Tuesday, July 23, 2013

Brazil Menggila!

"Spanyol menggila pak," ujar Awaludin marwan (Luluk), seorang filsuf muda Indonesia yang kuliah di Onati, Spanyol, suatu hari dalam sebuah pesan muka buku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Mabuk tiap malam, di pinggir jalan."

Spanyol kini dalam masalah, angka penganggurannya sekarang (2013) 27,2%. Sebagai perbandingan, Jepang sekitar 4 koma sekian persen, dan Indonesia 6 koma sekian persen.

Aku kemudian merasakan apa yang Luluk rasakan. Mungkin ini yang disebut gegar budaya. Aku berkesempatan mengunjungi Brazil, di negara bagian Minas Gerais ber-ibukota Belo Horizonte, sekitar 1 jam naik pesawat dari Rio de Janerio, 40 menit pesawat dari Sao Paulo.

Sekira pukul tiga pagi, seorang perempuan muda kaget saat berpapasan denganku di koridor hotel. Ia baru saja turun dari taxi, Tangannya reflek rikuh memastikan bagian tubuh atasnya tak terlalu terbuka, yang tentu saja sulit ditutupinya. Ini ramadan, aku harus mencari sesuatu untuk sahur. Tapi suasana ramadan benar-benar tak terasa di Brazil. Penduduk muslim di sini tak sampai satu persen, hanya nol koma sekian.            

Bar-bar di Belo buka hingga pagi buta, perempuan berpakaian tak karuan, berciuman dan berpelukan di pinggir jalan dengan pasangannya. Tak peduli orang sekitar sebagaimana orang sekitar juga tak begitu peduli. Hotel-hotel yang menawarkan sewa kamar singkat bertebaran, tertempel di pintu hotel. 

Aku terpaksa membeli dua buah donat keras di sebuah bar. Tak jauh dari donat itu ada seonggok daging dengan bola mata yang sudah digoreng, sudah tak berbentuk, tapi kemungkinan babi. Di dalam bar orang minum, tertawa, ngobrol keras dengan bahasa portugis. Brazil merupakan koloni portugal, itu sebabnya bahasanya tertinggal. Aku memilih makan di luar bar, duduk di kursi plastik sambil mengenali sekitar. 

Tak ada pilok, aku tak bisa menulisi "I was here" seperti banyak ditemukan di dinding wc rumah makan daerah pantura. Maka aku meminta seorang gelandangan muda mabuk untuk berfoto bersama. Mulutnya bau alkohol. Ia kemudian bicara ngalor ngidul dalam bahasa portugis dan meminta sedikit uang dengan ramah. Aku tak berikan. Jika ia belikan uang itu untuk beli minuman, maka peranku ada di situ.

Seorang lainnya menawariku kaos calvin klein dan mengingatkanku untuk berhati-hati.

"Kamu pasti baru di Brazil, lihat orang-orang itu (pemabuk di seberang bar di diskotik mini dengan musik jedang-jedung), bahaya bawa kamera seperti itu, seseorang bisa merampasnya dengan todongan senjata api," nasihatnya.

Segala kemungkinan memang bisa saja terjadi, maka kuputuskan untuk segera kembali ke hotel, mungkin ia benar, dan aku mulai tua untuk hal-hal semacam ini. Ini bukan daerahku. Ini bukan tempatku.
Menjelang pulang bertemu lagi sengan seorang lelaki Brazil kulit putih saat sedang mempelajari rute di sebuah halte bis. Ia menunjukkan foto perempuan dan memperlihatkan dompetnya yang kosong.

"I don't understand, do you speak English," kilahku
"I don't have money," ujarnya memelas.
"Oh I am sorry, but I have to go," tutupku.

Belo benar-benar tak nyaman di pagi buta untuk turis. Padahal menurut seorang kawan Brazil, Belo terkenal dengan keramahannya.

Jadi begitulah, aku membeli sereal dan susu untuk sahur, juga cokelat, kudapan, apa saja. Di sini tak ada warteg yang buka di waktu sahur seperti di Serang.

Untuk buka puasa, aku sudah menemukan pizza enak vegetarian yang buka hingga jam 9 malam saja. Sepotongnya 3,5 rials, setara dengan 17 ribu rupiah. Brazil negara berkembang, tapi menurutku, harga-harga di sini mahal.

Tulisan ini harus disudahi.

Hotel Pampulha, kamar 611. 04.54 AM (Menjelang subuh, 05.12)




No comments: