Friday, August 14, 2009

Perpustakaan Halwany Michrob

Jum'at, 31 Juli 2009, jam di telpon genggam saya menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit. Saya menuju sebuah rumah di belakang kampus IAIN SMHB (Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten). Saya telah membuat janji dengan Devi Naufal Halwany, putera bungsu almarhum Halwany Michrob untuk melihat koleksi perpustakaan Halwany. Ada sebuah buku tentang Baduy yang ditulis (alm) Halwany yang saya perlukan untuk penulisan tesis saya. Judul tesis telah disetujui pembimbing, saya berencana menulis tentang hukum pidana adat Baduy, khusus hukum pidana adat materilnya, pemicunya adalah kasus pembunuhan yang terjadi Agustus 2005 di Lebak yang melibatkan warga Baduy, Sadim.

Indonesia memiliki hukum yang unik, ada dua hukum yang berlaku di negeri kami, hukum adat yang dibeberapa tempat masih berlaku dan hukum warisan kolonial yang ditransplantasikan/'dicangkokan' ke negeri kami.

Ternyata tak sulit menemukan rumah Devi Naufal Halwany, baru kali ini saya menemukan alamat yang belum saya ketahui tanpa bertanya pada orang sekitar, saya hanya berbekal informasi bahwa rumahnya berada di belakang kampus IAIN SMHB.

Sebuah bangunan rumah dua lantai saya temukan dengan tulisan "wisma purbakala" "mesti ini rumahnya,"pikir saya. Halwany Mihrob dikenal luas sebagai sejarawan Banten, saya mengetahui pertama kalinya dari Aman Sukarso, ayah saya. Ia beberapa kali bercerita tentang Halwany Mihrob dalam kesempatan makan malam atau saat santai lainnya di rumah ketika saya masih SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMU (Sekolah Menengah Umum).

Saya memarkir kendaraan di luar rumah. berjalan memasuki pagar yang didisain seperti gerbang kerajaan kesultanan Banten. Luas tanahnya kurang lebih 1000 m2. Terdiri dari 2 bangunan rumah, rumah induk berbebentuk huruf L dan anak rumah berlantai dua bertuliskan "wisma purbakala". Ada juga sebuah bangunan untuk pembakaran keramik kuno, seperti tungku pembakaran batu bata dan genteng di daerah Majalengka. Belakangan saya tahu dari ibu Yati Rumyati Michrob, tungku tersebut biasa dipakai almarhum untuk membakar guci, tembikar, keramik kuno.

Ada juga sebuah kolam dengan gazeebo di tengahnya. Berbagai kerajinan keramik dapat kita temukan di sana-sini, sebagian besarnya menempel di dinding rumah berlantai dua.

Seorang perempuan berusia 60-an sedang duduk di teras rumah bersama anak kecil dan seorang ibu muda. Saya mengucap salam, mengenalkan sebagai putera Pak Aman begitu saya tahu ibu tadi adalah istri dari Halwany Michrob. Ia segera mengenali dan menanyakan kabar ibu saya.

"Tos teu aya bu, tos ngantunkeun November 2008 kamari (sudah nggak ada bu, sudah meninggalkan November 2008 kemarin)" jawab saya.

Ia terlihat terkejut karena tidak ada yang mengabari. Kami akhirnya mengobrol hangat, ia menceritakan pengapuran tulang yang dialaminya dan baru beberapa hari pulang dari rawat inap rumah sakit, saya menceritakan penyakit yang diderita ibu saya.

"Iya ya, meninggal tuh harus sakit dulu, maunya langsung aja (tanpa harus sakit)," matanya menerawang, lalu tersenyum.

"Bapak meninggal di rumah sakit apa itu di Jakarta yang kanker? pulang dari haji setelah menyelesaikan S3nya di Jepang, Jadi bapakmah nggak sempat diwisuda, yang ngambil ijasahnya juga ibu ke kedutaan Jepang di Jakarta, yang ngasiinnya Pak Nakamura, kata Pak Nakamura,"sayang yah pak Halwany udah nggak ada padahal orangnya pintar,"" papar bu Yati menirukan Nakamura.

"Kalau pulang dari luar negeri oleh-olehnya selalu buku, dulu waktu pulang dari Amerika kata ibu ditanya, mana oleh-olehnya? Tuh di peti kata bapak, dibuka petinya, isinya buuuku semua sepeti, iii lain artos (uang), ya itu, perempuanmah artos bae,"lanjutnya menirukan Halwany, ada getar kekangenan dalam suaranya.

Lalu ia kembali fokus pada saya yang berencana mencari buku tentang Baduy dan mempersilahkan saya ke dalam rumah, menuju perpustakaan Halwany. Rumahnya terasa adem nyaman, disana-sini terdapat benda bersejarah seperti keramik, foto-foto Halwani di dinding bersalaman bersama beberapa pejabat penting seperti Presiden Soeharto dan lain lagi. Saya berbelok ke kiri, lebih terang karena ada sebuah ruangan di dalam rumah yang atapnya dibiarkan terbuka sebagai sumber cahaya mentari dalam rumah, berbelok lagi menuju sebuah kamar berukuran 4x4 meter yang ternyata merupakan perpustakaan Halwany. Sebuah meja besar dengan kursi berbahan kulit hitam besar yang dapat diputar di belakangnya.

Bu Yati mempersilahkan saya melihat-lihat dan duduk di kursi belakang meja, lalu ia pamit meninggalkan saya agar leluasa melihat koleksi perpustakaan. Kursi besar tua itu masih tampak gagah, sejenak saya membayangkan Halwany duduk di atasnya. Saya tak mendudukinya sekalipun telah dipersilahkan, rasanya tak pantas.

Kiri-kanan ruangan itu dipenuhi rak-rak buku, ada beberapa sarang laba-laba menghiasi. Menurut Bu Yati, yang meneruskan perpustakaan adalah Devi, namun karena Devi bekerja di Lampung (akhir Juli ini resign) maka perputakaan jarang dikunjungi. Di meja besar ada klipingan koran tentang Banten masa lalu (berita tentang mata uang Banten yang belum sempat beredar). Proyektor film dalam sebuah lemari kaca berikut mesin slide proyektor. Saya menemukan berbagai buku tua versi aslinya seperti: The Religion of Java karya Clifford Geertz yang ditulis tahun 1959, sebuah buku yang ditulis Jan Pieterszoon Coen (pernah manjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda), A Critique of The Study of Kinship karya Schneider dan banyak lagi. Satu dua buku saya ambil dan baca sekilas "Ini harta yang berharga," saya membatin. Saya tak menemukan buku yang saya cari. 15 menit kemudian saya kembali ke teras menemui bu Yati dan kembali mengobrol.

"Yang tau perpus cuma Devi, banyak tamu yang datang ke sini tapi Devinya nggak ada nggak ngerti ibu, mungkin sebentar lagi datang," jelasnya.

Saya memang janjian dengan kang Devi Jumat pagi, namun tak saya tentukan waktu tepatnya. Kang Devi sedang berada di Banten Lama, kunjungan bersama jajaran Pemerintah Kota Serang. Saya mengenalnya dari internet, rupanya ia yang mengelola www.perpushalwany.blogspot.com, lewat situs itulah saya berkenalan.

Sekilas tentang Halwany Michrob (disarikan dari www.Perpushalwany.co.cc)

M.Michrob dan Hj. Suhara mungkin tak pernah menyangka jika anaknya kelak menjadi seorang besar yang dihargai dan menjadi ikon sejarah di Banten. Anak itu bernama Halwany Michrob. Ia dilahirkan di Serang 14 Februari 1938. Kampung halamannya Kubang, Kaujon Serang. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis Pandeglang Rd Yati Rumyati. Dari pernikahan tersebut keduanya dikaruniai enam anak: Dra. Fetin Hedrayatin, Eva Fagiah, SP., Agustiar, S.Ag., Ovi Hanif Iriana, SE (almarhum), Deni Hudaya, A.Md., Devi Naufal H, A.Md.

Masa Pendidikan dilaluinya mulai dari SR (Sekolah Rakyat) Negeri 2 Serang (1952), SMP Gontor Ponorogo (1957), SMA II Bag C Jakarta (1959), D-1 APPN Jurusan Administrasi Niaga di Jakarta (1975), S-1 IPPM Jurusan Sejarah & Budaya di Jakarta (1982), S-2 di University of Pennsylvania AS Judul Thesis “ A Hypothetical Reconstruction Of The Islamic City Of Banten Indonesia” (1987), dan S-3 di Chiba University Jepang Judul Disertasi “Historical Reconstruction And Modern Development Of The Islamic City Of Banten Indonesia” (1997).

Halwany orang yang mencintai ilmu, orang dengan rasa keingintahuan yang tinggi, berbagai kursus juga diikutinya seperti: Pouw’s College Bandung – Java (Bahasa Inggris) di Bandung 1958-1960, Under Water Archaeological di Irian Jaya 1971, Extension Course di Singapure 1973-1974, Permuseuman di Kuala Lupur Malayesia 1976, Cultural Heritage Conservation di Honolulu 1982, SPAFA di Thailan 1983, Philippine Institute Of Doctors In Low (PIDIL) di Philipina 1987, Urban Heritage And Evolutionary Neighbourhood Development At Our Institute IHS (Institute For Housing And Urban Development Studies) di Belanda 1991, Architectural Urban Conservation TuDelft (Delft University Of Technology) di Belanda 1991 dan Archaeological Work Shop & Seminar di Jepang 1992.

Karir: Wartawan Reporter & Photografer Selecta 1966, Pelaksana Kandep Pandeglang tahun 1967, Pegawai Negeri P dan K bagian Kesenian Di Pandeglang tahun 1968, Pengatur Muda Mendikbud Jabar tahun 1971, Penata Muda Kakanwil Jabar tahun 1982, Kepala Museum Banten Lama tahun 1988, Kepala Suaka PSP Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung di Serang tahun 1991 dan PUSLITARKENAS di Jakarta tahun 1994.

Karya yang ditinggalkan: Mendirikan Museum di Irian Barat tahun 1970, mendirikan Museum Banten Lama tahun 1987, mendirikan Museum Kerakatau tahun 1992, Pendiri Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Banten tahun 1991, mendirikan Museum Banten Girang tahun 1995, menggagas membuat gapura-gapura kaibon disetiap pintu gerbang kantor atau instansi, memberikan nama Griya Kaunganten pada gedung Darma Wanita Kab. Serang dan Motto yang ada di Kodim Serang “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis”.

Karyanya yang sudah dijadikan buku seperti; Ekspor-Impor Banten, Pengembangan Industri Keramik di Banten, Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten, persepektif Budaya dan Bahasa Nusantara, Studi Banding Dalam konteks Kesamaan Akar Budaya Austronesia, Lebak Sibeduk dan Arca Domas di Banten Selatan, Kabupaten Serang Menyongsong Masa Depan (bersama Hasan M. Ambary), Pahlawan Nasional Sultan Ageng Tirtayasa dan Manfaatnya Terhadap pembangunan Banten, 30 Tahun Korem 064 Maulana Yusuf, Dokumen Historica Pohon Keluarga Besar pangeran Astapati, Temuan Perahu Kuno Tradisi Jawa Barat, Catatan Masa Lalu Banten, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten (bersama Hasan M. Ambary dan John Miksich), Lompatan Waktu Mendahului Masa Keemasan Arkeologi di Indonesia, Situs Tirtayasa dan Situs Pagedongan, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten. Juga judul makalah dalam sejumlah seminar dan simposium, diantaranya; Bandar Banten, Penduduk dan Golongan Masyarakatnya, Kajian Historis dan Arkeologis serta Prospek Masyarakat Banten Masa Depan (bersama Hasan M. Ambary). Dan masih bayak karyanya yang belum dijadikan buku dan makalah yang belum diseminarkan.

Penghargaan: Festival Seni dan Pameren Benda-Benda Budaya di Irian Barat oleh Gubenur Irian Barat tahun 1972, Perjuangan Pembebasan Irian Barat dari Kolonial Belanda oleh Presiden RI tahun 1985, Penyaji Makalah Bahasa pada Kongres Bahasa Sunda tahun 1988, Panitia dan Penyunting Peringatan 100 Tahun Pahlawan Geger Cilegon tahun 1988, Penyaji Makalah dan Pameran Siliwangi di Bogor tahun 1990, Moderator dan Pembicara 100 Tahun Meletusnya Gunung Krakatau tahun 1991 dan Sebagai Pembicara Makalah dikalangan Mahasiswa diantaranya seperti; Univeritas Tarumanegara tahun 1988, Institut Teknologi Bandung tahun 1988, Univeritas Padjadjaran tahun 1993, Universitas Islam Bandung tahun 1994, Universitas Pasundan tahun 1994, Institut Agama Islam Negeri Fattahilah tahun 1994, Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati tahun 1995 dan Universitas Tirtayasa tahun 1995, dll

Thursday, August 13, 2009

Tiga Masketir (masih pada imut)

Lagi browsing iseng ketemu foto masa lalu.

Jajaran Pemimpin : (dari kiri ke kanan) Ferry Fathurokhman (Pemimpin Umum), Turyanto (Pemimpin Redaksi), Eva Danayanti (Pemimpin Usaha)

Telaah Kritis Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat (Refleksi Kegagalan Perumusan Sebuah Kebijakan)

Telaah Kritis Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat

(Refleksi Kegagalan Perumusan Sebuah Kebijakan)

Oleh :

Ferry Fathurokhman

Medio 2007, sebuah koran lokal di Banten memuat berita kecil berbentuk straight news yang memberitakan seorang aktivis perempuan di Kabupaten Serang memprotes Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Berita tersebut menarik perhatian saya, sebab aktivis perempuan tadi mengatakan bahwa Perda yang dimaksud dinilai tak adil, diskriminatif. Ia menjelaskan misalnya, kenapa minuman keras yang mengandung alkohol dilarang dijual di warung-warung tapi tetap boleh beredar, dijual dan dikonsumsi di hotel berbintang. Hal tersebut dinilainya diskriminatif, seharusnya di hotel berbintang minuman beralkohol juga tak boleh beredar.

Saya kemudian mencari Perda yang dimaksud, Perda Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Perda tersebut pada dasarnya mengatur dua jenis penyakit masyarakat : Minuman keras, dan Pelacuran yang disatukan dalam satu ayat dengan perzinaan.

Sebelumnya perlu dijelaskan yang dimaksud minuman keras dalam perda tersebut adalah minuman yang mengandung alkohol dan atau segala jenis minuman yang dapat memabukkan sehingga mengganggu metabolisme tubuh dan mengganggu akal sehat.

Sementara pelacuran diartikan sebagai suatu bentuk pekerjaan untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan atau kegiatan seksual lainnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan atau materi.

Perzinaan didefinisikan sebagai hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atau sesama jenis di luar ikatan pernikahan, baik suka sama suka maupun secara paksa oleh salah satu pihak dengan adanya pemberian atau janji pemberian, baik yang dilakukan oleh yang berlainan jenis kelamin atau sama.

Saya membaca dan kemudian menemukan kejanggalan dalam Perda tersebut. Kejanggalan tersebut terletak pada ketidaksinkronan antara dasar konsiderans dengan batang tubuh Perda. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan adanya diskriminasi sebagaimana dimaksud aktivis perempuan di atas.

Konsiderans dalam Perda tersebut pada dasarnya memuat dua kategori : Nilai dasar yang menjadikan Perda tersebut dianggap penting untuk diundangkan, dan dasar yuridis yang mendasari lahirnya Perda Penanggulangan Penyakit Masyarakat tersebut.

Dalam kategori pertama, pertimbangan pertama perlunya Perda tersebut adalah dalam rangka mencegah semakin meluasnya perbuatan yang dapat merusak moral generasi muda dan untuk melindungi masyarakat dari berbagai ancaman gangguan kesehatan dan keresahan sosial sejalan dengan visi dan misi Kabupaten Serang yang berwawasan global dan islami, maka perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan penyakit masyarakat di Kabupaten Serang. Pertimbangan kedua, bahwa dengan semakin meluas dan berkembangnya perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan norma susila yang pada gilirannya dapat menciptakan kerawanan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

Dalam konsiderans tersebut kita mengetahui bahwa visi dan misi Kabupaten Serang berwawasan global dan Islami. Pandangan global tersebut berkaitan dengan era globalisasi yang tidak bisa dihindari terutama mengingat Serang sebagai Ibukota Provinsi Banten yang harus siap menghadapi nilai-nilai universal yang masuk ke daerah. Sementara wawasan yang islami dikarenakan agama Islam memiliki akar yang kuat secara historis di Kabupaten Serang. Kesultanan Banten dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati (Cirebon) yang diamanahkan untuk menyebarkan agama Islam di Banten. Sultan Hasanuddin kemudian berhasil menyebarkan agama Islam di Banten dan mendirikan kesultanan (kerajaan) yang beralih dari generasi ke generasi termasuk didalamnya Sultan Ageng Tirtayasa, hingga akhirnya kesultanan Banten dihancurkan oleh Belanda karena sikapnya yang tak kooperatif dengan Belanda. Namun yang menjadi catatan bahwa dalam masa kesultanan tersebut agama Islam pernah hidup berkembang dan dijadikan pedoman dalam bermasyarakat di Banten. Sekarang kerajaan Banten hanya tinggal reruntuhan puing yang secara geografis berada di Kabupaten Serang (Sebelum ada pemekaran Kota Serang Tahun 2008). Serang juga memiliki banyak ulama yang dihormati, salah satunya adalah Syekh Nawawi Al Bantani yang dilahirkan di Tanara, Serang. Syekh Nawawi Al Bantani kemudian menetap di Mekkah dan dimakamkan di Ma'la, areal pekuburan di Mekkah dimana makam Siti Khadijah Istri Nabi Muhammad SAW berada. Hingga kini di daerah Serang dan wilayah Banten lainnya banyak dijumpai ulama dan pondok-pondok pesantren baik yang modern maupun tradisional.

Dasar historis Islam yang mengakar itulah kemudian yang menjadikan Serang diklaim sebagai daerah yang religius dan Islami (berwarnakan Islam). Sehingga wajar jika kemudian Kabupaten Serang memiliki visi dan misi sebagai daerah yang berwawasan islami (kata Islami tak sama dengan dengan Islam, Islam adalah kata benda, sementara islami adalah kata sifat. Sehingga islami dimaknai sebagai sesuatu yang 'berbau' islam, 'bercorakan/berwarnakan' islam. Maka kita dapat memberi contoh misalnya ada orang Jepang yang islami. Ini berarti meskipun orang Jepang tersbut bukan orang Islam, tetapi ia bersikap dan bertindak berwarnakan islam).

Nilai-nilai islami yang hidup dalam masyarakat itu tak lain adalah cita hukum masyarakat Serang. Sebagaimana kita ketahui bahwa cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diharapkan masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum maka produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan maknanya (Prof Dr Esmi Warassih SH MS, 2005:43). Cita hukum ini oleh Hans Kelsen disebut sebagai Grundnorm atau Basicnorm.

Hingga pada batas cita hukum yang tertuang dalam konsideran, Perda Nomor 5 Tahun 2006 ini tak bermasalah. Masalah serius kemudian ditemukan dalam norma-norma hukum yang terkandung dalam batang tubuh Perda sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum.

Pada Bab III Pasal 5 tentang minuman keras terdapat ayat yang bertentangan dengan konsideran. Ini berarti norma hukum dalam perda tersebut bertentangan dengan cita hukum yang diantumkan di bagian konsideran.

Bunyi lengkap dari norma hukum yang bermasalah tersebut sebagai berikut :

Pasal 5 ayat 1) Setiap orang atau kelompok dilarang mengonsumsi minuman keras yang mengandung kadar alkohol.

Ayat 2) Setiap orang, kelompok dan atau badan dilarang meracik, memproduksi, menyimpan / menjual / memperdagangkan / menyalurkan dan memberikan minuman keras sebagaimana dimaksud ayat (1)

Ayat 4) Perbuatan yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi hotel berbintang.

Jika konsiderans dalam Perda tersebut tidak mencantumkan kata berwawasan islami sebenarnya tak jadi masalah, namun Perda ini jadi salah karena pasal 5 ayat 4 tersebut bertentangan dengan konsiderans. Ini sama artinya dengan mengatakan bahwa dalam pandangan islam, terdapat pengecualian tentang minuman beralkohol, bahwa islam membolehkan minuman beralkohol diracik, diproduksi, disimpan, dijual, diperdagangkan, disalurkan dan diberikan di hotel berbintang. Ini sama juga artinya dengan mengatakan bahwa dalam islam terdapat disparitas perlakuan terhadap minuman beralkohol. Jika di warung-warung, di jalan, di masyarakat umum minuman keras beralkohol dilarang untuk diproduksi, diperdagangkan dan dikonsumsi, di hotel berbintang dibolehkan untuk memproduksi, memperdagangkan dan mengonsumsi minuman beralkohol. Orang yang tidak memiliki ilmu yang cukup kemudian akan mendapatkan persepsi bahwa demikianlah hukum islam, dan hal tersebut menjadikan Perda ini memiliki kesalahan yang fatal dan menyesatkan. Padahal islam tidak pernah mengajarkan apa yang dipersepsikan dalam Perda tersebut.

Saya kemudian menelusuri dam menemui beberapa orang untuk membahas masalah ini. Prof. Suparman Usman, tokoh akademis dan pakar hukum islam di Serang mengatakan bahwa dalam islam disparitas itu ada dan dibenarkan, Syariah Islam tidak berlaku bagi orang yang bukan islam. Sampai batas tersebut saya menyepakatinya. Tetapi Syariah Islamkan tidak tak berlaku terhadap hotel berbintang. Yang dapat dikenakan pengecualian dalam hukum islam adalah orang yang bukan islam bukan hotel berbintang. Sehingga Perda tersebut tak akan bermasalah jika redaksional ayat 4 berbunyi "Perbuatan yang diatur sebagaimana dimaksud ayat (2) dikecualikan bagi orang yang bukan islam/non muslim. Atau Perda tersebut juga tak akan bermasalah jika tetap pada redaksional ayat 4 semula tetapi kata-kata islami dan ajaran-ajaran agama harus dihapuskan dari konsiderans sehingga menjadi Perda yang benar, yang tak bertentangan antara konsiderans dan batang tubuh, antara cita hukum dan norma hukum.

Saya menemukan satu paragraf yang sangat cocok dan tepat menggambarkan kondisi Perda di atas dalam bukum Prof Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, :

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dan proses perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum ke dalam norma-norma hukum, sangat tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan dari para pembentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini para pekabat dan wakil rakyat). Tiadanya kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut, akan menimbulkan kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat. Oleh sebab itu, dalam Negara Republik Indonesia yang memiliki cita hukum pancasila dan sekaligus sebagai norma fundamental negara, setiap peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam cita hukum tersebut (Prof Dr Esmi Warassih SH MS, 2005:45).

Apa yang terjadi pada Perda nomor 5 Tahun 2006 adalah kondisi sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di atas.

Penelusuran saya terhadap Perda bermasalah tersebut berlanjut, saya berkesempatan bertemu dengan Rakhmat Zuhri, Sekretaris Dewan Kabupaten Serang, namun jawaban atas Perda tersebut adalah Perda tersebut Perda yang tak bisa dieksekusi karena tak ada anggaran untuk melakukan razia-razia penyakit masyarakat dalam rangka menegakkan Perda tersebut. Padahal permasalahan utama bukan pada dapat tidaknya pengeksekusian Perda tersebut, namun pada benar salahnya subtansi Perda tersebut, dan ini sangat fundamental.

Pertanyaan saya atas Perda tersebut sampai pada bagaimana Perda tersebut dapat dilahirkan/diterbitkan? Di Kabupaten Serang alur umum yang terjadi dalam pembuatan sebuah Perda adalah bermula dari tingkat eksekutif, dalam hal ini SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait langsung dengan Raperda tersbut. Perda tentang penyakit masyarakat berkaitan dengan Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Trantib), maka Dinas Trantiblah yang merumuskan draft raperda (dalam prakteknya dinas terkait dapat melibatkan tenaga ahli untuk turut membantu merumuskan raperda), setelah menjadi menjadi rumusan raperda diserahkan ke Bagian Hukum (dikepalai oleh seorang kepala bagian), di Bagian Hukum, rumusan tersebut dikritisi, jika dianggap penting untuk diterbitkan maka rumusan raperda tadi diserahkan pada DPRD untuk kemudian diagendakan pembahasan atas raperda tersebut untuk menjadi sebuah Perda.

Kita mengetahui bahwa dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, bukanlah hanya merupakan persoalan yuridis semata, tetapi juga melibatkan tahapan sosiologis, tahapan politis dan kemudian tahapan yuridis.

Apa yang terjadi pada Perda di atas sebenarnya sudah benar dalam tahapan sosiologis, menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan cita hukum. Namun Perda tersebut terdistorsi dalam tahapan politis sehingga mengakibatkan kesalahan dalam perumusan norma hukumnya, dalam tahap yuridisnya.

Kemungkinan yang terjadi dalam proses pembuatan Perda tersebut adalah kegagapan yang mengakibatkan kelupaan terhadap cita hukum manakala dihadapkan pada globalisasi dimana minuman beralkohol dalam hotel berbintang juga diperlukan sebagai sesuatu yang komplementaris dalam menarik investor di daerah Serang.

Perda tersebut pada akhirnya harus dibatalkan karena kesalahannya yang fatal. Perda-perda semacam inilah yang kemudian banyak dikategorikan, diklaim, didefinisikan sebagai Perda Syariat. Padahal jika kita telaah lebih dalam tak ada syariat di dalamnya, justru yang ada pada akhirnya menyudutkan dan menyalahi syariat itu sendiri. Persoalan ini adalah suatu masalah yang fatal dan serius yang harus diluruskan.

Hingga saat ini tak ada definisi baku tentang terminologi Perda Syariat. Perda Syariat kemudian diidentikan dengan Perda yang didalamnya terdapat kata islam, islami, ajaran agama dan sebagainya. Padahal setelah dilakukan kajian, tak ada syariat di dalamnya. Jika hal tersebut dilakukan tanpa disadari, maka itu hanya mengakibatkan kesalahan dalam sisi yuridis, namun jika hal tersebut dilakukan dengan kesadaran maka itu adalah sebuah kejahatan.

Jalaludin Rakhmat, akademisi Unpad, pernah mengkaji dan menemukan bahwa 'Perda-perda Syariat' tersebut hanya dijadikan komoditas politik sehingga terkesan Kepala Daerah menerima aspirasi masyarakat, padahal tak pernah ada niat untuk menggagas Perda Syariat itu sendiri. Jika memang itu yang terjadi maka saya rasa kepala daerah tersebut dan orang-orang yang mengetahui proses pembuatan Perda tersebut sepatutnyalah beristigfar, dan semua orang yang mengetahui diwajibkan untuk mengingatkan bahwa kita telah melakukan kesalahan dan bermain-main dengan Tuhan.

Keresahan Masyarakat Adat Baduy dan Pemerintahan yang tak Responsif(Analisa Konflik pada Kerusakan Hutan Adat Baduy)

Keresahan Masyarakat Adat Baduy dan Pemerintahan yang tak Responsif

-Analisa pada Kerusakan Hutan Adat Baduy-

Ferry Fathurokhman

Pendahuluan

Satjipto Rahardjo dalam bukunya Biarkan Hukum Mengalir menuliskan bahwa jauh sebelum datangnya era hukum nasional telah ada orde atau tatanan lokal yang selama ratusan tahun telah menunjukan jasa dan kemanfaatannya untuk menciptakan hidup yang teratur. Orde lokal tersebut tidak lain adalah hukum adat yang hingga saat ini masih ada dan ditaati sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

Hukum adat tersebut dijalani dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya hukum kolonial tiba di Indonesia. Pada awalnya Persoalan utama mengenai hukum di Indonesia adalah terjadinya pencangkokan hukum dari negara asal (Belanda) yang mempunyai nilai yang berbeda dengan negara kita Indonesia. Maka wajar jika ada nilai-nilai yang dirumuskan dalam bentuk norma hukum tertulis yang tidak sesuai dengan nilai yang ada di Indonesia.

Perbenturan nilai tersebut sebenarnya bukan hanya dialami di Indonesia, beberapa negara lain juga mengalami hal yang sama, Jepang misalnya. Perbedaan Indonesia dengan Jepang dalam beradaptasi dengan hukum modern adalah kemampuannya dalam menangkap hukum secara luwes, flexible, mengalir bagaikan air. Jepang memberi arah, cara dan jalan yang berbeda dari konsep Barat yang menekankan pada kepastian dan predictableness.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Robert Seidman yang menciptakan istilah 'Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan' (The Law of Non-Transferability of Law) menjelaskan bahwa pemindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak akan dapat membuat hukum tersebut bekerja, karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu digunakan di tempat asal.

Kritik terhadap 'pencangkokan'/transplantasi hukum sebenarnya juga pernah dilontarkan J. van der Vinne, yang mengemukakan keberatan-keberatan, yang terutama bersandar pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal (niet geƫigend) jika diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia):

"Buat suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama nasrani dan penyembah berhala yang mempunyai pelbagai agama serta adat istiadat, sedangkan penduduknya yang beragama Islam amat besar kesetiaannya pada sendi-sendi agamanya serta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diperlakukannya hukum Belanda akan berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat daripada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain berhubung dengan tempat atau daerah ataupun golongan manusia (orang-orang) di Hindia."

Pencangkokan (concordantie) hukum Belanda ke Indonesia mengakibatkan termarjinalkannya bentuk-bentuk hukum adat. Pencangkokan hukum tersebut mengesankan bahwa sebelum adanya hukum Belanda, tidak ada hukum di Indonesia (Nederlands-Indie).

Van Vollenhoven di masa kolonial menolak pendapat rekan-rekannya sesama ahli hukum yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum. Menurutnya mereka yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum dikarenakan sudah menggunakan standard atau kacamata yang salah, yaitu kacamata hukum Belanda. Kacamata itu harus diganti dengan kacamata hukum Indonesia dan barulah kehadiran hukum di negeri ini bisa terlihat.

Bangsa Indonesia telah berhukum berpuluh-puluh tahun dengan menggunakan hukum yang dilihat van Vollenhoven tersebut. Hukum tersebut adalah tatanan-tatanan lokal beragam yang tersebar di kepulauan Indonesia. Masing-masing berhukum dengan tatanan lokalnya masing-masing yang hingga kini terus bergulir.

Meskipun tak sepesat Jepang dalam menyejajarkan hukum, tatanan-tatanan lokal di Indonesia tetap hidup dan semakin bergeliat memberikan solusi disaat hukum warisan kolonial yang mengagungkan kepastian hukum menemui kebuntuan dalam menyelesaikan konflik.

Salah satu tatanan lokal yang masih hidup dan terjaga keberlangsungannya terdapat pada masyarakat adat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten. Keberadaan masyarakat adat Baduy telah diakui dengan diterbitkannya Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy di wilayah Banten.

Baduy memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mengelola lingkungan. Sekalipun masyarakat adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan padahal mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal tersebut telah berlangsung lama meskipun masyarakat adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Pada konteks ini, kita harus belajar dari masyarakat adat Baduy dalam berinteraksi dengan alam sehingga kelestarian tetap terjaga. Nilai-nilai yang berkaitan dengan alam dan pengelolaan hutan tersebut merupakan pelajaran berharga bagi pengelolaan lingkungan hidup secara nasional.

Permasalahan

Makalah ini berusaha menjawab rahasia masyarakat hukum adat Baduy dalam mengelola hutan dan cara menyelesaikan konflik yang berakibat pada kerusakan hutan adat Baduy.

Pembahasan

Deskripsi Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes. Desa kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dari Jakarta, jaraknya sekitar 120 kilometer. Dengan kondisi alam yang berbukit-bukit di kawasan Pegunungan Kendeng, desa tersebut berada di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut seluas 5.101,85 hektar, sebagai dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan. Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun berikutnya meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Awal tahun 1980 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.057 orang, sepuluh tahun kemudian berjumlah 5.600 orang dan tahun 1999 menjadi 7.000-an orang (Kartawinata, 2000). Tentunya, dari keadaan itu menuntut penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan jumlah kampung, seperti pada Tabel Perkembangan Kampung Baduy Tahun 1891 – 2000.

Baduy dan Pengelolaan Lingkungan

Penulis pernah berkesempatan berinteraksi dengan masyarakat adat baduy selama kurang lebih tiga hari di Desa Cibeo, Baduy Dalam pada tahun 1998. Masyarakat hukum adat Baduy dikenal sangat patuh dan taat pada hukum adat Baduy. Ada banyak larangan dalam hukum adat Baduy misalnya tidak boleh difoto, naik kendaraan, memakai alas kaki. Orang Baduy Dalam jika pergi ke Jakarta, Bogor atau Bandung dengan maksud mengunjungi tamu yang pernah datang ke Baduy selalu berjalan tanpa alas kaki. Jika diketahui menggunakan kendaraan, maka ia akan dikenai sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar—Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar dan berinteraksi lebih dengan modernisasi. Jika ditanyakan alasan kenapa tidak boleh difoto maka mereka akan menjawab dengan singkat "teu meunang ku adat" (Tidak boleh oleh adat).

Masyarakat adat Baduy biasa menggantungkan hidupnya pada alam. Mereka menanam padi huma—padi yang ditanam di tanah kebun, bukan sawah—sebagai makanan pokok mereka. Hasil panenan dikumpulkan di sebuah lumbung padi yang dimiliki tiap kepala keluarga. Masyarakat adat Baduy memanfaatkan alam secukupnya sekadar kebutuhan mereka. Prinsip hidup masyarakat adat Baduy tercermin dari pepatah-petitih adat Baduy :

Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong Pendek tak boleh disambung
(Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung)
yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang yang benar haruslah dibenarkan

Isi terpenting dari aturan adat tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Di bidang pertanian, bentuk kepatuhan tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Hal tersebutlah yang membuat mereka dapat hidup harmonis dengan alam. Orang Baduy mengambil manfaat alam secukupnya tanpa ada keserakahan di dalamnya.

Pengakuan atas Masyarakat Adat

Masyarakat adat di Indonesia diakui keberadaannya. Berbagai peraturan dari telah mempertegas eksistensi masyarakat adat. Dalam Undang-undang Dasar 1945, pengakuan tersebut dicantumkan dalam pasal 18B ayat 2 dan 18I ayat 3 sebagai berikut:

Pasal 18B ayat (2)

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 28I ayat (3)

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

UU No 41 tahun 1999 Kehutanan (yang mengalami perubahan dengan adanya Perppu Nomor 1 tahun 2004) juga mengakui hak dari masyarakat hukum adat dalam pasal 67 sebagai berikut :

Pasal 67

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya berhak :

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari

masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Selain itu keberadaan hutan adat juga telah diakui oleh undang-undang ini sebagai berikut :

Pasal 1

6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pasal 4

(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,

sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak

bertentangan dengan kepentingan dengan kepentingan nasional

Pasal 37

(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,

sesuai dengan fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan

sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Masyarakat Baduy dan Hutan adat yang wilayahnya telah ditetapkan pemerintah daerah setempat hidup secara harmonis. Tidak ada penebangan kayu secara masif, tidak ada pencemaran air, tidak terjadi 'gundulnya' hutan. Hal tersebut karena kultur masyarakat Baduy yang menyatu dengan alam. Orang Baduy tak pernah mandi dengan menggunakan sabun di sungai-sungai di hutan adat Baduy. Sabun adalah salah satu benda yang masuk dalam aturan "teu meunang ku adat"/tidak boleh oleh adat.

Kerusakan Hutan di Baduy

Keharmonisan itu kini mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy, menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat. Warga Baduy telah sering melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Banten, melakukan sosialisasi pada warga luar Baduy agar tidak menebang pohon di hutan adat bahkan melaporkan persoalan ini ke kepolisian. Jaro Dainah mengaku meski tanah ulayat Baduy itu sudah dilindungi peraturan daerah, pada praktiknya aturan tersebut tidak berjalan akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat.

Aparat seharusnya tidak hanya membiarkan persoalan ini berlarut-larut dengan menyerahkannya begitu saja pada pihak yang berkonflik. Aparat penegak hukum juga sedapat mungkin menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dan terus melakukan monitoring atas progresifitas perkembangan konflik yang ada. Upaya ini dilakukan untuk menuju sebuah peradilan yang berorientasi pada restorative justice. Masyarakat Baduy telah kelelahan dengan konflik yang tak kunjung usai ini. Jaro Dainah bahkan mulai pesimis apakah keluhannya didengarkan.

Pada akhirnya faktor ekonomi menjadi faktor yang paling utama dalam menyumbang kerusakan hutan di Baduy. Kerusakan hutan adat di Baduy tak lepas dari persoalan ekonomi. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan lingkungan tidak hanya dalam tataran kebijakan legislatif, tapi juga upaya kuat mendorong penegakan hukumnya dengan tak berpihak pada kekuatan ekonomi. Pihak perusahaan maupun perseorangan juga harus memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara dari penyuluhan hingga penegakan hukum sebagai upaya untuk menghasilkan deterence effect (efek pencegahan).

Kesimpulan

Keharmonisan yang telah berlangsung lama antara masyarakat adat Baduy dan alam akhirnya harus terusik justru karena faktor di luar mereka. Modernisasi mulai menjamah keharmonisan hubungan alam dan manusia. Peraturan seperti Perda yang mengatur masyarakat adat Baduy dengan berbagai ancaman hukuman bagi perusak hutan adat Baduy hanya akan menjadi peraturan yang tidak pernah 'turun ke bumi' menyelesaikan masalah. Peraturan pada akhirnya tinggal peraturan, sebercak tinta yang tersusun dalam kertas putih. Masyarakat Baduy, hingga saat ini masih bertahan dan bersabar dalam menyikapi persoalan perambahan hutan mereka. Kondisi ini sebenarnya menjadi 'bom waktu' jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas. Konflik horizontal pada akhirnya berpotensi terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyakarat luar Baduy. Duduk bersama antara masyarakat luar Baduy, masyarakat adat Baduy dan pemerintah pada akhirnya mutlak diperlukan untuk menyelesaikan permasalan. Dan makalah ini hanya dapat sekadar membuka kesadaran bahwa mereka memang seharusnya duduk bersama.

Daftar Pustaka

Arif Hidayat dan FX Adji Samekto. Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah. Semarang. Badan Penerbit Undip. 2007.

Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. 2007.

---------------------. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta. Genta Press. 2008.

R. Supomo dan R. Djokosutono. Sejarah Politik Hukum Adat (Djilid II), Jakarta, Djambatan, 1954, hal. 19.

Simon Tabalujan, Beni. Legal Development in Developing Countries (The Role of Legal Culture), Singapore. 2001,hal.6.

Ade Makmur, Pamarentahan Baduy Di Desa Kanekes: Perspektif Kekerabatan Pamarentahan Baduy In Kanekes: Kinship Perspective
diunduh dari http://www.geocities.com/puslitmasbud_unpad/artikel_pamarentahan_Baduy.htm

www.hukumonline.com/berita/Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan
[3/8/06].

www.kompas.com Berita edisi Senin, 24 Mei 2004

www.kompas.com Berita edisi Senin, 24 Mei 2004

www.tempointeratif.com pada berita "Penyerobotan Tanah Baduy Merajalela".

www.sinarharapan.

Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional

Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional

Tugas Pada Mata Kuliah Hukum Pidana Internasional

Dosen Pengampu: Dadang Siswanto SH MH

Oleh :

Ferry Fathurokhman

NIM : B4A 008058

Kelas SPP (Sistem Peradilan Pidana)

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2 0 0 9

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT sebagai pemilik bumi ini karena atas izinnya makalah ini dapat selesai (ditengah menumpuknya tugas perkuliahan). Shalawat dan salam semoga selalu tercurah pada nabi Muhammad SAW.

Kata pengantar pada makalah ini dirasa menjadi urgen ditulis untuk memahami makalah ini. Makalah ini tidak disusun seperti makalah pada umumnya. Penulisannya diupayakan dibuat dengan lebih mengalir dan tidak kaku. Ide penulisan makalah ini berasal dari buku Prof Tjip (sapaan Satjipto Rahardjo) yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir yang Diterbitkan Kompas. Daftar pustaka sengaja tak penulis cantumkan. Namun bukan berarti makalah ini tak ilmiah. Makalah ini dibuat berdasarkan beberapa buku seperti : Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi karya I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional karya Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional (Bahan Ajar) karya
Bapak Dadang Siswanto, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia karya Barda Nawawi Arief Semarang. Hukum Pidana I karya Sudarto, Delinkuensi anak karya Paulus Hadisuprapto dan berbagai informasi mengenai kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta yang telah menjadi pengetahuan khalayak umum.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada bapak Dadang Siswanto selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Internasional pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang telah memberikan ilmu dan kelonggaran dalam membuat makalah sebagai tugas akhir dari mata kulias Hukum Pidana Internasional.

Sebagai sebuah karya, makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan dan membutuhkan kritikan dan koreksi atas penyajiannya. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran atas makalah ini ada sebagai perbaikan dalam penulisan makalah-makalah lain ke depan.

Semarang, 8-9 Juli 2009

Ferry Fathurokhman

  1. Pendahuluan

Eksistensi kedaulatan negara-negara di dunia adalah sebuah keniscayaan yang harus diakui keberadaannya. Keadaan tersebut mengakibatkan hubungan antar negara menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hubungan antar negara tersebut dapat berupa suatu hubungan yang baik (positive relation of state) atau hubungan yang kurang baik (negative relation of state). Hubungan antar negara yang pertama biasanya berbentuk kerja sama antar dua negara dalam berbagai hal seperti: perjanjian di bidang ekonomi, pertahanan keamanan, program pertukaran budaya, hingga perjanjian yang bersifat preventif dalam menangani kejahatan yang melibatkan dua wilayah negara seperti yang membutuhkan suatu perjanjian seperti ekstradisi. Sementara hubungan yang kedua biasanya dipicu melalui konflik yang melibatkan kepentingan dua negara yang berbeda. Konflik tersebut bentuknya dapat beragam misalnya terjadi kejahatan yang melibatkan dua warga negara yang berbeda, sengketa batas teritorial dua negara, hingga kebijakan suatu negara yang berdampak pada negara lain.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan persinggungan antar negara mudah terjadi dan hampir tanpa batas (borderless). Globalisasi dan perkembangan zaman menjadikan orang asing maupun WNI (warga negara Indonesia) mudah melintasi batas negara dan berada di wilayah negara lain. Dewasa ini kita mulai tidak begitu aneh lagi melihat orang dari berbagai negara seperti Jepang, Malaysia, Amerika berada di Indonesia dengan berbagai kepentingan: bekerja, belajar, wisata, bisnis dan lain-lain. Sama halnya dengan WNI yang juga mulai tidak asing berada di negara luar dengan intensitas kunjungan yang semakin sering dengan berbagai kepentingan pula: bekerja, belajar, wisata, bisnis dan lain-lain.

Kondisi ini di satu sisi mendatangkan dampak yang positif: pertumbuhan perekonomian, pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan dan lain-lain. Namun kondisi tersebut juga mendatangkan dampak yang negatif yang tidak menutup kemungkinan adalah terjadinya kejahatan.

Kejahatan yang terjadi yang melibatkan dua negara (baik melibatkan dua kewarganegaraan maupun lintas batas teritorial negara) menjadi suatu kemungkinan yang akan sering terjadi. Dalam konteks ini kemudian kita mengetahui berbagai kasus dewasa ini kembali muncul seperti penyiksaan yang dilakukan warga negara Malaysia terhadap warga negara Indonesia. Penyiksaan itu umumnya terjadi pada WNI yang bekerja sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) seperti yang baru-baru ini terjadi pada Siti Hajar dan Modesta, dua orang TKW yang dihajar majikannya hingga memar dan meninggalkan cacat pada bagian tubuh tertentu. Hal menarik terjadi pada Manohara Odelia Pinot, seorang WNI blasteran Sulawesi dan Amerika Serikat. Manohara bukanlah TKW, ia adalah WNI yang diperistri Putera Raja Kelantan, Malaysia. Manohara mengaku kerap mendapatkan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari suaminya, Tengku Fahri. Persoalan Manohara menjadi unik karena kini oknum warga negara Malaysia tidak saja 'biasa' menyiksa TKW Indonesia tetapi kini merambah pada menantu seorang raja di negara bagian Malaysia. Kejahatan tersebut tentu saja menimbulkan akibat hukum yang tidak sederhana. Ketidaksederhanaan tersebut muncul karena kejahatan yang terjadi bukanlah kejahatan biasa pada umumnya. Kejahatan tersebut melibatkan dua kewarganegaraan yang berbeda yang berdampak pada sistem hukum masing-masing negara. Peristiwa hukum ini kemudian menjadi permasalahan tersendiri dalam kerangka kajian Hukum Pidana Internasional. Makalah ini mencoba menjawab permasalahan yang muncul, paling tidak ada dua masalah yang dapat dikemukakan : Apakah kejahatan tersebut merupakan tindak pidana/kejahatan internasional (international crime)?; Yurisdiksi negara mana yang dapat diberlakukan pada kasus tersebut?

  1. Rumusan Masalah

Sebagaimana pada bagian akhir bab pendahuluan, rumusan masalah dalam makalah ini adalah:


Perspektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sudut pandang atau pandangan. Dengan demikian sesuai dengan judul makalah ini "Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional", maka makalah ini pada hakikatnya ingin 'memotret' kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam sudut pandang Hukum Pidana Internasional. Sudut pandang tersebut kemudian dikerucutkan menjadi dua permasalahan utama yaitu : Apakah kasus penganiayaan atas Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional?; Yurisdiksi negara mana yang dapat diberlakukan dalam penegakan hukum kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta?

Pada permasalahan pertama kita membutuhkan suatu guidance untuk menentukan apa kriteria suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan internasional?

Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), seorang Jerman yang juga tokoh aliran mazhab sejarah menentang pengodifikasian hukum. Von Savigny pernah menyatakan bahwa sejarah berkembang terus, tetapi hukum telah ditetapkan. Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan kritik terhadap hukum yang secara rigid dituliskan, sementara masyarakat berkembang, kejahatan berkembang, kejahatan baru akan muncul atau bahkan terjadi dekriminalisasi atas suatu kejahatan dalam perspektif masyarakat, namun hukum telah terlanjur ditetapkan dan tak dapat menjangkau perkembangan tersebut.

Pernyataan Savigny tersebut menjadi relevan dalam konteks hukum pidana internasional. Kejahatan dalam hukum pidana internasional telah ditetapkan, tetapi sejarah berkembang terus, kemungkinan kejahatan baru muncul dapat terjadi. Bagaimana cara menentukan apakah kejahatan tersebut merupakan kejahatan internasional atau bukan? Kita membutuhkan guidance / ilmu untuk menentukannya.

Sebelum membahas persoalan diatas, kita akan membahas sekilas apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional agar pembahasan makalah ini menjadi komprehensif. Cherif Bassiouni
pernah
menjelaskan Hukum Pidana Internasional dengan sangat baik dengan cara yang sederhana. Menurutnya Hukum Pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek internasional dalam hukum pidana.

Aspek pidana di dalam hukum internasional adalah aspek-aspek sistem hukum internasional melalui tingkah laku atau tindakan yang dilakukan perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan atau kolektif/kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan pidana.

Sedangkan yang dimaksud dengan aspek internasional di dalam hukum pidana nasional adalah aspek-aspek sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional yang mengatur kerja sama internasional di dalam masalah-masalah kejahatan yang melibatkan perorangan, yang melanggar hukum pidana dari negara-negara tertentu.

Setelah mengetahui definisi hukum pidana internasional, kini kita beralih pada permasalahan pertama pada makalah ini: Apakah kasus penganiayaan atas Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional.

Untuk dapat menentukan suatu kejahatan merupakan kejahatan internasional atau bukan, Bassiouni secara cerdas merumuskan kriteria tindak pidana internasional sebagai guidance.

Ciri pokok suatu tindak pidana internasional adalah adanya unsur internasional, transnasional, dan necessity element (unsur kebutuhan).

Secara berurutan penjelasan ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:

Kebutuhan akan kerjasama antar negara-negara untuk melakukan penanggulangan.

Untuk dikategorikan sebagai sebuah kejahatan internasional tidak diperlukan ketiga unsur tersebut terpenuhi. Meskipun suatu kejahatan hanya memenuhi satu unsur di atas, maka ia telah dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional.

Dari penjelasan Bassiouni tersebut kita mengetahui bahwa peristiwa hukum yang menimpa Manohara, Siti Hajar dan Modesta adalah merupakan kejahatan internasional. Penganiayaan terhadap Siti Hajar dan Modesta telah memenuhi unsur internasional (menggoyahkan perasaan kemanusiaan/shocking to the conscience of humanity). Tubuh Siti Hajar dihajar habis-habisan, mukanya memar demikian juga beberapa bagian tubuhnya yang lain, kepalanya sering dipukul jika majikannya kesal. Modesta lebih tragis lagi, kedua daun telinganya cacat, bentuknya menggambarkan bekas pukulan yang tampak berkelanjutan. TKW Indonesia yang menjadi korban sebenarnya bukan hanya Siti Hajar dan Modesta, keduanya hanyalah korban yang kesekian kalinya. Kasus TKW Indonesia yang disiksa majikan juga telah memenuhi dua kriteria lainnya yang dikonsepsikan Bassiouni: transnasional dan necessity.

Manohara berusia 16 tahun saat ia menikah dengan Tengku Fahri, putra Raja Kelantan, Malaysia. Selama hidupnya di istana, Manohara mengaku kerap mendapatkan perlakuan buruk seperti torture (penyiksaan), sex abuses (penyiksaan seksual) dan child abuse (perlakuan kejam terhadap anak).


Dalam kasus Manohara, unsur transnasional telah terpenuhi. Pengakuan Manohara tentang penyiksaan yang dialaminya merupakan tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara karena melibatkan Indonesia dan Malaysia. Kasus penyiksaan Manohara juga merupakan tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara (Manohara merupakan WNI).


Selain penjelasan di atas, Bassiouni pernah menginventarisir berbagai jenis kejahatan internasional dan menempatkan slavery and related crimes as torture sebagai kejahatan internasional. Maka dengan demikian kasus penyiksaan yang dialami Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional.


Permasalahan Yurisdiksi

Kini kita beralih pada permasalahan berikutnya: Yurisdiksi negara mana yang dapat diberlakukan dalam penegakan hukum kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta?

Sebagaimana ditulis sebelumnya bahwa Hukum Pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek internasional dalam hukum pidana.

Dari pengertian tersebut maka dapat kita ketahui bahwa asas-asas hukum pidana nasionalpun menjadi dasar hukum pidana internasional dengan catatan asas-asas tersebut memiliki dimensi/aspek internasional

Beberapa asas-asas hukum pidana yang dapat berhubungan dengan aspek internasional adalah:


Asas Teritorialitas.

PAF Lamintang pernah mengutip Simon dalam menjelaskan makna asas ini. Asas ini bermakna berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu telah dilakukan, dan tempat tersebut haruslah terletak didalam wilayah negara yang bersangkutan.

Asas ini jelas tidak dapat dipakai pada Manohara, Siti Hajar dan Modesta karena locus delicti-nya berada di Malaysia, bukan di Indonesia.

Asas Nasional Aktif atau Personalitas atau Asas Kebangsaan (Personaliteits beginsel/nationaliteits beginsel).

Asas ini bermakna undang-undang pidana suatu negara tetap dapat diberlakukan terhadap warganegaranya dimanapun mereka itu berada, bahkan juga seandainya mereka itu berada di luar negeri. Tertuang dalam Pasal 3, 5-8 KUHP.

Pasal 5 dan 6 KUHP dikenal juga sebagai asas personalitas terbatas atau nasional aktif yang dibatasi penggunaannya, lebih lanjut akan diterangkan sebagai berikut:

Pasal 5 ayat 1 ke 2 berarti bahwa asas nasional aktif dapat ditegakan jika perbuatan yang dilakukan seorang WNI (warga negara Indonesia) di negara luar dirumuskan sebagai kejahatan dan dalam perundang-undangan Indonesia perbuatan tersebut juga dirumuskan sebagai kejahatan. Sehingga asas ini mensyaratkan adanya prinsip double criminality di kedua negara. Sekiranya seorang WNI melakukan Aborsi di suatu negara yang negara tersebut tidak merumuskan aborsi sebagai kejahatan sementara Indonesia merumuskan aborsi sebagai kejahatan, maka WNI tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban meskipun ia kembali ke Indonesia.

Pasal 5 ayat 2, penuntutan perkara sebagaimana dimaksud ke 2, dapat juga dilakukan jika terdakwa menjadi warga negara setelah perbuatan dilakukan. Misalnya seorang warga negara Singapura melakukan pembunuhan, maka sekiranya warga negara Singapura tersebut berniat lari dari pertanggungjawaban pidana dengan cara melarikan diri ke Indonesia dan menjadi WNI, maka orang tersebut dapat di adili di Indonesia karena Indonesia juga merumuskan pembunuhan sebagai kejahatan. Orang tersebut diadili sebagai WNI bukan sebagai warga negara Singapura.

Pasal 6 KUHP

Pasal 5 ayat 1 ke 2 dibatasi tidak dapat dijatuhi hukuman mati jika menurut perundang-undangan di negara locus delicti tidak diancam pidana mati. Ini berarti bahwa sekalipun di Indonesia perbuatan yang dilakukan seorang WNI di luar negeri diancam dengan pidana mati, namun jika negara dimana perbuatan tersebut dilakukan tidak mengancam dengan pidana mati, maka pidana mati tidak dapat dijatuhkan.

Asas ini juga tidak dapat menjadi dasar untuk menegakan hukum pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta di Indonesia karena asas ini lebih menekankan WNI yang menjadi pelaku kejahatan (sesuai yurisdiksi kriminal Indonesia) di luar wilayah Indonesia. Manohara, Siti Hajar dan Modesta berstatus sebagai korban di Malaysia, bukan sebagai pelaku.

Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan

Berlakunya undang-undang pidana suatu negara itu tidak tergantung pada tempat seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut. Dan Negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasaran tindak pidana itu, berwenang menghukum pelaku tindak pidana tersebut. Dalam KUHP, pengaturan asas nasional pasif ini digabung dengan asas universal dalam pasal 4 KUHP dan "kepentingan nasional" yang akan dilindungi juga dirumuskan secara limitatif/enumeratif yang rigid, yaitu berupa:


Di samping itu, ada pula "kepentingan nasional" yang juga merupakan "kepentingan internasional/universal" yang diatur dalam Pasal 4 ke-4 KUHP jo. UU No. 4 tahun 1976, berupa:


Berdasarkan asas ini, warga negara seperti Manohara, Siti Hajar dan Modesta belum diakomodir sebagai "kepentingan nasional". Kepentingan hukum dari asas nasional pasif yang sekarang berlaku hanya mengakomodir kepentingan negara yang belum menyentuh pada warga negaranya (kecuali Presiden). Maka asas ini pun tidak dapat dijadikan dasar untuk memproses hukum dan mengekstradisi pelaku kejahatan pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta ke Indonesia.

Namun hal yang menggembirakan adalah Konsep KUHP ke depan memperluas "kepentingan nasional" terhadap warga negara. Di dalam konsep KUHP 2004-2007, asas nasional pasif diatur dalam pasal tersendiri (yaitu diatur dalam pasal 4), terpisah dari asas universal. Bunyi lengkap pasal 4 tersebut adalah sebagai berikut:

Asas Nasional Pasif

Pasal 4

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap :

a. warga negara Indonesia; atau

b. kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan :

1. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;

2. martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pejabat Indonesia di luar negeri;

3. pemalsuan dan peniruan segel, cap negara, meterai, uang/mata uang, kartu kredit, perekonomian, perdagangan dan perbankan Indonesia;

4. keselamatan/keamanan pelayaran dan penerbangan ;

5. keselamatan/keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional (negara Indonesia);

6. keselamatan/keamanan peralatan komunikasi elektronik;

7. tindak pidana jabatan/korupsi; dan/atau

8. tindak pidana pencucian uang.

Hal yang menarik dari Pasal 4 Konsep diatas, yang berbeda dengan KUHP sebelumnya, ialah:


Namun mengingat Konsep KUHP kita belum disahkan menjadi undang-undang, maka pelaku kejahatan pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta tidak dapat diproses hukum di Indonesia. Sekalipun Konsep KUHP telah disahkan, dalam prakteknya akan ditemukan kendala dalam mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut. Hal tersebut disebabkan kemungkinan kecilnya willingness Malaysia sebagai pihak negara diminta ditambah dengan adanya asas tidak menyerahkan warga negara dalam ekstradisi.


Asas Universalitas atau Asas Persamaan

Asas ini berarti bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara keamanan dan ketertiban dunia dengan negara-negara lain. Seperti telah dikemukakan di atas, asas universal dalam KUHP yang berlaku saat ini, diatur bersama-sama dengan asas nasional pasif (dalam pasal 4) dan hanya ditujukan pada kejahatan-kejahatan tertentu (termaktub dalam pasal 4 angka 2 dan 4 KUHP. Pasal 438 , 444-446 dan 447 KUHP (kejahatan pelayaran). Demikian pula dalam konsep 2000-2002 dan sebelumnya.

Dalam Konsep 2004-2007, "kepentingan internasional/universal/global" yang akan dilindungi, tidak dengan cara menyebut kejahatan-kejahatan internasional tertentu secara limitatif, tetapi dirumuskan secara umum/terbuka agar dapat menampung perkembangan dari kesepakatan internasional.

Redaksi lengkap dari asas universal di dalam Konsep sebagai berikut :

Asas Universal

Pasal 5

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.


Dengan asas universal ini, sebetulnya ada peluang kemungkinan dimintakannya pelaku pada penyiksaan Manohara, Siti Hajar dan Modesta. Namun kemungkinan tersebut kecil dan lemah karena dari berbagai penjelasan di atas kita memiliki peluang yang kecil dalam hal yurisdiksi. Kecilnya kemungkinan tersebut juga menandakan sebaliknya, kewenangan menerapkan yurisdiksi ada pada Malaysia sebagai negara locus delicti. Selain itu Malaysiapun memiliki asas teritorial (berkaitan dengan locus delicti) yang memperkokoh yurisdiksi penegakan hukum atas kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta.

Dari uraian panjang tersebut jelas bahwa kewenangan yurisdiksi untuk menegakan hukum pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta ada pada Malaysia, bukan Indonesia.

Penegakan hukum dalam kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam terminologi hukum pidana internasional dikenal sebagai penegakan hukum pidana internasional yang sifatnya indirect. Ini berarti penegakan hukum pidana internasional yang diselenggarakan oleh hukum pidana nasional. Bukan penegakan hukum pidana internasional yang sifatnya direct seperti pada kasus Rwanda, Yugoslavia atau kasus lain yang diadili oleh ICC (International criminal court).

Hal 'aneh' dari Manohara dan Pengacara.

Manohara akhirnya berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah ibunya gigih berjuang dan banyak mendapatkan simpati. Ia akhirnya berniat menggugat, berencana meperkarakan suaminya Tengku Fahri. Manohara mengaku lehernya pernah disetrika, keningnya ditempeli bara rokok. O.C. Kaligis, pengacara senior Indonesia menaruh simpati menjadi kuasa hukumnya. Ia telah bersedia tak menerima bayaran dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bahan laporan pada kepolisian Malaysia.

Keanehan terjadi, dokter untuk visum telah disiapkan Kaligis untuk lampiran laporan pada kepolisian Malaysia, namun Manohara bergeming. Ia sedang tidur siang karena kelelahan menghadiri undangan dari berbagai stasiun televisi. Kaligis menangkap keanehan, kenapa roadshow ke program infotainment terus berjalan tapi untuk persoalan hukumnya terkesan diundur-undur. Kaligis lalu mengundurkan diri sebagai kuasa hukum Manohara.

Hotman Paris Hutapea dan Farhat Abas kemudian menjadi kuasa hukum Manohara menggantikan OC Kaligis. Farhat kemudian mengeluarkan statement akan menyomasi OC Kaligis karena pengunduran Kaligis dipandang menyudutkan posisi Manohara. Statemen Farhat tersebut dirasa aneh karena terjebak (atau sengaja mengalihkan) dalam persoalan yang seharusnya tak dipersoalkan dengan melupakan persoalan pokok kasus Manohara. Langkah aneh kemudian dilakukan para pengacara Manohara tersebut, melaporkan kasus Manohara pada Mabes Polri bukan pada kepolisan Malaysia. Dalam makalah ini telah diketahui bahwa yurisdiksi kasus Manohara ada pada Malaysia bukan Indonesia. OC Kaligis mengetahui hal tersebut dan telah menyiapkan langkah menuju kepolisian Malaysia. Sebuah keanehan kalau kemudian tim pengacara Manohara yang baru (Hotman dkk) tidak mengetahui persoalan yurisdiksi tersebut. Langkah tim pengacara tersebut lebih berkesan sebagai strategi pengelolaan isu yang menaikan rating Manohara.

Penegakan hukum yang benar malah terjadi pada Siti Hajar dan Modesta. Pihak KBRI di Malaysia telah melaporkan kasus penganiayaan Siti Hajar dan Modesta ke kepolisian Malaysia. Majikan Siti Hajar telah ditahan, sementara majikan Modesta ditangguhkan penahanannya setelah diketahui tengah mengandung bayi. Berbeda dengan Manohara, Siti Hajar dan Modesta sepi dari pengacara. Tak ada pengacara yang berbondong-bondong ingin menjadi kuasa hukumnya. Tim kuasa hukum hanya disiapkan pihak KBRI di Malaysia.

Kesimpulan

Kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional yang penegakan hukumnya dilakukan secara indirect. Yurisdiksi untuk melakukan penegakan hukum dalam kasus tersebut ada pada negara Malaysia.

Indonesia perlu meningkatkan upaya-upaya yang mengarah pada pengurangan dan pengantisipasian terjadinya pengulanga kasus penyiksaan TKW Indonesia (juga terhadap warga negara) di Malaysia.