Sunday, May 03, 2009

Mentelung!

Ini tulisan lama, tentang sebuah tempat menyenangkan. Sebuah keluarga. Komunitas para penghuni surga. Saya bukanlah apa-apa dibanding mereka. Andai saja mereka membaca ini, saya ingin menyampaikan, bahwa saya mencintai mereka.

Malam ini (9/8) adalah pertama kalinya saya buka situs Sekolah Peradaban. Saya mendapatkan alamat website ini dari Pak Yudi Arianto, saat bersilaturahim ke rumahnya di Taman Cilegon Rabu (8/8) kemarin menengok Bu Yoosi. Pak Yudi adalah suami dari Bu Irna Yoosi, ’founding mother’ Sekolah Peradaban. Semoga Bu Yoosi bisa menikmati sakitnya kemarin. Lho koq menikmati? Ya begitulah, di Islam sakit adalah nikmat, pelebur dosa. Ada banyak hal yang ada dalam sebuah sakit.

***

Tulisan Pak Eko tentang Ode Kampung adalah tulisan pertama yang saya baca. (berhubung istilah ”pak” dan ”bu” agak kurang nyaman untuk dibaca dalam bentuk tulisan populer, maka di depan nanti hanya ada Eko tanpa ”pak”). Yang membuat saya terenyuh adalah detail dan kepekaan yang dimilikinya, sesuatu yang mulai pudar dari diri saya.

Saya terdiam melihat tulisan Eko tentang bagaimana ia melihat kematian, perhatian detailnya terhadap sekitar. Kata nabi orang yang cerdas adalah orang yang mengingat mati. Sementara terkadang kematian demi kematian berlalu di kiri kanan saya begitu saja, lewat secepat kilat. Dan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun menjadi penyudah tanpa diselami maknanya. Padahal mati adalah nasihat, hanya saja ia tak bisa bicara.

Mengingat wajah Eko berarti juga mengingat Ayat, Haepi, mas Wawan, Irma, Okti, Bu Endah (yang ini pake ”bu” karena menjadi ibu kami semua di Sekolah Peradaban) Nenty, Ari, Dwi dan sejumlah wajah mentelung lainnya—mentelung adalah istilah jawa yang ’di-sekolahperadaban-kan’ menjadi wajah yang kelelahan. Istilah mentelung pertamakalinya ’ditelurkan’ mas Wawan saat memasang jaring plastik hitam di atas lapangan basket. Waktu itu seperti biasa setelah anak-anak peradaban pulang, guru-guru selalu mendesain sesuatu untuk keesokan harinya. Jaring hitampun dipasang memayungi lapangan basket agar teduh. Tiap sisi ditarik hingga mas Wawan berteriak, ”stop-stop udah mentelung.” Jadi saking semangatnya jaring itu ditarik melampaui batas maksimalnya hingga mentelung.

Maka setiap ada kata mentelung pasti ada tawa menyertainya. Bagi saya, mentelung menjadi filosofi tersendiri di Sekolah Peradaban. Guru-guru di Sekolah peradaban adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka menembus keterbatasan yang ada hingga mentelung. Hebatnya wajah mentelung hampir tak kelihatan jika sedang belajar dengan anak-anak. Seperti hari tadi, saya mendengar mas Wawan berbahasa Inggris di kelas sebelah.

”Apa kabar?” Tegas mas Wawan

How are you,” jawab anak-anak.

“Siapa kamu?”

Who are you,” jawab anak-anak serempak.

Suara mas Wawan menggelegar hingga ke kelas saya, semangatnya menembus dinding kayu kelas. Lalu bel selesai belajar berbunyi. Jam pelajaran usai. Saya beres-beres, ke kantin sebentar membayar reward anak-anak di kantin (kami bermain cerdas cermat di arena outbond saat pelajaran Bahasa Indonesia hari ini, menang kalah sama dapat hadiah, hanya dibedakan besar kecil berdasarkan juara), lalu naik tangga menuju perpustakaan dan menemukan mas Wawan, tertidur! Mentelung. Beberapa hari ini ia juga harus begadang menemani istrinya yang terjaga oleh tangisan si kecil Riwanjani.

Begitupun dengan yang lain. Eko saat masih ngajar di kelas kinestetik selalu bersedia jadi sasaran empuk anak-anaknya. Ayat menjadi gudang curhatan anak-anak linguistik, kadang ada yang berantem, kelompok-kelompokkan dll. Haepi selalu menjadi teman mancing dan main layangan made in sendiri anak-anak kinestetik. Dan begitu mereka semua pulang, sasaran kita hanya satu, tempat rata untuk rebahan yang selalu berujung ketiduran dan teguran Irma atau Okti 5-10 menit kemudian , rapat-rapat! Yup, rapat untuk esok hari.

Itulah salah satu alasan yang membuat saya kembali ke Sekolah Peradaban, ada anak-anak dan guru-guru yang mentelung. Mungkin itu juga alasan Okti kembali ke Sekolah Peradaban, saya tidak tahu. Beberapa wajah mentelung lama telah pergi, sebagian besar menikah dan ikut dengan suaminya pindah ke kota lain. Sekarang wajah mentelung baru meneruskan keceriaan Sekolah Peradaban ada Lukman, Marwah, Agus, Bahjah, Eka, Diah, Furqon, Ade, Rizki, Ros dan banyak lagi. Yang terakhir disebut masih rajin mengajar meski perutnya semakin membesar dan mendekati waktu kelahiran. Mudah-mudahan proses kelahirannya nanti lancar dan menjadi anak sholeh/ah penerus peradaban Islam. Amin.

No comments: