diunduh dari sini
Kejahatan Golongan Tua di Jepang, Memahami Sisi Gelap Jepang
Kejahatan Golongan Tua di Jepang, Memahami Sisi Gelap Jepang
Ferry
Fathurokhman1*
Graduate School of
Human and Socio-Environmental Studies, Kanazawa University.
Abstrak
Jepang saat ini menghadapi permasalahan
dalam hal populasi penduduk. Kecenderungan keengganan golongan muda untuk
menikah dan memiliki anak bersinergi dengan tingginya angka harapan hidup
di Jepang, menghasilkan populasi penduduk yang tidak seimbang antara
generasi muda dan generasi tua Jepang. Kondisi ini menimbulkan patologi
sosial di kalangan usia lanjut. Kejahatan menjadi jalan umum yang diambil
sebagian usia lanjut di Jepang untuk ‘mengusir kesepian’. Tulisan ini
berusaha memaparkan jenis kejahatan yang dilakukan usia lanjut di Jepang
dan solusi yang dilakukan untuk mengatasi persoalan ini.
Kata Kunci: Kejahatan, Usia Lanjut, Jepang.
©2013.Persatuan Pelajar Indonesia
Jepang. All rights reserved.
|
Jepang
adalah negeri utopia. Kalimat itu ada dalam sebuah draft buku seorang kawan yang
saat ini dalam proses penerbitan. Sebuah kumpulan tulisan hasil pengalamannya
selama satu tahun di Jepang.Ia tidak sedang bicara kosong. Negeri ini negeri
yang aman. Barang hilang bisa kembali, menghargai proses, sopan, ramah, maju,
tertib, teratur, bersih dan segudang hal
baik lainnya yang membuat kita berdecak kagum.
Tapi
dari banyak hal terang di Jepang,
tentulah ada sisi gelapnya. Tulisan ini hendak mengupas salah satu sisi gelap
tersebut. Kecenderungan kejahatan yang dilakukan usia lanjut di Jepang.
Saat
berkesempatan ke Waseda University, saya bertemu dengan Yoko Hosoi, guru besar
Toyo University. Ia cerita bahwa sedang meneliti tentang kecenderungan
kejahatan yang dilakukan orang tua di Jepang. Saya memang sering mendengar
salah satu masalah di Jepang adalah angka usia lanjut yang lebih tinggi dari
usia muda. Tapi saya tak mengira bahwa hal tersebut berdampak pada meningkatnya
kejahatan pada usia lanjut.
Adalah
Minoru Yokoyama, guru besar pada Kokugakuin University di Tokyo yang
menjelaskan hal ini dengan gamblang di sebuah konferensi internasional di India
yang diselenggarakan Asian Criminological Society medio April lalu. Tulisan ini
sejatinya adalah hasil riset yang telah dilakukannya (Minoru Yokoyama: 2013).
Menurutnya
selama periode perang dunia kedua, pemerintah Jepang mengampanyaken untuk
memiliki anak sebanyak mungkin. Angka kelahiran bayi meningkat (baby boom) setelah perang dunia kedua. Peningkatan
angka kelahiran bayi generasi kedua juga terjadi pada 1970-an. Seiring
pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi Jepang, usia harapan hidup di Jepang menjadi
panjang. Situasi berubah, Jepang menjadi negara dengan angka kelahiran dan
angka kematian yang rendah. Tidak banyak bayi yang lahir tapi tidak banyak juga
orang tua yang mati. Ini menyebabkan populasi orang tua di Jepang semakin
menumpuk, diperparah dengan anak muda yang tak terlalu berhasrat untuk menikah,
jikapun menikah, kebanyakan mereka hanya akan punya anak satu atau dua.
Sekitar
1985, Pemerintah Jepang memprediksi angka usia lanjut akan meningkat menjadi
21,8% pada 2020. Prediksi ini ternyata
meleset. Sensus pada Oktober 2010 membuktikan bahwa angka usia 65 ke atas dalam
total populasi 128.057.352 penduduk telah meningkat menjadi 23% (Ibid).
Sekarang,
kita lihat lebih dalam jenis-jenis kejahatan yang dilakukan usia lanjut di
Jepang. Data yang dikeluarkan Kementerian Kehakiman (Ministry of Justice)
Jepang pada 2011 mencatat sebanyak 305.951 orang melakukan kejahatan
non-lalulintas. Sebanyak 48.637 atau 15,9%nya merupakan orang dengan usia 65 ke
atas. Data ini meningkat dari data 1983 dimana jumlah tersangka usia lanjut 60
tahun ke atas saat itu berjumlah 15.880 (Ibid). Tentu data itu tidak apple to apple, mengingat pengategorian
usia lanjut dinaikkan menjadi 65 ke atas sejak 2008 seiring meningkatnya usia
harapan hidup di Jepang (Ibid).
48.637
pelaku usia lanjut tersebut didominasi oleh laki-laki sebanyak 32.180 orang,
sementara 16.457 lainnya adalah perempuan (Ibid). Dari 32.180 laki-laki usia
lanjut tersebut, sebagian besarnya melakukan pengutilan (shoplifting) sebanyak 45,9%. Pencurian diluar pengutilan 17,2%,
penggelapan (embezzlement) 16,7%,
kejahatan kekerasan (violence) 7,5%,
penipuan 2% dan lain-lain 10,7% (Ibid).
Di
tahun 1983, pengutilan pada usia 60 tahun ke atas berjumlah 23,6%, kejahatan
kekerasan juga meningkat jika dibandingkan data tahun 2011 (Ibid).
Saya tidak akan membahas lebih detail angka-angka kejahatan yang dilakukan kalangan perempuan usia lanjut dan sebagainya, ini bukan tesis, me-matematika-kan manusia terkadang terkesan tak begitu humanis, meski tentu saja sangat berguna untuk melihat kecenderungan, memahami pola dan menganalisa lebih jauh untuk mencari solusi, merumuskan kebijakan untuk menanggulanginya. Pertanyaan kenapa bisa demikian nampaknya akan lebih menarik untuk dibahas.
Yokoyama
setidaknya memprediksi dua hal kemungkinannya. Pertama stres karena kesepian
ditinggal anak-anaknya ke perkotaan seiring beranjak dewasanya anak-anak
mereka. Kedua kemiskinan yang melanda karena krisis ekonomi sejak 1990. Dalam
situasi demikian orang mudah melakukan kekerasan.
Hal
menarik terjadi pada kasus pengutilan. Ada dua hal penyebabnya: kebutuhan dan
ekspresi kesepian. Sebagian besar mereka hanya mencuri seperlunya seperti roti,
tempat kotak nasi. Ini bukan berarti mereka tak sanggup membelinya, tetapi
lebih kepada menghemat uang mereka.
Hal
kedua yang menarik adalah sebagiannya melakukan karena keisengan sebagai akibat
kesepian yang dialaminya. Anak-anak beranjak dewasa, interaksinya dengan sesama
semakin berkurang, pengutilan menjadi eskpresi dari kesepiannya. Ada perasaan
senang saat melakukannya, sebagiannya berkembang menjadi kleptomania.
Kekhawatiran ketahuan dan keberhasilan mengambil barang menghadirkan tantangan
tersendiri, memacu adrenalin, menjadikannya ‘hidup’ kembali.
Residivisme
Data
2011 juga menunjukkan narapidana di seluruh penjara di Jepang berjumlah 25.499
terpidana, 2.028 atau 8 %nya adalah narapidana usia lanjut, tahun 1983 jumlah
narapidana usia lanjut hanya 1,9% (Ibid). Dari 2.028 terpidana usia lanjut
tersebut diantaranya adalah residivis, orang yang mengulangi tindak pidana, ada
yang enam kali telah dipenjara, dua kali dan lima kali sebanyak 38,8%, 31%, dan
30,2% secara berurutan (Ibid).
Masalah
residivisme di kalangan usia lanjut di Jepang menjadi semakin serius manakala
ditemukan fakta banyaknya kesengajaan yang dilakukan mantan narapidana hanya
untuk dapat kembali ke penjara. Dalam sistem penjara di Jepang, narapidana bisa
bekerja di dalam, penghasilannya selama di dalam penjara akan diberikan
menjelang hari kebebasannya, meski demikian jumlahnya tidak dapat mengalahkan tingginya
biaya hidup di Jepang, belum lagi jika yang bersangkutan memiliki gaya hidup
mewah. Ini menjadi lingkaran setan di
Jepang. Masalah tak berkesudahan. Ambil contoh Sato Hag, perempuan berusia 79
tahun. Juli 2011 ia baru saja keluar dari penjara, tetapi polisi menguntitnya
dan harus kembali menjadikannya tersangka saat 6 November 2011, ia merogoh tas
seorang tua 62 tahun yang akan membeli makanan, polisi segera meringkusnya. Ini
adalah penangkapan yang ke 23 kali! Hag adalah sebutan yang disematkan polisi
padanya yang berarti perempuan tua jelek (Ibid).
Berbagai
kebijakan dilakukan untuk menanggulangi masalah ini. Salah satunya didirikannya
lembaga yang fokus menangani orang tua pasca penghukuman. Lembaga ini didirikan
tahun 2009 dan disebar di seluruh Jepang. Celakanya terkadang tak semua elemen
pemerintah sejalan, Taro Aso misalnya, Menteri Keuangan Jepang yang pernah ‘menyakiti’hati
para lanjut usia dengan mengatakan agar warga lanjut usia di Jepang disarankan
untuk cepat mati karena alat medis yang menyokong hidupnya menjadi beban keuangan
negara. Pernyataan ini semakin memperburuk para lanjut usia di Jepang (Japan
Daily Press, 22 Januari 2013).
Di
Jepang orang dididik untuk mandiri. Ada anggapan bahwa jika kita memanjakan
orang tua di Jepang itu sama artinya kita tak sayang dan menyuruh mereka cepat
mati. Itu sebabnya kita akan sering melihat orang lanjut usia di Jepang
berjalan, naik bis sendirian dan sebagainya, sebab dengan banyak berjalan
kesehatannya akan terjaga. Tapi orang tua tetaplah manusia, sama di mana saja.
Ia juga butuh kasih sayang. Arif, seorang teman perawat di Kobe, pernah berbagi
pengalamannya saat merawat pasien usia lanjut di Jepang.
“Rif,
bagaimana kamu melihat fenomena ini,” tanya pasiennya.
“Kalau
di Indonesia ini sudah kurang ajar, bisa disumpahi orang se-kampung,” paparnya.
“Begitu
juga dengan kami, sedih dengan hal ini, tapi kami tak bisa berbuat banyak,” ungkapnya
lirih.
Sebagus-bagusnya
Jepang sisi gelap masihlah ada. Demikian dengan Indonesia, banyak kabar
melelahkan di negeri kita, tapi selalu ada sisi terang, diantaranya
penghormatan terhadap orang tua. Budaya dan agama memegang peranan penting
dalam memuliakan orang tua. Bahkan dalam sebuah agama, seorang anak dijanjikan
surga jika ia menemukan kedua orangtuanya lemah dan berakhir dalam pemeliharaan
dan kasih sayangnya.
Referensi
Minoru Yokoyama. Increase in Crimes by Old People in Japan
How are They Treated. Makalah pada Annual
Meeting of Asian Criminological Society, 14-16 April 2013. Mumbai India.
Japan
Daily Press, 22 Januari 2013. URL: http://japandailypress.com/finance-minister-taro-aso-makes-controversial-statement-about-elderly-and-dying-2221917
diakses tanggal 13 Mei 2013
No comments:
Post a Comment