Thursday, February 03, 2011

Sistem Hukum Tradisional: Perubahan Kultural, Kontinuitas dan Reproduksi Hukum dan Peradilan Lokal di Bali, Banten dan Kalimantan Tengah

Makalah Dr des Alexandra Landmann MA phil saat Diskusi di Rumah Dunia
(Dipersilahkan mengutip untuk kepentingan akademik dengan menyebutkan sumbernya)

Studi ini merupakan kerjasama antara
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang;
Universitas Hindu Indonesia, Denpasar;
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangkaraya, Palangkaraya dan
Peace Research Institute Frankfurt

ISI
1. Kemajemukan hukum 1
2. Kontribusi Penelitian mengenai kemajemukan hukum 2
3. Kebudayaan, Pola Interpretasi dan Sistem Sosial 3
4. Anthropologi hukum 5
5. Keadilan lokal 5
6. Pengertian hukum adat 8
7. Proses 11
8. Definisi kerangka konseptual 11
9. Pendekatan penelitian 12
10. Konsep pluralisme hukum sebagai jawaban atas realitas sosial bhinneka tunggal ika 14
11. Daftar Referensi 15

1. Kemajemukan hukum
Pewaris, pembawa dan perumus nilai, norma, kebiasaan, dan perundangan adalah manusia secara individu dan berkelompok. Kehidupan manusia sehari-harinya dimaknai dan diartikan oleh gagasan pandangan hidup yang diyakini di dalam komunitasnya yang diikat lebih jauh oleh norma tertentu dalam hubungan sosialnya berdasarkan keanggotaannya dalam keagamaan, etnisitas, kebudayaan maupun kenegaraan. Demikian juga dengan sistem hukum, dimana komunitas-komunitas tradisional di Indonesia memiliki suatu sistem hukum yang dipengaruhi sistem kebiasaan lokal. Pada masa penetrasi kolonial, istilah hukum adat diterapkan para kolonialis Belanda untuk membedakan antara hukum kolonial dengan hukum tradisional, hukum lokal atau hukum lokal bernuansa Hindu atau Islam. Harus diketahui, di Indonesia sistem adat-istiadat dan sebutan lokalnya sangat bervariasi dari daerah ke daerah tergantung variasi dari corak budaya yang mendasarinya.

Komunitas-komunitas di Indonesia memiliki norma-norma tersendiri yang merupakan suatu pandangan untuk menata, mengatur dan menilai lingkungan, interaksi dan perilaku manusia. Komunitas juga mempunyai suatu sistem hukum lokal untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan kepentingan yang terjadi antar warga. Dalam perjalanan waktu, norma-norma dan adat-istiadat nusantara asli berubah, perubahan norma misalnya dapat disebabkan oleh pengaruh masuknya agama dunia seperti Buddha, Hindu, Islam atau pergantian penguasa (kolonial, negara, globalisasi) mnaupun pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sejak masa lima ratus tahun, sistem hukum holistik berciri lokal (nusantara asli maupun yang bernuansa agama universalis) telah mengalami 1.) interferensi dan perubahan oleh penetrasi penguasa kolonial dengan penerapan hukum Barat (pembaratan sistem hukum) dan 2.) penyeragaman oleh peraturan pemerintah nasional maupun regional.

Walaupun demikian, Undang-Undang Dasar tetap mengakui adanya masyarakat hukum tradisional, yaitu ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.’ (Pasal 18(2)).

Selanjutnya sistem hukum tradisonal lokal terus direproduksi, disesuaikan, dan direform sehingga pasal 1 ayat (12) UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan desa mengakui hak atas berlakunya sistem keadilan lokal, yaitu ‘Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam system Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten’. Adanya pasal 15 ayat 1(k) PP No 72 tahun 2005 tentang desa memberikan mandat kepada kepala desa, bekerja sama dengan lembaga adat, untuk ‘mendamaikan perselisihan masyarakat’. Kebijaksanaan tersebut itu juga merefleksikan akseptansi dan keperluan warga masyarakat Indonesia akan hukum tradisional lokal.

Indonesia adalah negara yang bercorak keragaman budaya (multi-cultural) maupun keyakinan, seperti dituangkan dalam motto “Negara Bhinneka Tunggal Ika ” termasuk kemajemukan sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini karena masyarakat Indonesia mempunyai beberapa “jalan penyelesaian perkara hukum” yang ditempuh sesuai keperluan masyarakat.

“Keragaman budaya merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara”. (Nurjaya, 2006).

“Secara antropologis, masalah atau perselisihan merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Ia tidak mungkin dihindari dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, yang penting harus dilakukan adalah bagaimana perselisihan tersebut dikelola dan diselesaikan secara damai dan bijaksana agar tetap berlangsung proses integrasi bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” (Nurjaya, 2006).

Disinilah bekerja aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dan sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering) dalam masyarakat. “Hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai institusi sosial yang bersifat otonom atau terpisah dari aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti politik, ekonomi, sistem religi, kekerabatan, struktur sosial, maupun ideologi. Karena itu, untuk memahami posisi dan kapasitas hukum dalam struktur masyarakat, maka pertama-tama harus dipahami kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara utuh”. (Nurjaya, 2006)

2. Kontribusi Penelitian mengenai kemajemukan hukum
Pada umumnya, kebanyakan penelitian tentang sistem hukum memfokuskan dan menekankan kepada individu-individu yang berdebat bahwa hukum negara dan hukum formal merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keadilan, dan kepastian hukum objektif. Sedangkan sistem keadilan informal atau mekanisme penyelesaian perselisihan alternatif yang didasari pada kebiasaan, nilai, beserta norma budaya dan peradilan lokal diselesaikan berdasarkan kekeluargaan musyawarah dan mufakat. Masyarakat Indonesia memiliki preferensi kuat atas penyelesaian perselisihan dengan menggunakan struktur peradilan lokal. Sistem hukum dan peradilan tradisional lokal sangat relevan dan penting dipelajari untuk a.) menghindari masalah, perselisihan dan konflik dalam masyarakat b.) mencari resolusi yang fleksibel dan bertahan pada jangka panjang berdasarkan campur tangan singkat elemen tradisional yang berhaluan solusi “goal/solution-oriented short intervention method” tanpa menimbul dendam dan konflik berkepanjangan dan c.) mengembangkan teori penyelesaian perselisihan alternatif, restaurative justice dan anthropologi hukum lebih lanjut.

Penelitian sebelumnya memaparkan bahwa penduduk Indonesia mempunyai preferensi untuk memilih sistem hukum dan peradilan yang berdasarkan kearifan lokal sebagai penyelesaian perselisihan, karena bukan salah benarnya dicari, akan tetapi dengan pendekatan holistis keseimbangan antara Ketuhanan Yang Maha Esa, Manusia, alam gaib dan alam diciptakan.

Pada zaman kerajaan Hindu maupun kesultanan Islam sangat terlihat adanya suatu system hukum ganda yang resiprok, yaitu adjudikasi atau mediasi yang dijalankan di kraton dengan naskah-naskah hukum tertulis yang bersifat umum, dan pendekatan kekeluargaan yang bersifat reativ, fleksibel dan tidak tertulis. Semenjak fase kolonial, kemajemukan hukum ganda yang asli nusantara maupun yang bernuansa agama dan yang berasal dari Eropa merupakan suatu realitas sosial di Indonesia, dan pada fase komtemporer warga Indonesia dapat memilih system hukum manakah yang paling menguntungkan atau cocok bagi pihak berselisih (forum shooping, Benda-Beckmann 1981).

Sejauh ini tidak banyak studi tentang sistem hukum dan peradilan informal padahal hal tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas, keamanan, dan harmonisasi masyarakat. Penelitian akan memberikan kontribusi penting dalam membantu mengisi kesenjangan informasi tentang system hukum peradilan informal lokal. Dari penelitian ini akan menemukan faktor-faktor dan mekanisme penyelesaian perselisihan lokal yang berhasil (alternative dispute resolution success-stories) dalam konteks sistem keadilan alternatif. Selain itu juga dapat dikembangkan konsep dan pemahaman mengenai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Penemuan ini bermanfaat untuk mengembangkan teori pluralisme hukum lebih luas sebagai model penyelesaian perselisihan alternatif yang berdasarkan dan memperhatikan a) kearifan lokal dan b.) pendekatan kekeluargaan untuk menghasilkan penyelesaian yang cepat, tanpa litigasi, adil, dan tetap berkelanjutan.

3. Kebudayaan, Pola Interpretasi dan Sistem Sosial
Dalam ilmu kebudayaan (antropologi) dan kemasyarakatan (sosiologi) konsep kebudayaan mumpunyai arti yang sangat luas. Konsep budaya yang diterapkan dalam studi ini adalah konsep kebudayaan sebagai program extra-somatis (di luar fungsi badan) yang menyediakan pola untuk pikiran dan perilaku manusia. Setiap generasi dalam suatu masyarakat mewariskan kepada generasi berikutnya hal-hal yang bersifat abstrak (gagasan, nilai-nilai, norma-norma) dan hal-hal atau benda-benda yang bersifat konkrit. Apa yang dipelajari atau apa yang diwariskan tersebut disebut secara umum kebudayaan. Melalui pengasuhan dan pendidikan, kebudayaan dilembaga dalam diri para anggota suatu kebudayaan, sehingga menjadi begitu dalam tertanam dalam pikiran dan perasaan anggota komunitas, sehingga mereka tidak mempertanyakan mengapa mereka berfikir dan berbuat menurut ’cara tertentu’ tersebut. Ada tiga sifat dari kebudayaan, yaitu:

1. Semua komunitas mempunyai kebudayaan, tetapi manifestasi lokal atau regional dari kebudayaan-kebudayaan bersifat unik
2. Kebudayaan bersifat stabil, tetapi juga dinamis, dan terus memperlihatkan perubahan-perubahan.
3. Kebudayaan mengisi dan menentukan jalan kehidupan anggotanya, namun kebudayaan tersebut jarang mengganggu alam sadar manusia


Kebudayaan memberikan warna pada suatu komunitas tertentu (kelompok, masyarakat, bangsa) yang menjadi acuan dalam memberikan arti, nilai dan aktifitas yang nyata bagi anggotanya. Budaya adalah semua hal yang memberikan kaidah untuk berfikir dan berbuat berdasarkan falsafah hidup sebuah kelompok sosial. Akibatnya, budaya memberikan pola interpretasi yang mengikat kebanyakan anggota dari suatu sistem sosial. Syarat utama bagi berfungsinya pola interpretasi adalah kompatibilitas atau kesesuaian antara setiap individu dari kelompok sosial. Suatu pola interpretasi berlaku di dalam suatu kelompok sosial secara umum dan pasti, bila semua anggota dapat meramalkan tindakan timbal-balik dari anggota kelompok sosial yang lain (prediktabilitas resiprokal dari sebuah tindakan). Hanya dalam kondisi ini, bila semua tindakan dapat diramalkan oleh anggota kelompok, kelompok sosial tersebut memiliki pola interpretasi yang sama, sehingga pola interpretasi tersebut menjadi dominan sebagai gambaran spesifik dari suatu identitas regional yang harus diterima, disimak, dipahami, dan ditaati berdasarkan ramalan timbal-balik yang berlaku secara umum dan bersama oleh semua anggota komunitas sosial-budaya.

Unit-unit pokok dari suatu sistem sosial adalah kolektiva-kolektiva dan peranan-peranan, dan pola-pola utama yang mengatur hubungan antara unit-unit tersebut adalah nilai-nilai dan norma-norma (nilai-nilai adalah pedoman luas untuk berperilaku, sedangkan norma merupakan aturan-aturan berperan dalam konteks nilai) (Parsons, T. 1965). Suatu sistem sosial menunjuk kepada suatu keseluruhan terangkai, yang menyangkut hubungan antar manusia, yang tercakup dalam pengertian interaksi sosial. (Blumer, 1981) Apabila interaksi sosial diulang-ulang menurut pola yang sama, dan bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama, maka terjadilah hubungan sosial. Kalau hubungan-hubungan sosial tersebut dilakukan secara sistematis, dan menurut kaidah-kaidah tertentu, maka hubungan sosial tadi berubah menjadi sistem sosial. (Soekanto, 1981: 7) Suatu sistem sosial merupakan wadah dan proses daripada pola-pola interaksi sosial. (Soekanto, 1981: 7) Fungsi untuk mempertahankan pola termasuk dalam kerangka hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial, dengan sub-sistem budaya memberikan jawaban terhadap masalah-masalah mengenai faktor-faktor dan falsafah hidupnya. (Soekanto, 1981: 8) Falsafah hidup tersebut kemudian terwujud di dalam sistem nilai-nilai, yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang harus dilakukan (benar) dan apa yang harus dihindari (salah). (Soekanto, 1981: 8)

Pengalaman berinteraksi tersebut menghasilkan: (1) Sistem nilai, yaitu konsep abstrak mengenai apa yang salah dan apa yang benar. Sistem nilai berpengaruh pada: (2) pola interpretasi manusia, yang kemudian membentuk: (3) Sikap manusia, yakni kencendrungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau keadaan tertentu. Sikap kemudian menghasilkan: (4) Perilaku, yang kemudian menjadi pola perilaku, yang apabila diabstraksikan, menjadi: (5) Norma atau kaidah yang merupakan patokan tentang perilaku yang pantas. Norma ini kemudian mengatur interaksi antar manusia atau hubungan interpersonal, (Soekanto, 1981: 66) maupun antara kelompok-kelompok sosial.

Kemudian proses-proses interaksi menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut cara (usages). Dalam perkembangan selanjutnya, cara-cara yang diterapkan menimbulkan kebiasaan (folkways). Kebiasaan yang diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan suatu bukti bahwa orang banyak menyetujui perilaku tersebut, sehingga penyimpangan terhadapnya dicela oleh umum. (Soekanto, 1981: 68) Apabila kebiasaan tersebut diakui serta diterima sebagai kaidah, menjadi tata kelakuan (mores). Tata kelakuan itu kemudian bervariasi diantara kelompok-kelompok sosial. Tata kelakuan yang bertahan serta kuat dengan perilaku warga masyarakat setempat, meningkat kekuatan mengikatnya menjadi adat-istiadat (custom). Baik kebiasaan, tata kelakuan maupun adat istiadat merupakan perilaku yang bersumber pada kesusilaan kemasyarakatan setempat. (Soekanto, 1981: 69) Dalam perkembangan selanjutnya, adat-istiadat sebagai kebiasaan setempat menjadi hukum adat suatu komunitas di wilayah tertentu, bila perilaku yang menimpang dikenakan sanksi yang bisa diprediksikan oleh semua anggota masyarakat akan. Hukum adat telah dilembagai, yakni diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai.

4. Anthropologi hukum
Penelitian ini menggunakan teori anthropologi hukum, khususnya pluralisme hukum (lihat Benda-Beckmann F. 1981; Black & Mileski, 1973; Griffith 1986; Merry 1988; Moore 1973,1978; Roberts 1998; Tamanaha 1993, Nurjaya 2004). Karena para ahli antropologi mempelajari hukum sebagai perilaku dan proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, pangkal analitis (analytical starting point) pluralisme hukum merupakan pengalaman nyata manusia, bukan negara dan lembaga hukumnya. Hukum dalam sudut pandangan antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978). (Nurjaya, 2004)

Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat. Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum adalah disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dalam kenyataannya di masyarakat dengan menggunakan pendekatan antropologis, realistis, systematis dan holistis. Pendekatan realistis tidak ikut pola ilmu hukum normatif yang menganggap suatu cita normativ yang seharusnya dilakukan dalam interaksi manusia (pendekatan idealistis), pendekatan realis lebih cenderung untuk bekerjasama dengan dan memperdayakan apa yang ada;

Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial. (Pospisil, 1971) Karena itu, studi antropologis mengenai hukum secara khusus mempelajari proses-proses sosial di mana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, diubah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat (F. von Benda-Beckmann, 1979, 1986).

5. Keadilan lokal
Popularitas keadilan informal adalah respon atas masa transisi Indonesia dan perubahan sosial yang pesat serta drastis. Tapi itu juga merefleksikan karakteristik di dalamnya yang justru cocok dengan kondisi lokal. Prosedur dan substansi sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan pentingnya keseimbangan dan restaurasi keseimbangan. Dalam hukum lokal nusantara tampaknya kurang penting menjari objektivitas akan siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan tujuan utama adalah menciptakan keseimbangan di antara Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia, alam gaib dan alam itu sendiri dengan mencari permaafan di pihak terlibat dan menghindari rasa dendam yang berkemungkinan akan menimbulkan rasa dendam bergenerasi karena masalah sebnerarnya tidak pernah diungkapkan.

Peradilan informal melekat dalam realitas politik dan sosial di tingkat lokal. Sebaigai tokoh dihormati dalam masyarakat, atau figur karismatik, pelaksana keadilan di luar negara mempunyai legitimasi dan otoritas sosial yang tidak selalu dimiliki oleh polisi atau hakim. Selain itu beliau-beliau juga mempunyai pemhaman sangat mendalam terhadap tradisi, nilai dan norma lokal. Tujuannya bersifat menghindari perselisishan, timbulnya dendam dan restoratif; dan prosesnya bersifat cepat, sangat murah dan goal-oriented. Menurut hemat saya, proses keadilan local dapat diibaratkan seperti short-intervention therapy di tingkat komunal, cara bekerjanya sama dengan psikolog pada tataran individu. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial.

Beberapa kekuatan dari peradilan informal sederhana dan lebih nyata. Peradilan informal lebih dapat diakses, cepat dan lebih murah dibandingkan pengadilan. Struktur-struktur dan norma-norma bersifat longgar (flexible), dalam arti untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial. Pranata pengadilan negeri terdapat di 440 kapubaten di Indonesia, sementara di seluruh Indonesia terdapat 70.000 desa. Kemudahan akses secara nyata adalah salah satu keuntungan yang jelas. Aparat desa, para pemimpin adat dan agama serta tokoh masyarakat adalah pelaku penyelesaian perselisihan. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh. Masyarakat lebih memilih system-sistem peradilan informal utamanya karena pelaku penyelesaian perselisihan dikenali, gampang ditemui, dan para pelakunya memiliki otoritas dan legitimasi di lingkungan pedesaan untuk memecahkan masalah dan melaksanakan putusan. Jadi, kekuatan berikutnya adalah kewenangan dan legitimasi lokal. Di tiga lokasi penelitian, para pelaku peradilan informal dianggap memiliki kekuatan supernatural – faktor ini meningkatkan kapasitas mereka untuk menyelesaikan sengketa lokal dan menjamin pelaksanaannya.

Faktor penting lain adalah kemampuan peradilan informal untuk menjaga keselarasan hubungan. Menurut survei Asia Foundation tahun 2001, kebanyakan responden yang memilih peradilan informal menyatakan bawa motivasi utama mereka adalah harapan mempertahankan kerukunan bersama. Kesukarelaan dan dasar mufakat juga memungkinkan kembalinya hubungan harmonis yang tidak dapat dilakukan dengan keputusan dari pengadilan. Para pelaku peradilan informal mampu mencapai kerukunan dengan kearifan kewenangan lokal mereka. Warga mencari bantuan dari kepala desa, pemimpin keagamaan dan tradisional karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan desa. Mereka bukanlah pelaku yang netral dan independen (sebagaimana yang diharapkan dari para hakim). Mereka secara langsung terlibat dengan perkembangan desa dari hari ke hari dan terbiasa dengan latar belakang sosial dan politik sengketa. Membedakan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi pemerintahan desa, hubungan politik dan sosial merupakan suatu usaha yang lebih teoritis. Usaha seperti ini jarang diikuti di tingkat lokal, sehingga pendekatan pluralisme legal sangat bermanfaat dalam penelitian ini.


Dari uraian diatas dapat diketahui, bahwa prinsip utama peradilan informal adalah pemulihan kerukunan dan keharmonisan sosial. Menjaga kerukunan sosial sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, dan para pelaku informal mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketika terjadi masalah. Ketertiban sosial sangat penting di masyarakat pedesaan, dimana saling ketergantungan sosial dan ekonomi sangat tinggi. Jadi, dengan sifat tidak saling berhadapan dan mengutamakan kompromi dan fleksibilitas, maka peradilan informal memiliki beberapa kelebihan dibanding keputusan hakim pengadilan. Dewan Adat mewakili komunitas secara keseluruhan dan melihat masalah melalui kacamata komunal. Kepentingan komunal mengalahkan individu, karena harmoni antar suku menjaga stabilitas dan keamanan desa secara keseluruhan. Norma sosial mengalahkan norma hukum. Norma yang diterapkan kadang-kadang jelas, tetapi yang lebih sering diterapkan justru adalah norma sosial yang berdasarkan rasa keadilan setempat atau apa yang layak menurut pertimbangan pimpinan desa. Dengan demikian, hubungan sosial dan kekuasaan biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa informal.

Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Sebagai alat utama untuk menyelesaikan perselisihan, efektivitas peradilan informal menentukan apakah konflik dapat dipecahkan dengan damai atau meledak menjadi kekerasan. Jadi, tindakan yang cepat yang didasarkan pada realitas sosial sangat bisa mencegah meluasnya kekerasan. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul tindakan yang cepat sangat diperlukan, dan dalam cerita sukses penyelesaian perselisihan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat (dalam dua-tiga minggu atau kurang).

Kekuatan selanjutnya adalah fleksibilitas. Karena norma, proses dan sanksinya biasanya tidak tertulis, para aktor dapat menemukan solusi dan menyediakan pendekatan yang cocok secara sosial, dan dibuat khusus untuk konteks masing-masing kasus. Setiap system hukum memiliki variansi norma yang lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk memenuhi keinginan mereka. Sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarkan kepentingan lembaga itu sendiri. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh K. v. Benda-Beckmann tentang Forum Shopping dan Shopping Forum. Dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sistem kebudayaan, system kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat.

Peradilan lokal benar-benar berjalan baik untuk kasus-kasus ringan yang dapat diselesaikan secara cepat dan damai. Kasus-kasus kecil di dalam satu desa pada umumnya mudah ditangani melalui penyelesaian secara informal. Otoritas dan legitimasi sosial yang dimiliki pelaku penyelesaian sengketa cukup untuk mencapai resolusi, tetapi ketika kasus yang dihadapi semakin rumit atau pihak dari luar desa terlibat atau pihak external turut campur tangan, peradilan informal mulai terpecah, dan sejumlah sangat kecil dari perselisihan tetap dapat dipecahkan. Terutama untuk sistem peradilan berbasis adat, pelaku yang menyelesaikan perselisihan hampir selalu berasal dari suku asli atau pribumi. Ini tidak berarti bahwa kelompok etnis lain selalu dilarang, tetapi pada dasarnya peradilan adat itu bersifat eksklusif berdasarkan asal etnis dan jenis kelamin. Proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan adat biasanya tidak cocok untuk sengketa antar etnis. Mekanisme peradilan tradisional lokal tidak dapat menunjukkan otoritas di luar batas desa. Akibatnya, sengketa antar desa dan yang melibatkan pihak-pihak ketiga yang berkuasa akan sulit untuk diselesaikan. Kasus yang melibatkan perempuan atau kelompok etnis minoritas biasanya juga sulit dipecahkan.
Secara keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal merupakan seperangkat proses yang dijalankan dan dikuasai oleh individu karismatik yang berpengaruh. Mereka menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan diterapkan. Hasil yang dicapai tidak mengacu pada hukum negara, adat, atau kebenaran obyektif. Hal itu tidak relevan. Sebagaimana kata seorang Kepala Desa di Lombok, Kamardi, ‘Yang kita upayakan adalah solusinya’(World Bank 2009). Hasil penyelesaian sengketa tersebut mampu menenangkan ketegangan, memberikan suatu solusi, paling tidak dalam jangka pendek. Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Itu membuka pintu untuk memberdayakan kewenangan, sebaliknya hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel.

Kelemahan adalah bias struktural terhadap perempuan. Perempuan memiliki modal politik yang terbatas di tingkat desa dan kota di Bali dan Kalimantan Tengah. Masalah-masalah hukum yang dihadapi perempuan (seperti isu-isu hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga), seringkali tidak ditanggapi secara serius atau diabaikan demi menjaga kerukunan komunal. Peradilan informal cenderung untuk mempertahankan keberadaan norma sosial dan hubungan baik. Perempuan dipisahkan dari struktur kewenangan lokal; kepentingan mereka sering diabaikan. Hal ini disebabkan dan dicerminkan dengan kurangnya keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian lokal dan sebuah paradigma yang mengobyektifikasi hak-hak perempuan. Menghindari konflik merupakan “strategi” umum bagi para perempuan. (World Bank 2009) Kebanyakan hukum adat biasanya dimaksudkan melindungi perempuan dari pelanggaran “moral”, seperti kehamilan diluar nikah dan pelecehan seksual (paradigma perlindungan). Dengan kata lain, melindungi kesucian perempuan adalah salah satu prinsip dasar utama dalam sistem hukum adat. Meskipun hal ini dapat melindungi hak-hak perempuan di keadaan tertentu, hal tersebut juga mencerminkan sebuah paradigma dimana perempuan dinilai sebagai obyek bukan subyek aktif terhadap hak mereka sendiri.

6. Pengertian hukum adat
“”Pengertian hukum perlu dibedakan dengan tradisi (tradition) dan kebiasaan (custom, adat), karena norma hukum memiliki arti yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam interaksi antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat”. (Nurjaya, 2004). Yang membedakan hukum adat dari kebiasaan merupakan adanya sangsi yang jelas dan sesuai dengan pelanggaran yang bisa diterapkan kepada si pelanggar, dan yang diketahui si pelanggar, bedasarkan kekeulargaan dulu, kemudian bedasarkan musyawarah dan mufukat lembaga aday yang berkaitan. Pada umumnya, si pelanggar akan ditegur dulu, tergantung berat ringannya pelanggaran akan diterapkan kemudian sanksi berupa denda, ritual atau pemafaan bertujuan memulihkan keseimbangan antara Ketuhanan Yang maha Esa, manusia, alam gaib dan alam. Pada pelanggaran berat yang menuju ke ranah kriminalitas tentunya akan dilempar ke institusi pemerintahan yang berwenang.

Inti kebudayaan atau model pengetahuan masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, seperti ‘sistem imam’/religi (faith-based system, religion) dan organisasi sosial. Sistem imam/religi dapat membentuk norma sebagai landasan hukum agama, dan organisasi sosial menjadi sumber norma untuk hukum adat dan hukum negara. Kedua sistem hukum dapat mengatur masalah yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Karena itu hukum agama, hukum adat, dan hukum negara sama-sama menciptakan keteraturan.

Norma adalah kaedah atau pedoman untuk perilaku dan interaksi manusia. keteraturan/tata normatif sebagai titik acuan (yang seharusnya) terdiri dari tipe-tipe norma didasari agama (morals), kesusilaan (ethics), adat istiadat (tradition), kebiasaan (custom) dan hukum (law). Bentuk dari norma tersebut ada yang tertulis, dikodifikasi dan dibukukan dan kebanyakaan tidak tertulis, sifatnya ada norma yang tegas dan kurang tegas, dan bila norma tertentu tidak dipatuhi disusul sanksi maupun tiada sanksi atas pelanggaran norma. Norma hukum mengandung persyaratan tertentu yaitu mengatur tingkah laku, dibuat pihak berwenang, mewujudkan ketertiban dan keadilan, mengikat dan memaksa, ada sanksi dan ditegakkan pejabat berwenang. Jadi, norma yang bersifat teratur, tegas dan paut-memaut dengan sistem sanksi merupakan ciri dari norma hukum.

Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai fasilitasi interaksi antar manusia (law as facilitation of human interaction), dan untuk mencapai keteraturan dalam kehidupan sosial (social order). Dalam wacana teori hukum dinyatakan bahwa kaidah hukum memiliki daya berlaku secara filosofis, dalam arti sesuai dengan cita hukum yang mencerminkan nilai keadilan dalam masyarakat; berdaya laku secara sosiologis, dalam arti diterima dan diakui sebagai norma yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; dan berdaya laku secara yuridis, dalam arti mempunyai landasan hukum menurut hirarkhi perundang-undangan. Yang diatur oleh kaidah hukum adalah perilaku masyarakat untuk menciptakan suasana keteraturan, ketertiban, dan kedamaian (order and peace) dalam kehidupan bersama. Sistem hukum formal terdiri dari institusi peradilan negara, jaksa, polisi dan penuntut.

Hukum dan peradilan informal kami definisikan sebagai semua bentuk penyelesaian sengketa di luar proses ajudikasi pengadilan formal. Ini termasuk sistem hukum adat/tradisional lokal sebagai salah satu bagiannya. Sistem hukum dan peradilan informal terdiri dari beberapa sumber hukum dan norma, yang tersedia dengan tingkat yang berbeda dan dengan kekuatan berbeda pada wilayah-wilayah penelitian.

Pengertian adat atau kebiasaan adalah aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, sedangkan adat-istiadat atau tradisi merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Adat atau kebiasaan adalah kebiasaan sehari hari yang tercipta secara tidak langsung dari suatu kebiasaan masyarakat pada diri seseorang (individu) yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan sekelompok orang tertentu, sedangkan adat istiadat adalah suatu etika sosial yang diciptakan oleh salah satu masyarakat pada jaman tertentu untuk menjalani hidup secara tertib dan teratur dan disiplin. Adat-istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat lokal. Adat istiadat adalah tata kelakuan, tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan kaedah-kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga ditaati oleh sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat tersebut telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat. Fungsi umum adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat.
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan-keputusan fungsionaris komunitas yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan hukum. Pengertian hukum adat kontemporer perlu dibedakan dengan pengertian hukum adat tradisional. Suatu adat-istiadat yang hidup yang menjadi tradisi dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum adat. Dalam penelitian ini, kami membedakan antara dua tipe hukum adat, yaitu tipe tradisional kami definisikan sebagai semua unsur hukum tradisional yang solid (tetap berlangsung, dianut dan ditaati pada masa lima ratus tahun yang lalu) dan dapat kami rekonstruksikan dari data sekunder dan studi lapangan etnografis tentang sejarah Bali, Banten dan Kalimantan Tengah. Hukum adat tradisional menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini.

Sistem hukum adat kontemporer kami definisikan sebagai sistem campuran antara unsur hukum adat tradisional setempat, unsur adat tradisional reformis (adat yang diadatkan dan adat yang teradat) termasuk peraturan desa setelah tahun 2001 dan 2004. Dalam tesisnya tentang daerah Sumatera Barat, Farid menemukan empat tipe “adat”:

1. Adat-istiadat (bentuk asli yang tidak dapat berubah, keturunan)
2. Adat (kebiasaan masyarakat untuk wilayah tertentu, seremonial)
3. Adat yang diadatkan (aturan yang datang dari pemerintah (negara) atau pemerintah daerah plus democratic village regulations)
4. Adat yang teradat adalah aturan berupa hasil kesepakatan rapat desa adat

Dari uraian di atas jelas, bahwa aturan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Indonesia cukup bervariasi: hukum Negara, hukum religi (Islam, agama-agama lain yang diakui tidak lagi memiliki hukum agama dengan pranatanya), hukum adat dan adat-istiadat.
Ruang lingkup hukum adat, jika dilihat dari substansinya, maka hukum adat meliputi baik yang materiel maupun yang spiritual – psikhologis. Oleh karena hukum adat berbeda dengan hukum yang berasal dari Eropa dan Amerika yang membedakan dan memisahkan antara materiel dengan yang spiritual. Sedangkan Hukum Adat manunggal keduannya. Oleh karena itu, hal yang substansi ini berpengaruh pula pada metode pemahamannya. Pemahamannya terhadap hukum adat harus dilakukan secara holistic dan selain hukum adat dilakukan dengan metode parsial sebagaimana sifatnya yang parsial itu.(Rato 2009)

Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di beberapa lokasi penelitian sudah ada upaya mengkodifikasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat. Ada pandangan bahwa dalam konteks modern, kodifikasi merupakan hal yang penting untuk legitimasi dan pengakuan dari luar terhadap hukum adat, sementara, ada juga pandangan yang menolak kodifikasi, karena bertentangan dengan sifat hukum adat yang dinamis. Ada khawatiran, kodifikasi hukum adat bisa membatasi penafsiran hanya pada perorangan atau kelompok tertentu tentang isi norma-norma yang diatur, sedangkan hal itu sering diperdebatkan. Ada juga kekhawatiran yang cukup beralasan, bahwa mendefinisikan kebiasan atau tradisi – termasuk proses penyelesaian sengketa – dengan meniru prosedur resmi pemerintah, bisa mengurangi fleksibilitas mekanisme peradilan informal (World Bank 2009). Di Kalimantan Tengah, misalnya sedang menyusun buku hukum adat setempat. Di Bali, ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya mengkodifikasi hukum adat, tetapi ada kecenderungan terhadap upaya kodifikasi adat lokal dalam bentuk peraturan desa (awig-awig). Akan tetapi, yang lebih sering ditemukan dari pada hukum adat tertulis adalah proses penyelesaian sengketa tanpa ada aturan atau norma yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasarkan konsep keadilan setempat atau apa yang secara subyektif dipikirkan oleh para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada sistem hukum tertentu. (World Bank 2009)

7. Proses
Proses penyelesaian kasus secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa yang sering digunakan (UNDP 2005, World Bank 2009):

1. Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis atau, lebih sering, lisan.
2. Pencarian fakta: mediator mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang bersengketa, saksi mata, dan tokoh masyarakat dari tempat tinggal mereka.
3. Pertimbangan fakta kasus: bisa dilakukan sendirian, bersama dengan dewan adat, atau dalam musyawarah. Untuk kasus rumit, proses ini bisa memerlukan beberapa kali pertemuan.
4. Mediasi atau Arbitrase “Ringan”: Mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencoba menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau sanksi. Ini bisa didasarkan pada hukum adat baik tertulis maupun lisan, hukum agama atau justru pandangan subyektif dari mediator.
5. Kesepakatan atau Penolakan: Pihak yang bertikai bisa menerima atau menolak penyelesaian yang ditawarkan. Kesepakatan kadang disertai dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari sistem hukum formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika kesepakatan penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih ke mediator lain, membawah kasus ke hukum formal atau menghentikan tuntutannya.
6. Penerapan: Kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangani justru untuk memperkuat tekanan dalam penerapannya. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa bisa menjadi faktor tambahan sebagai sanksi sosial. Ketakutan akan balas dendam atau proses hukum formal juga mendukung penegakan kesepakatan itu. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan kesepakatan ini tergantung pada kemauan orang yang bersengketa. Pihak yang berkuasa sering mengabaikan hasil mediasi.

Tentu saja ada variasi setempat terkait standar prosesnya.

8. Definisi kerangka konseptual
Dalam konteks Indonesia, peradilan informal adalah “penyelesaian perselisihan di tingkat lokal”(local level dispute resolution) – penengahan atau mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, pemimpin adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan kepentingan berdasarkan tradisi, bayangan hukum negara, terkadang hukum adat dengan pertimbangan harmoni, kurukunan dan stabilitas komunitas atau berdasarkan pendekatan subyektiv. Pelaku penyelesaian perselisihan/sengketa menggunakan kombinasi antara pengetahuan umum, pengetahuan sejarah, tekanan komunitas dan kompromi untuk mencari penyelesaian secara damai sehingga bisa menghindari terjadinya kekerasan (World Bank 2009). Tim peneliti menggarisbawahi pentingnya pengadilan informal dalam menyelesaikan perselisihan di Indonesia sebagai win-win solution.

Penelitian sebelumnya memaparkan berbagai alasan untuk preferensi akan peradilan informal. Ada pendapat bahwa preferensi akan keadilan informal merupakan konsekwensi dari kelemahan sektor peradilan, ada yang mengatakan bahwa orde baru menyebabkan kekosongan keadilan dan dependensi pengadilan, sehingga konflik sosial membludak pada pergantian abad ke 20, ada juga opini bahwa warga belum mampu sehingga tidak ada pilihan selain jalur keadilan lokal. Memperhatikan pandangan yang diuraikan di atas, dan mengingat bahwa penduduk pedesaan juga membentuk kubu signifikan dalam tingkat angka kemiskinan, atau berada jauh dari kota madya, beserta mengingat bahwa hasil survei BPS pada Maret 2008 lalu menunjukkan jumlah orang belum mampu mencapai 34,96 juta atau 15% dari total penduduk Indonesia, maka jalur keadilan yang digunakan 35-40 juta penduduk Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya, sangatlah relevan untuk ditinjau lebih lanjut.

Tim peneliti memiliki dugaan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendorong penduduk Indonesia untuk mempunyai preferensi akan penyelesaian perselisihan secara informal. Preferensi yang terlihat pada data statistik menunjukkan bahwa manusia Indonesia - khususnya yang tinggal di pedesaan - mencari orientasi dan dukungan pada komunitas yang mengelilinginya, realitas sosialnya dan norma- norma yang terkandung dalam komunitas dan realitas sosialnya, meskipun sektor peradilan telah berfungsi dengan baik, dan GDS (http://gds-indonesia.org) menunjukkan pula kepuasan penduduk yang tinggi dengan sistem peradilan formal. Data statistik juga memperlihatkan bahwa penduduk perkotaan lebih memilih jalan peradilan formal, yaitu peneliti mempunyai hypothesa kedua bahwa ada kesenjangan di antara preferensi jalur peradilan antara penduduk pedesaan dan perkotaan.
Singkatnya, kami mempunyai hypothesa bahwa preferensi akan keadilan informal tidak saja disebutkan oleh faktor politis, ekonomi, pendidikan, dan struktural, tetapi juga oleh unsur-unsur kultural-sosial, seperti struktur sosial, representasi kultural, pembagian tugas, beserta relasi status yang menunjukkan konstelasi-konstelasi spesifik dalam gugusan kepulauan Indonesia.

Memperhatikan pandangan yang diuraikan di atas, dan mengingati bahwa penduduk pedesaan juga membentuk kubu signifikan dalam tingkat angka kemiskinan, beserta mengingat bahwa hasil survei BPS pada Maret 2008 lalu menunjukan sejumlah orang belum mampu mencapai 34,96 juta atau 15% dari total penduduk Indonesia, maka jalur keadilan yang diggunakan 35-40 juta penduduk Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya, sangatlah relevan untuk ditinjau lebih lanjut.

9. Pendekatan penelitian
Penelitian ini diluncurkan untuk berfokus pada proses-proses mikro (micro processes) dari lembaga hukum adat yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, metode holistik (holistic method) dalam mengkaji kemajemukan hukum dalam masyarakat sangat membantu menjelaskan prinsip, norma, struktur, mekanisme, institusi-institusi hukum, dan bekerjanya hukum dalam masyarakat, serta keterkaitannya dengan aspek-aspek politik, ekonomi, religi, struktur sosial, ideologi, dll. Penelitian ini menggunakan metode holistik, dengan pendekatan anthropologi hukum, dan pendekatan historis.

Pendekatan antropologi hukum yang digunakan dalam membuktikan kerangka teoritis di atas adalah metode kasus sengketa (Hoebel, 1983) untuk dapat memudahkan mencari hukum apa yang berlaku. Karena model ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan metode kasus non-sengketa (Holleman, 1986) untuk menemukan ide atau prinsip normatif yang terkandung dibalik perilaku hukum yang aktual. Untuk menghubungkan individu sebagai pusat analisis dengan lingkungannya digunakan metode kasus dan konsep semi-autonomous social field. ( Moore, 1983).

Penelitian ini akan menelusuri dinamika perkembangan historis dengan melihat kontinuitas dan diskontinuitas dari sistem hukum adat tradisional dengan mendefinisikan gambaran yang akan dikumpulkan tentang kedudukan dan fungsi hukum dan peradilan lokal dari masa prakolonial sebagai independent variabel. Pada masa kolonial, bukan saja tata sosial dan tercampur budaya dengan budaya baru yang dibawa oleh kolonialisme, tetapi adat-istiadat, hukum adat dan hukum agama dimarginalisir dan dihadapkan dengan hukum positif formal Romawi-Eropa, sehingga secara alami terjadi sistem hukum plural di ’East Indies’.

Pada masa kolonial terjadi perubahan tata sosial dan otoritas tradisional, diperkenalkannya hukum positif barat yang menyebabkan pemahaman ganda atas sistem peradilan tradisional dengan dasar adat istiadat serta agama dan sistem peradilan yang didasari hukum positif. Pemerintah kolonial Belanda menghadapi keadaan ini dengan menerapkan hukum secara berbeda berdasarkan kelompok etnis. Artinya, orang Eropa mengikuti hukum Belanda, sedangkan orang Indonesia menjadi subyek hukum adat. Hukum adat sendiri sangat beragam–ada sekitar 300 kelompok etnis yang masing-masing memiliki hukum adat sendiri. Jadi, ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, warisan sistem hukum terdiri dari kombinasi pengaruh hukum adat tradisional lokal, kolonial dan Islam. Pluralisme hukum tidak saja suatu ’peninggalan sejarah’, melainkan mencerminkan kebiasaan dan keperluan akan keadilan dari warga masyarakat Indonesia saat ini.

Secara kelembagaan, status mekanisme peradilan desa juga bermacam-macam, merefleksikan ketegangan antara, pada satu sisi pengakuan keberagaman, dan pada sisi lain keinginan untuk kesatuan hukum dan “modernitas”. Hingga 1874, yang disebut Pengadilan Pribumi beroperasi sesuai dengan hukum dan prosedur adat. Pada 1874-1935, pengakuan terhadap pengadilan ini dibatalkan, meski dalam praktiknya tetap berlangsung. Pada 1935, pemerintah kolonial menghidupkan kembali peradilan desa dengan mewajibkan hakim mempertimbangan hasil Dewan Adat di pengadilan negeri. Ketika Republik baru dibentuk pada tahun 1945, kebijakan nasional mengajukan keseragaman sistem hukum. Secara institusional, pluralisme hukum dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kedudukan sebagai negara merdeka dan modernitas. Namun demikian, konstitusi beserta dengan amandemennya kemudian telah memberikan pengakuan bersyarat terhadap hukum adat.

Walaupun peradilan tetap menjadi salah satu dari lima fungsi pemerintah pusat, proses otonomi daerah yang diterapkan pada tahun 1999 telah membuka kesempatan untuk memperkuat atau mengubah penyelesaian sengketa informal. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk mengkonfigurasi ulang struktur pemerintahan desa – termasuk prosedur penyelesaian masalah – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan. Seiring dengan semangat otonomi, UU No. 22 Tahun 1999 juga membentuk Badan Perwakilan Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat dan membagi kekuasaan eksekutif pada tingkat desa. Pada sisi “yudisial”, pasal 101 ayat (e) memberikan otoritas kepada kepala desa, bersama dengan Dewan Adat untuk menyelesaikan perselisihan. UU No. 32 Tahun 2004, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 menghapus yurisdiksi ini, tapi kemudian dikembalikan lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dukungan untuk peradilan informal direfleksikan pula dalam dokumen kebijakan nasional pemerintah seperti terlihat dalam peraturan presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 9 atau UU 4 tahun 2004 tentang kekuasaaan hakim, Pasal 28 (Ayat 1), yang berbunyi Hakim ‘wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’. Di Kalimantan Tengah, inisiatif diambil untuk memperkuat pengakuan terhadap pemimpin adat, dikenal dengan nama “damang”. Di Bali sejak tujuh tahun ada gerakan ajeg, yang mengupayakan kodifikasi dan kelembagaan awig-awig pedesaan. Perubahan tersebut menempatkan etnis setempat dan elit laki-laki sebagai pemegang kendali. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa penegakan hukum mensyaratkan baik lembaga sosial maupun negara kuat dimana semua warga negara diperlakukan sama dan kepentingan serta nilai-nilai kehidupan mereka dihormati.

10. Konsep pluralisme hukum sebagai jawaban atas realitas sosial bhinneka tunggal ika

“We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law” (Cotterrell, 1995:306, pada Nurjaya 2004).

Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial, atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial, atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (Nurjaya 2004).

Secara empiris dapat dijelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia selain berwujud dalam bentuk hukum negara (state law) atau peradilan formal, juga berwujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum adat-istiadat (customary law) atau peradilan informal. (F. von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K. von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber, 1998). (Nurjaya 2004) Sistem peradilan formal maupun informal seringkali dalam teori hukum digambarkan berada pada posisi bertentangan (“opposite ends of a continuum”). Istilah yang lazim digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing sistem mengindikasikan adanya dikotomi: adversarial vs. restoratif; menang-kalah vs. sama-sama menang, lepas secara sosial vs. melekat secara sosial; netral dan tidak berpihak vs. berpihak dan diskriminatif; sistem yang berdasarkan aturan vs. sistem yang berdasarkan kekuasaan. (World Bank 2009).

Konsep pluralisme yang dikemukan disini tidak terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, akan tetapi penelitian ini mengedepankan konsep pluralisme hukum yang kuat dengan mengacu pada fakta empiris adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang mesti dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Jadi, konsep pluralisme hukum yang kami terapkan tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Maka, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat :

A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions.
(Kleinhans & MacDonald, 1997:31 pada Nurjaya 2004).

Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan norma-norma informal (informal norms) yang diciptakan dan dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu.

Professor Djokosutono, ahli hukum, telah menyesalkan bahwa pada proses pembentukan hukum nasional, tiada unsur dari system Hukum Kawi dari kerajaan Majapahit yang menjadi referensi bangsa Indonesia dalam motto Negara Bhinneka Tunggal Ika yang tetap dipertahankan. Beliau berkata: “Suppose that the legal code of Majapahit, applied by Gadjah Mada in governing the country had been put into script and had survived, we, Indonesians, would have had a real firm base for our national law, not as in present the time”. (Slametmuljana 1976: 100)

11. Daftar Referensi
Farid, M. (n.y.)Pluralisme hukum dalam kewenangan peradilan agama di Indonesia: kajian antropologi hukum di Daerah Sumatera Barat (http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76890)
Nurjaya, Nyoman 2004. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KONSEP PLURALISME HUKUM. Paper presented at international Conference “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11–13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta. (http://www.huma.or.id)
2006. Pluralisme hukum sebagai istrumen integrasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Forum Keadilan: 01, 30 April 2006
Ota, A. (2006). Changes of Regime and Social Dynamics in West Java. Leiden: Brill.
Pudjiastuti, T. (2004). Surat-Surat Sultan Banten Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia. Wacana, 6 (1), 80-94.
Rato, Dominikus, 2009: Pengantar Hukum Adat; Yogyakarta: LaksBang PRESSindo
Samadhi, T. N. (2003). Merevitalisasi Tradisi. Antropologi Indonesia, 27 (70), 77-92.
Sirtha, I. N. (2008). Aspek Hukum. Denpasar: Udayana University Press.
Smock, D. (2002). Islamic Perspectives on Peace and Violence. Washington, D.C.: United States Inst. of Peace.
Soekanto,Suryono (2008/ 1981). Hukum adat di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Steenbrink, K. (2006). Dutch Colonialism and Indonesian Islam. Amsterdam: Rodopi.
Tambiah, S. J. (1985). Culture, Thought, and Social Action. Cambridge: Harvard University Press.
UNDP (Morris, Chris; Rashid Norul; Charle, Suzanne; Diprose, Rachael); Justice For All?, An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia; UNDP Indonesia

Biography Alexandra
1996 - 2004 Studies in Southeast Asian Sciences, Religious Studies, and Psychoanalysis at the Goethe University, Frankfurt/Main
1998 Study of Indonesian language at Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
1999 Study of Indonesian Hindu Theology at Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Indonesia
2004 Magistra Artium (DAAD short-time grant for final thesis)
2005 Sworn translator of Indonesian language
2006 - 2009 PhD Candidate at and grant from Goethe University, Frankfurt/Main, affiliated to the IPP Religion in Dialogue
2009 Submission of doctoral thesis and disputation Nov 2010, promotion 2011
since 2009 Research Associate at PRIF

No comments: