Tuesday, July 06, 2010

Memahami Bahasa Hukum

Alm Baharudin Lopa dalam sebuah buku bertemakan korupsi pernah mengeluhkan kesalahan wartawan dalam mengutipkan istilah hukum yang dilontarkannya dalam wawancara.

Baru-baru ini saya berkawan dengan seorang wartawan, perkawanan mutualisme, saya belajar media, ia belajar hukum. Mungkin karena kelelahan beberapa istilah yuridis keliru dituliskannya. Berikut saya kutipkan berita dan catatan saya di akhir tulisan ini.

Temuan BPK Dugaan Awal Korupsi

Selasa, 06-Juli-2010, 08:08:17
Penyimpangan Anggaran di SKPD Pemprov


SERANG - Hasil temuan penyimpangan anggaran di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Banten sebesar Rp 13,08 miliar pada tahun anggaran 2009 memungkinkan adanya tindak pidana. Untuk itu harus diselidiki oleh kejaksaan dan kepolisian.
"Temuan BPK tersebut merupakan bahan setengah matang yang bisa jadi dasar terjadinya dugaan tindak pidana korupsi," kata akademisi Fakultas Hukum Untirta Ferry Faturachman saat dihubungi Radar Banten, tadi malam, melalui ponsel.
Kata Ferry, untuk menindaklanjuti temuan BPK dapat melalui tiga institusi penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan jika dugaan korupsi lebih dari Rp 1 miliar bisa ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Tiga gerbang penegak hukum tersebut bisa menjadi jalur untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan daerah dan temuan BPK menjadi lampiran dan dilengkapi dengan bukti lainnya. Jadi temuan BPK hanya bahan dasar," ujarnya.
Menurut Ferry, kerugian daerah yang ditemukan BPK dalam penyelenggaraan pemerintah daerah bukan kali pertama, karena tahun sebelumnya juga terjadi namun tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi. Padahal, kata Ferry, meski setengah matang, temuan BPK merupakan bahan penting yang bisa menjadi barang bukti di pengadilan. Bisa jadi, lanjutnya, dalam temuan BPK itu belum ditemukan atau tidak ada bukti terjadi tindak pidana korupsi, tapi jika ditelusuri dan dilengkapi lebih lanjut, bukan tidak mungkin menjadi dugaan korupsi yang terbukti.
Menurut Ferry, dalam KUHP yang menjadi dasar penegak hukum melakukan penyelidikan karena ada laporan, pengaduan, dan tertangkap tangan. Sehingga, kata dia, harus ada laporan masyarakat ke penegak hukum agar menindaklanjuti temuan BPK.
Sementara itu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bante belum menerima berkas temuan BPK. Lantaran itu, Kejati belum mengetahui proyek-proyek bermasalah di beberapa SKPD di lingkungan Pemprov.
"Saya juga tak tahu kenapa Kejati tak diberi tembusan atau berkas LHP BPK tersebut," ujar Kasipenkum Kejati Mustaqim, Senin (5/7). Mustaqim mengutarakan, data yang diterbitkan Radar Banten mengenai dugaan penyimpangan di sejumlah SKPD berdasarkan LHP BPK dapat menjadi informasi awal untuk melakukan telaah terhadap dugaan penyelewengan yang selanjutnya akan dibuat tindak lanjut. "Apakah nantinya akan dilakukan penyelidikan atau tidak. Ini yang harus dilakukan oleh kami," ujarnya.
Mustaqim juga menegaskan, saat ini belum menangani dugaan korupsi di Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten yang paling besar dugaan penyimpangannya hingga mencapai Rp 5,2 miliar. Namun Mustaqim mengakui pernah mendengar bahwa kasus dugaan korupsi itu sedang ditangani Polda Banten. "Hingga saat ini Polda Banten belum mengirimkan SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan-red), mungkin masih lid (penyelidikan-red). Bila sudah dik (penyidikan-red) maka harus ada SPDP," katanya.

KETERANGAN TERTULIS
Menanggapi temuan penyimpangan di sejumlah SKPD di Pemprov Banten, Sekretaris Daerah Provinsi Banten Muhadi dan Inspektur Provinsi Banten Asmudji HW memberikan keterangan tertulis kepada Radar Banten, Senin (5/7). Dalam keterangan tertulisnya itu, Pemprov Banten menegaskan sudah menindaklanjuti LHP BPK atas laporan keuangan Pemprov Banten tahun 2009.
Bahkan, hanya berselang satu hari (25 Juni 2010) setelah Rapat Paripurna Penyerahan LHP BPK RI ke DPRD Provinsi Banten tanggal 24 Juni 2010, Pemprov Banten telah mengundang BPKP dan BPK untuk membahas temuan tersebut, kendati batas waktu yang diberikan untuk memperbaiki temuan 60 hari atau 2 bulan.
"Ini sejalan dengan tekad Pemprov untuk meraih predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) tahun depan," kata Sekda Muhadi.
Inspektur Provinsi Banten Asmudji menambahkan, realisasi belanja pemeliharaan di Biro Umum dan Perlengkapan yang dinilai melebihi standar harga satuan senilai Rp 551.943.220, telah dijelaskan kepada BPK. "Demikian pula dengan hal pembayaran pengadaan peralatan kantor melebihi prestasi
sejumlah Rp 38.612.000 pada Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Provinsi Banten sudah
dikembalikan ke kas negara dan masalah ini telah mendapat catatan 'sudah dipulihkan' pada LHP BPK ," terang Asmudji.
Kata Asmudji, catatan sudah dipulihkan itu juga meliputi berbagai temuan lain yaitu pembayaran proyek pembangunan rumah pompa dan instalasi balai benih ikan air tawar melebihi prestasi senilai Rp 17.578.047, serta kelebihan pembayaran pembangunan talud di Pelabuhan Labuan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten.
"Kelebihan perhitungan penyesuaian harga senilai Rp 164.435.000 dan kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 250.247.913 pada proyek pembangunan Masjid Raya di KP3B juga telah dibayarkan oleh Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman (SDA dan Perkim) dan mendapat catatan sudah dipulihkan. Sementara kelebihan pembayaran pada 13 proyek
pembangunan jalan akses sentra produksi KPP senilai Rp 338.163.367 telah dibayarkan sebagian sebagai bentuk proses penyelesaian," paparnya.
Terkait tunggakan pengembalian dana tunjangan komunikasi intensif anggota DPRD Banten periode 2004 – 2009 senilai Rp 213.175.000 dan biaya penunjang operasional pimpinan senilai Rp 24.400.000 telah diupayakan pengembaliannya. Sedangkan terkait kemahalan harga pengadaan alat peraga/praktik senilai Rp 367.150.375 pada Dinas Pendidikan (Dindik) Banten, telah mengembalikan sebagian dan akan terus memulihkan. "Menyangkut kemahalan harga pengadaan alat kesehatan (alkes) pelayanan kesehatan rujukan dan khusus senilai Rp 5.248.359.210 pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten sedang dalam proses penyelesaian," jelasnya.
Untuk keterlambatan bendahara pengeluaran mengembalikan sisa uang persediaan (bukan upah pungut) tahun anggaran 2009 ke kas daerah senilai Rp 766.808.224, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) telah mengembalikan sepenuhnya. Sedangkan denda keterlambatan pembayaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan penyampaian surat pemberitahuan pajak daerah Rp 143.588.638 serta setoran pajak terhutang Rp 607.745.526, DPKAD segera bertemu dengan pihak penyedia bahan bakar (Pertamina, Petronas, Shell, dan AKR).
"Temuan yang bersifat administratif sudah disiapkan penyelesaiannya dan Pemprov Banten optimistis dapat menyelesaikan dengan tuntas jika melihat batas waktu yang diberikan 60 hari atau 2 bulan lamanya," kata Asmudji.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD Banten Irfan Maulidi yang juga Koordinator Komisi III enggan menanggapi temuan LHP BPK. Kata Irfan, DPRD Banten ingin membuat budaya elegan dalam menanggapi LHP BPK. "Maksudnya, kita semua termasuk DPRD pasti punya masalah, jadi kalau margin error masih batas kesalahan manusia kita sama-sama memperbaiki dan kita nanti memperingatkan kepada SKPD untuk segera memperbaiki," tandas Ketua DPW PKS Banten ini.
Wakil Ketua DPRD Banten Ratu Tatu Chasanah yang juga Koordinator Komisi V menambahkan, pimpinan DPRD Banten ingin menuntaskan masalah LHP BPK. Oleh karena itu, kata politisi Partai Golkar ini, LHP BPK akan dibahas setiap komisi dengan SKPD mitra yang menjadi penyebab WDP.


 

Catatan Saya:

Judul berita sudah tepat "Temuan BPK Dugaan Awal Korupsi," namun
ada beberapa hal keliru sederhana tapi karena berkaitan dengan terminologi yuridis maka artinya menjadi lain sebagai berikut:


 

  1. ....bisa menjadi barang bukti di pengadilan (teks berita). Yang dimaksudkan adalah alat bukti
  2. ....dalam KUHP yang menjadi dasar penegak hukum melakukan penyelidikan karena ada laporan, pengaduan, dan tertangkap tangan (teks berita). Yang dimaksud adalah KUHAP.

    KUHP=Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    KUHAP=Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  3. Bisa jadi, lanjutnya, dalam temuan BPK itu belum ditemukan atau tidak ada bukti terjadi tindak pidana korupsi, tapi jika ditelusuri dan dilengkapi lebih lanjut, bukan tidak mungkin menjadi dugaan korupsi yang terbukti (teks berita). Maksud saya begini, temuan BPK itu belum menjadi bukti kuat adanya tindak pidana korupsi ataupun tidak adanya korupsi, jadi belum mutlak benar. Untuk itu harus diuji di pengadilan. Sebagai contoh, dalam pengamatan saya ada dua LHP BPK yang menyatakan terjadi kerugian negara, namun dalam pembuktian di persidangan menjadi gugur dan tidak terjadi kerugian negara.
    1. Kasus Randis (Kendaraan Dinas) Kabupaten Serang.

      LHP BPK menyebutkan ada kerugian negara sekitar Rp.250 juta. Jumlah uang tersebut rupanya sebagai pembayaran dua unit sepeda motor patwal (patroli pengawal) yang indent karena diproduksi di luar negeri, CBU (completly built up). Dalam masa-masa persidangan dua unit sepeda motor CBU itu rupanya tiba. Hakim lalu menanyakan pada ahli dari BPK apakah jika motornya sudah datang maka tetap terjadi kerugian negara? Ahli dari BPK hanya menjawab diplomatis, "kami kan menghitung pada saat motor itu belum datang." Pertanyaan dan jawaban itu berulang beberapa kali karena hakim menginginkan jawaban tegas ya atau tidak dari ahli. Hakim kemudian menyimpulkan bahwa kerugian negara tidak terjadi. Hakim memvonis vrijpraak (vonis bebas) terdakwa.

    2. Kasus Akses Jalan PIR (Pasar Induk Rau)

      LHP BPK menyebutkan terjadi kerugian negara Rp 5 Milyar dan Potensi Kerugian negara Rp. 4 Milyar. Dalam persidangan, ahli BPK lulusan Ausie yang membuat LHP BPK tersebut mengungkapkan bahwa setiap pemeriksaan (tes) terdiri dari formal test dan substantive test. Tes formal adalah pemeriksaan administrasi sementara substantive test adalah pemeriksaan lapangan. Derajat substantive test lebih tinggi dari formal test, "over form test," ujarnya di persidangan. LHP BPK tersebut hanya melakukan tes formal tanpa disertai substantive test. Menurutnya, orang yang mengerti keuangan pasti akan mengerti bahwa LHP BPK ini belum sempurna karena di akhir laporan timnya menuliskan bahwa LHP BPK ini belum meliputi substantive test. Hakim lalu menjelaskan bahwa saksi dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang melakukan pemeriksaan lapangan atas tagihan Rp 11 Milyar dari PT Sinar Ciomas, hasil dari uji laboratorium PU menyimpulkan bahwa bahan material, ketebalan ATB (jenis lapisan aspal) dll menunjukan kualitas yang baik, bahkan di beberapa tempat lebih tebal dari standar yang ditentukan, lebih tebal lebih baik. Namun pemeriksaan lapangan menunjukan nilai pekerjaan hanya Rp. 9 M, bukan Rp. 11 M sebagaimana diklaim Sinar Ciomas. Pemkab Serang lalu membayar Rp. 5 M dan berhutang Rp. 4 M. Kemudian Hakim menanyakan pada ahli dari BPK rasionalisasi antara pemeriksaan lapangan PU dan LHP BPK. Dengan cerdas dan diplomatis, ahli BPK tersebut berujar "Bapak kan tadi nanya seandainya, jadi saya jawab seandainya juga, seandainya pemeriksaan lapangan itu ada saat kami membuat LHP BPK ya tentu hasilnya juga berubah, karena kami hanya melakukan tes formal, tidak punya kompetensi melakukan substantive test, biasanya kami bermitra dengan Bina Marga Jakarta untuk substantive test, tapi mereka tidak melakukan itu meskipun kami telah memintanya."

      Hakim lalu menyimpulkan tidak terjadi kerugian negara, terdakwa divonis bebas (vrijpraak).


       

Jadi kesimpulannya bahwa LHP BPK itu belum mutlak benar atau salahnya. Dengan adanya LHP BPK belum dapat dikatakan bahwa tidak terjadi tindak pidana korupsi ataupun terjadi tindak pidana korupsi. Untuk membuktikannya harus dibuktikan dalam persidangan di pengadilan. Namun jika kasusnya telah nampak titik terangnya, kepolisian, kejaksaan ataupun KPK dapat menyimpulkan apakah kasus itu dilanjutkan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.

No comments: