslim keluar dari tempat itu dengan kekuatan yang lebih besar daripada sebelumnya.

Hilanglah sudah kesusahan di lereng bukit itu dan berakhirlah sudah ujiannya. Akan tetapi, apakah masa sudah berakhir ataukah akan ada lagi kekejaman atas mereka pada hari-hari selanjutnya?

Tanda-tanda itu

Banyak tanda-tanda yang dikirimkan Allah SWT pada kita, seperti perjanjian di atas yang lenyap dilahap rayap, tetapi menyisakan kalimat "Dengan namaMu ya Allah". Tidakkah itu sesuatu yang aneh? Dari mana rayap-rayap itu? Kenapa kalimat "Dengan namaMu ya Allah" tidak dimakannya. Tidakkah itu sesuatu yang aneh?

Pada saat burung-burung ababil terbang dan menjatuhkan batu-batu yang membuat gajah-gajah yang akan menghancurkan ka'bah tidak berdaya. Tidakkah itu sesuatu yang aneh? Darimana burung-burung itu. Saat saya berada lantai tiga (lantai tertinggi tanpa atap) masjidil haram Mekkah, ada banyak burung jenis besar yang terbangnya mirip elang di sekitar masjidil haram. Kadang bertengger di salah satu menara masjidil haram, terbang hinggap dari satu menara ke menara lain. Menyaksikan orang-orang yang sedang tawaf di bawahnya. Kadang terbang menjauh lalu kembali lagi, terbangnya indah, mirip elang. Lalu saya memandang sekeliling masjidil haram. Ada banyak gedung tinggi. Tapi tak ada burung. Dari mana burung itu? Apakah burung-burung itu diperintah Allah SWT untuk menjaga ka'bah? Sesekali kalau anda ke masjidil haram naiklah ke lantai tiga pada malam hari. Malam hari suasananya lebih lengang. Duduklah dengan tenang. Hirup udara segar Mekkah di malam hari. Pandanglah ka'bah dari atas. Lalu berdiamlah. Kau akan menemukan burung-burung itu. Sungguh aneh, tapi itu membuatmu nyaman dan tenang.

Semua orang pasti ingat peristiwa bobolnya Situ Gintung. Seratus orang lebih meninggal disapu air yang mirip sunami. Pungki, teman dekat istriku di SMP juga meninggal di sana. Ia sedang mengikuti pengajian dan bermalam di Gintung. Bangunan rumah tembok hancur terseret air yang deras. Tapi ada yang aneh. Ada sebuah masjid di antara bangunan itu yang masih utuh sementara yang lainnya porak poranda. Olga Syahputra, presenter acara TV, yang mengunjungi lokasi tak dapat membendung keanehan itu. Menurutnya ini kuasa Allah, dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan masjid masih berdiri sementara bangunan lain hancur. Apakah itu suatu kebetulan? Ustad Arifin Ilham dalam tausiah dzikirnya di lokasi meminta ampun pada Allah, karena ternyata subuh saat kejadian itu hanya ada sekitar tujuh orang yang datang ke masjid. Sedikit yang memenuhi panggilannya. Dalam sebuah wawancara televisi, penduduk setempat mengatakan tanggul jebol setelah azan subuh berkumandang, setelah kalimat la ilaha ilallah. Arifin ilham berucap lirih menyadari tanggul jebol setelah hayya ala sholah berkumandang. Masjid itu sungguh aneh, berdiri sendiri, kokoh diantara bangunan yang porak poranda. Apakah itu suatu kebetulan?

Masih ingat sunami di Aceh? Aceh luluh lantak. Tapi ada yang aneh. Masjid Agung Baiturrahman tetap berdiri kokoh dan menjadi 'kapal' penyelamat puluhan manusia diantara gelombang arus yang deras. Kamera televisi tak dapat menyembunyikan dahsyatnya peristiwa itu. Tidak hanya masjid agung. Ternyata banyak masjid kecil, bahkan ada masjid di pinggir pantai masih kokoh berdiri di antara puing-puing bangunan! Sungguh pemandangan yang kontras. Lensa kamera menangkap pemandangan itu. Dimana-mana. Ia tak bisa berbohong. Apakah ini suatu kebetulan? Mungkin karena banyaknya masjid yang berdiri kokoh sementara yang lain luluh lantak, stasiun tv swasta RCTI membuat liputan khusus tentang itu. Tentang banyak masjid yang kokoh berdiri. Sayangnya liputan itu luput dari pantauanku. Acaranya sore sekitar jam 15.00. di awal pertengahan tahun 2005. Saya masih kulah di Unila saat itu, ada agenda, entah rapat entah apa. Tapi saya menyesal tak menonton liputan itu.

Sungguh telah banyak Allah memberi tanda-tanda. Tapi kita terlalu bebal. Kita terlalu angkuh. Kita terlalu telah terbiasa melewatkan hal-hal aneh. Kita telah menjadi manusia yang tidak berfikir. Kita telah mengabaikan Alquran yang mengamanahkan kita untuk berfikir. Kita telah tidak berakal. Kita telah menjadi apa yang digambarkan Jostein Gaarder, nyaman di dalam bulu kelinci: baca koran, minum kopi, membuat sarapan, mengantar anak sekolah, tanpa pernah memanjat dan melihat keluar betapa banyak keanehan di luar sana.

Pemilik bumi, penggenggam nyawa kami, berikan kami kemampuan membaca tanda-tanda. Membaca keberadaanMu. Membaca pesanMU. Membaca yang tersirat. Apa yang hendak Engkau sampaikan?

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal" (QS Ali Imron:190)

Fer... kembalillah ke masjid. Aku merasakan kelelahanmu.

No comments: