Prof Barda Nawawi Arief adalah nama yang membuat saya menjatuhkan pilihan untuk belajar di Universitas Diponegoro (Undip). Beliau menjadi ‘magnet’ untuk orang-orang yang ingin belajar hukum pidana. Saya mengenal namanya sejak kuliah S1 di Bandar Lampung, bukunya jadi rujukan banyak mata kuliah bidang pidana. Ada dua nama lagi di Undip yang terkenal dan menjadi ‘magnet Undip,’ Prof Satjipto Rahardjo, dan Prof Muladi. Maka begitulah, akhir triwulan 2008 saya mulai menjalani kuliah di Program Magister Ilmu Hukum Undip, dan perjumpaan dengan Prof Barda pun dimulai.
***
Prof Barda sudah memukau mahasiswa baru sejak awal bertemu dalam matrikulasi yang didesain untuk mahasiswa pascasarjana. Pelajaran yang terima sejak matrikulasi adalah soal ide. Beliau menayangkan kreasi Allah SWT dalam mencipta. Capung yang menginspirasi lahirnya helikopter, laba-laba dalam membuat sarang. Saya lama termangu apa hubungan ini semua dalam dunia hukum, dalam ilmu hukum. Baru dalam pertengahan kuliah kemudian kami diberi pemahaman bahwa tuntutan kompetensi S1 dengan S2 itu berbeda. S1 (sarjana) dituntut untuk dapat menegakan hukum (law enforcement), sementara S2 (magister hukum) dituntut untuk dapat merumuskan hukum (law making), maka ia dituntut untuk dapat melihat kekurangan dari perumusan hukum (peraturan) dalam rangka merumuskan hukum yang lebih baik. Oleh karenanya seorang magister hukum dituntut untuk dapat membuat hukum, kemampuan untuk mencipta.
Idenya Apa?
Sahabat, teman, dan rekan saya, atau pun mahasiswa pasti sering mendapat pertanyaan ini dari saya, idenya apa? Dalam membuat acara, skripsi, tesis atau apa pun saya terbiasa mendasarkan diri pada ide, termasuk jika seorang rekan mengusulkan sesuatu maka pertanyaan saya adalah soal idenya. Soal ini sebenarnya tanpa sadar saya belajar dari Prof Barda, terutama dalam hal ilmu membuat, ilmu mencipta yang disampaikan pertamakalinya dalam matrikulasi. Dalam sebuah perkuliahan berikutnya beliau menyodorkan gambar kursi, membuat kursi. Kursi itu beragam bentuk dan fungsinya. Ada yang statis, tidak beroda, tak bisa berputar, kaku. Ada yang dinamis, flexible, beroda, bisa berputar kiri kanan. Kursi dibuat didasarkan pada kebutuhan, statiskah? dinamiskah? Begitu pun dalam membuat hukum, idenya apa? tujuannya apa? Apa yang ingin dicapai? Apakah mau dibuat rigid, kaku, tertutup, atau fleksibel, terbuka. Jadi sebelum membuat sesuatu, kita harus tahu idenya terlebih dahulu.
Begitulah, hari demi hari pikiran saya mulai terbuka, menemukan hal-hal baru. Prof Barda mulai membekali mahasiswanya dengan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana. Pondasi kami diperkuat. Rudolfus Tallan, kawan seangkatan yang jadi pengacara-cum-dosen di Kupang bercerita bahwa Prof Barda telah membuatnya percaya diri untuk bicara tentang Hukum Pidana. Saya berselaras dengannya, semakin percaya diri bicara soal hukum pidana, duduk sejajar dengan pakar pidana lainnya. Belakangan kepercayaan diri tersebut tidak saja hanya terjadi di level lokal dan nasional, tapi juga meningkat saat harus bicara sejajar dengan peneliti dan dosen asing. Atas izinNya saya berkesempatan melanjutkan sekolah di luar. Saya pamit pada Prof Barda yang telah berjasa berkenan memberikan surat rekomendasi untuk melanjutkan studi S3. Berbagai pengalaman terjadi di sini khususnya dalam hal bicara dalam forum-forum ilmiah skala internasional, dan dasar ilmu hukum dari Prof Barda telah banyak membantu. Pernah dalam sebuah kesempatan dalam Kongres Dunia tentang filsafat hukum dan ilmu sosial (Internationale Vereinigung für Rechts-und Sozialphilosophie) di Bello Horizonte Brasil 2013, seorang pemakalah Brasil di sesi kelas pidana ‘macet’ saat menyampaikan idenya tentang bagaimana sebuah undang undang harus ditulis “Undang-undang itu harus memenuhi tiga syarat, lex scripta....,” macetnya.
Saya meneruskan “lex certa, lex stricta,” refleks saya.
“Nah itu, sepertinya sama konsepnya di tiap negara,” lanjutnya lega.
Ia tentu saja tidak tahu bahwa tiga syarat tadi saya dapatkan di perkuliahan prof Barda. Dan tiba-tiba saja saya menjadi banyak teman pasca sesi tersebut, diskusi berlanjut hingga di luar kelas dari Gustav Radbruch, hingga ketertinggalan Hukum Pidana dari perkembangan zaman sebagai akibat asas legalitas dan kerigidannya. Saya menemukan persoalan yang sama di tiap negara terkait asas legalitas, soal listrik yang jadi perdebatan apakah dapat dikategorikan sebagai barang dalam konstruksi delik pencurian. Di kita selesai dengan arrest Hoge Raad, di Jepang dengan revisi pasal KUHP, sebagaimana juga ternyata terjadi di Brazil. Persoalan sama yang terjadi di tiga negara tersebut merefleksikan adanya persoalan pada asas legalitas. Jadi begitulah, lewat bekal dasar ilmu dari Prof Barda, perjalanan intelektual dimulai, bicara dari satu conference ke conference lainnya di berbagai negara. Kalau jadi, Insya Allah, tanggal 5-9 Juli 2018 saya akan ke Kyoto, presentasi di Doshisha University. Kali ini presentasi soal peradilan etik di Indonesia, khususnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersama Firdaus, seorang doktor hukum yang menjadi tenaga ahli DKPP dan juga dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Semacam collaborative writing-lah, idenya begitu. Semoga terlaksana, abstrak sudah diterima, tinggal dua hal, buat paper dan cari sponsor. Beda perjuangannya dalam conference di luar dan di dalam itu hanya satu. Kalau kita di luar maka pusingnya hanya satu, buat paper. Kalau di kita, pusingnya dua, buat paper dan mencari sponsorship, tapi berangkatlah, Insya Allah, Rock n Roll saja . (bersambung)…
***
Tulisan ini telah lama direncanakan akan ditulis, sebagai sebuah sequel dari tulisan terdahulu "Prof Barda di Mata Saya" yang saya buat di 30 Desember 2009, sembilan tahun yang lalu. Kalau dulu saya menulis dari perspektif teman-teman, tulisan kali ini adalah perspektif saya.
***
Prof Barda sudah memukau mahasiswa baru sejak awal bertemu dalam matrikulasi yang didesain untuk mahasiswa pascasarjana. Pelajaran yang terima sejak matrikulasi adalah soal ide. Beliau menayangkan kreasi Allah SWT dalam mencipta. Capung yang menginspirasi lahirnya helikopter, laba-laba dalam membuat sarang. Saya lama termangu apa hubungan ini semua dalam dunia hukum, dalam ilmu hukum. Baru dalam pertengahan kuliah kemudian kami diberi pemahaman bahwa tuntutan kompetensi S1 dengan S2 itu berbeda. S1 (sarjana) dituntut untuk dapat menegakan hukum (law enforcement), sementara S2 (magister hukum) dituntut untuk dapat merumuskan hukum (law making), maka ia dituntut untuk dapat melihat kekurangan dari perumusan hukum (peraturan) dalam rangka merumuskan hukum yang lebih baik. Oleh karenanya seorang magister hukum dituntut untuk dapat membuat hukum, kemampuan untuk mencipta.
Idenya Apa?
Sahabat, teman, dan rekan saya, atau pun mahasiswa pasti sering mendapat pertanyaan ini dari saya, idenya apa? Dalam membuat acara, skripsi, tesis atau apa pun saya terbiasa mendasarkan diri pada ide, termasuk jika seorang rekan mengusulkan sesuatu maka pertanyaan saya adalah soal idenya. Soal ini sebenarnya tanpa sadar saya belajar dari Prof Barda, terutama dalam hal ilmu membuat, ilmu mencipta yang disampaikan pertamakalinya dalam matrikulasi. Dalam sebuah perkuliahan berikutnya beliau menyodorkan gambar kursi, membuat kursi. Kursi itu beragam bentuk dan fungsinya. Ada yang statis, tidak beroda, tak bisa berputar, kaku. Ada yang dinamis, flexible, beroda, bisa berputar kiri kanan. Kursi dibuat didasarkan pada kebutuhan, statiskah? dinamiskah? Begitu pun dalam membuat hukum, idenya apa? tujuannya apa? Apa yang ingin dicapai? Apakah mau dibuat rigid, kaku, tertutup, atau fleksibel, terbuka. Jadi sebelum membuat sesuatu, kita harus tahu idenya terlebih dahulu.
Begitulah, hari demi hari pikiran saya mulai terbuka, menemukan hal-hal baru. Prof Barda mulai membekali mahasiswanya dengan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana. Pondasi kami diperkuat. Rudolfus Tallan, kawan seangkatan yang jadi pengacara-cum-dosen di Kupang bercerita bahwa Prof Barda telah membuatnya percaya diri untuk bicara tentang Hukum Pidana. Saya berselaras dengannya, semakin percaya diri bicara soal hukum pidana, duduk sejajar dengan pakar pidana lainnya. Belakangan kepercayaan diri tersebut tidak saja hanya terjadi di level lokal dan nasional, tapi juga meningkat saat harus bicara sejajar dengan peneliti dan dosen asing. Atas izinNya saya berkesempatan melanjutkan sekolah di luar. Saya pamit pada Prof Barda yang telah berjasa berkenan memberikan surat rekomendasi untuk melanjutkan studi S3. Berbagai pengalaman terjadi di sini khususnya dalam hal bicara dalam forum-forum ilmiah skala internasional, dan dasar ilmu hukum dari Prof Barda telah banyak membantu. Pernah dalam sebuah kesempatan dalam Kongres Dunia tentang filsafat hukum dan ilmu sosial (Internationale Vereinigung für Rechts-und Sozialphilosophie) di Bello Horizonte Brasil 2013, seorang pemakalah Brasil di sesi kelas pidana ‘macet’ saat menyampaikan idenya tentang bagaimana sebuah undang undang harus ditulis “Undang-undang itu harus memenuhi tiga syarat, lex scripta....,” macetnya.
Saya meneruskan “lex certa, lex stricta,” refleks saya.
“Nah itu, sepertinya sama konsepnya di tiap negara,” lanjutnya lega.
Ia tentu saja tidak tahu bahwa tiga syarat tadi saya dapatkan di perkuliahan prof Barda. Dan tiba-tiba saja saya menjadi banyak teman pasca sesi tersebut, diskusi berlanjut hingga di luar kelas dari Gustav Radbruch, hingga ketertinggalan Hukum Pidana dari perkembangan zaman sebagai akibat asas legalitas dan kerigidannya. Saya menemukan persoalan yang sama di tiap negara terkait asas legalitas, soal listrik yang jadi perdebatan apakah dapat dikategorikan sebagai barang dalam konstruksi delik pencurian. Di kita selesai dengan arrest Hoge Raad, di Jepang dengan revisi pasal KUHP, sebagaimana juga ternyata terjadi di Brazil. Persoalan sama yang terjadi di tiga negara tersebut merefleksikan adanya persoalan pada asas legalitas. Jadi begitulah, lewat bekal dasar ilmu dari Prof Barda, perjalanan intelektual dimulai, bicara dari satu conference ke conference lainnya di berbagai negara. Kalau jadi, Insya Allah, tanggal 5-9 Juli 2018 saya akan ke Kyoto, presentasi di Doshisha University. Kali ini presentasi soal peradilan etik di Indonesia, khususnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersama Firdaus, seorang doktor hukum yang menjadi tenaga ahli DKPP dan juga dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Semacam collaborative writing-lah, idenya begitu. Semoga terlaksana, abstrak sudah diterima, tinggal dua hal, buat paper dan cari sponsor. Beda perjuangannya dalam conference di luar dan di dalam itu hanya satu. Kalau kita di luar maka pusingnya hanya satu, buat paper. Kalau di kita, pusingnya dua, buat paper dan mencari sponsorship, tapi berangkatlah, Insya Allah, Rock n Roll saja . (bersambung)…
***
Tulisan ini telah lama direncanakan akan ditulis, sebagai sebuah sequel dari tulisan terdahulu "Prof Barda di Mata Saya" yang saya buat di 30 Desember 2009, sembilan tahun yang lalu. Kalau dulu saya menulis dari perspektif teman-teman, tulisan kali ini adalah perspektif saya.
No comments:
Post a Comment