Wednesday, February 10, 2010

Sehelai Kaus Mengantar ke Meja Hijau

(diunduh dari http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/10/08480720/Sehelai.Kaus.Mengantar.ke.Meja.Hijau)

Sehelai Kaus Mengantar ke Meja Hijau
Rabu, 10 Februari 2010 | 08:48 WIB
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Ujang (kanan) dan Otih Hadijah termangu di depan rumahnya di Desa Bendung,Kecamatan Kasemen,Kota Serang, Provinsi Banten, Selasa (9/2). Sudah2,5 bulan, Aspuri, anak angkatnya, ditahan karena mencuri kaus milik tetangga.

JAKARTA, KOMPAS.com — Mata Aspuri (19) sembab ketika melihat orangtua angkat, tetangga, dan tiga bocah usia sekolah dasar yang sering diajarinya mengaji. Mereka datang untuk mendampinginya menjalani sidang di Pengadilan Negeri Serang, Provinsi Banten, Senin (8/2/2010). Aspuri duduk di kursi terdakwa karena didakwa mencuri sehelai kaus milik tetangganya, Dewi.

Gara-gara sehelai kaus yang dipungutnya dari pagar rumah Dewi di Kampung Sisipan, Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Oktober 2009, Aspuri dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun.

Dalam persidangan itu terungkap, Aspuri mengambil kaus itu sepulang dari menyiram timun suri di ladang, dekat rumah Dewi. Aspuri mengira kaus yang tergeletak di pagar rumah Dewi itu sudah tak dipakai sehingga sayang kalau tidak dimanfaatkan.

Aspuri tidak memakai sendiri kaus hasil memungut di pagar itu. Dia memberikan kepada Juheli yang dianggap Aspuri sebagai paman angkat.

”Saya tidak tanya kaus itu dari mana, tahunya pakai saja,” kata Juheli ketika memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan tersebut.

Kaus itu tergeletak di pagar karena Marhaban membuangnya ke pagar. Marhaban mendapat tugas dari Dewi untuk bersih-bersih di rumahnya. Dewi juga meminta Marhaban membawa beberapa barang dari rumah Dewi untuk dititipkan ke rumahnya.

Menurut Marhaban, yang tampil sebagai saksi, rumah milik Dewi di Sisipan itu sudah lama tidak berpenghuni sehingga barang-barang di dalamnya kotor. Marhaban lalu mengambil sehelai kaus dari lemari kecil Dewi untuk mengelap perabot.

”Kaus itu menjadi kotor, saya lalu membuangnya ke pagar,” kata Marhaban. Kepada majelis hakim, Marhaban mengaku tidak meminta izin Dewi saat mengambil kaus dari lemari dan saat membuangnya ke pagar.

Setelah Dewi melaporkan kasus tersebut kepada polisi, Marhaban baru menyampaikan kepada Dewi bahwa dia yang membuang kaus ke pagar. Buntut laporan itu, Aspuri harus menjalani serangkaian proses hukum. Kaus yang saat itu dipakai Juheli disita sebagai barang bukti.

Sehelai kaus bermotif garis-garis itu ditaruh sebagai barang bukti di atas meja hijau. Marhaban, Aspuri, dan Juheli membenarkan di depan hakim, kaus itulah yang dibuang, diambil dan diterima ketiga orang itu.

Kepada majelis hakim, Aspuri mengatakan ditahan selama dua setengah bulan selama menjalani proses hukum kasus ini.

Selama itu pula Aspuri tidak bisa membantu keluarga Ujang dan Otih Hadijah, yang sudah mengangkatnya sebagai anak. Bahkan, dia tidak lagi mengajar mengaji 30 anak di rumah Ujang di Kampung Sisipan.

”Mungkin itu sebabnya dia menangis di pengadilan ketika bersalaman dengan tiga muridnya,” kata Ujang di Kampung Sisipan, Selasa (9/2/2010). Bagi keluarga Ujang dan para tetangga, Aspuri adalah anak yang rajin bekerja dan berdoa.

Sejak menumpang di rumah keluarga angkatnya lima bulan lalu, Aspuri yang menjadi yatim sejak tahun 1999 menjalani kehidupan rutin, normal, dan tidak banyak tingkah.

Setiap hari Aspuri bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp 20.000-Rp 100.000 per hari, bergantung pada jenis pekerjaan garapannya.

Dia menerima Rp 20.000 apabila mengerjakan tugas ringan, seperti menyiram tanaman di ladang. Aspuri baru menerima upah Rp 100.000 jika menjadi buruh panen.

Keberadaan Aspuri sebagai anak angkat di rumah Ujang dan Otih turut membantu keluarga buruh tani dengan delapan anak itu. Keluarga itu pun bangga karena Aspuri selalu menyempatkan diri pulang untuk bersembahyang saat memburuh.

Otih berharap Aspuri yang ditahan sejak November 2009 dibebaskan. Otih mengenal Aspuri sejak keluarga mereka menjadi transmigran di Aceh, beberapa tahun lalu. Mereka pulang kembali ke Jawa kala konflik di Aceh pecah.

Keluarga orangtua Aspuri lalu menetap di Padarincang, Kabupaten Serang. Sementara keluarga Ujang dan Otih di Kasemen, Kota Serang.

Perkenalan lama di antara dua keluarga itu pula yang membuat Aspuri betah menjadi anak angkat Ujang. Apalagi, Ujang dan Otih menganggap dan memperlakukan Aspuri seperti anaknya sendiri.

Di Kantor Kejaksaan Negeri Serang, jaksa Ratna yang menangani kasus pencurian kaus ini mengatakan, kejaksaan tidak bisa menolak berkas perkara dari kepolisian yang dinyatakan lengkap. Kasus itu dilaporkan kepada polisi pada 7 November 2009.

”Bagi Dewi, kaus itu bernilai. Harganya sekitar Rp 80.000,” kata Ratna.

Senin, Aspuri kembali menjalani persidangan dengan agenda penuntutan di PN Serang. Sementara di Padarincang, ibunda Aspuri yang berusia 60 tahun hingga kini belum mendengar kasus yang menimpa anaknya tersebut.

”Kami sengaja tidak mengabari karena Aspuri mewanti-wanti agar ibunya di Padarincang jangan sampai tahu. Ibu Aspuri sakit jantung, jadi harus dijaga agar tidak kaget,” kata Ujang. Ke mana proses hukum kasus sehelai kaus yang dipungut Aspuri bermuara, semua kini menunggu hasilnya.

(C Anto Saptowalyono)

1 comment:

Anonymous said...

ya hukum itu harus ditegakkan walau langit runtuh..