Friday, June 19, 2009

Mengembalikan Citra Kejaksaan-Sebuah Catatan untuk Para Jaksa-

Tulisan ini dimuat di Fajar Banten medio November 2009.

Ferry Fathurokhman*

Belum kering luka kejaksaan dan ingatan perih warga akibat ulah Urip Tri Gunawan, kini lembaga kejaksaan kembali terkoyak pasca beredarnya rekaman percakapan antara Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri)Tilamuta, Gorontalo, Ratmadi Saptono dengan seorang staf Pemerintah Kabupaten Boalemo. Dalam percakapan berdurasi 34 menit tersebut, Ratmadi diduga keras melakukan pemerasan terhadap Bupati Boalemo, Iwan Bokings.


 

Selain kasus di Boalemo Tilamuta Gorontalo, kasus lain terjadi di Kejari Nganjuk Jawa Timur. Seorang jaksa menjual barang bukti berupa pupuk. Dikarenakan dianggap tidak dapat melaksanakan pengawasan melekat, maka Kajari Nganjuk kemudian dicopot dan dimutasi (LKBN Antara).

Jaksa Agung Hendarman Supandji telah mencopot Ratmadi dari jabatannya sebagai kajari pada Selasa (15/10) lalu, demikian hal yang sama dilakukan terhadap Kajari Nganjuk.

Di masa kepemimpinan Hendarman, tercatat telah banyak jaksa yang diberhentikan dari jabatannya karena perilaku penyalahgunaan wewenang. Sebelumnya tujuh kajari telah dicopot dari jabatannya, enam diantaranya diduga kuat menerima suap dalam perkara korupsi yang ditanganinya, sedangkan satu orang kajari diduga kerap menerima teman laki-laki di rumah dinasnya sehingga meresahkan masyarakat. Khusus ketujuh kajari tersebut merupakan tindak lanjut Kejaksaan Agung dari pengaduan masyarakat melalui Komisi Kejaksaan yang memang dibentuk untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas kinerja jaksa. Selain itu Kejaksaan Agung juga telah melakukan pemecatan terhadap Burdju Ronni dan Cecep Sunarto, pelaku pemerasan dalam perkara Jamsostek. Hendarman sendiri sejak April 2007 memang telah memproklamirkan dan berkomitmen untuk membersihkan kejaksaan dari perilaku tercela dan tidak profesional.

Komitmen tersebut sangat penting dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Bagaimana mungkin memberantas korupsi dengan korupsi? Seorang bupati pernah berkomentar miris dalam sebuah obrolan, bahwa disaat para pejabat diperiksa karena diduga korupsi disaat itulah penegak hukum korupsi. Sebuah anekdot tragis yang mewujud. Tentu tak semua yang dikatakan bupati itu mewujud. Saya masih menemukan aparat penegak hukum yang baik dan berdedikasi. Tapi yang ingin saya katakan adalah bahwa citra negatif tersebut ada dan berkembang di masyarakat. Sehingga kita memiliki kewajiban bersama untuk mengembalikan kepercayaan publik dan citra negatif tersebut berubah menjadi positif, dengan cara yang benar tentunya.

Namun sebelum membicarakan cara mengembalikan kepercayaan publik, kita harus mengetahui akar masalah kenapa persoalan penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) dapat terjadi.

Sejarawan Inggris
Lord Acton (1834-1902) pernah berujar "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely", kekuasaan cenderung menimbulkan korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup. Maka siapapun yang diberikan kekuasaan, ia memiliki potensi besar untuk korupsi. Semakin besar kekuasaan yang diberikan, semakin besar potensi korupsi terjadi.

Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW), akal-akalan oknum jaksa dalam menjalankan tugasnya untuk menguntungkan diri sendiri (korupsi) adalah sebagai berikut: Pemerasan, negosiasi status, pelepasan tersangka, pengurangan tuntutan (Tb.Ronny R Nitibaskara,2006:11). Modusnya beragam misalnya sengaja memperpanjang proses penyidikan, atau menjadikan surat permohonan pemeriksaan sebagai alat negosiasi (bagi pejabat yang dibutuhkan izin presiden untuk dapat dilakukannya pemeriksaan).


 

Beberapa langkah harus dilakukan untuk mengembalikan citra kejaksaan yang tercederai ini. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dilakukan kejaksaan untuk kembali menaikan citra, mengembalikan kepercayaan publik. Pertama membersihkan lembaga kejaksaan dari jaksa yang bermental korup. Dalam dunia medis, jika ada bagian tubuh yang rusak dan riskan untuk disembuhkan lagi, maka hanya ada dua cara : mengamputasi bagian tubuh tersebut atau mempertahankannya dengan resiko menular pada bagian tubuh yang lain. Cara pertama inilah yang kemudian dipilih Hendarman, untuk menjauhkan resiko cara kedua.

Kedua, harus adanya pengawasan baik internal (melalui pengawasan melekat) maupun eksternal (dapat melalui laporan masyarakat kepada Komisi Kejaksaan) yang berkesinambungan. Ketiga, para jaksa harus dibekali dan memiliki hati nurani. Sehingga dapat dengan tegas mengatakan salah jika memang seseorang salah dan demikian juga mengatakan benar jika seseorang memang benar. Tidak membenarkan yang salah ataupun sebaliknya, menyalahkan yang benar. Jangan ingkari hati nurani. Pengingkaran hati nurani inilah yang menyebabkan para oknum jaksa di awal tulisan terjerumus dalam kehinaan. Langkah ketiga ini harus direalisasikan dalam bentuk yang kongkret misalnya dirumuskan dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan juga dalam kajian rutin internal, karena efek membekas dari materi pelatihan tak pernah bertahan lama.

Dalam era reformasi saat ini kualitas yang dituntut masyarakat luas bukan sekadar SDM jaksa yang memiliki kualitas intelektual/pengetahuan (knowledge/cognitive) dan kualitas keterampilan (skill/sensory-motor) yang cukup tinggi, tetapi justru yang memiliki kualitas sikap/nilai kejiwaan (attitude/affective), masyarakat sekarang ini tidak hanya menuntut SDM penegak hukum yang berkualitas sebagai ahli/sarjana hukum ("homo yuridicus") yang mempunyai kematangan/kecerdasan intelektual/rasional (IQ), tetapi juga sarjana hukum yang "homo ethicus", yang mempunyai kematangan perasaan/emosional (EQ) dan kematangan spiritual (SQ). Ini berarti, yang dituntut bukan hanya penegak hukum yang mempunyai kemampuan menerapkan norma-norma hukum positif, tetapi sekaligus juga memiliki integritas nilai yang tinggi (Prof Barda Nawawi Arief, 2008:22).


 

Langkah untuk memberantas korupsi yang ada di tubuh lembaga pemberantas korupsi tentu saja bukan hal mudah, dibutuhkan komitmen kuat bersama. Hendarman Supandji, Jaksa Agung Republik Indonesia telah memulainya, hendaknya langkah ini ditindaklanjuti dengan paling tidak mengembalikan segala tindakan yang akan dilakukan dengan bertanya pada nurani, apakah tindakan yang akan dilakukan itu benar? Apakah nurani membenarkannya? Apakah jika suatu perbuatan tersebut dilakukan akan mencoreng lembaga kejaksaan? Apakah jika perbuatan tersebut dilakukan akan mengoyak perasaan masyarakat, merusak kepercayaan masyarakat? Maka masyarakatpun akan bangga memiliki jaksa seperti anda, dan pemilik bumi ini mencatat ikhtiar anda karena telah menanyakan benar dan salah pada nurani sebagaimana dipesankan nabi. Wallahualam bi showab.

*Dosen Kriminologi FH Untirta, Mahasiswa Pascasarjana FH Undip.

No comments: