Monday, January 25, 2010

Itulah Mengapa Saya tak Pantas Menjadi Tjipian Meskipun Saya Mencintainya

Hanya ada tiga guru besar yang membuat saya memutuskan untuk kuliah Magister Hukum di Undip. Mereka adalah Prof Muladi, Prof Barda Nawawi Arief dan Prof Satjipto Rahardjo (Prof Tjip). Ketiga nama tersebut telah meng-Indonesia (Belakangan saya tahu bahkan nama Prof Tjip telah mendunia).
Prof Barda dan Prof Muladi mumpuni dalam hukum pidana, bidang yang saya geluti. Sementara Prof Tjip tulisannya banyak saya jumpai di harian Kompas.
Prof Tjip seorang yang produktif, di usia tuanya bahkan bukunya mengalir deras, terbit hampir tak berkesudahan. Rommy Pratama, teman kos pernah berkelakar, “eh ada buku Prof Tjip terbaru di Toga Mas, ntar sepuluh menit lagi juga ada lagi yang terbaru terbit lagi,” Rommy berseloroh saking produktifnya Prof Tjip menulis buku.
Perjumpaan pertama saya dengan Prof Tjip dimulai dalam sebuah matrikuliasi, sekitar satu pekan sebelum perkuliahan perdana dimulai. Prof Tjip adalah daftar nama dalam jadwal matrikulasi yang saya tunggu selain Prof Barda. Hari itu pun tiba, Prof Tjip masuk ruangan yang tersusun balkonis, semua terdiam dan memandang serentak pada satu orang, lelaki tinggi berkulit bersih seusia kakek pada umumnya itu berjalan perlahan dengan menggunakan tongkat kayu. Lalu duduk seorang diri di depan kami semua. Kharismatik. Auranya memenuhi ruangan. Ani Purwanti, bidang akademik Progam Magister Ilmu Hukum (PMIH) Undip mengenalkan sekilas profil Prof Tjip. “Mungkin selama ini Prof Tjip kalian kenal lewat tulisan-tulisannya dalam harian,” paparnya. Dalam dunia kepenulisan, bertemu dengan penulis yang selama ini tulisannya kita baca adalah sesuatu yang bukan main (meminjam istilah Andrea Hirata).
Prof Tjip menceritakan filosofi hukum, latar belakang sejarah pendidikan hukum di Indonesia, pendirian Pusat Studi Kepolisian Undip, sepenggal cerita Kusni Kasdut. Setan menggelayuti kelopak mata saya di pertengahan, ngantuk berat, ada momen saat terbangun mata kami beradu. Sebagai seorang Sunda tentu saja saya tidak enak, merasa bersalah.
Memasuki sesi tanya jawab, saya mengajukan pertanyaan yang memang sebelumnya telah saya siapkan. Saya ingin mengetahui lebih dalam makna kalimatnya dalam pengantar sebuah buku terbitan Kompas, kalimat yang diucapkannya dalam pidato mengakhiri guru besarnya di Undip. Teaching order finding disorder. Saya awali dengan permintaan maaf karena sempat tertidur. Prof Tjip saat itu memulai jawaban dengan gurauan sekaligus sindiran, “Saudara itu hebat, tertidur saja masih bisa bertanya.” Sepintas kemudian saya menangkap apresiasinya karena saya mengenal kalimatnya.
Ada banyak orang bertanya dan antusias menyambut kedatangan Prof Tjip saat itu, tapi ada dua orang yang lebai seperti orang lugu yang terperangah melihat ilmu, saya dan seorang lelaki gondrong yang belakangan saya ketahui bernama Awaludin Marwan. Sesi Prof Tjip selesai, saya tak meninggalkan kesempatan emas ini, menyusul Prof Tjip yang hampir naik tangga ke lantai 2. Di luar dugaan, lelaki gondrong tadi juga mendatangi Prof Tjip, menyampaikan hal yang hampir sama, bahwa kami direkomendasikan oleh dosen kami yang menjadi muridnya. Lelaki gondrong menyebut nama dosen perempuan yang saya lupa namanya, seorang doktor. Saya menyebut nama rekomendator saya I Gede AB Wiranata, Prof Tjip tampak kaget mendengar nama rekomentador saya. “Gede Lampung?” tanyanya. Saya mengiyakan. Saya menyodorkan sebuah buku Prof Tjip untuk ditandatangani. Buku yang dieditori oleh I Gede AB Wiranata.
Prof Tjip berlalu, lelaki gondrong tadi kemudian menghampiri saya.
“Mas, gimana kalau kita buat kelompok diskusi?”
“Ide bagus, saya setuju itu.” Sebenarnya saya tak terlalu bersemangat, sebab komunitas-komunitas seperti itu mengingatkan saya pada perkuliahan di S1. Sejak menjadi pekerja tetap, individualisme mulai menjajah saya, kemapanan mematikan kreatifitas.
Lelaki gondrong itu bukan tipe pembual rupanya. Orang yang pantang menyerah. Ia membuat sebuah komunitas diskusi pekanan yang kemudian ia namakan Kaum Tjipian. Ia mulai membedah buku-buku Prof Tjip. Di sisi lain saya memborong semua buku Prof Tjip, hingga kini masih ada sekitar tiga buku Prof Tjip terbaru yang belum saya beli. Saya membaca dan mengagumi tulisannya yang mudah dicerna, mengalir dan konsisten, semua buku saya bawa dan sodorkan ke Prof Tjip untuk ditandatangani sesaat sebelum ia mengajar mahasiswa S3. Petugas admin S3 tampak sedikit kesal karena buku yang ditandatangani banyak, dikalikan dua pula, sebab Ridwan, rekan mengajar di Untirta yang sama-sama kuliah di Undip juga membawa buku yang sama. Satu kata kembali saya dengar dari mulut Prof Tjip saat selesai menandatangani, “Alhamdulillah.” Dipersilahkan menafsiri sendiri makna kata tersebut.
Awaludin selalu mengajak saya dalam diskusi Kaum Tjipian dan saya selalu menolak halus, sehingga tak pernah satu kalipun menghadirinya. Penolakan itu didasari dua hal: pragmatisme orientasi studi, dan telah lamanya saya tak ‘bersetubuh’ dengan buku filsafat yang menjadi acuan para Tjipian. Sebab buku harus ‘disetubuhi’ bila perlu ‘diperkosa’ agar dapat melahirkan ‘anak’. (Tentu saja maksud saya konotatif, ‘anak’ yang dimaksud adalah tulisan, sebab secara denotatif mana bisa kita bersetubuh dengan buku, apalagi sampai hamil dan melahirkan).
Perjumpaan dengan Prof Tjip berlanjut, kali ini di Hotel Patra Jasa Semarang dalam sebuah seminar tentang diskresi dalam kepolisian kerja sama antara Undip dan Polda Jawa Tengah (Jateng). Perubahan suasana ruang seminar terjadi pada saat Prof Tjip memasuki ruangan. Ia mengenakan jaket kulit hitam, jaket yang sering dipakainya. Prof Tjip dikawal oleh banyak perwira polisi yang mengelilinginya, mengalahkan pengawalan Wakapolda Jateng saat memasuki ruangan sebelumnya. Saya segera terbayang GodFather yang dikelilingi para Don. Ikhsan Alfarisi, teman di sebelah saya mengamini. “Prof Tjip itu rajanya Undip,” katanya.
Prof Tjip dipanel dengan dosen yuniornya di Undip saat itu, perempuan cerdas lulusan negeri Kanguru, Ausie. Menurut yuniornya diskresi dalam kepolisian itu baik namun alangkah lebih baik jika ada patokannya agar tidak sewenang-wenang, ia menginginkan adanya pembatasan dalam diskresi. Saya dan Ikhsan berdiskusi kecil mengomentari pendapatnya di pojok ruangan, kesimpulan kami jika diskresi diatur dan dipositifkan maka bukan lagi menjadi diskresi namanya. Prof Tjip kemudian menimpali dengan mendasarkan pada pernyataan Gustav Radbruch tentang nilai dasar hukum: Kepastian, Kegunaan dan Keadilan. Rupanya Prof Tjip juga senada tidak menyepakati yuniornya dan dengan bijak mengoreksi secara halus mengingatkan nilai dasar hukum. Kepastian hukum hanya salah satu nilai dasar hukum, seringkali aparat penegak hukum terjebak karena menjunjung kepastian hukum, keadilan malah dikorbankan.
Tjipian terus berkembang dan bermimpi membuat sebuah buku, saya diminta Awaludin menyumbang tulisan, saya tak mengiyakan karena masih banyak hutangan tulisan saat itu. Ide buku semakin mengerucut, suport mengalir dari PMIH agar membuat semacam seminar. Ide buku kemudian ‘dikawinkan’ dengan seminar sehingga terdesainlah launching buku plus seminarnya. Audiensi/sowan dengan Prof Tjip digelar, hari itu Kaum Tjipian direstui dan sah menjadi cucu ideologisnya. Saya tak ikut dalam sowan meski ditawari, saya tak biasa memetik jerih payah orang lain, menikmati hasil perjuangan yang saya tak ikut andil di dalamnya. Ikhsan keluar ruangan dengan berbunga-bunga paska sowan. “Aura kebijaksanaannya terasa,” katanya dan segera menuliskan di dinding facebooknya “bertemu langsung dengan sang begawan hukum” begitu kurang lebihnya. Ia menceritakan detail pertemuannya dengan sang begawan hukum, tampak senang sekali seperti Ikal yang bertemu gadis pujaannya saat membeli kapur. “Tjipian... namanya lucu ya,” ujar Ikhsan menirukan sang begawan hukum mengomentari Kaum Tjipian.
Berbeda dengan Ikhsan, Awaludin dan Eko Mukminto (Ucok) tampak resah, sebab persetujuan itu berarti pertaruhan agar buku segera terbit sebab tanggal seminar telah ditetapkan. Saya kembali diminta menulis untuk menambah isi buku. Saya tak menjanjikan tapi mengusahakan.
Kepanitiaanpun digelar seadanya menuju acara seminar dan launching buku. Kepanitiaan yang acak-acakan sebenarnya, tidak terorganisir dengan baik, tidak ada time schedule yang ditulis, rapat yang tidak sistematis dll. Awaludin melihat semua ini, ia mengambil peran di belakang layar, berusaha menyelamatkan seminar. Semua rekan yang ada di Semarang pada akhirnya turun membantu, Agung ketua panitia bahkan turun dengan mobilnya, padahal ia penganut prinsip ekonomi akut.
Waktu berlalu hingga kabar duka itu tiba. Prof Tjip dirawat di RSPP Jakarta. Usianya menginjak angka 79. Organ tubuh yang selama ini menemani Prof Tjip berkarya meminta istirahat sejenak, rebahan di RSPP. Awaludin dan Eko sempat menjenguknya.
“Saya ‘ditampar’ Prof Tjip saat menengok, Prof Tjip pesan agar tetap menulis, kata Luluk kuwi iku ditampar Prof Tjip cok,” papar Eko/Ucok dalam sebuah makan malam di warung lesehan si Boy.
Malam itu sebuah sms masuk, mengabari Prof Tjip meninggal. Konfirmasi berseliweran. Awaludin yang sedang di Jakarta menelpon dan membantah keras kabar tersebut dengan menginformasikan kabar terbaru dari rumah Prof Tjip bahwa Prof Tjip kritis di ICU, bukan meninggal. Awaludin juga berpesan agar mengcounter berita kematian tersebut. Alda rekan PMIH kami kemudian mendapat kabar dari Anton F Susanto, murid Prof Tjip, yang mengklarifikasi bahwa Prof Tjip masih kritis. Makan malam itu mendadak hening.
“Ini ada dua kemungkinan,” kata Eko,
“Mungkin Luluk belum bisa menerima kenyataan,” lanjutnya.
Beberapa menit kemudian kami yakin bahwa Prof Tjip belum meninggal, meski ternyata malam itu menjadi malam terakhir baginya di dunia.
Keesokan hari di kamar kos Rommy, sekitar pukul 09.45, telepon genggam Rommy berbunyi, sebuah sms masuk, mengabarkan Prof Tjip meninggal sekitar pukul 09.30. Handrian yang menempati kamar ‘rumah pohon’ setengah berlari menuju kamar Rommy.
“ Jam sembilan tiga puluh pak,” ujarnya singkat.
Kami bersiap menyambut Prof Tjip. Saya melintasi rumahnya sepulang membeli cokelat di Pandanaran untuk Syifa dan Aya keponakanku, rencananya sore itu saya pulang ke Serang. Sebuah tenda besar sedang didirikan pagi itu di depan rumah Prof Tjip. Jalan diblokir, beberapa polisi lalu lintas tampak berjaga. Beberapa dosen dan pegawai Undip tampak di teras, sebagian di sekitar tenda memberi arahan. Pagi itu mendung, Undip seperti kehilangan ruhnya. Perpustakaan hukum tutup lebih awal, hanya ada satu orang pegawai tersisa sedang berbenah.
Saya pulang ke kosan, packing, lalu bersama Rommy dan Bagus menuju rumah Prof Tjip. Beberapa tamu mulai berdatangan dosen, mahasiswa, polisi, menunggu jenazah Prof Tjip tiba. Saya mendapat kabar pesawatnya baru saja landing, pukul 15.00 saat itu. Setengah jam kemudian suara sirene sayup terdengar, mobil jenazah milik Polda Jawa tengah tiba, disusul dengan dua bis besar rombongan keluarga dan beberapa mobil para perwira kepolisian. Pelayat berdiri, saya mendekati mobil jenazah minibus ¾ bercat hitam. Sekitar empat orang keluarga keluar dari mobil itu dengan mata yang sembab. Delapan orang polisi muda berseragam resmi mengeluarkan perlahan peti dalam mobil dan memanggul di pundaknya. Saya mengiringi peti. Dua orang pembantu rumah terdengar menangis di belakang saya dan semakin kencang saat peti Prof Tjip melewatinya, keduanya berpelukan erat. Jenazah Prof Tjip dalam peti diletakan di ruang tengah. Saya kembali duduk bersama Rommy. Sebuah pengumuman kemudian menginformasikan agar yang hendak menyolati segera mengambil wudu. Saya bergegas ke dalam rumah, mengambil wudu di keran dekat dapur. Saya memperhatikan rumah Prof Tjip. Dapurnya sederhana, biasa saja tapi bersih, ruangan tengahnyapun tak besar, ada AC merek Cina yang tak begitu terkenal bertengger di dinding atas. Saya membatin betapa zuhudnya Prof Tjip. Selesai sholat saya menyempatkan diri melihat Prof Tjip dan berdoa, wajahnya putih bersih. Selamat jalan Prof, Allahumagfirlahu warhamhu wa afihi wa fu anhu. Akhirnya Prof Tjip menemukan surga, saya percaya itu. Saya jadi teringat sebuah kalimat prof dalam sebuah seminar untuk menangkis kesalahan persepsi orang tentang hukum progresif. “..kita belum di surga, kita masih di dunia, kita masih butuh undang-undang, peraturan.” Kalimat itu Prof sampaikan dalam rangka menangkis tafsir keliru tentang hukum progresif. Undang-undang tetap harus ada namun jangan sampai kemudian manusia terbelenggu oleh undang-undang yang ia buat sendiri, sebab hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Prof Tjip akhirnya telah selesai dengan baik dalam dunia yang melelahkan ini, dan berhasil membuka wawasan sehingga orang tidak lagi terjebak dalam undang-undang.