Wednesday, January 26, 2011

Surat Terbuka Untuk Jaksa M Hidayat (Mantan Kasi Penuntutan Pidsus Kejati Banten) tentang Aman Sukarso

Bismillahirrohmanirrohim,

Pak Hidayat, saya kira saat saya tulis surat ini bapak sudah tahu bahwa Aman Sukarso, Ayah saya, telah divonis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam pasal 2 uu tipikor yang bapak gunakan dalam memori kasasi ke Mahkamah Agung. Terhitung tanggal 25 Januari 2011, Aman Sukarso menjalani hukumannya di Lapas Serang Banten.

Pak Hidayat, sejak saya membaca memori kasasi yang anda buat, saya khawatir persoalan ini akan muncul. Kita sama-sama mengikuti seluruh persidangan di Pengadilan Negeri. Lalu saat saya baca memori kasasi anda, berbagai fakta yang muncul di persidangan ternyata telah anda sembunyikan atau tidak anda ungkapkan. Sebut saja misalnya Rencana Definitif untuk penggunaan Block Grand, kesaksian Anggiat Tupal Pakpahan di persidangan yang menyatakan LHP/LHA BPKP hanya berupa pemeriksaan Compliant test/formal test.

Pak Hidayat, bicara hukum adalah bicara benar dan salah, bukan soal menang dan kalah. Saya dan anda tahu bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus ini. Saya bertanya pada hati anda, dan itu pertanyaan retorik, tak perlu dijawab. Rekan anda JPU Sukoco di suatu sidang kasus ini pernah menyatakan jika kasus ini divonis bebas pun tak masalah. Tentu ada dua analisa atas pernyataannya 1) hanya sekadar basa basi 2)ia tahu fakta di persidangan semakin membuat terang bahwa kerugian negara tidak ada dalam kasus ini.

Pak Hidayat, dalam sebuah seminar nasional yang diselenggarakan Kejaksaan Agung di Semarang, Jaksa Agung (sekarang mantan) Hendarman Supanji, menyatakan sistem reward dan punishment dan remunerasi di lingkungan kejakasaan. Salah satu parameternya adalah vonis bebas. Ini tentu ukuran yang prosedural tidak substansial. Sehingga menjadi suatu masalah jika dimunculkan pertanyaan bagaimana jika memang dalam sebuah perkara sangat terang sehingga memang seharusnya divonis bebas?

Pak Hidayat, saya tidak merasa kalah dalam perkara Ayah saya. Justru saya merasa anda yang kalah, anda mengingkari nurani anda sendiri. Tentu karena ini persoalan perasaan anda boleh menyangkalnya, itu tanggungjawab anda pribadi. Tapi hukum memang tak bisa dipisahkan dengan nurani, dengan keyakinan, keadilan, keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Jika anda lupa, silahkan buka kembali KUHAP juga Undang-undang Kejaksaan, anda akan menemukan kata-kata tadi.

Pak Hidayat, dalam catatan saya, ada dua jaksa yang menuntut bebas terdakwanya: 1) Dalam kasus Budi Harjo, didakwa melakukan pembunuhan atas Ayahnya. Belakangan diketahui merupakan skenario penyidik, saat persidangan, penyidik menemukan tersangka sebenarnya, mantan karyawan bapaknya (pemilik toko material). Dalam tuntutan akhirnya jaksa menuntut Bebas terdakwa Budi Harjo 2)Kasus pembunuhan Udin wartawan Bernas, terdakwa yang dihadapkan adalah Iwik, motif yang dibuat perselingkuhan. Belakangan diketahui Iwik juga direkayasa, diskenariokan.

Pak Hidayat, yang ingin saya sampaikan adalah jika anda kemudian menjadi jaksa yang mengikuti nurani anda, itu sudah cukup bagi saya untuk memaafkan anda. Menuntut bebas bukanlah parameter nurani, tergantung pada kasus posisinya. Menuntut bebas karena ada kepentingan yang tidak baik bahkan merupakan perbuatan tercela. Tetapi jika jaksa berkeyakinan seseorang tidak bersalah berdasarkan fakta-fakta di persidangan maka ia tidak boleh memaksakan diri untuk tetap menuntut bersalah. Sekali lagi hukum bukan soal menang kalah, bukan soal karir, tapi soal benar salah. Itu sebabnya hingga saat ini saya masih bisa berjalan dengan kepala tegak. Saya tak perlu khawatir jika sekalipun 1000 orang menuduh saya mencuri, yang penting saya tahu saya tidak mencuri. Maka meskipun Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan salah, tapi saya tahu putusan itu keliru dan terdapat kekhilafan hakim bahkan bertentangan satu sama lain dengan putusan A Rivai (terdakwa dalam perkara yang sama). Dan anda punya andil dalam putusan yang keliru dan khilaf tersebut.

Pak Hidayat, saat ini saya sedang mencari hikmah dari peristiwa ini, mungkin salah satunya saya berkewajiban menulis surat ini. Sisi lainnya tentu saya harus terus berjuang, maka saya akan melakukan pengajuan PK, sebab banyak kejanggalan dalam putusan tersebut. Kita diwajibkan sabar dan tawakal, saya kira itu yang akan saya pelajari dan lakukan.

Pak Hidayat, saya tak tahu sekarang anda bertugas dimana, tapi saya yakin surat terbuka ini akan sampai pada anda. Harapan saya anda menjadi jaksa yang baik dan benar, itu saja sudah cukup, semoga Allah memberikan keluasan hati untuk saya dan hidayah untuk anda, sesuai dengan nama anda.

4 comments:

Unknown said...

Selamat berjuang kawan...seluruh masyarakat Banten pun saya pikir tahu kebenaran sejati akan kasus tersebut...

rahmatullah said...

Semangat selalu pak Feri...Yakin Allah Maha adil...Doa-doa senantiasa tertutur.

Ferry Fathurokhman said...

Amin, trims, Insya Allah.

iwan setiawan said...

adiku sayang... saya tidak mengerti hukum, saya cuma tau ilmu kedokteran. disitu saya temukan arti benar dan salah... keduanya tak akan bercampur...itu janji Allah.... yang mencampurnya adalah manusia ...semoga hidayah sampai pada PAK HIDAYAT...