Saturday, December 24, 2011

Hari Ibu (Sang Penghuni Langit)

Tulisan ini bukan milik saya, Pak Acep Purqon menuliskannya di hari ibu, di 22 Desember 2011. Selamat menikmati dan meneladaninya (Sekiranya Bunda kita sudah tiada, mendoakan dan menyambung silaturahim dengan saudara2 dan sahabat ibunda semasa hidup menjadi pengganti kita untuk berbakti kepadanya)

Dia bernama Uwais Al-Qarni.
Nama ini mungkin tidak sepopuler Umar bin Khatab ataupun Ali bin Abi Thalib bahkan mungkin sangat asing kedengarannya. Tapi Nabi berkata kepada kedua sahabatnya itu andaikan bertemu dia mintalah didoakan oleh dia. doanya sangat didengar oleh Allah swt.

apa gerangan yang membuat uwais begitu istimewa? padahal uwais tidak pernah bertemu muka dengan nabi (tapi untuk dalam hal ini ada punya keistimewaan dibanding shahabat dekat nabi tsb).

cerita ini barangkali sedikit banyak bisa menjelaskan alasan tsb.
uwais tinggal di Yaman. dia sangat menyayangi ibunya, dan selalu menjaga ibunya. ibunya sudah tua renta, tidak bisa melihat, sakit-sakitan dsb yang membuat uwais tidak bisa jauh-jauh dari ibunya. Padahal dia ingin bertemu nabi akhir zaman yang dikasihi Pencipta semesta alam (kapan lagi coba, kesempatan teramat langka). sampai suatu ketika minta izin sama ibunya menemui nabi. ibunya mengizinkan dengan satu syarat jika sudah sampai madinah segera pulang lagi. luar biasa girang uwais untuk bertemu nabi yg selama ini cuman mendengar saja dari orang yang baru pulang dari madinah.

jarak Yaman-Madinah berjarak 400km pun dilaluinya, tanpa pesawat terbang ataupun mobil. lewat perjuangan berat akhirnya bisa menemukan rumah nabi. rupanya nabi tidak sedang dirumah. ingin rasanya uwais menunggu nabi apalagi telah menempuh perjalanan jauh. tapi uwais ingat pesan ibunya untuk segera pulang jika sudah sampai madinah. demi memenuhi pesan ibunya itu dia segera bergegas pulang menempuh kembali rute 400 km madinah-yaman lagi.

ketika nabi sampai dirumah kemudian isterinya mengabarkan bahwa tadi ada tamu bernama uwais, maka nabi langsung bersabda.......

begitulah sampai nabi wafat tidak pernah uwais bertemu nabi, dan tidak pernah kedua sahabat itu menemukan uwais dalam rombongan dari yaman.

sampai suatu ketika...
uwais datang ke madinah itupun setelah ibunya wafat.
umar dan ali menemukannya dalam salah satu rombongan yaman. setelah bertemu umar dan ali menyampaikan ucapan nabi dan sesuai pesannya untuk memintakan doa dari uwais.
setelah mendoakan umar dan ali, uwais perpesan untuk semoga hari ini saja saya dikenal orang, selanjutnya tidak ingin dikenal orang lain.

sebagai bentuk penghormatan saya pada uwais al-qarni yang tidak ingin dikenal namanya maka sengaja saya beri judul Sang Penghuni langit.
dia memang tidak dikenal di bumi, tapi begitu terkenal di langit.
dia orang miskin dan pernah menderita berbagai penyakit. bahkan ketika dihadiahi baju dia pernah menolak dengan halus. jika saya mengenakan baju tsb saya khawatir orang bergunjing bahwa mungkin uwais dapat baju tersebut hasil dari mencuri atau menipu/merayu orang (khawatir membuat orang menjadi dosa karena berbuat suuzhon terhadap dirinya).

selamat hari ibu...
semoga kita bisa mengikuti jejak sang penghuni langit. yang tidak pernah bertemu tapi begitu terkenal di langit.

kalau boleh iri sama orang, mungkin saya paling iri dengan sosok orang ini. sosok, wajah, track record-nya tidak dikenal penghuni bumi, tapi begitu terkenal dan disebut-sebut oleh penghuni langit. dan semuanya sungguh karena amalan satu hal tadi. Terima kasih ibu.

‎"Takkan Kubiarkan Sayapmu Terhempas"

Tulisan ini milik Pak Acep Purqon. Selamat menikmati.

(Belajar dari merpati from diary menempa jiwa menyemai cinta)

by Acep Purqon


Boleh dibilang guru pertama yang menyadarkanku akan arti cinta adalah
merpati.

Banyak pelajaran berharga yang kuperoleh selama berinteraksi dengan binatang.
sambil kucoba ingat momen indah dengan kilas balik ke negeri pandanwangi.
Masa kecilku lebih banyak kuhabiskan bersama binatang dan tumbuhan. Aku
pelihara puluhan merpati, ratusan ayam (puyuh, petelor, kampung, kalkun),
domba, kelinci, berbagai jenis ikan, burung hantu, kutilang, kucing,
bebek, kakaktua dsb lengkap dengan berbagai jenis tumbuhan percobaanku
untuk membuat mereka nyaman hidup. Tentu tak ketinggalan elang yang sering
nemplok di bahu,tangan, atau sepedaku sekedar lambang kegagahanku masa
kecil. Semuanya dibiarkan lepas tanpa kandang. Karena prinsip pertamaku
semuanya harus jinak, dan kubenci orang yang membuat burung di sangkar.

Pelajaran cinta pertama justru kuterima dari sepasang merpati. Sebutlah si
Dasar untuk yang jantan dan si Ucu untuk yang betina.
Suatu hari si Ucu betina ini hilang, sehingga si Dasar jantan murung sekali.
Kunamai Dasar karena dia unggulanku untuk lomba kecepatan terbang dengan
teknik terbang rendahnya, sementara si Ucu karena lucu dengan badannya
yang supermungil.

Kukerahkan semua analisisku terutama keterkaitan hilangnya si Ucu dengan
perjodohannya. harus kuakui perjodohan mereka termasuk sumber olokan dalam
perlombaan karena bagai langit dan bumi. Si Dasar adalah pejantan
unggulan, dia mewakili kegagahan dan keperkasaan dengan bentuk badan besar
menjulang sangat mencolok dibanding 50-an merpatiku yang lain. sementara
si Ucu berjenis kotok jenis yang paling tidak disukai pemelihara merpati
karena berbadan kecil, harga murah, kampungan, sukar diurus, gampang
kabur, gampang nyasar ikut rombongan lain , mata gelap, dsb. Sehingga
perjodohannya diperkirakan akan melahirkan keturunan yang tidak unggul.
Sempat kusesali perjodohannya, namun si Dasar sepertinya menerima apa
adanya dan dia bangga sekali dengan si Ucu. si Ucu yang sering dilecehkan
di komunitas merpati malah mendapat posisi terhormat dan terangkat
wibawanya dengan jadi betinanya si Dasar.

mungkinkah si Ucu kabur karena merpati kotok gampang "kebandang"/ ketarik
ikut rombongan merpati lain? Ataukah dia mulai merasa minder? Dimanakah
dia sekarang? Rentetan pertanyaan seolah sedang menari-nari di otakku.

Seharian sampai keesokan lusanya si Ucu tak kunjung datang. Dan si Dasar
pun mematung murung nyaris tak bergairah hidup.
Baiklah, saya harus membuat keputusan penting untuk kelanjutan hidupnya.
Saya jodohkan dengan betina baru yang lebih unggul segalanya dari si Ucu.

Menjodohkan merpati adalah perkerjaan sangat gampang. Cukup diperlukan 3-7
hari dengan menyatukannya di sebuah rumah yang ditentukan dan diisolasi
sebagai rumah tetapnya, lalu tiap pagi dimandikan dan dijemur bersama
tentunya makan bersama pula. Udah deh, seminggu kemudian menjadi
perkawinan sempurna.

Namun, pengalaman tersebut sirna oleh sikap si Dasar yang nyaris tak
bergeming disatukan dengan betina baru yang serba unggul ini. Tak ada
tanda-tanda perubahan ke arah suka kepada betina baru ini meski sudah
sampai hari ke tiga. Yang ada adalah ekspresi diam atau tiba-tiba bergerak
gelisah seperti ingin pergi ke suatu tempat.

Ok deh saya nyerah, hari berikutnya saya lepaskan si Dasar dan saya ikuti
kemanapun dia mau. Beberapa hari ini tugasku hanya ingin berdua menemani
si Dasar, mungkin dia butuh teman curhat atau nyari seseorang yang bisa
memecahkan problemnya. Pada hari ke-8, kuamati lebih seksama gerakan tiap
jamnya, dan ternyata dia selalu menuju satu tempat dan murung disitu
seolah ingin menunjukkan sesuatu kepadaku dengan rasa pasrah. Mungkin dia
pasrah melihat tuannya yang dungu yang tak mampu membaca pikiran dan
keinginannya. Penasaran dengan apa yang ada, maka aku coba bongkar apapun
yang ada disitu, dan .... astagfirullah. .
rupanya ada seekor merpati lemas dalam keadaan setengah terkubur dengan
mata tertutup. Mataku terbelalak, rupanya si Ucu, betinanya si dasar.
astagfirullah 8 hari tanpa makan dan minum mungkin manusia sudah mati.

Saya segera memastikannya, dan alhamdulillah dia masih hidup, sambil saya
perhatikan dengan lirikan sudut pandang mataku nampak ekspresi kegembiraan
luar biasa dari si Dasar.
Si Dasar segera naik ke pundakku, begitu kebiasaaanya kalau lagi gembira
atau sekedar minta makanan dengan manjanya. Dia yang selalu mimpin merpati
yang lain untuk tidak takut makan langsung di tanganku.
Mungkin rasa cinta yang besar membuat si Ucu coba bertahan hidup di lorong
tsb, mungkin juga si Dasar mencoba menyemangati dan memberikannya harapan.
Kuamati seperti bekas muntahan makanan disekitarnya. (merpati biasanya
suka saling ngasih makan bahkan saat mereka bercumbu, tentunya berbeda
saat ngasih makan anak-anaknya) .

Subhanallah, dengan segenap kemampuannya, dengan segala keterbatasannya si
Dasar mencoba tidak menyerah untuk membantu betinanya yang terperangkap
dan terkubur di sela-sela tanah. Kisah dramatis macam apa yang hendak
Allah pertontonkan padaku? Si Dasar yang otaknya saja ngak nyampe sebesar
ujung kuku kelingkingku, rupanya punya rasa cinta yang jauh melebihi
ukuran badannya. Lama aku termenung.

Manusia yang suka menganggap jelek instink binatang mungkin mengambil
jalan pintas dengan menerima betina baru yang super segalanya dan
membiarkan si Ucu sekarat karena toh lagipula mustahil bisa menolongnya,
tak mungkin bisa menggeser barang yang menghimpitnya. Namun tidak demikian
dengan pikiran si Dasar. Dengan sedikit mikir dia percaya manusia bisa
diperbantukan.

Menakjubkan, 8 hari nyaris terkubur tanpa makan. Dalam keadaan sekarat
mereka mencoba saling menghidupkan semangat. Rasa cinta yang tulus
nampaknya menjadi sumber energi terbesar untuk tetap mencoba bertahan
hidup.

saya tahu si Dasar tidak bisa bilang langsung terima kasihnya dengan
ucapan. Namun dari ekspresi gerak tubuhnya nampak sekali ingin bilang kata
itu andai dia bisa. Dia bolak-balik antara naik pundak, memanjat kepalaku
dan lalu mengitari si Ucu isterinya dan tak ingin jauh-jauh dari posisi si
Ucu. Seolah memastikan dan ingin berteriak kepadaku dan seluruh komunitas
merpati, "isteriku masih hidup...isteriku masih hidup.."

Setelah saya treatment 3 hari untuk recovery tubuh si Ucu dengan treatment
kehangatan dan isolasi. Nampak hari-hari berikutnya adalah hari-hari
kebahagiaan buat pasangan si Dasar-Ucu.
perlahan tapi pasti tubuh si Ucu mulai bisa bergerak dan sudah mulai
belajar mengepak-ngepakan sayapnya. Belajar terbang dari nol lagi. Dengan
gerakan memutarnya si Dasar mengitari si Ucu seolah memberi semangat, ayo
isteriku, kamu pasti bisa. Meski dia juga siap menerima nasib barangkali
sayap isteriku memang sudah patah.
Sebagaimana pertama langit kuarungi bersamamu. ku ingin jejak terakhir
lukisan di langit juga bersamamu.

Hari-hari berikutnya si Ucu tambah bugar dan secara dramatis si Ucu sudah
bisa mengepakkan kedua sayapnya, dan mulai terbanglah mereka berdua
keangkasa tinggi dengan pluit nyaringnya bagai saat pertama mereka berdua
terbang.

Mungkin benar ungkapan merpati tidak pernah ingkar janji.
bahkan setelah saya jodohkan beberapa hari dengan betina lain si Dasar
lebih memilih mencari lokasi pasangannya dengan berjuang sekuat tenaga
atau meminta bantuan tenaga manusia demi menyelamatkan pasangannya dengan
menunggunya dengan penyelamatan yang sangat dramatis.

Saya yakin, banyak berinteraksi dengan binatang akan membangkitkan nilai
kemanusiaan yang hakiki. Kadang tidak mudah berkomunikasi dengan bahasa
mereka. Namun cinta adalah bahasa yang universal. Saya cukup bersedih
melihat anak sekarang kurang berinteraksi dengan binatang dan alam.
Bagaimana mungkin mengapresiasi cinta pada pohon beton. padahal ilmu dari
dunia binatang sangat berlimpah.

Hari itu Allah mengajariku makna cinta dari merpati dan saat si Dasar dan
si Ucu hinggap di kedua pundakku setelah terbang dari langit seolah si
Dasar berbisik lirih ke telingaku dan terucap janji manis "meski dengan
segala keterbatasan kemampuanku, takkan kubiarkan sayapmu terhempas... "

Tuesday, December 20, 2011

Jogja dan Pluralisme

Semua berawal dari tulisan Arif Budiman dan Nofrizaldi yang dimuat dalam situs www.lenteratimur.com tentang perlawanan masyarakat Yogyakarta terhadap terhadap wacana Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang beberapa waktu lalu sempat memanas. Ada sesuatu yang menarik tentang Yogyakarta. Nama awal Yogyakarta adalah Ngayogyakarta Hadiningrat, sebuah nama kesultanan yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) pada tahun 1755. Yogyakarta belakangan secara tak resmi juga umum disebut sebagai Jogja dan disatukan dengan tagline wisata yang menyertainya “Jogja, Never Ending Asia”. Saya mengikuti saran tulisan Arif Budiman untuk menyusuri jalan-jalan di Jogja dan menemukan banyak spanduk dan baliho yang pada intinya menginginkan ketetapan keistimewaan Jogja berlandaskan sejarah keistimewaannya. Spanduk dan baliho tersebut seolah menjadi pesan pengingat bagaimana sejarah Jogja menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sama halnya dengan Aceh, Jogja merupakan daerah dan kerajaan tersendiri yang telah berdaulat sebelum Indonesia merdeka hingga akhirnya menyatakan mendukung dan rela bergabung dengan Indonesia. Spanduk dan baliho ini merupakan simbol kecintaan mereka terhadap pemimpin dan daerahnya. Saya ingin mengetahui Jogja lebih dalam lagi, Jogja dalam pandangan warga asli dan pendatang yang bermukim di Jogja.

Rasa ingin tahu tersebut membawa saya berkenalan dengan penarik becak yang biasa mangkal di Stasiun Tugu Jogja. Wahyu namanya. Namun ia lebih dikenal sebagai Wahyu gondrong, ini karena rambutnya yang gondrong sepunggung. Menjelang malam, Wahyu biasa mangkal di dekat pusat angkringan kopi joss, bersebelahan dengan stasiun tugu Jogja. Kopi joss adalah minuman wisata khas jogja, kopi hitam yang ditambahkan bara arang. Suara joss dari bara saat dimasukan dalam kopi panas itulah yang nampaknya dijadikan nama minuman ini. Kabarnya kopi ini efektif untuk mencegah masuk angin. Saya selalu menyempatkan mampir ke tempat ini setiap kali singgah ke Jogja.

Wahyu orang Jogja asli. Gurat wajahnya mengabarkan usia empatpuluh tahun. Wahyu nampak senang dan bangga sebagai warga asli Jogja. Anak tertuanya kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Jogja diakuinya sebagai kota teraman. Satu hal yang menarik adalah bahwa Ia sangat menghormati sultannya, Sultan Hamengkubuwono X.

“Sultan itu mas, kalau ada kerusuhan tau-tau datang, entah datangnya dari mana, dengan kedatangan sultan masalahnya jadi beres, kadang-kadang kita tidak tahu kalau ada sultan di sekitar kita,” paparnya pada suatu malam. Barangkali terdengar mistis, namun itulah cara sederhana Wahyu dalam menyampaikan apa yang ia rasakan. Peran Sultan sangat terasa di Jogja.

Cerita ini mengingatkan saya pada Bung Karno yang pernah ‘menyamar’ menjadi warga biasa di Pasar Senen di malam hari atau Umar Bin Khattab yang biasa berkeliling malam melihat keadaan warganya. Saya membatin apakah sultan juga sering melihat warganya dengan membaur tanpa diketahui. Mengontrol ritme ketenteraman di Jogja.

Aman dan ramahnya Jogja ternyata bukan bualan warga asli Jogja. Carol Noreen Lolly, pengajar native Bahasa Inggris dari Maine Amerika pada Pusat Pelatihan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya UGM ini punya pengalaman lain tentang Indonesia dan Jogja. Carol seorang backpacker, maka ia memutuskan untuk ke Indonesia melalui jalan darat dan laut. Menyeberang dari Singapura dan berlabuh di sebuah pulau di Indonesia. Pengalaman buruk segera dialaminya. Seorang lelaki menguntitnya kemana pun ia pergi. Menginap di hotel melati yang kotor ditambah pemilik hotel yang mabuk berat. “Bad scenario,” kenangya.
Ia kaget melihat Indonesia dan hampir akan meninggalkan Indonesia hingga ia mengenal dan ‘tersangkut’ di Jogja.
“Saya sampai di Jogja dan mulai menyukainya, maka saya membeli sepeda motor dan tinggal disini. Sekarang kemana-mana saya memakai sepeda, motor sudah saya jual, saya suka Jogja,” katanya.

Jogja punya pemimpin yang dicintai rakyatnya dan ini telah berlangsung lama dan bergenerasi. Dalam catatan sejarah, di awal pendirian UGM, Sultan Hamengkubuwono IX meminjamkan ruangan keraton untuk ruang kuliah. Hingga saat ini, peran sultan tetap dirasakan manfaatnya oleh warga Jogja. Menurut Wahyu, Jogja adalah versi mininya Indonesia, semua suku ada di sini. Maka jangan heran jika kita dapat menemukan jenis makanan beragam di Jogja mulai dari Mie Aceh, bubur jagung Manado hingga papeda yang berbahan dasar sagu dari Timur Indonesia.

Sebagaimana umum terjadi, keragaman suku selalu memiliki potensi konflik. Namun sultan punya cara tersendiri menanganinya. Rudi Yusuf, Dosen Bahasa Jepang di Makasar yang pernah kuliah di Jogja menjelaskan peran sultan dalam menyelesaikan masalah. Pernah satu ketika di tahun 2007, terjadi pertikaian antar dua suku. Awalnya mereka bertemu di angkringan, saling pandang hingga terjadi perkelahian. Pertikaian meluas hingga saling serang antar asrama suku tersebut. Empat buah motor dibakar. Kerusuhan lebih besar siap terjadi, bala bantuan siap berdatangan menggunakan banyak bis. Sultan turun tangan. Perwakilan kedua suku dipertemukan, sultan ada di sana, dengan satu kalimat sederhana, persoalannya menjadi selesai.

“Jangan membuat kerusuhan di Jogja, kalau masih bertikai, kalian tak diizinkan belajar di Jogja, silahkan meninggalkan Jogja,” kenang Rudi menirukan sultan.

Kedua suku tersebut berdamai, empat buah motor yang dibakar diganti oleh pihak yang membakar. Ini menarik, sebab misalnya, di saat konsep restorative justice—­peradilan yang bersifat memulihkan para pihak—dikaji dan dikembangkan kriminolog John Braithwaite di Australia, di Jogja restorative justice sudah dilakukan.

“Sultan orangnya lembut tapi tegas,” lanjut Rudi. Rudi mengaku banyak belajar berinteraksi di Jogja.
“Di daerah saya, menatap mata itu merupakan hal yang harus dihindari karena dapat dianggap menantang, tapi di Jogja ternyata orang biasa menatap mata, saling sapa dan tersenyum, Jogja telah mengubah cara pandang saya,” kenang Rudi.

Rudi tidak berlebihan, suatu saat jika mampir ke Jogja, singgahlah di suatu tempat dan anda akan merasakan keramahan Jogja di tengah keberagaman.

Friday, December 16, 2011

Kisah Saljuku yang Pertama

Ini tulisan refreshing, ini tulisan yang easy reading saja, tentang salju pertama dalam hidupku. Melatih kembali otak dan jari-jari yang mulai kaku menari di atas keyboard.
Alhamduillah per 14 Oktober 2011 aku diberikan kesempatan olehNya mengunjungi sisi lain bumi ini, Kanazawa. Kanazawa adalah ibu kota Prefektur (Provinsi) Ishikawa, salah satu prefektur di Jepang. Kota yang ramah dan dikenal dengan kekayaan budayanya. Aku tiba menjelang winter (musim salju), jadi bisa melihat tahapan turunnya salju. Hari ke hari temperatur di Kanazawa semakin turun, dari 16 derajat celcius ke 11, 6, 4,1.
Suatu hari entah di suhu berapa gerimis turun di kampus. Menakjubkan, tetesan air berubah menjadi es-es kecil yang berpelantingan saat menyentuh aspal yang dingin, mengingatkanku akan Bandung dua puluh tahun lalu.
Ira Taskirawati, rekan dosen dari Universitas Hasanudin mendebatku, “Itu bukan hujan salju itu hujan es, belum salju kang Ferry anu kasep sa Wakunami! Wakunami adalah nama daerah tempat apato (apartemen) kami berada. Menjelang malam menuju apato, kumpulan kecil es nampak memenuhi jas hujan yang kusimpan di keranjang depan sepeda. Kucicipi segenggam kecil kumpulan es tadi. Segar. Kurasa aku mulai menyukai kota ini.
Hari-hari berikutnya hujan es mulai sering, jika sedang naik sepeda menuju kampus, rasanya seperti dilempari kerikil2 kecil yang dingin, seru, apalagi jika sudah kena telinga, peureus (bahasa sunda, yang susah dicari padanan katanya, apa ya, peureus tuh rasa seperti habis disintreuk/disentil).
Kami berpikir ini mungkin cara pemilik bumi ini mendesain temperatur secara bertahap, salju tidak ujug2/tiba-tiba datang sehingga tubuh kita bisa beradaptasi dengan suhu menuju 0 derajat hingga minus secara bertahap. Apalagi orang Indonesia seperti kami, perlu adaptasi menghadapi salju, tapi menurut Acep Purqon—dosen ITB-Kanazawa University yang sudah kami anggap kakak sendiri, meski Ianya belum tentu mau menganggap kami adik -- orang Indonesia adalah orang yang paling mudah beradaptasi di Jepang dibanding orang dari negara lain. Kemampuan adaptasi itu memang saya lihat sendiri, Insafitri, rekan dosen dari Universitas Trunojoyo leluasa masuk dapur orang-orang Jepang karena keluwesan dan kemampuan memasak masakan Indonesia, salah satu sensei (dosen) pernah minta diajari masak masakan Indonesia. Insafitri mengklaim mereka menyukai masakannya , tapi memang sejauh saya mencicipi masakannya, memang selalu enak. Di Jepang cuma ada 2 rasa: enak dan enak banget (ini menurut Astrit ‘Acit’ atau siapa saya lupa, teman-teman Double Degree ITB-Kanazawa Univ, dan memang ternyata demikian, hanya ada 2 rasa).
Balik lagi ke salju, setelah beberapa kali hujan es kecil, meski sebentar, salju akhirnya turun di malam hari setelah kami latihan tari Lulo (Sulawesi Tenggara) untuk pertemuan dengan perhimpunan persahabatan Jepang Indonesia (komunitas orang Jepang penyuka Indonesia). Seperti anak kecil bermain hujan semua gembira menyambut salju, ada yang menjulurkan lidah menyambut salju, ada yang mengumpulkan di sarung tangan dan mencicipinya. Sepanjang jalan pulang dari tempat latihan diselingi dengan sesi foto-foto. Tapi sejak saat itu salju tak pernah turun lagi selama seminggu.
Kami sudah mulai terbiasa dengan dingin. Hingga akhirnya butiran lembut putih itu datang lagi kemarin (16/12/2011). Aku di depan laptop di ruanganku di lantai 3. Yahoo Messenger berkedip. Gemala Anjani, rekan dosen pakar nutrisi dari Undip.
“Pulang kapan kang?”
“Masih lama, mau ke perpus perpanjang buku”
“Pulangnya jalan aja sih, hujan salju loh”

Segera kuhampiri jendela dan menyibakan tirai, subhanallah, putih menyelimuti pepohonan, jalan dan genting bangunan di bawah! Salju!

Urusan buku selesai. Janjian dengan Ema, di gedung Natural Science and Technology. Simbiosis mutualisme sebenarnya. Ia perlu teman jalan, saya perlu kamera Iphonenya dan berbaur dengan keajaiban alam ini. Kami bersepakat tentang dua hal. Pertama, suasananya sangat sempurna, malam, jalan, hujan salju, sangat indah. Kedua, Ema dan saya mengurangi kesempurnaannya . Aku menginginkan yang berjalan di sampingku adalah Dewi Wahyuni, ibu dari anak-anaku, tapi yang ada malah Ema . Ema menginginkan seseorang lain (yang belum jelas ) berjalan di sampingnya. Kami mengukir masing-masing nama itu di salju. Aku dan istriku, nampak romantis. Ema dan ***, nampak norak . Siapapun suami Ema kelak, orang Jepangkah, Indonesiakah, aku akan ikut merasa senang. Kami semua disini sudah seperti saudara, sudah biasa saling menghibur dan menghina.

Display di pinggir jalan menunjukan 0 derajat celsius! Dalam dunia hitung-hitungan yang kuingat di SMA, 0 derajat celsius adalah titik beku sementara 100 derajat celcius adalah titik didih.

Aku menyukai salju sebagaimana ia menyukaiku. Kadang ia kumakan dengan dua cara: lembut dan keras. Jika menginginkan salju lembut sapu saja dengan telapak tanganmu, langsung makan. Rasanya sama dengan seperti menyapu butiran salju di freezer kulkas kita. Sejak kecil aku suka makan kerokan butiran es di freezer. Kebiasaan itu diikuti dan disukai Aisyah, putri keduaku yang berumur 2 tahun, Ia suka makan es dari freezer, ekspresinya saat makan butiran es lembut sangat lucu. Kalau istilah Jawanya ngangeni. Cara kedua makan salju adalah dengan dipadatkan dalam genggaman tangan. Ini bisa seperti kue, aku menyebutnya kue salju. Bunyi krek saat kue salju digigit mirip dengan kue lebaran putri salju. Kue salju ini mirip es geprok yang dijual di SD-SD jaman dulu. Gusrukan/parutan es batu yang dipadatkan dengan cetakan batok kelapa kecil segenggaman tangan lalu dilumuri sirup merah, kuning atau oranye (udah lama gak pakai kata oranye  karena mulai digantikan dengan orange (orenj.pen)). Jenis es geprok ini juga ternyata ada di India juga sebagai jajanan jalanan. Kalau anda pernah nonton Tare Zameen Par (Every Child is Special/little star in the earth) yang disutradarai Aamir Khan, anda akan menemukannya dalam babak saat Ihsan membolos sekolah dan melihat semua aktifitas hiruk pikuk manusia dan keindahan alam. Ini film bagus, inspiratif, highly recommended.

Di apato aku dan Irfan Prasetia (dosen Univ Lambung Mangkurat), teman apatoku, girang bukan main, seperti anak kecil melihat mainan seru, melemparku dengan bola salju, agak kurang ajar memang, tapi sebagai 'kakak' (untuk tidak menyebut yang lebih tua:) aku harus bersabar menemaninya bermain. Tiduran di atas salju dan memandang salju yang turun dari langit adalah keasyikan tersendiri. Indah sekali, sayang begitu menengok yang di sebelah bukan Dewi Wahyuni, tapi Irfan Prasetia :) Piss Pak Irfan.

Di musim salju, mobil2 berjalan lebih pelan karena resiko tergelincir. Bannya pun khusus ban yang didesain menghadapi salju, lebih banyak guratannya. Dalam kondisi ekstrim ban dilapisi rantai.
Jepang punya 4 musim: Winter, Sring, Summer, Autumn (Kalau di-Indonesiakan bebas menjadi musim salju, semi, panas dan gugur). Rudy Yusuf rekan dosen sastra dan antropolog Univ Hasanudin menyarankan berfoto di satu tempat yang sama di 4 musim yang berbeda agar bisa terlihat perbedaannya. Aku, Rudy Yusuf, Herlambang Saputra (Poltek Univ Sriwijaya), dan Irfan telah memilih tempat dan berfoto di salah satu bangku taman kampus dengan latar autumn, saat daun-daun mulai memerah dan berguguran. Idenya seperti dalam cover album Guns N Roses yang sedang duduk dan menulis lirik lagu, agak norak memang.
Aku berencana bermain ski di winter ini. Rido Lesmana, sobat SMA yang tinggal di Jepang dan mencintai negeri ini (berikut orangnya  (Ia kemudian menikah dengan Asami dan tinggal di Chicibu, Prefektur Saitama)), menanyakan arena ski di Kanazawa. Ada satu di Kigoyama, tempatnya bagus, Jika ada kesempatan mungkin kami bisa bertemu.
Tulisan ini harus disudahi, aku ingin mencoba sepatu bootku di salju. Hmmm.. beruntunglah menjadi orang Indonesia, karena kita diberikan kemudahan beradaptasi. Semua makanan bisa kita makan disini kecuali yang diharamkan untuk dimakan. Miss Komatsu teman ruanganku belakangan bersyukur saat melihatku makan kerupuk Jepang dan berbagi dengannya. Dari awal ia sebenarnya ingin menawarkan makanan Jepang padaku tapi khawatir karena ada larangan yang ia tidak terlalu hapal. Lalu kukatakan aku pemakan segala, semacam omnivora, kecuali babi, sake, wine, bir, ayam dan hewan yang tidak disembelih dengan cara Islam, untuk segala jenis flora dan fauna di laut aku bisa makan semuanya . Ada pepatah asing bagus yang mirip dengan “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yakni “when you in Rome, do as Romans do,” (thanks to Miss Dolok (rekan Udayana) yang telah berhasil menggali pepatah ini dari Carol (Native dari Maine, U.S)). Jadi semua makanan Jepang bisa kumakan sejauh tidak diharamkan .
Kali ini benar-benar akan disudahi. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan, jadikan kami mahluk yang bersyukur, seperti salju yang menuruti perintah untuk turun ke bumi. Selamat datang salju, yokoso yuki!
***
*Judul tulisan ini terinspirasi dari lagu Vina Panduwinata tentang surat cinta dengan sedikit perubahan, judul awalnya bukan ini, sudah saya edit karena terlalu panjang. Judul awalnya “Kisah saljuku yang pertama, membuat hatiku meronta, seperti melodi yang indah, butir-butir saljunya”