Sunday, March 29, 2009

Pesta Warna Palestina

(Puisi ini milik Muhzen Den, relawan Rumah Dunia, ditulis ulang dari Fajar Banten edisi Senin 30 Maret 2009)

Pesta warna itu bukanlah
Pelangi yang jatuh di kala hujan
tetapi serpihan-serpihan mesiu
yang digencarkan oleh militer
kubangan-kubangan pecah
asap asap resah
diantara teriakan warga jelata
yang kehilangan sanak saudara

pesta warna itu bukanlah
sambutan hari raya
atau anak-anak bermain bola
tetapi serangan gerilya
yang digelar amerika
menghantam bumi Palestina
dalam waktu tak terbatas

rumahku, 07/01/09

I Love U Mom

Bismillahirohmanirrohim,
Pagi itu, Senin, 3 November 2008, Dewi, ibumu, menelponku dari Serang. Ia mengabarkan bahwa mamah, nenekmu (kau menyebutnya juga dengan mamah) muntah darah. Organ ginjal mamah diserang, ginjal kanannya mengecil, sehingga produksi urinnya tak seimbang dengan cairan yang masuk. Akibatnya perut mamah membesar oleh banyaknya cairan. Belakangan kadar protein dalam hati mamah berkurang, mungkin pula hatinya mulai diserang diabetes kering yang dialaminya. Hasil ronsen mengabarkan pula jantung mamah membesar.
Sebelumnya Idul Fitri 2008 lalu mamah sempat dirawat di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Serang di ruang Arafah 6. Kita berlebaran di sana, tentu kau masih ingat. Saat itu Dr Crisni menyimpulkan mamah harus dicuci darah (hemodialisis) karena ginjal mamah tak berfungsi baik untuk menyaring darah di tubuhnya. Mamah sempat dicuci darah dua kali saat itu, jadwal rutinnya dua kali sepekan. Mamah mengeluh pegal saat dicuci darah, pegal yang amat sangat. Dua jam tak boleh banyak bergerak . Kau tahu Syifa, nenekmu itu orang yang sangat jarang mengeluh, maka jika ia mengeluh tentulah sakitnya tak terkira. Maka kami bergantian mengajak mamah ngobrol selama proses cuci darah. Aku lebih banyak tak tega, jadi uwakmu Nia yang banyak menemaninya ngobrol.
Setelah pulang, mamah hanya berhasil dibujuk cuci darah satu kali, sisanya mamah tak mau. Meskipun sebenarnya cuci darah tak banyak pula membantu. Hingga hari Senin itu tiba, mamah muntah darah. Aku sedang di Semarang, meneruskan kuliah strata dua bidang hukum. Seharian itu kondisi mamah selalu terbayangkan. Yai, kakekmu, meninggal setelah sebelumnya juga muntah darah, riwayat penyakitnya mirip dengan mamah.
Tapi mamah tak pernah mengeluh, ia menyangkal muntah darahnya. Agak siangan Ibumu mengabari lagi kalau muntahnya mulai periodik. Aku memutuskan pulang, memesan tiket bis Putra Jaya dengan bangku tersisa, bangku cd (cadangan) di samping supir.
Lalang, suami Ela adiku, berhasil membujuk mamah ke rumah sakit. Mamah mau ke rumah sakit setelah banyak orang membujuknya, suster, dokter dan sebuah ambulan datang.
Selasa (atau rabu?) aku sampai di Serang dan meniatkan diri untuk menunggui mamah selama mungkin. Kuliah kuabaikan. Apa artinya sebuah magister jika ibumu terbaring payah di rumah sakit. Nabi Muhammad SAW pernah berkata celaka sebanyak tiga kali, sahabat yang bingung bertanya kenapa? Siapa yang celaka? Kata nabi celaka jika ada seorang anak yang mendapati kesempatan menemani orang tuanya hingga tua dan meninggal tapi si anak tak mendapatkan surga. Ini berarti sangat besar makna mendampingi orang tua. Apa kau mau menukar surga dengan sebuah gelar magister hukum?
Terlepas dari surga, ini amanah nabi, ini tentang orang yang kau cintai. Abimu ini bukan orang yang ‘beres’ Syifa, banyak mengecewakan Allah dan orang. Maka aku kan berusaha menjadi orang yang ‘beres’, termasuk menjadi ayah yang baik untukmu, dan itu tak mudah.
***
Mamah tampak kurus, tapi tetap tak mengeluh. Muntahnya berangsur-angsur bening dari sebelumnya berwarna seperti darah hitam. Mamah selalu menyangkal bahwa itu darah, tapi obat herbal yang dikonsumsinya. Mamah memang mengonsumsi obat herbal, tapi tak rutin diminumnya. Frekwensi muntah mamah sering, maka kami mengalasi lantai dengan kertas koran dan membeli banyak tisu gulung. Setiap mamah mau muntah ia selalu memberi tanda minta diambilkan tisu.
Mamah sering minta kami untuk mengaji, katanya kalau dengar suara ngaji, bisa tenang dan tertidur pelan-pelan. Aku sering membacakannya Al-Mulk, kata nabi Al-Mulk bisa meringankan kita jika tiba saatnya sakaratul maut. Oleh karenanya Al-Mulk disunahkan nabi untuk dihapal. Aku belum menghapalnya.
Semua anak-anak mamah pulang . Adi, pamanmu yang bungsu itu memutuskan untuk pulang pergi Jakarta Serang, menginap di rumah sakit dan pagi berangkat ke Jakarta. Ia sedang menyelesaikan skripsinya, menemui beberapa responden yang memiliki saudara kandung yang menderita skizofrenia.
A’Iyang, yang susah pulang karena sedang mengambil spesialis Tulang (Orthophedy) di Bandung akhirnya juga memutuskan pulang. Sabtu malam minggu ia tiba bersama uwak Ani istrinya. Aku sudah tertidur lelap saat ia datang. Adi dan aku sedang bergilir menunggu mamah. Adi bercerita bahwa A’Iyang nggak yakin melihat mamah dapat bertahan, ia menangis.
Mamah sebenarnya dijadwalkan cuci darah Sabtu 8 November 2008. Namun diundur ke Senin 10 November 2008 karena jadwal cuci darah pada Sabtu telah penuh. Sempat juga transfusi darah karena Hbnya turun. Darahnya golongan A, tapi tak semua A dapat masuk. Darah Adi, pamanmu yang bungsupun tak cocok meski sama-sama A. Maka darah untuk mamah didapat dari PMI Pusat di Jakarta. Sebelumnya beberapa mahasiswa Untirta dan adik-adik di Himsac (Himpunan Mahasiswa Serang Cilegon) Bandar Lampung juga datang menawarkan donor. Maha suci Allah yang memudahkan mamah dengan banyaknya orang yang datang menolong.
Ahad pagi, 9 November 2008.
A’Iyang datang bersama Zaki dan Fauzan anaknya. Ia duduk di sofa, melihat mamah lalu melihatku dan menyeretku keluar kamar. Uwakmu itu seorang dokter, ia mengerti tahapan-tahapan penyakit.
Kami mengobrol di luar,
“Kalau ngeliat kondisinya, A’a nggak yakin sebulan ini mamah bisa bertahan,” katanya pelan. Matanya mulai berair, melepaskan kaca mata dan menyeka air matanya.
“A’a mau cuti satu semester, disana (di Bandung) A’a belain orang (yang sakit), tapi di sini ibu sendiri,” katanya lagi.
Aku tak bisa banyak bicara Syifa. Menurut uwakmu itu, air dalam perut mamah bisa naik hingga paru-paru dan mamah akan merasa sesak.
Mamah memang sudah merasa sesak (eungap) beberapa hari ini, bahkan terlontar dari mulutnya, “eungap cep” kadang beristigfar karena sesaknya itu, meski sangat jarang, karena ia menahannya, sungguh ia jarang mengeluh. Kalau kusampaikan tentang sesaknya pada perawat, ia selalu menyangkalnya.
A’a mengajak aku masuk lagi sebelum mengucapkan kalimat yang membuatku tambah bersedih.
“A’a malah nggak yakin kalau seminggu ini bisa bertahan,” katanya masih berkaca-kaca.
Mamah mulai susah bicara, suaranya habis. Jadi kalau ia menginginkan atau menanyakan sesuatu dituliskannya di selembar kertas.
Siang itu aku pulang, ada Adi, Pepi uwakmu yang lain dan Wak Nia di rumah sakit. Sore jam 5 (17.00) aku kembali ke rumah sakit.
Adi dan Bi May (pendamping setia mamah, yang telah jadi saudara di keluarga kita) kuminta pulang, aplusan mandi dan berganti pakaian. Menjelang magrib mamah berulang kali meminta A’Iyang pulang mengantarkan Zaki dan Fauzan ke rumah. A’Iyang sebetulnya enggan untuk pulang, tapi mamah bersikukuh. Akhirnya mereka pulang, A’Iyang pamit dan minta maaf pada mamah, sebelumnya wak Pepi juga meminta maaf pada mamah. Aku ingin juga meminta maaf mamah, tapi aku tak kuat mengucapkannya. Tinggalah aku berdua dengan nenekmu, malam itu.
Menjelang isa, mamah minta dibaringkan dan minta aku mengaji (beberapa hari ini memang mamah sering minta dibangunkan dan dibaringkan untuk mengurangi sesaknya). Aku membaringkan mamah, mengambil wudu dan mulai shalat isa dengan bacaan yang dijahrkan agar mamah bisa mendengar bacaan shalatku.
Rakaat pertama kubaca Al-Alaq, Iqro, lima ayat pertama yang diberikan pada nabi di gua hira Jabal Nur. Rakaat pertama terdengar suara muntah mamah, aku mulai tak konsen, kupercepat bacaan, tapi shalat kulanjutkan karena kupikir hanya muntah seperti biasa. Aku lupa membaca apa pada rakaat kedua, kalau tak salah Al-Bayinah, tapi kalau tak salah tak kutuntaskan bacaan karena mendengar suara mamah muntah kembali, ruku dan sujud, saat sujud itulah kuputuskan untuk mengakhiri shalat dan melihat mamah.
Inalillahi, mamah sedang sakaratul maut! Posisinya miring ke kanan seperti saat kubaringkan. Ia tak pernah memanggilku saat sakaratul maut, tak mengeluh, padahal biasanya jika mau muntah saja ia selalu memberi tanda. Mamah seperti siap menghadapi sakaratul maut, memintaku mengaji. Aku berlari ke telinganya, membimbingnya mengucapkan la ilaha ilallah, berulang-ulang. Kupencet bel memanggil suster, tak kunjung datang hingga akhirnya kuteriakan nama suster barulah mereka datang. Mereka mengecek nadi mamah, lemah tak terdengar, dokter jaga dipanggil. Aku tak menghiraukan apa yang terjadi disekitarku, mamah kubimbing terus menerus. Kakiku serasa tak menginjak bumi, peristiwa sakaratul maut tak pernah terbayangkan sebelumnya pada mamah. Tak ada kata yang bisa menggambarkan suasana saat itu, perasaan yang campur aduk,tak berdaya, panik, rasa takut kehilangan mamah. Mamah megap-megap tapi tenang, nyawanya sedang dicabut. Tak ada yang sanggup menghalangi dan menghentikan sakaratul maut. Tidak mamah, tidak aku, tidak dokter.
Saat sakaratul maut terlihat mang Cecep, adik mamah datang bersama istri dan anaknya. Lalu menyusul Uwak Nia beserta wak Ade dan kedua anaknya, Bila dan Kiki. Keduanya menelpon yang lain agar segera datang.
Aku tak tahu berapa lama aku berada ditelinga mamah hingga wak Nia, kakak perempuanku mengusap punggungku.
“Udah Fer, Inalillahi wa inna ilaihi rojiun, mamah udah nggak ada, ikhlasin.”
Ia membimbingku duduk di Sofa. Bila menangis. Wak Nia telah lebih dulu menangis sejak mamah sakit, ia bahkan memutuskan untuk menunda Bila masuk sekolah untuk menunggui mamah.
Berangsur-angsur semuanya datang, sebelumnya memang semuanya mau datang. Entahlah mungkin mamah tak mau saat meninggalnya membuat orang lain bersedih, ia menyuruh pulang cucu-cucunya.
Mamah dibawa pulang dengan ambulan, dikuburkan keesokan harinya. Ada banyak orang yang datang mengantar mamah. Orang besar dan kecil.
Nenekmu itu orang yang sangat baik Syifa. Dekat dengan orang-orang kecil, bibi sayur menangis saat meilhat mamah sakit, dan mamah tak ingin diratapi, ia tak ingin melihat orang lain menangis melihat dirinya.
Nenekmu itu orang yang sangat bersahaja, ia adalah anak seorang kepala PU Majalengka yang mau menikah dengan seorang Aman Sukarso anak petani. Ibunya, Ratu Suka Hati, keluarga keraton Kanoman Cirebon yang menikah dengan orang biasa bernama Enjo Harja. Tapi nenekmu orang yang mulia sebagaimana namanya Aan Mulianah. Ia tak pernah mempersoalkan persoalan keraton, ningrat dan sebagainya yang tak penting. Saat abimu ini mengawali kuliah di Unila Lampung, kami mengobrol berdua di kamarnya di rumah dinas Sekda. Ia berpesan padaku agar kuliah yang bener, sebab yang namanya harta kekayaan akan habis, kekayaan orang tua akan habis. “Pakayamah seep,” katanya. Jangan mengandalkan orang tua, banyak ceritanya anak gubernur jadi tukang parkir. Saat itu nenekmu istri seorang Sekda Serang.
Nenekmu orang yang tabah menjalani ujian Allah. Menjelang akhir SPMA (sekolah pertanian setara SMU) ia dihadapkan pada sebuah peristiwa yang membuatnya menjadi skizofrenia. Tak perlulah kuceritakan sebab musababnya.
Kami anak-anaknya, alhamdulillah diberangkatkan haji oleh kakek dan nenekmu. Do’a kami semua yang sama adalah meminta Allah untuk menyembuhkan mamah dari skizofrenia. Namun saat aku disana, aku mulai menyadari Allah menguji mamah, menguji apa, menguji kita semua, maka kuubah do’aku agar kami semua tabah menjalaninya jika memang ini ketetapanNya.
Aku tak pernah bercerita pada Adi pamanmu, bahwa aku terharu, menghargai dan menghormatinya saat ia mengambil psikologi sebagai ilmu perkuliahannya. Ilmu yang saat itu masih dianggap ‘tak cerah’ dan tak sepopuler kedokteran, ekonomi atau hukum. Ia mengambil psikologi untuk memahami apa yang dirasakan mamah. Demikian juga dengan skripsinya.
Selama ini aku selalu menyembunyikan kondisi mamah karena memang mamahpun tak ingin merasakan penyakitnya. Menjadi skizofrenia itu melelahkan. Tapi yang ingin aku katakan adalah bahwa mamah orang yang berjiwa besar, yang sabar dengan Ujian Allah, dan pada akhirnya mungkin aku mulai mengerti mengapa Allah memberikan ujian tersebut. Dan kita harus bersyukur atasnya.
Dan kau Syifa, kau harus juga mempelajari tentang sejarah ibumu, Dewi Wahyuni. Ia juga seorang yang bersahaja, mungkin suatu saat kan kuceritakan tentang ibumu.