Wednesday, May 18, 2011

Syifa, Aisyah, Kemarilah. Kakekmu, Aman Sukarso, Mengalami Apa yang dalam Ilmu Hukum Pidana disebut Sebagai Rechterlijke Dwaling, Kesesatan Hakim.

Bismillahirohmanirrohiim. Syifa, Aisyah, mari sini, kuceritakan tentang sebuah kasus hukum yang menimpa kakekmu. Sebuah sejarah dalam keluarga kita. Sebuah tragedi sekaligus kekonyolan dalam Hukum di Indonesia. Hari itu hari Jumat, tepatnya 7 Januari 2011 saat kulihat kakek kalian, Aman Sukarso (kalian menyebutnya Babah) tampak lelah dan tak bersemangat. Tak pernah aku melihatnya semuram itu. Saat makan siang kutanyakan kenapa, apakah ada persoalan di KONI tempatnya bekerja atau ada persoalan lain? Ia benar-benar tak bersemangat bahkan sekadar untuk bercerita. Ia malah menanyakan rencanaku ke Baduy dalam rangka verifikasi hasil penelitian tesis sebelum dikonversi menjadi sebuah buku. Sabtu keesokan hari memang aku berencana ke Baduy, namun diundur ke Ahad 9 Januari 2011 karena belum ada kepastian dari seorang kawan di Baduy.
***
Malam menjelang kepergianku ke Baduy, kakekmu memanggilku untuk bicara berdua. Di ruang makan ia bicara dengan perlahan.
“Nampaknya ujian buat Apa (panggilan akrab kakekmu), buat kita belum berakhir. Jumat pagi ada orang dari Pengadilan Negeri Serang mengantar kutipan putusan kasasi dari Mahkamah Agung.”
“Apa udah senang, karena putusan kasasi Pak Rivai bebas, tapi pas ngeliat suratnya, masya Allah!”
Syifa, Aisyah, firasatku langsung tak nyaman. Pak Rivai yang disebut diatas adalaj Pjs Bupati Serang yang didakwa dengan pasal yang sama atas perkara yang sama, namun berkasnya dipisah.

Kakekmu lalu menceritakan bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung telah menyatakan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi. Hukuman yang dijatuhkan 5 tahun penjara dan denda 200 juta subsider 6 bulan pidana kurungan! Aku kaget bukan main. Tak bisa berkata-kata. Otakku berputar cepat mengarah pada Majelis Hakim Mahkamah Agung. Siapa Majelis Hakimnya? Ada apa? Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka musyawarahkan sehingga putusannya bisa seperti itu? Bagaimana putusannya bisa seperti itu? Aku benar-benar ingin tahu dan membayangkan apa yang terjadi pada hari diambilnya keputusan tersebut.

Sebabnya sederhana, aku mengetahui benar duduk perkaranya, menanyakan pada banyak orang yang terkait dengan persoalan tersebut tentang apa yang terjadi dan bagaimana itu terjadi? Aku bertanya pada Bu Mamah, bendahara yang mengeluarkan uang, Pak Toto Suharto kepala BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah), orang-orang di Dinas PU Serang: Pak Hidayat; Pak Suherman, bahkan aku menemui Haji Aep dan Suminta Sekjen Pendekar Banten yang dekat dengan pihak rekanan PT Sinar Ciomas Raya Contractor. Hasilnya sangat jelas dan gamblang, kesemuanya konsisten dan tidak ada kontradiksi. Hingga pada hari persidangan di tingkat pertama pengadilan negeri Serang semua kebenaran mulai terkuak, kebenaran yang nampaknya tidak dimunculkan oleh penyidik dan penuntut umum. Bahkan semua saksi ahli dari pihak jaksa penuntut umum berbalik meringankan dan memperjelas posisi kakekmu, termasuk saksi ahli dari BPKP Anggiat Tupal Pakpahan. Akan kuceritakan lebih detail bagaimana itu terjadi.

Kasus ini sebenarnya sederhana dan terang, namun dibuat rumit dan gelap karena ada dua berkas penting yang tidak dimunculkan oleh pihak penyidik dan penuntut: Rencana Definitif dan Surat Perintah Membayar Nihil (SPM Nihil). Di persidangan tingkat pertama PN Serang semuanya menjadi jelas. Kakekmu kemudian divonis bebas pada 13 November 2008, empat hari setelah nenekmu yang bersahaja, Aan Mulianah, meninggal dunia. Pada suatu sore, di sisi nisan di akhir do’a, kubisikan pada nenekmu, “Apa bebas mah”.

Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Aku berusaha bersabar saat membaca memori kasasi dari JPU. Seperti sebuah mainan puzzle, beberapa bagiannya yang telah jelas kembali tak dimunculkannya.

***
Semuanya berawal saat kakekmu mulai ditahan pihak Kejaksaan Tinggi Banten (Kalian bisa membaca kisahnya dalam tulisan berjudul The Call dalam blog ini untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk kronologis peristiwa). Penahanan kakekmu sendiri sebenarnya mengandung kecacatan hukum formal (lihat dalam tulisan Konfirmasi ke Kejati dalam blog ini, sebuah surat yang kukirimkan pada Kajati Banten). Sejak kakekmu ditahan aku mendalami kasus ini, menemui banyak orang, saksi-saksi dalam peristiwa tersebut, bertanya, mencatat, mengumpulkan dan membaca surat-surat. Dari penelusuran tersebut diketahuilah cerita lengkapnya:

Awalnya Pemkab Serang mendapatkan kawat (surat) dari pemerintah pusat (setneg) tahun 2004 yang memberitahukan Presiden Megawati akan datang ke Serang dalam rangka meresmikan Rau Trade Center (RTC). Adalah Kadin Banten yang mengundang kedatangan presiden untuk peresmian tersebut (Kesaksian mantan Bupati Serang Alm. Bunyamin di persidangan). Atas kawat tersebut Pemkab Serang kemudian mengundang DPRD Serang, DPRD Banten dan Pihak Propinsi Banten. Pada dasarnya membahas persoalan infrastruktur akses jalan ke RTC yang perlu perbaikan dan Pemkab Serang yang tak memiliki anggaran untuk memperbaikinya.

Dari pertemuan tersebut kemudian Pemprov Banten memberikan solusi bahwa dana perbaikan pekerjaan jalan menuju RTC akan dibantu didanai oleh Pemprov Banten. Terjadilah korespondensi surat antara Pemkab Serang dan Pemprov Banten, aku membacanya satu persatu. Salah satu surat dari Pemprov Banten sebagai balasan atas surat Pemkab Serang yang meminta bantuan pembiayaan adalah bahwa Pemprov Banten menegaskan bahwa wilayah akses jalan Pasar Induk Rau (PIR)/RTC adalah wilayah kerja/tanggungjawab Pemkab Serang, namun karena Pemkab Serang tidak memiliki dana maka Pemprov Banten akan membantu pendanaannya.

Dalam surat tersebut juga disebutkan karena tahun anggaran 2004 sudah berjalan, maka bantuan akan diberikan pada perubahan APBD 2004 atau pada tahun anggaran 2005. Pertemuan tersebut juga menghasilkan solusi bahwa Hasan Sochib, pemilik PT SCRC diminta Pemkab Serang mengerjakan pekerjaan jalan akses PIR terlebih dahulu. Permintaan tersebut dituangkan dalam surat partisipasi yang ditandatangani oleh Bunyamin. Dalam persidangan saat Hasan Sohib menjadi saksi, terbuka bahwa awalnya PT SCRC tidak mau mengerjakan akses jalan PIR kecuali ada jaminan bahwa pekerjaan yang dilakukan akan dibayar nantinya. Pemkab Serang saat itu tidak memiliki dana untuk memperbaiki jalan Rau karena belum dianggarkan.

PT SCRC kemudian mengerjakan akses jalan PIR dan melakukan penagihan setelah selesai mengerjakan. Aku membaca surat-surat penagihan tersebut, tidak hanya satu ada beberapa. Jumlah yang ditagihkan Rp.12 Milyar lebih. Atas tagihan ini, kakekmu menulis surat pada Bawasda dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk memeriksa pekerjaan tersebut. Bawasda mengalami kesulitan dalam pemeriksaan formal, karena pekerjaan tersebut dilaksanakan dalam keadaan tidak normal dimana Pemkab Serang tak memiliki anggaran sehingga Bawasda tidak dapat melakukan pemeriksaan. Sementara Dinas PU melakukan pemeriksaan materiel, pemeriksaan fisik.

Secara umum ada dua temuan berdasarkan pemeriksaan Dinas PU: (1) ada pekerjaan yang dilakukan meliputi jalan dan drainase; (2) nilai pekerjaan yang diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan. Hasil pemeriksaan PU menemukan bahwa nilai pekerjaan tersebut sebesar Rp. 9.862.857.000,-, bukan Rp. 12 Milyar lebih sebagaimana ditagihkan pihak PT SCRC. Nilai hasil pemeriksaan tersebut meliputi pekerjaan jalan Rp. 8.488.601.000,- dan pekerjaan drainase Rp.1.374.256.000,-. Maka Pemkab Serang hanya mengakui nilai berdasarkan pemeriksaan PU yang kemudian dikonfirmasikan pada PT SCRC.

Aku mengunjungi Pak Hidayat dari Dinas PU menanyakan perihal pemeriksaan ini. Ia menceritakan cara yang dilakukan PU dalam melakukan pemeriksaan pekerjaan yang telah dilakukan dengan cara mendrill/mengebor jalan mengambil sampel dan mengujinya di laboratorium PU, dari hasil lab tersebut akan diketahui jenis bahan, ketebalan, lapisan dan lain-lain.

Syifa, Aisyah, meskipun nilai pekerjaan telah diketahui, dan surat penagihan telah beberapa kali dilayangkan pada Pemkab Serang, namun Pemkab Serang belum bisa membayarnya karena belum ada dananya. Sementara dananya sebagaimana dibicarakan sebelumnya bersumber dari bantuan Pemprov Banten.

Pemprov Banten kemudian memiliki kebijakan pemberian Block Grant sebesar Rp 15 Milyar untuk setiap kabupaten/kota di Banten. Dalam surat Gubernur Banten disebutkan Pedoman umum penggunaan Block Grant adalah Rp. 5 Milyar untuk pendidikan dan Rp. 10 Milyar untuk infrastuktur, kesehatan dll. Aku membaca salah satu klausul surat tersebut. Salah satunya adalah pihak kota/kabupaten harus mengajukan surat permohonan terlebih dahulu kepada gubernur. Atas dasar surat itu kemudian Pemkab Serang menyerahkan pada masing-masing dinas terkait untuk mengajukan rencana definitif (RD) untuk diajukan sesuai dengan ketentuan surat gubernur tersebut. Dinas PU mengajukan RD sebesar Rp.8,5 Milyar. Salah satu itemnya adalah pembayaran Akses jalan PIR sebesar Rp. 5 Milyar.

Dalam persidangan juga dalam tahap penyidikan, pihak penyidik dan penuntut mengatakan bahwa pembayaran pada PT SCRC menyalahi ketentuan karena tidak disebutkan dalam surat gubernur tentang pembayaran akses jalan PIR. Mereka tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu?) bahwa ada klausul yang mengharuskan pengajuan permohonan dana kepada gubernur. Permohonan tersebut tentunya disertai dengan rencana penggunaan dana yang pengalokasiannya masih bersifat umum. Dan RD tersebut bukanlah hal yang tertutup, misalnya, kita bisa melihat alokasi apa saja yang diajukan Dinas Pendidikan atas Rp. 5 Milyar yang diberikan Pemprov, demikian halnya dengan Dinas Kesehatan dan Dinas PU. Dinas PU mengalokasikan Rp. 5 Milyar untuk pembayaran akses jalan PIR dan Rp. 3,5 Milyar atas beberapa item jalan lainnya. RD ini adalah salah satu dokumen yang tidak dimunculkan pihak penyidik dan penuntut umum.

PT. SCRC kemudian kembali menagih Pemkab Serang melalui Tb. Lulu Kaking. Tanggal 19 Mei 2005, Pemkab Serang menerima pemasukan ke Kas Daerah Pemkab Serang sebesar Rp.15 Milyar sebagai realisasi bantuan dari Pemprov Banten yang didalamnya termasuk Rp.5 Milyar untuk pembayaran akses jalan PIR sesuai pengajuan RD. Meski demikian, karena tahun anggaran 2005 sedang berjalan maka Rp. 15 Milyar tersebut akan dimasukan dalam APBD perubahan 2005. Sehingga tidak bisa langsung dikeluarkan, meskipun telah masuk kas Daerah Pemkab Serang. Namun demikian kakekmu mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pembayaran tahap I sebesar Rp. 1 Milyar pada tanggal 20 Mei 2005 dengan meminjam dahulu pada mata anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan. Persoalan ini dibahas bersama di Pemkab Serang, mencari mata anggaran yang bisa digunakan untuk dipinjam terlebih dahulu. Beberapa mata anggaran tidak dapat digunakan karena telah dianggarkan dengan spesifik misalnya perbaikan jalan Anyer. Sehingga mata anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan dipandang dapat dipinjam terlebih dahulu Rp. 1 Milyar, dari kurang lebih Rp. 5 Milyar yang ada sehingga kegiatan pemeliharaan jalan dan jembatan lainnya masih tetap dapat berlangsung. Pembayaran tahap II berikutnya dibayarkan sejumlah Rp.4 Milyar ke PT SCRC. Lalu berikutnya Pemkab Serang membayar lagi dengan SPM (Surat Perintah Membayar) NIHIL Rp. 1 Milyar. SPM Nihil ini adalah pengembalian dana Rp. 1 Milyar yang dipinjam dari mata anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan sehingga anggarannya kembali terisi. Jangka waktu pengembalian tersebut kurang lebih 1 bulan.

Jadi ada tiga SPM: Rp. 1 Milyar (pinjam); Rp. 4 Milyar; dan Rp. 1 Milyar (pengembalian/ SPM Nihil). Jadi total yang dibayar ke PT SCRC adalah Rp. 5 Milyar bukan Rp. 6 Milyar. Syifa, Aisyah kesemua kegiatan tersebut di atas melalui proses, mekanisme dan pembahasan bersama, detailnya dapat kalian lihat lebih lanjut dalam kronologis (dalam blog) atau memori PK di ruang baca (aku berencana menunggah memori PKnya ke dalam blog).

Dalam APBD perubahan 2005 kemudian, bantuan dari gubernur sebesar Rp 5 Milyar tersebut telah disahkan melalui Perda Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Perubahan APBD 2005. SPM Nihil dan Perubahan APBD tersebut yang juga menjadi kunci dan tidak dimunculkan pihak penuntut umum. Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul, dimana letak kerugian negara?

Sekarang, akan kuceritakan sebuah pertanyaan yang terlintas dibenakku. Peristiwa yang tidak diketahui umum. Kenapa harus dibayar tahap I Rp. 1 Milyar dengan meminjam pada mata anggaran pemeliharaan dan jembatan? Kenapa tidak menunggu hingga ditetapkan dalam APBD Perubahan 2005? Sebagaimana kuceritakan sebelumnya, aku menemui banyak orang untuk menelusuri persoalan ini. Seorang yang terlibat dalam proses pembahasan pembayaran tersebut menceritakan “Fer, sekiranya hari itu tidak dibayar, mungkin akan ada darah keluar, Ayahmu berusaha menyelamatkan orang,” paparnya.

Hari itu ada golok, emosi dan kejengkelan. Pemkab Serang dihadapkan pada situasi yang rumit. Adalah benar Pemkab memiliki utang daerah, pekerjaan telah dicek, nilai pekerjaan telah diketahui, ketersediaan dana sudah diketahui ada sejak bantuan masuk ke Kas Daerah Pemkab Serang 19 Mei 2005, namun belum bisa dikeluarkan. Aku mengonfirmasi persoalan golok ini pada kakekmu. Dalam pandangannya situasi itu muncul karena kejengkelan atas utang Pemkab Serang yang belum juga dibayar, sementara penagihan telah berkali-kali dilakukan, hal yang dapat dipahami. Maka kakekmu memutuskan untuk meminjam terlebih dahulu dengan pertimbangan ada dokumen yang mendasari pekerjaan tersebut, pekerjaan tersebut tidak fiktif, tidak ada mark up dan ketersediaan dananya telah ada.

Jika benar situasi saat itu begitu mencekam sebagaimana diceritakan maka sebenarnya dalam teori Hukum Pidana situasi tersebut dikategorikan sebagai daya paksa relatif atau vis compulsiva. Suatu situasi dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. Situasi ini menjadi alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Jadi jika seseorang melakukan tindak pidana dengan situasi diatas, maka tindak pidana tersebut ada dalam kategori alasan pemaaf dan menjadi alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond). Bayangkan, itu adalah contoh ekstrim, sementara dalam perspektifku, yang dilakukan Pemkab Serang bukanlah tindak pidana, tapi persoalan administratif. Kalau tindak pidana saja terdapat alasan pemaaf bagaimana halnya dengan kebijakan administratif? Apalagi kemudian dalam perubahan APBD 2005 bantuan gubernur untuk akses lajan PIR senilai Rp.5 Milyar telah diakui dan disahkan, maka pertanyaan besar kembali muncul, dimana letak kerugian negara? Bahkan yang ada Pemkab Serang masih memiliki kekurangan pembayaran sebesar Rp. 4.862.857.000,- dan dalam putusan kasasi Pak Rivai kekurangan pembayaran ini diakui oleh Mahkamah Agung.



Catatan di Persidangan

Aku menghadiri persidangan dan mencatat setiap pemeriksaan di persidangan. Hari demi hari keadaan semakin jelas. Ada banyak saksi yang saat ditanya majelis hakim tentang apakah ada kerugian negara menjawab tidak ada kerugian negara dalam persoalan ini, sebut saja RA Syahbandar (mantan kepala Bawasda), Toto Suharto (Kepala BPKD) dan banyak lagi.

Saksi ahli dari sebuah universitas di Bandung kemudian dihadirkan pihak penuntut. Dewi Kania Sugiharti ahli HAN mengatakan persoalan ini menjadi sah jika sudah dituangkan dalam Perda, dan saat ditunjukan Perda Nomor 13 Tahun 2005 tentang Perubahan APBD 2005 dimana bantuan gubernur untuk akses jalan PIR dicantumkan dalam APBD perubahan 2005 tersebut, ia mengatakan sah. Sangat jelas.

Lalu saat Soma Wijaya (ahli Pidana) diceritakan kondisi yang dihadapi Pemkab Serang saat itu bukan pengadaan barang dan jasa, karena Pemkab Serang tak memiliki dana untuk membangun jalan saat itu, sehingga yang dihadapi Pemkab Serang adalah penagihan yang barangnya telah ada. Saat ditegaskan apakah Keppres 80 tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa bisa diberlakukan pada kondisi tersebut. Dengan tegas ia mengatakan tidak. Pernyataan itu penting karena penuntut umum selalu memaksakan menggunakan Keppres 80 Tahun 2003. Kakekmu itu birokrat yang meniti karirnya dari bawah yang berhati-hati dalam bekerja, ia selalu mencari dasar hukum dalam bekerja. Situasi saat itu adalah situasi sebagaimana digambarkan dalam Pasal 19 ayat 2 PP No 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah bunyi pasal tersebut sbb:

“Pemerintah Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lain melalui kerjasama dengan pihak lain dengan prinsip saling menguntungkan”

Penjelasannya berbunyi sbb:
“Apabila Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan fasilitas pelayanan publik tidak memiliki dana ataupun dana yang ada tidak mencukupi, maka daerah dapat mencari alternatif- alternatif sumber pembiayaan jangka panjang melalui kerjasama dengan pihak lain termasuk masyarakat.”

Itulah kondisi Pemkab Serang saat itu, tidak memiliki dana. Sangat tidak relevan jika dalam kasus ini dipaksakan diterapkan Keppres 80 Tahun 2003.

Saksi yang menjadi kunci kasus ini kemudian dihadirkan jaksa, Anggiat Tupal Pakpahan dari BPKP. Karena BPKP lah yang menyatakan ada kerugian negara Rp. 5 Milyar. Setelah semua saksi dihadirkan, semua dibuat bingung (kecuali JPU, mungkin?) dengan keterangan Anggiat dan LHAI BPKP yang ia buat yang menyatakan kerugian negara. Hingga sebuah pertanyaan menguak persoalannya. Aku masih ingat, pertanyaan itu muncul dari Hakim Yohanes yang mengaitkan dengan pemeriksaan saksi dari Dinas PU Serang
“Saksi dari PU Serang menyatakan mereka memeriksa dan ternyata pekerjaannya ada lalu dicek di lab, sehingga nilainya diketahui, bagaimana menjelaskan ini?”
Akupun masih ingat jawaban saksi yang lulusan negeri Kanguru tersebut.
“Kalau orang yang mengerti tentang laporan keuangan, di akhir laporan kami cantumkan bahwa pemeriksaan yang kami lakukan tidak meliputi pemeriksaan fisik. Jadi hanya merupakan compliant test artinya hanya tes formal. Pemeriksaan keuangan selalu terdiri dari dua hal Compliant Tes/Formal Test dan Subtantive Test/Materiel test. Kedudukan subtantive test itu berada di atas compliant test, maaf saya sebutkan istilah asingnya subtantive over form. Kami tidak melakukan subtantive tes karena itu bukan bidang kami. Kami selalu bekerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kompetensinya, misalnya untuk jalan kami mintakan ke Bina Marga Jakarta. Untuk kasus ini juga kami mintakan tetapi mereka tidak melakukan pemeriksaan karena ada persoalan prosedur.”

“Lalu apa berarti PU Serang tidak kompeten dalam memeriksa, bagaimana jika seandainya pemeriksaan PU Serang ini telah diketahui sebelumnya oleh saudara?”

“Saya tidak mengatakan PU Serang tidak kompeten. Karena bapak bertanya seandainya, maka saya jawab juga seandainya, jika seandainya hasil pemeriksaan itu telah ada dan diketahui maka perhitungan/laporannya juga bisa berubah.”

Syifa, Aisyah, hari itu, semua menjadi jelas. Untuk lebih memperjelas, kakekmu meminta saksi lain dari Dinas PU yang turun ke lapangan memeriksa pekerjaan tersebut. Ia menyerahkan pada Dinas PU untuk menunjuk orang yang dapat menjelaskan persoalannya. Dinas PU menunjuk Ir Ishak Musa sebagai saksi. Dan keterangannya sinkron dengan Anggiat Tupal Pakpahan. Menurutnya saat ia dan tim Dinas PU Serang melakukan pemeriksaan, ada sebuah mobil yang orang di dalamnya memperhatikan dan menanyakan, mobil itu ternyata dari Jakarta, Bina Marga yang memutuskan tidak melakukan pemeriksaan.

Sempat terjadi ketegangan antara JPU Hidayat dan saksi Ishak Musa.
“Jadi saudara tetap melakukan pemeriksaan walaupun tidak ada SPK, tidak berdasarkan Keppres 80 dll?”
“Saya menjalankan perintah atasan untuk memeriksa pekerjaan akses jalan PIR”
“Saudara berani (tetap memeriksa)?”
“Berani.”
“Berani?”
“Sejauh itu merupakan perintah dan dalam lingkup tugas saya”
“Apakah saudara tahu jika hasil pemeriksaan itu akan dijadikan dasar pembayaran?”
“Saya hanya memeriksa pekerjaannya, sesuai dengan tupoksi saya, hasil pemeriksaan itu akan dijadikan apa bukan dalam lingkup tupoksi saya.”

Dialog di atas menjelaskan persepsi jaksa atas kasus ini. Jadi ia pikir hasil pemeriksaan tersebut sebagai pembenaran untuk dasar pembayaran. Syifa, Aisyah, aku tidak menanyakan persoalan ini pada seorang dari dinas PU saja. Aku menanyakannya pada banyak orang. Aku melakukan cross check, double check, triple check. Dan kesemuanya sama. Jadi jika pekerjaannya benar ada, apakah harus dikatakan tidak ada? Ada perbedaan yang tegas antara pembenaran dan kebenaran.

Saat ditanya hakim, Ishak Musa menjelaskan dengan lebih detail cara pemeriksaannya, meliputi pengukuran panjang dan lebar dan konsistensi lebar dari 5 akses jalan PIR sehingga dapat diketahui jumlah total panjang kilometer dan lebar jalan yang dikerjakan. Lalu diambil sampel, dibor di beberapa bagian, hasil perhitungannya menunjukan konsistensi ketebalan ATB dll. Kualitas pekerjaannya bagus sesuai standar di beberapa tempat bahkan di atas standar. Jalan tersebut hingga kini masih bagus dan layak digunakan.

Syifa, Aisyah begitulah. Ishak Musa mengakhiri agenda pemeriksaan saksi. Agenda selanjutnya adalah pemeriksaan terdakwa. Kulihat jaksa tak menanya detail karena kakekmu mengetahui detailnya, dan jaksa akan semakin tersudutkan, sebab semua saksi dalam pemeriksaan di persidangan malah meringankan kakekmu. Di pembuktian di persidangan kita perlihatkan apa yang tidak dimunculkan pihak penyidik dan penuntut: Rencana Definitif; SPM Nihil; dan Perda tentang APBD Perubahan 2005. Ketiga dokumen tersebut menjadi kunci bahwa ini kasus yang jelas namun dibuat tidak jelas. Kakekmu kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Serang tanggal 13 November 2008.

Tentang Saksi Ahli

Pada tingkat penyidikan di Polda Banten, tiga kolegaku diminta Polda Banten menjadi saksi ahli dalam kasus PIR ini: Efriyanto, Mirdedi dan Hilton. Ketiganya diminta keterangan dalam kapasitas ahli perdata, HAN dan Pidana. Aku tahu keberangkatan mereka ke Polda dalam rangka kasus kakekmu. Tapi aku tak pernah mengintervensi mereka, jadi aku tak bicara satu katapun pada mereka tentang kasus ini, dalam dunia kami, kebebasan menyampaikan pendapat haruslah dihargai.
Sepulang dari Polda, Pak Mirdedi menghampiriku.
“Aman Sukarso itu bapak Pak Ferry?”
“Iya, kenapa?”
Lalu Mirdedi menceritakan bahwa ia baru saja dimintai keterangan menjadi saksi ahli di Polda dan ia berpendapat bahwa dalam perkara tersebut kepentingan publik terlayani dll. Di luar dugaanku Efriyanto juga mengatakan tidak ada korupsi dalam kasus ini. Ia mengetahui ada putusan perdata, PT SCRC yang menggugat Pemkab Serang atas kekurangan pembayaran. Bupatinya telah berganti saat Pemkab digugat, Taufik Nuriman. Pemkab Serang kemudian meminta pihak kejaksaan negeri Serang menjadi pengacara negara untuk menghadapi gugatan tersebut. Gugatan perdata tersebut berakhir dengan perdamaian (akta van dading), point kesepakatan diantaranya adalah Pemkab Serang akan membantu menagihkan pada Pemprov Banten tentang kekurangan pembayaran.

Berbeda dengan Mirdedi dan Efriyanto. Pak Hilton sebagai ahli pidana mengatakan unsur korupsi terpenuhi dalam kasus ini. Syifa, Aisyah, tidak usah Hilton, akupun akan mengatakan hal yang sama jika data yang diberikan padaku tidak lengkap seperti itu. Rencana Definitif, SPM Nihil, dan Perda Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Perubahan APBD 2005 tidak dimunculkan dalam penyidikan dan penuntutan. Dan itu menjadi kunci kejelasan kasus ini. Kalau hanya ada 3 sila dalam pancasila, apakah kemudian masih bisa dinamakan sebagai Pancasila jika dua bagian lainnya hilang?

Syifa, Aisyah, dalam BAP kemudian aku hanya menemukan saksi ahli tiga dosen dari sebuah universitas di Bandung dan Hilton. Sementara keterangan Mirdedi dan Efriyanto tidak ada dalam BAP. Dalam pembuktian di persidangan hanya tiga saksi ahli dari Bandung yang dihadirkan JPU. Ketiganya ternyata diketahui tidak pernah ditunjukan adanya Rencana Definitif, SPM Nihil, dan Perda tentang Perubahan APBD 2005. Anggota majelis hakim Toto Ridarto di akhir pemeriksaan saksi ahli menanyakan “jadi saudara tidak pernah diperlihatkan dokumen-dokumen ini?”

Syifa, Aisyah, salah satu kerepotan kami sebagai saksi ahli, terkadang kita tidak diberikan gambaran yang utuh tentang suatu peristiwa. Atau fakta yang ditemukan terbatas. Beberapa kali aku diminta menjadi saksi ahli. Pernah dihadapkan padaku sebuah kasus pencemaran nama baik. Seorang istri yang sedang hamil bertengkar dengan suami karena suami sudah tiga bulan tak menafkahi, dan menemukan foto suami dengan seorang perempuan dalam dompet suaminya. Keduanya bertengkar, suami mengatakan ia telah menikah lagi dengan perempuan dalam foto. Istrinya marah-marah melaporkan suaminya ke kepolisian atas penelantaran rumah tangga. Menyebut nama perempuan dalam foto, wartawan menulisnya. Perempuan dalam foto membaca beritanya dan melaporkan si istri melakukan pencemaran nama baik, karena perempuan dalam foto mengaku tidak pernah menikah dengan suami si istri. Penyidik menyodorkanku foto, berita koran dan berkas lainnya. Peristiwanya mengarah pada terpenuhinya pasal pencemaran nama baik. Maka kukatakan pencemaraan nama baik telah terjadi, kecuali jika si istri dapat membuktikan bahwa si suami benar-benar telah menikah dengan perempuan dalam foto. Katakanlah jika si istri berhasil mendapatkan saksi atau penghulu yang menikahkan mereka, maka pendapat pertamaku gugur, pencemaran nama baik tidak terjadi.

Jadi sangat wajar jika Hilton mengatakan dalam kasus ini ada korupsi, demikian pula dengan tiga saksi ahli dari sebuah PTN di Bandung. Saat di persidangan, mereka tidak menyangka kalau ada dokumen-dokumen yang lain yang tidak dimunculkan dalam penyidikan. Tidakkah penegakan hukum di negeri ini menjadi konyol jika dilakukan dengan cara menyembunyikan data dan fakta?

Tentang Putusan MA yang Saling Bertentangan

Rasa penasaranku kemudian terfokus pada putusan MA. Putusan kakekmu bernomor 258 K/Pid.Sus/2009. Majelis Hakimnya H.M. Zaharuddin Utama, SH MM,; H.Mansur Kartayasa, SH MH; dan ketuanya R. Imam Harjadi SH MH. Diputus Rabu, 28 April 2010 dengan vonis 5 tahun pidana penjara dan denda Rp. 200 juta rupiah subsider 6 bulan pidana kurungan!

Ini benar-benar tidak masuk akal! Aku membacanya berulang-ulang. Dan menemukan berbagai kemungkinan kenapa putusannya bisa seperti itu. Salah satu analisaku adalah bahwa putusan tersebut mislead, karena RD, SPM Nihil, dan Perda 13 tahun 2005 tidak ada disebut dalam putusan tersebut. Rechterlijke dwaling, kesesatan hakim atau kesalahan hakim dalam mengambil kesimpulan telah terjadi dalam kasus kakekmu. Dalam ranah hukum pidana hal ini dimungkinkan terjadi. Kasus Sengkon dan Karta, Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, serta Rubbin ‘Hurricane’ Carter adalah salah satu contoh rechterlijke dwaling yang diawali dari kekeliruan dan kesalahan di pihak penyidik dan penuntut.

Dalam bagian hal yang meringankan kakekmu dalam putusan tersebut tertulis adalah bahwa terdakwa tidak menikmati hasil korupsi, karena seluruh uang yang dikeluarkan terdakwa diserahkan kepada Prof.H.Chasan Sochib PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (vide halaman 23 Putusan Kasasi MA Nomor 258 K/Pid Sus/2009)

Rumusan pasal 2 tipikor memang bukan hanya menguntungkan diri sendiri tapi dapat (baca: atau) juga menguntungkan orang lain (model perumusan alternatif). Sekarang mari kita analisis. Jadi menurut putusan tersebut Kakekmu dipandang menguntungkan orang lain. Pertama, diuntungkan dari mana? Utang Pemkab Rp.9.862.857.000,- dan baru dibayar Rp. 5 Milyar, maka masih kurang Rp.4.862.857.000,-. Kedua, dalam putusan tersebut tak dijelaskan dimana letak kerugian negara (karena memang tidak ada kerugian negara), padahal unsur kerugian negara dalam pasal 2 adalah unsur yang harus terpenuhi. Tambah konyol bukan? Jadi kakekmu itu dihukum atas apa? Kemerdekaannya telah dirampas, tidak tanggung-tanggung 5 tahun! Atas apa? Kerugian negara? Kerugian negara yang mana? Putusan itu tak memberikan jawaban.

Lalu kemudian aku membaca putusan kasasi Pak Rivai Nomor 346 K/PIDSUS/2009, diputus oleh DR.Artidjo Alkostar SH.LLM dengan anggota H.M Zaharuddin Utama, SH. MM dan R . Imam Harjadi, SH pada Rabu Juni 2009. Perkara dan jumlah uang yang sama namun berkasnya dibuat terpisah. Putusan tersebut membebaskan Pak Rivai. Memang seharusnya bebas karena memang tidak ada korupsi dalam kasus ini. Dalam bagian pertimbangannya putusan tersebut mengatakan : 4. Tidak ternyata terdakwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, karena kenyataannya Pemda Kab Serang masih harus menanggung kekurangan sebesar Rp. 4.862.857.000,- kepada PT SCRC (vide halaman 25 putusan Kasasi MA Nomor 346 K/PIDSUS/2009).

Kalau kita analisis, jumlah Rp.4.862.857.000,- yang diakui sebagai kekurangan pembayaran oleh MA tersebut merupakan hasil dari Rp. 9.862.857.000,- dikurangi Rp.5.000.000.000,- yang baru dibayar Pemkab. Jadi kalau begitu sekali lagi, kakekmu itu dihukum atas apa? Korupsi pembayaran tahap I Rp. 1 Milyar? Rp. 1 Milyar yang dibayarkan tersebut diakui oleh putusan MA yang diketuai Artidjo Alkostar. Dan memang begitulah adanya.

Aku mengetahui Artidjo Alkostar, aku menemukan dan membaca singkat disertasinya di sebuah perpustakan S2 dan S3 di Semarang mengenai korupsi politik. Disertasi itu kini sudah menjadi buku. Ia punya reputasi bagus. Tulisannya tersebar di jurnal dan surat kabar. Maka sebenarnya aku berharap kasus kakekmu ini jatuh ke tangannya namun ternyata tidak. Jadi aku benar-benar penasaran dan ingin menanyakan pada majelis hakim yang memutus kakekmu kenapa putusannya bisa seperti itu? Apakah tidak ada dissenting opinion saat musyawarah dilakukan? Apa yang terjadi?

Hukum itu melelahkan
Syifa, Aisyah, berhadapan dengan hukum itu melelahkan. Aku mendampingi beberapa perkara atas nama BKBH (Badan Konsultasi Bantuan Hukum) sebuah PTN, melelahkan, tapi terkadang tak tega melihat mereka yang awam dan kebingungan berhadapan dengan hukum. Aku menulis tentang patologi hukum di negeri ini: Minah; Prita; Risman Lakoro; Aspuri. Saat menulis tentang prita dan dimuat di sebuah buku antologi, aku bisa merasakan bagaimana perasaannya saat ditahan. Perasaan anak-anak dan suaminya, sebab kita mengalami hal yang serupa (lihat tulisan The Call dalam blog).

Seorang guru besar pernah menulis bahwa Indonesia ini merupakan laboratorium hukum yang luas. Ia benar. Maka kutulis tentang berbagai ketidakberesan dalam hukum. Tapi saat kasus hukum menimpa kakekmu, maka itu benar-benar menguras energi lahir dan batin. Kalian bisa bayangkan betapa melelahkannya persoalan ini. Betapa aku harus menulis tentang kasus ayahku sendiri. Nenekmu menangis setiap malam saat kakekmu ditahan, dan menanyakan padaku apa salah kakekmu? Hancur hatiku melihatnya. Selama ini aku selalu menjaga agar ia tidak menangis. Aku tahu ia tak bersalah, itulah sebabnya aku membela. Jika ia salah, takkan aku mengurusinya. Nenekmu kemudian meninggal tiga hari sebelum kakekmu divonis bebas PN Serang tanggal 13 November 2008. Sebagai muslim kita tahu bahwa nenekmu harus meninggal tanggal 9 November 2008, secanggih apapun alat kedokteran, takkan sanggup ia memundurkan tanggal kematian nenekmu. Namun mengingat ia memikirkan kakekmu merupakan hal tersendiri yang menyedihkanku.

Syifa, Aisyah, hukum di satu sisinya yang gelap dapat sangat melelahkan. Kondisi hukum sekarang bisa membuat orang menjadi gila. Hukum bisa memporak-porandakan kehidupan. Teaching order finding disorder. Sengkon harus dipenjara 6 tahun atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Risman Lakoro hancur jari jempol kakinya dihimpit kaki meja, dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Aspuri harus ditahan dan divonis atas sebuah persoalan yang merupakan error factie. Harta dan energi mereka terkuras habis mengurusi perkara. Jika dibandingkan mereka kita belumlah apa-apa. Kesamaan kita adalah bahwa kita merupakan korban dari peradilan sesat. Menjalani hukuman atas perbuatan yang bukan tindak pidana; perbuatan yang tidak pernah dilakukan; perbuatan yang seharusnya tidak dipidana. Tidak jelas.

Beruntung sebagai muslim kita diajarkan untuk selalu seimbang. Kata nabi, sungguh luar biasa seorang muslim, jika diberi nikmat ia bersyukur, jika ditimpa musibah ia bersabar. Kita sedang diberi ujian musibah. Maka merugilah jika kita tidak bersabar. Kita harus melawan dan mencari hikmah dibalik peristiwa ini. Untuk persoalan melawan, aku telah menuangkan semuanya dalam memori PK. Memori PK pengacara kurevisi hingga 3 kali, bahkan kali terakhir aku sendiri yang mengetik di rumah pengacara. Saat ini kabar terakhir memori PK itu sudah disampaikan ke MA. Aku mendatangi pihak Pemda yang terkait persoalan ini. Subhanallah mereka semua mensuport, memberikan dokumen yang dilegalisir. Semua yang mengerti tentang persoalan ini dibuat bingung dengan putusan MA yang menyatakan kakekmu bersalah. Dalam suatu sore saat aku minta tanda tangan Pak Toto untuk legalisir lampiran laporan realisasi perubahan APBD 2005 ia bertanya padaku
“Coba Fer analisis, kenapa bapak bisa dinyatakan bersalah?”
“Nampaknya mungkin karena SPM Nihil tidak dilampirkan/dimunculkan pak.”
“Itu! Jadi mungkin mereka kira uang negara hilang Rp 1 M,”katanya.
Aku terharu akan suport, dukungan dan do’a mereka. Kakekmu punya banyak kawan. Kekuatan kakekmu ada di silaturahmi. Dalam sebuah pengajian untuk kakekmu, seorang sesepuh ustad dari Baros Serang berujar “teu kahartos/(tidak dapat dimengerti)”.

Negeri kita memang sedang melawan korupsi, ia menjadi mainstream penegakan hukum. Tapi menjadi konyol jika dalam rangka mengikuti mainstream bertindak gegabah mengorbankan orang yang tidak bersalah. Aku jadi teringat Cesare Beccaria yang mengkritik hukum di abad 18 yang penuh dengan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan lalu dihukum “Saya, hakim, harus menunjuk satu orang salah. Anda, yaitu teman yang kuat, telah berhasil melawan daya siksa; oleh karenanya saya membebaskan anda. Anda karena lemah, telah menyerah pada siksa; oleh karenanya, saya menghukum anda....”
Dalam konteks dan gradasi yang berbeda, aku percaya ada beberapa orang yang menjadi korban salah menghukum dalam kasus korupsi hanya karena korupsi sedang menjadi mainstream penegakan hukum. Kakekmu adalah salah satu yang dapat kupastikan.

Syifa, Aisyah, aku berencana mengirimi surat pada majelis hakim yang menyatakan kakekmu bersalah. Mungkin akan terlambat, karena sangat menguras energi dan aku ingin membuatnya dengan baik, aku harus mengingatkan mereka bahwa palu mereka memiliki konsekwensi hukum. Aku tak tahu bagaimana akhir dari persoalan ini tapi yang lebih penting kedepan mereka harus berhati-hati sebelum memutus, jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Jika ragu lebih baik datangkan pihak yang dapat menjelaskan persoalannya menjadi jelas sebelum memutus, mereka diberikan kewenangan untuk itu.

Sekarang yang kedua tentang bersabar, kita harus tawakal menyerahkan pada pemilik bumi ini setelah kita berusaha. Persoalan hukum terkadang membuat orang berhenti berharap. Bayangkan, jika harapan saja sudah hilang, apa yang membuat seseorang tetap hidup? Maka berharaplah hanya pada Allah. Sampai sekarang aku masih mencari hikmah di balik semua ini. Ada skenario Allah dibalik semua ini. Kita harus ikhlas menerimanya. Aku selalu mengatakan, bahwa aku mengantarkan kakekmu ke kejari saat eksekusi bukan karena menerima putusan hukum, tapi menjalani ketetapanNya. Apa yang terjadi hari itu memang harus terjadi.

Syifa, Aisyah, kita sedang diuji. Maka bergembiralah. Kesedihan ini hanya sementara. Kita harus lulus ujian ini. Jika kita bisa melewati ujian sebelumnya, maka ujian ini juga akan kita lewati. Aku ingin melihat Allah tersenyum. Mungkin ini cara Allah agar kita kembali dekat denganNya. Tegakan kepalamu, aku bukan anak koruptor, kalian bukan cucu koruptor. Kita punya masalah besar, tapi kita punya Allah yang Maha Besar. Dan tak ada lagi yang perlu kau takutkan.

4 comments:

Anonymous said...

yah...itu memang harus ditelaah ulang fer...terkadang ego dari JPU juga harus dimaklumkan karena dia membutuhkan "nama baik" tanpa harus perduli bagaimana kondisi riil si terdakwa. Apa tidak ada solusi untuk banding (PK)? kalo saran saya memang seharusnya fery mengumpulkan lebih banyak barang bukti yang asli atau terlegalkan, dan meminta pernyataan ahli/saksi dengan barang bukti yang telah terlengkapi.

Ferry Fathurokhman said...

I am not sure you read all my writing above.
Trims sarannya, sudah saya lakukan.
Saya memahami kondisi tersebut, tapi bukan berarti membenarkan. Sama halnya jika ada penyidik menyiksa tersangka, kita memahami bahwa tumpukan perkara, rumitnya perkara, deadline, stress atas tekanan membuat jalan singkat sering dilakukan. Tapi kemudian tidak berarti hal tersebut dibenarkan. Contohnya Iwik dalam perkara Alm Udin "bernas", Budi Hardjo, Risman dan banyak lagi. Saya ada dalam posisi mencari solusi atas persoalan ini. Seperti halnya tolok ukur kinerja dan keberhasilan jaksa yang diukur dari vriijprak atau tidak. Menjadi masalah jika memang terdakwa dalam pembuktian di persidangan mengarah pada tidak bersalahnya terdakwa, apakah harus ditutuntut bersalah? Dalam catatan saya ada dua jaksa yang menuntut bebas terdakwanya Budi Hardjo dan Iwik (cek ulang, barangkali catatan saya keliru).

Anonymous said...

Pak Ferry, maaf kalau OOT. Dimana saya bisa membeli buku yang ditulis pak Aman Sukarso? thx before..

Ferry Fathurokhman said...

Di Kantor Korpri Serang, hubungi pak Even atau bu Herni di sana.

Atau di Kantor FB News Banten, Hubungi Lulu Jamaludin.

Atau di Anis Fuad, dosen FISIP Untirta.

Sama2