Sunday, December 22, 2013

Ketika Satish Bicara, Saya Mendengar, tentang Islam di Gateway of India.

Pertemuan kami terjadi begitu saja. Saat saya dan Satish sama-sama menjadi perserta konferensi ke-5 masyarakat kriminologi asia di Mumbai, India. Pagi hari saya ke luar kamar ingin melihat geliat Mumbai di pagi hari. Kami menginap di asrama mahasiswa TISS (Tata Institute Social Science). Di area kampus menuju keluar itulah pertama ali saya melihat Satish dan berkenalan, rupanya Ia memiliki ide yang sama. Ia datang dari luar kota Mumbai. Setiap kota punya citranya masing-masing. “Mumbai means business, Delhi means politic,” jelasnya. Kami mampir ke pasar dekat stasiun kereta. Pasar dan stasiunnya mirip sekali dengan pasar-pasar dan stasiun kereta di Indonesia pada umumnya. Pasar selalu eksotis di pagi hari, geliat kota di mulai dari sini, penjual kelapa muda, koran, teh susu memulai harinya. Satish mentraktir saya kelapa muda, teh susu dan samosa, semacam gorengan khas India. Keramahan sebagai tuan rumah ini mengingatkan saya pada kebanyakan orang Indonesia.

Salah satu must-visit place dalam daftar saya adalah Haji Ali Road Mumbai. Satish juga punya daftar wajib kunjung, Gateway of India atau Mumbai Gateway. Haji Ali Road tak jauh dari Gateway of India. Gateway of India adalah sebuah monumen gerbang yang dibangun untuk memperingati kunjungan Raja George V dan Ratu Mary saat mengunjungi India 1911. Di tempat ini kita bisa naik perahu untuk menikmati suasana pelabuhan. Setelah naik perahu itulah, saya dan Satish terlibat diskusi menarik tentang visinya, tentang Islam, juga konflik antara India dan Pakistan. 


Islam adalah minoritas di India. Populasinya sekitar 15% dari total populasi 1,2 milyar penduduk, versi Priya, seorang kawan India, versi Wikipedia 13,4%. Konflik horizontal kerap terjadi, seorang pengacara India yang juga pegiat LSM, menceritakan kasus 15 pembunuhan muslim yang “di-peti es-kan” . Darinya juga saya tahu bahwa Komisi HAM di India tak memiliki hak menyelidik dan menyidik sebagaimana di Indonesia. 2008 terjadi pengeboman yang dilakukan Muslim di beberapa titik di Mumbai, salah satunya di Hotel Taj Mahal, bersebelahan  dengan Mumbai Gateway.  


Saat saya di sana 2013, sensitifitas hubungan muslim dan hindu masih terasa. Satish menyeret saya saat berlama-lama mengambil foto di stasiun Mumbai dan berakhir dengan sebuah obrolan satu jam di pelataran Mumbai Gateway.
“Pengebom itu berasal dari Pakistan, awalnya mereka meyangkal, tapi lalu bisa dibuktikan bahwa benar dari Pakistan,” paparnya. Menurut Satish banyak perbedaan yang bersebrangan antara Hindu dan Islam yang semakin membuat jarak diantara keduanya. Misalnya orang Hindu makan babi orang Islam tidak, Orang Hindu mensakralkan sapi, orang Islam makan sapi. Menulis dari kiri ke kanan, sementara orang Islam kanan ke kiri. “Saya tahu yang terakhir tidak berdampak apa-apa tapi sejak ini juga berbeda jadi semakin menambah “daftar perbedaan”,” jelasnya.

Dari Hindu-Islam obrolan berlanjut ke masalah populasi di India, tentang pandangan hidupnya. Satish bercita-cita membahagiakan, menampung,  menyukseskan anak-anak India. Ini selaras dengan studi yang ia ambil memang, social work. Anak banyak tapi tak berkualitas bukanlah hal yang baik. Ini berbeda dengan pandangan saya, bukankah lebih baik jika banyak anak dan berkualitas? Kami berdebat panjang soal ini.

“Ada posisi dimana sifat manusia bisa dekat dengan sifat Dewa, it seems that I confuse you?” tanyanya di akhir penjelasan panjang lebarnya.

“I like to be confused, saya mengerti, tapi manusia perlu keseimbangan,” jawab saya.

Saya belajar banyak tentang bagaimana orang memandang Islam dari sisi seorang kawan Hindu hari itu. Lebih banyak mendengar daripada bicara. Tentu saja, sebagaimana umum terjadi miskonsepsi ada di sana-sini. Saya tentu saja berharap Satish merasakan keindahan, keseimbangan dalam Islam sebagaimana yang saya rasakan, sebagaimana juga mungkin Satish berharap yang sama pada saya.  Tapi saya tahu agama dan hidayah bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Sebagaimana dituliskan dalam AlBaqarah 256 “ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” “There shall be no compulsion in (acceptance of) the religion. The right course has become clear form the wrong. So whoever disbelieves in Taghut and believes in Allah has grasped the most trustworthy handhold woth no break in it. And Allah is hearing and knowing.”


Tak terasa waktu Magrib hampir lewat,  saya diantar Satish menuju Haji Ali Road untuk mencari masjid dan sholat di sana.                  





              

No comments: