Tuesday, December 22, 2009

Prof Barda di Mata Kami


Prof Barda dan Mahasiswa SPP MIH Undip Angkatan 2008

Senin 15 Juni 2009. Jam dinding kelas menunjukan pukul 10.15 WIB saat Prof Dr Barda Nawawi Arief SH masuk kelas kami pagi itu, Kapita Selekta Hukum Pidana. Ia mengenakan batik berlengan panjang meskipun sebenarnya ia seorang Minang.

"Awaludiin mana? Nggak masuk ya? Masya Allah, Awaludin di sebelah Dike, gondrong sih kirain perempuan, aku nggak berani ngelirik,"katanya saat memulai kelas.

"Politikus itu prof." Eko Soponyono SH MH, asisten Prof Barda menimpali.

"Awaludin itu lebih cocok menjadi filsuf,"lanjut Prof Barda.

Awaludin adalah teman Abi dalam kelas Sistem Peradilan Pidana Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Undip. Pendiri Democratie Watch Organization (Dewa Orga), sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Semarang. Ia amat menyenangi filsafat, lengkungan hitam dibawah matanya menandakan ia melahap banyak buku.

Notebook Acer berlayar 14 inci milik Prof Barda dibuka, dinyalakan. Kabel dihubungkan pada proyektor Infocus. Prof Barda kemudian menceritakan pada kelas tentang email Awaludin yang dikirimkan kepadanya.

"Waktu itu Awaludin kirim email ke saya."

Dua paragraf email Awaludin ditampilkan dalam slide power point. Sebuah kalimat terpampang di layar depan kelas "Saya ingin kuliah di STF Driyakara, ingin mendalami filsafat, sehingga ketika saya pulang saya akan memadukannya dengan ilmu hukum dan akan menggelutinya sampai akhir hayat."

Pada intinya email tersebut berisi curahan hati Awaludin atas kesulitannya mengikuti perkuliahan Prof Barda. Awal mencurahkan kegelisahannya. Kukira wajar, ia lebih menyukai filsafat dari pelajaran apapun. Ia lelaki gondrong yang bersandal di kampus.

Prof Barda meminta izin Awaludin untuk memunculkan seluruh emailnya. Teman kelas menimpali meminta untuk ditampilkan semuanya. Awaludin tidak mengiyakan. Email versi penuh tak jadi ditampilkan.

Prof Barda kemudian memberikan nasihat pada Awal. Ia mengerti kesulitan Awal. Ia mengerti bagaimana tak mudahnya bekerja di LSM. Apalagi LSM yang didirikan Awal bermodalkan semangat, belum begitu besar dan dilirik lembaga donor.

Entah kenapa suasana kelas menjadi hening. Prof Barda lalu menyitir AaGym, da'i asal priangan. "Jangan kau risaukan apa yang belum kau dapatkan, risaukanlah apa yang sudah kau dapatkan. Kalau melihat email Awaludin ia memiliki kegelisahan. Apakah hanya anak muda yang memiliki kegelisahan? Apakah sebagai orang tua saya tidak punya kegelisahan? Saya juga punya kegelisahan. Kegelisahan saya adalah apakah nanti saya akan mati dengan husnul khotimah (akhir yang baik)?

Prof Barda tahu bahwa dirinya akan mati, dan sesungguhnya setiap orang menanti kematian. Meski masih enerjik, tahun ini Prof Barda genap berusia 66. Saya tiba-tiba teringat ucapan Nabi Muhammad SAW "orang pintar/cerdas adalah orang yang mengingat kematian." Pada dasarnya kita semua sedang menunggu kematian. Hanya persoalan waktu. Semoga kita termasuk orang yang mempersiapkan kematian.

Lalu Prof Barda menampilkan slide ayat yang telah diterjemahkan "setiap orang yang bernyawa pasti mati." Slide itu dilatari sebuah kereta kuda yang bergerak, siap menjemput siapa saja yang hidup. Lagu Opick tentang kematian menjadi lagu latar slide tersebut. Mata Prof Barda berkaca. Perlahan air matanya jatuh mengalir.

Seisi kelas hening, lalu menangis perlahan. Awaludin bersikeras menahan tangis namun kemudian pipinya basah. Air matanya keluar begitu saja tanpa dapat dibendungnya. "Saya nggak mau nangis, tapi tiba-tiba pipi saya basah, saya usap hapus, tapi basah lagi tak berhenti," paparnya suatu siang pada abi,Eko dan Ihsan yang serius mendengarkan di kosan rumah pohon. Kami bertiga terpaksa membolos siang itu untuk menyelesaikan hutangan sebuah tulisan.

Dike yang paling emosional tak dapat membendung air matanya yang deras. Lama hingga kemudian Dike bersuara sambil menahan tangis "Prof, saya ini bingung pertama kali masuk pidana, karena awalnya saya hukum internasional, tapi di Udayana saya ditempatkan di pidana, kemampuan saya menurun setelah menikah dan punya anak dua dalam waktu yang dekat, tapi berkat ketelatenan prof, saya kini bisa memahami."

"Jangan terlalu tergantung saya, tidak akan berakibat apa-apa, nanti frustasi lagi, punya anak lagi," Prof Barda mencairkan suasana. Dike tersenyum.

Bagus, alumni Brawijaya membuka suara. "Nama Prof Barda selama ini hanya saya ketahui dari buku, tapi kini saya bisa bertemu dan belajar langsung."

"Kami sebetulnya takut setiap Prof Barda masuk, karena keluasan ilmunya." Ridwan, dosen Untirta menambahkan.

"Jangan pujian semua, sampaikan kritiknya," pinta Prof Barda menengahi. Kukira apa yang disampaikan teman-teman bukanlah pujian, tapi memang begitu adanya. Bagus mengamini perkiraan saya.

Prof Barda kemudian menceritakan sepenggal kisahnya, menanamkan pada kami untuk bertekad sekuat tenaga menjadi 'orang'. "Saya pernah punya pacar sebelum saya menikah dengan istri saya. Tapi orang tuanya nggak setuju, karena saya belum jadi apa-apa. "Siapa itu Barda?" Keluarga besar saya juga banyak yang menyepelekan. Hingga akhirnya saya jadi orang, banyak yang menganggap keluarga."

Syifa, Aisyah, tak ada kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana hari itu. Tapi kurasa pertemuan hari itu menjadi lebih bermakna. Kami jadi bisa memaknai hidup lebih dalam.

***

Ayah Prof Barda meninggal pada usia 45, saat Barda kecil baru berusia 7 tahun. Sakit jantung menjadi jalan meninggalnya. Seorang mayor. Agresi militer ke II Belanda mengharuskannya bertempur membela negeri ini. Entahlah, mungkin terlalu lelah membuat jantungnya harus bekerja cepat hingga akhirnya berhenti berdetak.

Seperti Umar bin Khattab, Prof Barda orang yang keras tapi juga berhati lembut. Abi sesekali pernah kena marahnya kalau tak bisa menjawab pertanyaan. Kekecewaannya terlihat jika abi tak bisa mengimbanginya berdiskusi. Berhadapan dengan Prof Barda seperti mau perang. Kita harus menyiapkan banyak amunisi. Maka jika kita tak membekali diri dengan membaca buku dan persoalan kontemporer, itu sama artinya dengan bunuh diri. Bisa habis kita ditembakinya tanpa bisa melawan.

Syifa, Aisyah, sebenarnya ada beberapa hal lagi tentang kebaikan Prof Barda yang ingin abi tuliskan, tapi ia minta abi merahasiakannya agar tidak banyak orang yang tahu. Abi rasa abi harus menghormati pesannya. Abi beruntung berkesempatan bertemu, mengenal dan menimba ilmu darinya. Mudah-mudahan abi bisa mengambil banyak pelajaran dan meneruskan pada yang lainnya.


(Tulisan ini didasarkan penuturan Bagus, Awal, Dike dan beberapa teman lainnya)

6 comments:

Anonymous said...

ini foto yang kapan ya?

endamjuita said...

hai...
saya ARTA, mahasiswi MIH UNDIP program SPP 2009/2010.

saya juga nge-fans banget sama prof.barda.
pengalaman yang kalian alami juga kami rasakan di kelas kami.
prof.barda selalu memberikan kami motivasi untuk jd lebih baik. prof juga menjadi sosok yang sangat di IDOLA-kan dikelas kami.

klo ada rencana kegiatan yang berkaitan dengan prof.barda (dalam hal apapun) kabari kita ya...

kabari di
artameliala@yahoo.com

ok
thx

Ferry Fathurokhman said...

Baik Arta, tapi sepertinya intensitas interaksi kami dengan Prof Barda akan berkurang mengingat sebagian besar dari kami (termasuk saya) Insya Allah akan wisuda tanggal 28 Juli 2010 ini. Jadi kesempatan berinteraksi lebih dengan Prof Barda ada di angkatan kalian, manfaatkanlah. Saya merasa banyak hal yang belum saya tanyakan dan gali dari Prof Barda sementara sebentar lagi saya meninggalkan Undip. Saya mengenal beberapa MIH SPP 2009 seperti Pak Anton, Pak Jhon, Padri, Rangga, Fines.

endamjuita said...

ok kak ferry...

nanti kalo ada kegiatan yang berhubungan dengan prof.barda kami hubungi..

saya juga berteman dengan kak anton dan pak john...

nanti klo da info kabari kita ya kak.. bisa juga melalui kak anton..


eh,,,
kemaren blog ini saya sampaikan kepada prof barda.
dia senang dan berterimakasih...

ok..

isa said...

perkenalkan saya salah satu keluarga dari beliau...
saya baru pertama kali membaca kisah ini
jujur saya lumayan cukup deket dengan beliau tetapi saya jarang diberikan nasihat olehnya....
anda cukup beruntung diberikan nasihat olehnya

Ferry Fathurokhman said...

Iya Pak Isa, Salam takzim untuk beliau..